TUA ADAT NAILEU (DESA TETANGGA BOTI) Kepada Kepala BPN - Laob Tumbesi pelanggaran HAM
TUA ADAT DESA NAILEU (DESA TETANGGA BOTI)
MENJELASKAN TENTANG POLEMIK LAOB TUMBESI
KEPADA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL KAB. TTS
Berikut ini adalah adalah salinan surat yang merupakan surat pemblokiran atas Pengukuran Sertifikat TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria yang sampai ke tangan kami. Mengingat bahwa isi surat ini cukup menjelaskan tentang polemik pengukuran dan sertifikat tanah obyek Reforma Agraria (TORA) maka kami mempublikasikannya. Surat ini ditandatangani oleh Anamnes Munir Saetban dengan dukungan tanda tangan oleh 11 tokoh masyarakat dan pemuda di Desa Naileu yang suratnya ditujukan kepada Kepala BPN Kabupaten TTS dan Kepala Desa Naileu, Kecamatan KiE Kabupeten TTS.
FORUM MASYARAKAT ADAT DESA NAILEU
Desa Naileu, Kecamatan KiE – Kabupaten TTS
Naileu, 6 Juni 2025
Nomor : 03/FMAD Naileu/IX/2025
Perihal : Surat Pemblokiran Pengukuran Tanah SERTIFIKAT TORA di DESA NAILEU (Menjawab Surat Kepala Kantor Pertanahan TTS, Nomor : MP.01.02/430-53.02/V/2025) tanggal 28 Mei 2025
Kepada :
Yth.
1. Badan Pertanahan Nasional TTS
2. Kepala Desa Naileu, Kec. KiE
Masing-masing di
Tempat
Dengan hormat,
Menjawab surat dari Bapak Kepala Kantor Agraria dan Tata Ruang/ BPN Kabupaten TTS nomor MP.01.02/430-53.02/V/2025 tanggal 28 Mei 2025, dan tanpa mengurangi rasa hormat kami, ijinkanlah kami rakyat kecil ini menjawab surat Bapak tersebut dengan intinya tetap menolak pengukuran tersebut dengan alasan-alasan yang kami kemukakan kemudian. Mengenai point-point surat jawaban :
1. Bahwa
tentang proses pengukuran instansi yang Bapak pimpin telah dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria (UUPA) namun tidak jelas pasal mana yang mengatur tentang Redistribusi
Tanah sehingga bisa memunculkan berbagai tafsir yang ambigu sebab keseluruhan
pasal ada 58 pasal dengan sembilan (IX) pasal mengenai Konversi.
Oleh sebab itu, kami
menegaskan kembali bahwa hak Adat dan Hak kepemilikan tidak boleh dirampas atau
dibatasi oleh siapapun termasuk oleh Negara. Hak kami dijamin dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 huruf A dan huruf I ayat (4) “bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama
pemerintah”.
Hal-hal yang berkaitan
dengan Hak Keperdataan yang wajib dilindungi oleh Negara akan kami uraikan pada
point-point selanjutnya;
2. Bahwa
menjawab point tentang Redistribusi Tanah yang bersumber dari Tanah Obyek
Reforma Agraria maka perlu diluruskan Sumber tanah untuk Redistisbusikan kembali kepada rakyat. Dalam pengertian kami TORA, tanah
milik pemerintah yang dibagikan kepada rakyat, bukan sebaliknya tanah rakyat
diklaim sebagai milik Pemerintah lalu dikembalikan lagi kepada rakyat. Sedangkan
kantor Desa Naileu serta fasilitas umum lainnya tanah bersumber dari kami Tokoh
Adat sampai munculnya polemik Kawasan Hutan dan pengukuran TORA ini;
3. Bahwa point 3 surat menjelaskan tentang 7 jenis hak yang diuraikan tanpa menjelaskan bahwa pengukuran Redistribusi TORA di Desa Naileu Kecamatan KiE ini akan diberikan kepada kami hak yang mana dan berapa luasnya dan berapa lama masa berlakunya, sedangkan secara hukum Adat, kami memang memiliki Hak Milik Atas Tanah kami secara turun temurun dan sah menurut hukum Adat yang masih hidup sampai hari ini;
4. Pada
point surat Bapak Kepala Kantor Pertahanan menjawab bahwa surat kami keliru
pada tanpa dijelaskan bagian mana yang keliru dan ditambahkan dengan kalimat
yang di bold tidak semua jenis hak memiliki jangka waktu, namun anehnya dari 7 jenis Hak yang diuraikan point
3, tidak dijelaskan kepada kami secara jelas tentang :
a. Hak-hak mana yang dimaksud tidak
memiliki jangka waktu tertentu dan sebaliknya hak yang mana yang dimaksud
memiliki jangka waktu tertentu,
b. Dalam hal redistribusi tanah di Desa kami jenis Hak yang mana yang akan diberikan dengan luasan yang jelas serta berapa jangka waktu hak atas tanah tersebut;
5. Bahwa
disampaikan tentang dasar pengukuran TORA adalah SK Menteri Kehutanan nomor 357/Menlhk/SETJEN/PLA/0/5/2016,
surat Pj. Gubernur NTT, Surat Sekretaris Dirjen Penataan Agraria dan
inventarisir tahun 2024, maka perlu kami luruskan sebagai berikut:
a. Bahwa
penetapan tanah-tanah kami (masyarakat kecil) menjadi bagian dari Kawasan Hutan
Laob Tumbesi adalah sebuah bentuk Pelanggaran
HAM, sebab tanah tersebut telah kami warisi sejak turun temurun. Pada tahun
1983 tanah kami lalu dimasukan sebagai Kawasan Hutan tanpa kami mengetahuinya
sama sekali (kami jelaskan pada point
berikut);
b. Bahwa
pernyataan kami ini memiliki bukti jelas sesuai dengan Berita Acara Ombudsman
Republik Indonesia, laporan hasil pemeriksaan Nomor Registrasi :
0215/LM/X/2023/KPG yang merupakan hasil tindak lanjut laporan dari Sonaf Amanuban
kepada Ombudsman Republik Indonesia perwakilan NTT di Kupang, pada tahun 2023
terkait terbitnya SK Menteri LHK nomor 357/Menlhk/SETJEN/PLA/0/5/2016.
