SEJARAH TIMOR : BENARKAH ORANG TIMOR BUTA HURUF?
SEJARAH TIMOR :
BENARKAH ORANG TIMOR
BUTA HURUF?
Oleh : Pina Ope Nope
Untuk
pertama kali sejak 3 tahun lalu, saya hari ini menulis kembali Blog saya ini.
Selama tiga tahun ini saya berkutat pada penulisan Novel yang akhirnya
menyadarkan saya bahwa menulis NOVEL memang membutuhkan energi yang lebih besar
dari buku-buku text sebelumnya. Namun yang sangat menyedihkan bagi saya adalah
minat literasi kita sangat rendah dan orang Timor hampir-hampir tidak
menghargai budaya menulis.
Dalam dua kesempatan seminar dan bedah buku yang kami selenggarakan, yang pertama (2019) di bantu Universitas Deo Muri Kupang (Unasdem) yang kedua dibantu oleh Anggota DPRD TTS Bapak Viktor Soinbala sebagai Meo Amanuban.
Pada kenyataannya, para
pejabat tidak perduli dan kebanyakan dari mereka baik di TTS dan di Kupang justru
meminta buku secara gratis-tis tanpa mereka perduli bahwa buku-buku ini saya
cetak dengan uang pribadi saya lalu saya menjualnya kembali dengan sedikit
sekali selisih harga sebagai uang lelah.
Kalau
buku saya yang pertama sejak pertama kali terbit dari tahun 2019 hingga 2025 (enam
tahun) ini bisa terjual hanya sebanyak + 300 exemplar, maka buku kedua
saya (2021) lebih apes. Biaya penerbitan saya serahkan ke penerbit di Jogja sebanyak
Rp. 500.000 dan selama empat tahun ini royality yang diberikan oleh penerbit kepada
saya hanya sebesar Rp. 360.000,- jadi saya masih merugi. Itulah sebabnya dalam penulisan
Novel kali ini saya berhati-hati dan bermaksud untuk Self Publishing menghindari
hal yang pernah saya alami (Novel ini sedang saya upayakan untuk pencetakan).
Walau
demikian, keadaan ini tidak mengurangi minat saya untuk menulis, sebab saya
yakin bahwa menulis bukan untuk mendapat kekayaan tapi untuk sebuah warisan
keabadian.
Namun,
warisan keabadian ini terganggu oleh sebuah kalimat yang muncul beberapa minggu
belakangan di media sosial facebook dan wattsapp bahwa “Kakek nenek orang Timor itu buta huruf sehingga sejarah Timor tidak
bisa direkonstruksi berdasarkan pendapat orang Eropa”. Saya tidak ingin
memperdebatkan ini sebab berdebat kusir bukan saja melelahkan tapi juga
sia-sia.
Apakah benar selama
300 tahun di era kolonial Belanda banyak huruf?. Saya jawab tida… sebab banyak
yang bisa menulis dan membaca. Kalau anda tidak percaya simak isi tulisan
saya berikut ini.
Korenspondesnsi
Tahun
2020-2021 Sekelompok dosen dari Kupang datang ke rumah saya karena ada Proyek
penelitian dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT tentang perang
penfui (1749). Hasilnya akan dituangkan dalam buku dan bila memungkinkan akan mengusulkan
Tenente Jenderal Don Gaspar Da Costa menjadi Pahlawanan Nasional.
Saya
juga diminta sebagai salah satu nara sumber. Saya lalu menjelaskannya berdasarkan tradisi
lisan dari orang tua kandung saya dan saya kawinkan dengan informasi dari buku
Profesor Hans Hägerdal (Prof.
HH) yang menjelaskan banyak hal. Sayangnya informasi saya tidak dimasukkan
sebab dianggap informasi orang Eropa adalah informasi dari perspektif PENJAJAH.
Padahal Prof. HH bukan orang Belanda tapi orang Swedia (Skandinavia).
Saya
lalu berkorenspondensi dengannya (Prof.
HH) mengenai peristiwa ini dan Profesor HH mengirimkan bagi saya hampir
dua lusin surat korenspondensi sekitar tahun 1747-1751 yang kemudian ia memberi
judul “Some Documents
Pertaining To The Penfui War, C. 1748-1750, English Summarys Of Original Dutch
And Portuguese Documents, VOC + number:
Inventory number of the Archive of the Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC), 1.04.02, National Archives, The Hague, the Netherlands”.
