SEJARAH TIMOR : BENARKAH ORANG TIMOR BUTA HURUF?

 

SEJARAH TIMOR : 

BENARKAH ORANG TIMOR BUTA HURUF?

Oleh : Pina Ope Nope

 


 

    Untuk pertama kali sejak 3 tahun lalu, saya hari ini menulis kembali Blog saya ini. Selama tiga tahun ini saya berkutat pada penulisan Novel yang akhirnya menyadarkan saya bahwa menulis NOVEL memang membutuhkan energi yang lebih besar dari buku-buku text sebelumnya. Namun yang sangat menyedihkan bagi saya adalah minat literasi kita sangat rendah dan orang Timor hampir-hampir tidak menghargai budaya menulis.

    Dalam dua kesempatan seminar dan bedah buku yang kami selenggarakan, yang pertama (2019) di bantu Universitas Deo Muri Kupang (Unasdem) yang kedua dibantu oleh Anggota DPRD TTS Bapak Viktor Soinbala sebagai Meo Amanuban.

    Pada kenyataannya, para pejabat tidak perduli dan kebanyakan dari mereka baik di TTS dan di Kupang justru meminta buku secara gratis-tis tanpa mereka perduli bahwa buku-buku ini saya cetak dengan uang pribadi saya lalu saya menjualnya kembali dengan sedikit sekali selisih harga sebagai uang lelah.

    Kalau buku saya yang pertama sejak pertama kali terbit dari tahun 2019 hingga 2025 (enam tahun) ini bisa terjual hanya sebanyak + 300 exemplar, maka buku kedua saya (2021) lebih apes. Biaya penerbitan saya serahkan ke penerbit di Jogja sebanyak Rp. 500.000 dan selama empat tahun ini royality yang diberikan oleh penerbit kepada saya hanya sebesar Rp. 360.000,- jadi saya masih merugi. Itulah sebabnya dalam penulisan Novel kali ini saya berhati-hati dan bermaksud untuk Self Publishing menghindari hal yang pernah saya alami (Novel ini sedang saya upayakan untuk pencetakan).

    Walau demikian, keadaan ini tidak mengurangi minat saya untuk menulis, sebab saya yakin bahwa menulis bukan untuk mendapat kekayaan tapi untuk sebuah warisan keabadian.

    Namun, warisan keabadian ini terganggu oleh sebuah kalimat yang muncul beberapa minggu belakangan di media sosial facebook dan wattsapp bahwa “Kakek nenek orang Timor itu buta huruf sehingga sejarah Timor tidak bisa direkonstruksi berdasarkan pendapat orang Eropa”. Saya tidak ingin memperdebatkan ini sebab berdebat kusir bukan saja melelahkan tapi juga sia-sia.

    Apakah benar selama 300 tahun di era kolonial Belanda banyak huruf?. Saya jawab tida… sebab banyak yang bisa menulis dan membaca. Kalau anda tidak percaya simak isi tulisan saya berikut ini.

 

Korenspondesnsi

    Tahun 2020-2021 Sekelompok dosen dari Kupang datang ke rumah saya karena ada Proyek penelitian dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT tentang perang penfui (1749). Hasilnya akan dituangkan dalam buku dan bila memungkinkan akan mengusulkan Tenente Jenderal Don Gaspar Da Costa menjadi Pahlawanan Nasional.

    Saya juga diminta sebagai salah satu nara sumber.  Saya lalu menjelaskannya berdasarkan tradisi lisan dari orang tua kandung saya dan saya kawinkan dengan informasi dari buku Profesor Hans Hägerdal (Prof. HH) yang menjelaskan banyak hal. Sayangnya informasi saya tidak dimasukkan sebab dianggap informasi orang Eropa adalah informasi dari perspektif PENJAJAH. Padahal Prof. HH bukan orang Belanda tapi orang Swedia (Skandinavia).

    Saya lalu berkorenspondensi dengannya (Prof. HH) mengenai peristiwa ini dan Profesor HH mengirimkan bagi saya hampir dua lusin surat korenspondensi sekitar tahun 1747-1751 yang kemudian ia memberi judul “Some Documents Pertaining To The Penfui War, C. 1748-1750, English Summarys Of Original Dutch And Portuguese Documents, VOC + number:  Inventory number of the Archive of the Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), 1.04.02, National Archives, The Hague, the Netherlands”.