Dalam B.A Pemeriksaan
tertulis dan diakui secara jelas sebagai pengakuan yang tidak terbantahkan dari
Unit Pelaksana Teknis Daerah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (UPTD KPHP)
Unit Timor Tengah Selatan kami salin copy to copy sebagai berikut (terlampir) :
1. Sebagian
masyarakat menolak dilakukan penandaan batas karena areal hasil review hanya
untuk pemukiman dan sebagian kecil lahan kebun masyarakat. Masyarakat tidak
pernah mengetahui bahwa rumah yang ditinggali merupakan kawasan hutan;
2.
Selain
itu, masyarakat menolak tata batas tersebut karena area review yang akan
dikeluarkan dari kawasan hutan hanya seluas 50 meter dari batas kawasan hutan.
Bahwa peta register kehutanan sejak zaman Belanda beserta patok tanda batas
yang masih utuh hingga saat ini diakui
oleh masyarakat;
3. Selanjutnya, terjadi penggabungan kelompok hutan pada tahun sekitar 1980an yang menjadikan sebagian lahan masyarakat masuk dalam kawasan hutan. Bahwa pada saat itu, masyarakat tidak mengetahui adanya perubahan penggabungan kelompok hutan tersebut hingga terjadi penataan batas kawasan hutan oleh Balai Pemantapan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah IV Kupang pada tahun 2023;
c. Bahwa peta register kehutanan sejak zaman Belanda yang dimaksud oleh pihak Kehutanan sebagai kawasan Hutan milik Belanda yang menurut mereka telah dipindah tangankan kepada pemerintah Republik Indonesia juga adalah satu KEKELIRUAN sebab Register dimaksud adalah Register Hutan Adat. Untuk itu perlu kami jelaskan :
Terjemahanya sebagai berikut :“Hutan yang akan ditetapkan untuk dipelihara untuk keperluan sendiri adalah hutan yang terletak pada bentang alam Amanoebang dan termasuk dalam kawasan, untuk pembuatan hutan baru di wilayah pemerintahannya sendiri, ditetapkan dari Nakfaemoe dengan luas gabungan kurang lebih +.175 ha, dibatasi pada:Utara, Timur, Selatan dan Barat melalui pekarangan milik tuan tanah PaE Nope kampung di niki-niki, yang batas tanahnya ditandai dengan merk penanda orde G1 s/d G 71 sebagaimana ditunjukkan pada peta sketsa komando depan yang bersebelahan,dengan titik putih atas dasar hukum adat yang terletak disana,-
Yang dimaksudkan oleh Pemerintahan Sendiri (Zelfbestuur)
wg. PaE Nope.
Untuk salinan yang jelas:
Sang penulis,
(F.G. Latupereisas)
b. Jadi penetapan Hutan tahun 1933 tapi itu Hutan Adat. Bahwa kerajaan Amanuban baru dijajah Belanda tahun 1910 dan tidak menganut asas Domein Verklaring. Kerajaan Amanuban adalah Zelfbesturen. Agrarische Besliut yang mengatur tentang “Domein Verklaring” tidak berlaku. Bahwa pernyataan Domein ini hanya berlaku di daerah pemerintahan langsung yaitu Jawa dan Madura (Staadbald. 1875 No. 119.a) sedangkan daerah diluar Jawa yaitu pulau Sumatera diatur dalam (Stb. 1847 No.894f, Manado dalam Stb. 1877 No. 55 dan untuk Kalimantan Selatan/ Timur dalam Stb. 1888 No. 58). [lihat daerah-daerah berwarna biru muda pada peta Hindia Belanda tersebut dibawah].