Ini adalah kumpulan
surat menyurat dari Gubernur Belanda di Kupang juga surat-surat Gubernur
Portugis kepada atasan mereka. Surat-surat ini menjelaskan situasi politik di
Timor saat itu pulau ini dikuasai oleh TOPAS (Portugis Hitam) kepada atasan
mereka.
Bagian ini mungkin
akan membuat anda akan terkejut, ternyata juga berisi surat-surat dari
raja-raja Timor kepada otoritas Belanda di Kupang dan di Batavia.
Yang lebih mengejutkan
saya lagi adalah Prof. HH mengirimkan satu salinan surat dari kakek buyut saya
Usi Seo Bill Nope – Don Miguel (Kakek Don Louis Nope II) kepada Opperhofd di
Kupang yang menceritakan tentang peristiwa pembantaian Gaspar da Costa terhadap
8.000 orang Amanuban di Nianama.
Surat Usi Seo kepada
Belanda ini untuk menanggapi kebrutalan Topas dan ia meminta agar Opperhofd
Belanda Kupang untuk mengijinkan Amanuban bergabung menjadi sekutu Belanda
setelah sekian generasi raja Amanuban menjadi sekutu Topas.
Surat Usi Seo ini
ditulis tahun 1749, menjelang perang Penfui pecah. Surat ini ditulis dalam
Bahasa Portugis kuno dan untuk menerjemahkannya saya kesulitan sehingga Prof.
HH membantu mengirimkan bagi saya lagi satu salinan terjemahan Bahasa Inggris.
Setelah membaca surat
ini, kita bisa mengetahui bahwa aksi pembunuhan massal ini melibatkan Pasqual
da Costa selaku Tenente (Letnan) di Provinsi Amanuban dan adik dari Gaspar Da
Costa bernama Costa Sandole bersama mertuanya Domingo de Feria yang membawa
pasukan dari seluruh raja-raja Timor yang masih setia kepada Topas, mereka mengepung
banteng Nianama di Amanuban tempat Usi Seo bersembunyi dan mereka melakukan pertempuran
hingga aksi pembunuhan terhadap 8.000 nyawa termasuk anak-anak dan wanita. Hari
ini bekas banteng Nianama hanya berisi kuburan yang tidak lagi didiami manusia.
Selain surat dari
Amanuban, ada juga surat dari Sonbai yang menyampaikan hal yang sama yaitu meminta ingin bergabung dengan
Opperhofd dan korban pengepungan Topas hanya kurang dari 200 orang tewas dari
pihak Sonbai, begitu juga dengan raja Amfuang Timau bernama Don Bernardo da
Costa.
Berbeda dengan
raja-raja bekas sekutu Portugis yang hampir mencangkup seluruh pulau Timor yang rata-rata menulis dalam bahasa Portugis,
sekutu Belanda hanya 5 raja yaitu Sonbai Kecil (Nisnoni), Taebenu, Amabi
(Kupang), Amfuang Maniki dan Helong. Mereka melaporkan secara rutin peristiwa
sebelum dan sesudah perang Penfui ini kepada Gubernur di Batavia dengan
menuliskannya dalam Bahasa Melayu. Surat mereka menceritakan tentang berapa
pasukan penyerbu dan rampasan-rampasan perang dan sebagainya. Banyak sekali
surat-surat raja-raja sekutu yang ditulis dalam Bahasa melayu selain bahasa sedikit bahasa Belanda.
Selain surat-surat
raja Timor, artikel ini juga memuat surat dari Lesseng dan Karayan di Lamakera
bertanggal 12 Sawal 1752 dan banyak lagi yang bisa membantu kita memahami situasi
saat itu.
Surat Raja
Sonbai
Setelah perang penfui
berakhir, pengaruh Topas merosot tajam. Tahun 1756, Paravicini menginisiasi
Kontrak yang mengikat seluruh raja-raja di Timor dan pulau-pulau sekitarnya
untuk mengakui VOC sebagai satu-satunya pengepul cendana, lilin, budak,
cangkang kura-kura dan sebagainya.
Tahun 1770 terjadi
dualisme kepemimpinan Amanuban dan sejak itu Amanuban di bawah Usi Tubani Nope
(putra Seo Bil) lepas dari bayang-bayang VOC. Oleh sebab itu saya belum
mendapat satu salinan surat dari raja Amanuban kepada Belanda, walaupun sebenarnya
saya masih sangat berharap mendapatkannya.