    Ini adalah kumpulan surat menyurat dari Gubernur Belanda di Kupang juga surat-surat Gubernur Portugis kepada atasan mereka. Surat-surat ini menjelaskan situasi politik di Timor saat itu pulau ini dikuasai oleh TOPAS (Portugis Hitam) kepada atasan mereka.

    Bagian ini mungkin akan membuat anda akan terkejut, ternyata juga berisi surat-surat dari raja-raja Timor kepada otoritas Belanda di Kupang dan di Batavia.

    Yang lebih mengejutkan saya lagi adalah Prof. HH mengirimkan satu salinan surat dari kakek buyut saya Usi Seo Bill Nope – Don Miguel (Kakek Don Louis Nope II) kepada Opperhofd di Kupang yang menceritakan tentang peristiwa pembantaian Gaspar da Costa terhadap 8.000 orang Amanuban di Nianama.

    Surat Usi Seo kepada Belanda ini untuk menanggapi kebrutalan Topas dan ia meminta agar Opperhofd Belanda Kupang untuk mengijinkan Amanuban bergabung menjadi sekutu Belanda setelah sekian generasi raja Amanuban menjadi sekutu Topas.

    Surat Usi Seo ini ditulis tahun 1749, menjelang perang Penfui pecah. Surat ini ditulis dalam Bahasa Portugis kuno dan untuk menerjemahkannya saya kesulitan sehingga Prof. HH membantu mengirimkan bagi saya lagi satu salinan terjemahan Bahasa Inggris.

    Setelah membaca surat ini, kita bisa mengetahui bahwa aksi pembunuhan massal ini melibatkan Pasqual da Costa selaku Tenente (Letnan) di Provinsi Amanuban dan adik dari Gaspar Da Costa bernama Costa Sandole bersama mertuanya Domingo de Feria yang membawa pasukan dari seluruh raja-raja Timor yang masih setia kepada Topas, mereka mengepung banteng Nianama di Amanuban tempat Usi Seo bersembunyi dan mereka melakukan pertempuran hingga aksi pembunuhan terhadap 8.000 nyawa termasuk anak-anak dan wanita. Hari ini bekas banteng Nianama hanya berisi kuburan yang tidak lagi didiami manusia.

    Selain surat dari Amanuban, ada juga surat dari Sonbai yang menyampaikan hal yang sama yaitu meminta ingin bergabung dengan Opperhofd dan korban pengepungan Topas hanya kurang dari 200 orang tewas dari pihak Sonbai, begitu juga dengan raja Amfuang Timau bernama Don Bernardo da Costa.

    Berbeda dengan raja-raja bekas sekutu Portugis yang hampir mencangkup seluruh pulau Timor yang rata-rata menulis dalam bahasa Portugis, sekutu Belanda hanya 5 raja yaitu Sonbai Kecil (Nisnoni), Taebenu, Amabi (Kupang), Amfuang Maniki dan Helong. Mereka melaporkan secara rutin peristiwa sebelum dan sesudah perang Penfui ini kepada Gubernur di Batavia dengan menuliskannya dalam Bahasa Melayu. Surat mereka menceritakan tentang berapa pasukan penyerbu dan rampasan-rampasan perang dan sebagainya. Banyak sekali surat-surat raja-raja sekutu yang ditulis dalam Bahasa melayu selain bahasa sedikit bahasa Belanda.

    Selain surat-surat raja Timor, artikel ini juga memuat surat dari Lesseng dan Karayan di Lamakera bertanggal 12 Sawal 1752 dan banyak lagi yang bisa membantu kita memahami situasi saat itu.

 

Surat Raja Sonbai

    Setelah perang penfui berakhir, pengaruh Topas merosot tajam. Tahun 1756, Paravicini menginisiasi Kontrak yang mengikat seluruh raja-raja di Timor dan pulau-pulau sekitarnya untuk mengakui VOC sebagai satu-satunya pengepul cendana, lilin, budak, cangkang kura-kura dan sebagainya.

    Tahun 1770 terjadi dualisme kepemimpinan Amanuban dan sejak itu Amanuban di bawah Usi Tubani Nope (putra Seo Bil) lepas dari bayang-bayang VOC. Oleh sebab itu saya belum mendapat satu salinan surat dari raja Amanuban kepada Belanda, walaupun sebenarnya saya masih sangat berharap mendapatkannya.