Sedangkan dalam
Kesultanan Yogyakarta (satu-satunya daerah Zelfbestuur di pulau Jawa [satu-satunya
warna biru tua dalam peta di pulau Jawa]) ada ketentuan semacam
Domein Verklaring yang terbit tahun 1918 no.16 yang berbunyi : “sakabehe bumi kang ora ana tanda yektine
kadarbe ing liya mawawa wenang eigendom, dadi bumi kanggungane keraton ingsun
Ngayugyakarta” (semua tanah-tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan yang
sama seperti eigendom menjadi tanah yang akan menjadi milik keraton agung
Yogyakarta);
|
Warna biru tua :
daerah pemerintahan Zelbestuur (pemerintahan sendiri) Warna biru muda :
daerah yang langsung dibawah pemerintahan Belanda (menganut Domein
Verklaring) |
a. Bahwa
sesuai pengakuan UPTD KPHP Timor Tengah Selatan, bahwa pada tahun 1983 15 (lima
belas) kelompok hutan digabungkan menjadi satu hamparan hutan (satu kelompok hutan rata-rata hanya 100
sampai 200 hektar). Tanah-tanah ini ditetapkan dalam SK Menteri Pertanian,
Perkebunan dan Kehutanan sebagai kawasan hutan dengan luasan menjadi ratusan
ribu hektar karena telah memasukan tanah-tanah kami (masyarakat kecil), rumah-rumah
kami dan kebun-kebun kami sebagai kawasan hutan Laob Tumbesi tanpa kami
mengetahuinya;
b. Oleh karena Obyek yang akan direforma Agararia-kan bersumber pada suatu produk hukum yang cacat hukum proses itu sendiri cacat hukum. Seluruh kegiatan ini adalah upaya pencaplokan tanah rakyat secara tersistem dan melawan hukum itu sendiri. Contohnya belukar dan kebun dari saudara Dan Nenohai yang seyogyanya hak turun temurun yang perolehannya dari Anaamnes seluas + 30.000 m2, lalu pada tahun 1983 dimasukan sebagai kawasan hutan Laob Tumbesi tanpa kami ketahui dan hari ini atau 40 tahun kemudian kami memperolehnya kembali dengan luasan 25 meter x 25 meter (+ 1250 m2) dengan HAK sertifikat TORA yang memiliki jangka waktu (entah 30 tahun atau berapa tahun tidak jelas). Kalau ini bukan perampasan tanah dan pelanggaran HAM lalu disebut apa?;
c. Merujuk
pada Keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 34/PUU/IX/2011 sbb : “penetapan batas wilayah hutan negara dan hutan adat tidak dapat di
tetapkan secara sepihak oleh negara tetapi harus melibatkan pemangku
(stakeholder) di wilayah yang bersangkutan. Oleh karena itu, MK memutuskan
bahwa kata “negara” dalam pasal 1 angka 6 UU kehutanan bertentangan dengan
Undang-undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekutan hukum mengikat”.
Ditegaskan juga dalam Putusan ini agar Pemerintah
wajib mengeluarkannya agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Jadi jelas bahwa SK Menteri ini cacat hukum dan kegiatan Pengukuran TORA ini
melanggar hukum;
6. Bahwa
dalam proses pengukuran Kami merasa terintimidasi sebab oknum KADES dan
pengikutnya menekan sebagaian masyarakat Desa Naileu bahwa Tua Adat tidak
dipakai dan hukum adat itu tidak perlu lagi, bahkan kami dikatakan kalau kami
menolak maka kami tidak akan memperoleh bantuan pemerintah. Bantuan Pemerintah
bukanlah alasan untuk merampas tanah-tanah kami sebagai milik Negara. Upaya
pengukuran dengan menerbitkan sertifikat TORA adalah salah satu upaya
pemerintah secara sah namuan melanggar hukum untuk menghilangkan hak milik kami
turun temurun.
Bahwa manusia terus
berkembang dan bertambah banyak sedangkan tanah tidak berkembang (kecuali
melalui reklamasi laut). Kalau tanah kami dimiliki oleh Negara lalu keturunan
kami mau ditaruh dimana?.
Demikian surat kami ini untuk diketahui dan atas perhatian dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
Tua Adat/ Anaamnes Desa Naileu
ttd
MUNIR SAETBAN
Tembusan :
1. Komnas HAM di Jakarta
2.
Ombudsman
RI perwakilan NTT di Kupang
3.
AGRA
NTT di Kupang
4.
Keturunan
PaE Nope (Raja Amanuban) di Niki-Niki
5.
Pertinggal
Turut menandatangani surat ini :
Munkar Saetban, Umar Saetban, Maximus Tino, Zet Saetban, Soleman Saetban. Dan Nenohai, Yakob Saetban, Imanuel Taopan, Kornelis Finit, Abidin Saetban dan Jimra S. Tino
Komentar
Posting Komentar