Namun dalam tulisan
ini saya akan mengutip buku Prof. HH tentang Sonbai dan menyalin satu atau dua salinan
surat dagang dari Raja Sonbai – Nai Kau Sonbai di Kauniki yang pertama bertanggal
27 September 1795 (230 tahun lalu). Surat ini ditulis dalam Bahasa Melayu dan
sebagian paragrafnya dalam Bahasa Belanda kepada Gubernur Jenderal di Batavia.
Demikian salinan surat
ini :
“Bahwa
dengan pendek juga kami membai tahu pada Tuwan Besar yang kami sudah terima
Tuwan Besar punya surat yang tertanda 10 hari dari bulan October tahun yang
lalu, serta bingkisan punya sudah ku menerima dengan betul dari dalam tangan
pembawa itu, atas aku Beta minta banyak terima kasih pada Tuwan Besar oleh hati
pengasihan itu yang tiada melakukan padaku.-
Lagipun
kami membai tahu pada Tuwan Besar yang Beta dengan Raja Ambenu dengan Raja
Amfoan ini tahu ada kirim pembalasan pada Ibu Bapa Tuwan Bangsawan Tuwan
Compania dalam demikian ini, Beta punya bingkisan 5 tibak kecil yang isi bidi
mas paser, beratnya 2 Tael, lilin ada 12 batang kecil beratnya 4 pikul 6 kati,
Raja Ambenu punya bingkisan ada 2 pikul lilin, Raja Amfoan punya bingkisan ada
2 pikul lilin, betorang minta sama Tuwan Besar jikalau Tuwan suka, atau sajang
kali pada betorang boleh tulis minta didalam betorang punya surat sengaji,
minta barang, ada demikian ini Beta punya minta 4 kepala kain guinees putih
halus 2 kepala kain muris putih halus, 1 kepala kahin dorias mata, putih halus
1 kepala kain dorias streep gingam, kepala cita bunga hijau, 4 kepala cita
tanah putih 4 kepala kepala cita tanah merah, 5 kepala kain putih sedan halus,
5 kain hitam yang halus, 6 kepala kain merah yang halus 5 kepala kain kosta mata
merah besar yang halus, 5 kepala lendu kosta mata merah jore (?) pagi halus, 6
kepala kain gajah putih gros, 6 kepala kain hitam kasar, 6 kepala kain merah
kasar.
Raja
Ambenu punya minta ada ini, 1 kepala cita tanah hitam halus, 3 cita bunga merah
1 kepala kain hitam kepala mas yang halus, 2 kepala lensu kosta halus, 2 kepala
kain hamam yang halus, 4 patola intra, 3 dyzyn pisu kayu hitam adanya.
Raja
Amfoan punya minta ada ini, 4 pistoel besi, bunga perak yang halus, 1 tong
obat, 1 kepala kain gunees putih halus, 2 kepalakayu haman yang halus, 1 kepala
kayu hitam kepala mas halus, 2 patola suta, 2 kepala lenda kosta halus, 2
kepala kain merah kepala mas yang halus.
Accordeert,
Dat
men U Hoogedelheeden dit Extract toesend, dat is, omdat ons den eysch vrij onbeschaamt
voorkomt, en dus verzoekt men Uw HEh dat het hoogstdezelve Hog. moog behaagen,
om dog aantstaande jaar een brief bij Keyzers contra geschenk tevoegen, op dat
hij als dan kan zien wat hij krijgt, en niet mag denken dat men hier 3/4 of 7/8
vat te rug houd.
Selain itu ada surat korenspondensi dagang tahun 1800 demikian :
Tuwan Bangsawan Raaden van India.
Beta kali tahu yang sudaha
menerima Tuwan Bangsawan yang mulya Gouvernadoor Djindraal, dan Tuwan Raden van
India, punya surat dan krimang dengan banyak kesukaan, dari Tuwan Commisaris,
maka sebab itu, Beta minta banyak terimah kasih, tetapi antoh bingkisan
retu[r], Beta adalah dapat karang 11 pisak, dan lagi adalah kapat lebe 6 kayu sapu
tangan, itu yang tiada tersebut dalam surat kami.-
Lagi pun Tuwan Bangsawan
yang mulya Gouvernadoer Djindraal, dan Tuwan Raden van India punya permintahan
pada tulang sama tuwan Comissaris atas perkerjahan, berapa yang beli tiada akan
kurang daripada itu.