    Namun dalam tulisan ini saya akan mengutip buku Prof. HH tentang Sonbai dan menyalin satu atau dua salinan surat dagang dari Raja Sonbai – Nai Kau Sonbai di Kauniki yang pertama bertanggal 27 September 1795 (230 tahun lalu). Surat ini ditulis dalam Bahasa Melayu dan sebagian paragrafnya dalam Bahasa Belanda kepada Gubernur Jenderal di Batavia.

Demikian salinan surat ini :

“Bahwa dengan pendek juga kami membai tahu pada Tuwan Besar yang kami sudah terima Tuwan Besar punya surat yang tertanda 10 hari dari bulan October tahun yang lalu, serta bingkisan punya sudah ku menerima dengan betul dari dalam tangan pembawa itu, atas aku Beta minta banyak terima kasih pada Tuwan Besar oleh hati pengasihan itu yang tiada melakukan padaku.-

Lagipun kami membai tahu pada Tuwan Besar yang Beta dengan Raja Ambenu dengan Raja Amfoan ini tahu ada kirim pembalasan pada Ibu Bapa Tuwan Bangsawan Tuwan Compania dalam demikian ini, Beta punya bingkisan 5 tibak kecil yang isi bidi mas paser, beratnya 2 Tael, lilin ada 12 batang kecil beratnya 4 pikul 6 kati, Raja Ambenu punya bingkisan ada 2 pikul lilin, Raja Amfoan punya bingkisan ada 2 pikul lilin, betorang minta sama Tuwan Besar jikalau Tuwan suka, atau sajang kali pada betorang boleh tulis minta didalam betorang punya surat sengaji, minta barang, ada demikian ini Beta punya minta 4 kepala kain guinees putih halus 2 kepala kain muris putih halus, 1 kepala kahin dorias mata, putih halus 1 kepala kain dorias streep gingam, kepala cita bunga hijau, 4 kepala cita tanah putih 4 kepala kepala cita tanah merah, 5 kepala kain putih sedan halus, 5 kain hitam yang halus, 6 kepala kain merah yang halus 5 kepala kain kosta mata merah besar yang halus, 5 kepala lendu kosta mata merah jore (?) pagi halus, 6 kepala kain gajah putih gros, 6 kepala kain hitam kasar, 6 kepala kain merah kasar.

Raja Ambenu punya minta ada ini, 1 kepala cita tanah hitam halus, 3 cita bunga merah 1 kepala kain hitam kepala mas yang halus, 2 kepala lensu kosta halus, 2 kepala kain hamam yang halus, 4 patola intra, 3 dyzyn pisu kayu hitam adanya.

Raja Amfoan punya minta ada ini, 4 pistoel besi, bunga perak yang halus, 1 tong obat, 1 kepala kain gunees putih halus, 2 kepalakayu haman yang halus, 1 kepala kayu hitam kepala mas halus, 2 patola suta, 2 kepala lenda kosta halus, 2 kepala kain merah kepala mas yang halus.

Accordeert,

Dat men U Hoogedelheeden dit Extract toesend, dat is, omdat ons den eysch vrij onbeschaamt voorkomt, en dus verzoekt men Uw HEh dat het hoogstdezelve Hog. moog behaagen, om dog aantstaande jaar een brief bij Keyzers contra geschenk tevoegen, op dat hij als dan kan zien wat hij krijgt, en niet mag denken dat men hier 3/4 of 7/8 vat te rug houd.

 

Selain itu ada surat korenspondensi dagang tahun 1800 demikian :


Tuwan Bangsawan Raaden van India.

Beta kali tahu yang sudaha menerima Tuwan Bangsawan yang mulya Gouvernadoor Djindraal, dan Tuwan Raden van India, punya surat dan krimang dengan banyak kesukaan, dari Tuwan Commisaris, maka sebab itu, Beta minta banyak terimah kasih, tetapi antoh bingkisan retu[r], Beta adalah dapat karang 11 pisak, dan lagi adalah kapat lebe 6 kayu sapu tangan, itu yang tiada tersebut dalam surat kami.-

Lagi pun Tuwan Bangsawan yang mulya Gouvernadoer Djindraal, dan Tuwan Raden van India punya permintahan pada tulang sama tuwan Comissaris atas perkerjahan, berapa yang beli tiada akan kurang daripada itu.