Ini tahun Beta adalah
kirim schenkagie sama Tuean Bangsawan yang mulia Gouvernadoer Djindraal dan
Tuwan Raden van India, adalah 4 pikul lilin, harap yang nanti terima itu dengan
banyak suka, dan pula Beta minta banyak jikalan suka, dari Tuwan Bangsawan yang
mulya Gouvernadoer Djindraal dan Tuwan Raden van India, ada demikian ini.-
Sakayu gunees putih yang
sedang, sakayu gunees preta yang halus, sakayu murits yang halus, 6 kayu basta
biru sedang halus, sakayu haman yang halus, 10 kayu kung merah besar yang
kansar (?), 6 kayu saputangan yang halus, 6 kadet halus, salon … obat bedil,
200 parang waja, 200 taka, 20 tatara kecil, 22 kali banang tambaga 200 p. sok
kaju hitam.
Dengan itu juga tertinggal
dengan tubea banyak yang hormat, pada Tuwan Bangsawan yang mulya Gouvernadoer
Djindraal dan Tuwan Raden van India, Beta harap Tuhan Allah yang Maha Besar,
akan lindung dari segala sudah, lagi ke minta segala slamat dan banyak
beruntung maka bertanda Beta yang rinda.
Coepang, atas pulo Timor
Besar pada 25 September 1800.
Ks. dari Amacono, ada di
Kauniki, maka suru Beta utusannya Jeremias Naylake. Bertanda [ + ] ganti.
Surat
Mamak-mamak
Dengan penjelasan
pendek saya diatas, tentu banyak yang bertanya-tanya, kalau laki-laki bisa
menulis dan membaca lalu bagaimana dengan perempuan?.
Apabila kita menelisik
dokumen-dokumen sejarah di Timor, pulau kita sangat kaya akan sejarah. Hanya
dibutuhkan kemauan literasi bagi kita. Namun saya pernah mendengar satu
pengandaian bahwa bisa saja surat itu ditulis oleh pejabat kolonial dan Atoin
Meto hanya menandatanganinya saja. Pernyataan ini juga keliru.
Pada suatu waktu 30
tahun sebelum pecah perang Penfui, Kerajaan Sonbai Kecil dipimpin oleh Ratu
bernama Nonje Sonba’i dan para bangsawan menulis surat ke Batavia kadang berupa
pengaduan tentang ulah pejabat di Kupang. Berikut kutipan dari artikel Prof. HH
dalam bukunya berjudul “White and Dark Stranger King” yang menyadur surat dari
Ratu Sonba’i ini.
“Surat
penghormatan tahunan oleh lima sekutu biasanya bernada sopan dan resmi, dan
isinya mungkin diteliti oleh Opperhoofden. Namun, pada beberapa kesempatan,
sekutu dapat mengirimkan surat langsung ke Batavia melalui utusan atau cara
lain. Pada salah satu kesempatan tersebut, pada bulan April 1713, yang disebut
"permaisuri" Sonba'i [Kecil/Nisnoni] (memerintah 1682-1717) mendiktekan
surat yang jujur setelah peristiwa serangan Portugis dan sekutu mereka.
Demikian surat itu :
[sudah
diterjemahkan oleh Prof. HH ke bahasa modern] :
“Penguasa bangsa Sonba’i Nonje Sonba’i, dengan bupati sekundernya Nai Sau
dan Nai Domingo, serta bupati Taebenu, sekutu setia Yang Mulia, merasa terpaksa
menyerahkan beberapa paragraf ini kepada Yang Mulia karena keadaan yang sangat
sulit. Ini sama sekali bukan kebiasaan kami. Ini hanya untuk menyampaikan
perilaku dan pemerintahan yang sangat buruk dari Prefect Opperhooft, Tuan
Reinier Leers. [Perilaku] ini tidak pernah terlihat di antara Opperhoofden
sebelumnya, selama kami menikmati perlindungan Kompeni. Sementara itu,
kurangnya kesopanan dari Tuan Leers yang dikutip di hadapan Noni Sonba’i yang
disebutkan di atas belum pernah terjadi sebelumnya [?]. Kami tidak akan
melelahkan Yang Mulia dengan cerita ini, yang terlalu bertele-tele. Kami juga
ingin memberi tahu bahwa sekitar sepuluh bulan yang lalu, ketika ada kebutuhan
jagung, kami memasok Opperhoofd Leers yang disebutkan di atas dengan
biji-bijian ini, sebanyak yang dapat dihindari oleh rakyat kami, seharga 9 Sts.
[Stuyvers?] per 40 pon. Ketika kami harus membeli jagung ini lagi untuk
makanan, kami harus membelinya dari tangan Opperhoofd seharga 18 Sts. per 40
pon yang sama. Hal ini menyebabkan gerutuan besar di antara rakyat kami. Karena
jika mereka ingin tetap hidup, mereka harus menjual hampir semuanya [harta
mereka] untuk mengisi perut mereka, sehingga sebagian besar mereka beserta
istri dan anak-anak kembali pergi ke wilayah Portugis. Namun, ini bukan
satu-satunya alasan [ketidakpuasan], tetapi juga kata-kata tajam yang
dilontarkan Opperhoofd tersebut terhadap kami tujuh bulan lalu: setiap kali
kami sekali lagi terlibat pertempuran dengan musuh-musuh kami, dan [jika kami]
memaksa kami harus mundur di bawah benteng Kompeni, maka ia [Leers, red] akan
menembaki kami dan tidak mengampuni kami [yang adalah] orang-orang sekutu
Kompeni. Karena ini dan kekejaman lain yang mungkin terjadi, penguasa tersebut
meminta Yang Mulia (untuk menghindari kejadian yang menyedihkan seperti itu),
bahwa jika Opperhoofd Leers tinggal di sini lebih lama lagi, Yang Mulia di tahun
yang akan datang dapat mengizinkannya [sang-permaisuri] untuk datang sendiri
melalui kapal Kompeni, dengan biaya sendiri, agar ia memberikan Yang Mulia
laporan lisan tentang berbagai hal, karena ia sama sekali tidak bermaksud untuk
menginap dan hidup bersama di rumah musuh bebuyutannya, orang-orang Portugis di
Lifau. Akan tetapi, jika Yang Mulia tidak ingin bersusah payah menyediakan
kapal, maka Nonje Sonba’i tersebut meminta izin untuk berangkat dari sini
dengan kapal dagang Tiongkok yang bagus.
Keluhan
ratu membuahkan hasil. Penguasa Kompeni di Batavia bereaksi dengan mengganti
Leers dengan tokoh yang lebih bersahabat. Karena Portugis (Topas) menguasai
sebagian besar pulau itu, kesetiaan lima kerajaan kecil di Kupang harus
dipertahankan.
Dari penjelasan Prof. HH ini kita
mengetahui bahwa interaksi antara pemimpin Lokal dan kolonial berjalan dengan
baik. Saya membayangkan hari ini bagaimana dengan pejabat kita di TTS apabila
ada Jaksa Nakal, Polisi Nakal, Hakim Nakal dan Pejabat Republik Nakal lainnya
yang ada di TTS yang melakukan penyelewengan sering kita laporkan ke Jakarta hampir-hampir
tidak ditanggapi seperti yang terjadi pada masa kolonial 300 tahun yang lalu.
Miris.
Kemiskinan
Literasi
Menyimak
pernyataan pendahuluan saya “tidak semua
buta huruf, banyak yang bisa menulis dan membaca” tentu banyak yang
mengatakan, kemampuan membaca dan menulis hanya oleh para bangsawan. Saya
sekali lagi menolak pendapat ini.
Pada
bulan Oktober tahun 1850, Misionaris Belanda William Mathias Doonselaar
melakukan perjalanan ke Amanuban selama 10 (sepuluh) hari dan ia membukukan
laporan perjalanan singkatnya itu dalam sebuah tulisan berjudul “Reis
naar het rijk van Amanoebang op Timor, in October 1850”. Hari ini salinan laporannya tersimpan
rapih di Eropa.
Dari
laporan Doonselar, ia menceritakan perjalanannya dari Kupang menuju ke Babuin
(Baboni), Humau (Oeleu), Lasi dan Pene (Batnit di selatan). Ia menggambarkan
bahwa Amanuban adalah negeri yang subur dengan tanaman jeruk yang melimpah dan
sangat hijau kontras dengan Kupang yang gersang.
Ketika
ia hendak kembali ke Kupang, ia ditemani oleh Fettor Boimau yang menceritakan kepada
Donselaar perseteruan di antara mereka para pemimpin di Selatan yaitu Nakamnanu,
Nabuasa dan Boimau. Donselaar menjelaskan bahwa Boimau ini orang terpelajar
yang memperoleh pengaruh dari Portugis. Jadi jelas bahwa bukan hanya orang
Niki-Niki tapi juga para raja-raja kecil di Selatan adalah orang terpelajar.
Dari
Donselaar inilah saya kutip secuil laporannya menyebut demikian :
“Amanuban
adalah negara kesatuan dengan pusat Niki-Niki, kerajaan ini memusuhi Belanda
sejak lama dan ekspedisi militer dikirim dari waktu ke waktu, yang terakhir
dibawah Resident Hazaart namun tidak berhasil. Terlepas dari penggunaan
artileri dan senjata berat, Belanda tidak bisa menaklukan Niki-Niki, sementara
itu, raja di Niki-niki masih tetap memusuhi Belanda…”
Makam
Donselaar sudah saya temukan di Kerkof Kupang, sedangkan tulisannya dapat
dibaca di Belanda dan ia dikenang sebagai penginjil di Pulau Sabu setelah ia
memutuskan bahwa Amanuban bukan tempat yang aman untuk penginjilan.
Namun
kembali pada pertanyaan, apabila sebagian orang Timor bisa membaca dan menulis
kenapa tidak ada dokumen sejarah dari orang Timor?. Hanya satu jawabannya Malas Menulis, malas membaca dan malas mendokumentasikan.
Hari
ini orang TTS hampir di penuhi oleh sarjana S1, S2 bahkan doktor, tapi untuk person-person
yang mau menulis bisa dihitung dengan jari.
Bahkan di TTS sendiri sudah ada 8 (delapan) orang yang menduduki jabatan Bupati dan ribuan orang yang
menjadi pejabat teras di TTS, ribuan orang yang menjadi Anggota DPRD, namun tidak
ada satupun yang menulis perjalanan kariernya dalam bentuk Autobiografi atau
bahkan laporan tugasnya dibukukan. Dengan kemalasan ini bagaimana kita anak
cucu kita 100 tahun ke depan merekonstruksikan sejarah?. Sedangkan orang Eropa
sudah tidak ada lagi di Timor, siapa yang mau mengumpulkan semua peristiwa
ini?.
Uniknya kita hari ini bahkan bisa
mangakes Laporan (Maanraporrteen) dari para Resident sejak tahun 1700 sampai
bergabungnya Timor dengan Republik tahun 1949 dan ribuan surat kakek leluhur
kita tanpa kita memiliki satu lembarpun. Miris.
Upaya
Literasi
Saya, disela kesibukan saya yang sebenarnya tidak sibuk-sibuk amat walau saya dilengkapi oleh ribuan keterbatasan dan kekurangan sedang berusaha menulis dengan berbagai varian (buku text, Blog,
Novel dan penerjemahan dokuman) bahkan saya sedang merintis sebuah bangunan yang akan
mengumpulkan semua dokumen-dokumen bersejarah di seluruh Timor dan pulau-pulau
sekitarnya. Bangunan ini saya rencanakan akan
dibangun di Niki-Niki dan memang membutuhkan biaya besar tapi ini adalah tekad
saya.
Wisata sejarah
sebenarnya paling menjanjikan dibandingkan menawarkan wisata alam yang sedang
digencar-gencarkan di TTS. Hari ini apabila anda menggunakan mesin pencari Google,
Negara mana yang paling banyak dikunjungi wisatawan maka anda akan menemukan
Inggris, Prancis dan Yunani. Apabila kita menelusuri ternyata alasan wisatawan
datang ke Negara-negara itu maka alasan yang paling dominan adalah WISATA
SEJARAH. Jumlah museum dan lokasi penelitian sejarahnya paling bagus dan
tertata rapih sebagai destinasi.
Semoga literasi kita
ada kemajuan, walaupun Atoin Meto’ di pandang sebelah mata oleh sesama Atoin
Meto’ tapi tidak ada salahnya kita berusaha.
Mantap, saya suka baca
BalasHapusMakasi banyak. Sangat menginspirasi.
BalasHapusLuarbiasa inspirasi. Kami ajak diskusi boleh ko usi?
BalasHapusBoleh... Nomor wa 085239121425
Hapussangat menginspirasi ahoit
HapusTrmksh atas inspirasinya, persoalan kura adalah malas membaca, menulis dan dan mengumpulkan dokumen jadi kami sangat mendukung utk impiannya dan kiranya Tuhan memberkati. Shalom.
BalasHapusTerima kasih Usi atas pencerahannya semoga Tuhan merestui rencana Usi..
BalasHapusMantap Usi...terus berkarya, Tuhan Yesus Memberkati🙏🙏🙏
BalasHapusMantap naimnuke Pina Nope terus dalam karya,Tuhan berkati
BalasHapusAmaneng, teruslah berkarya
BalasHapus