Ini tahun Beta adalah kirim schenkagie sama Tuean Bangsawan yang mulia Gouvernadoer Djindraal dan Tuwan Raden van India, adalah 4 pikul lilin, harap yang nanti terima itu dengan banyak suka, dan pula Beta minta banyak jikalan suka, dari Tuwan Bangsawan yang mulya Gouvernadoer Djindraal dan Tuwan Raden van India, ada demikian ini.-

Sakayu gunees putih yang sedang, sakayu gunees preta yang halus, sakayu murits yang halus, 6 kayu basta biru sedang halus, sakayu haman yang halus, 10 kayu kung merah besar yang kansar (?), 6 kayu saputangan yang halus, 6 kadet halus, salon … obat bedil, 200 parang waja, 200 taka, 20 tatara kecil, 22 kali banang tambaga 200 p. sok kaju hitam.

 

Dengan itu juga tertinggal dengan tubea banyak yang hormat, pada Tuwan Bangsawan yang mulya Gouvernadoer Djindraal dan Tuwan Raden van India, Beta harap Tuhan Allah yang Maha Besar, akan lindung dari segala sudah, lagi ke minta segala slamat dan banyak beruntung maka bertanda Beta yang rinda.

Coepang, atas pulo Timor Besar pada 25 September 1800.

Ks. dari Amacono, ada di Kauniki, maka suru Beta utusannya Jeremias Naylake. Bertanda [ + ] ganti.


Surat Mamak-mamak

    Dengan penjelasan pendek saya diatas, tentu banyak yang bertanya-tanya, kalau laki-laki bisa menulis dan membaca lalu bagaimana dengan perempuan?.

    Apabila kita menelisik dokumen-dokumen sejarah di Timor, pulau kita sangat kaya akan sejarah. Hanya dibutuhkan kemauan literasi bagi kita. Namun saya pernah mendengar satu pengandaian bahwa bisa saja surat itu ditulis oleh pejabat kolonial dan Atoin Meto hanya menandatanganinya saja. Pernyataan ini juga keliru.

        Pada suatu waktu 30 tahun sebelum pecah perang Penfui, Kerajaan Sonbai Kecil dipimpin oleh Ratu bernama Nonje Sonba’i dan para bangsawan menulis surat ke Batavia kadang berupa pengaduan tentang ulah pejabat di Kupang. Berikut kutipan dari artikel Prof. HH dalam bukunya berjudul “White and Dark Stranger King” yang menyadur surat dari Ratu Sonba’i ini.

“Surat penghormatan tahunan oleh lima sekutu biasanya bernada sopan dan resmi, dan isinya mungkin diteliti oleh Opperhoofden. Namun, pada beberapa kesempatan, sekutu dapat mengirimkan surat langsung ke Batavia melalui utusan atau cara lain. Pada salah satu kesempatan tersebut, pada bulan April 1713, yang disebut "permaisuri" Sonba'i [Kecil/Nisnoni] (memerintah 1682-1717) mendiktekan surat yang jujur ​​setelah peristiwa serangan Portugis dan sekutu mereka. Demikian surat itu :

[sudah diterjemahkan oleh Prof. HH ke bahasa modern] :

“Penguasa bangsa Sonba’i Nonje Sonba’i, dengan bupati sekundernya Nai Sau dan Nai Domingo, serta bupati Taebenu, sekutu setia Yang Mulia, merasa terpaksa menyerahkan beberapa paragraf ini kepada Yang Mulia karena keadaan yang sangat sulit. Ini sama sekali bukan kebiasaan kami. Ini hanya untuk menyampaikan perilaku dan pemerintahan yang sangat buruk dari Prefect Opperhooft, Tuan Reinier Leers. [Perilaku] ini tidak pernah terlihat di antara Opperhoofden sebelumnya, selama kami menikmati perlindungan Kompeni. Sementara itu, kurangnya kesopanan dari Tuan Leers yang dikutip di hadapan Noni Sonba’i yang disebutkan di atas belum pernah terjadi sebelumnya [?]. Kami tidak akan melelahkan Yang Mulia dengan cerita ini, yang terlalu bertele-tele. Kami juga ingin memberi tahu bahwa sekitar sepuluh bulan yang lalu, ketika ada kebutuhan jagung, kami memasok Opperhoofd Leers yang disebutkan di atas dengan biji-bijian ini, sebanyak yang dapat dihindari oleh rakyat kami, seharga 9 Sts. [Stuyvers?] per 40 pon. Ketika kami harus membeli jagung ini lagi untuk makanan, kami harus membelinya dari tangan Opperhoofd seharga 18 Sts. per 40 pon yang sama. Hal ini menyebabkan gerutuan besar di antara rakyat kami. Karena jika mereka ingin tetap hidup, mereka harus menjual hampir semuanya [harta mereka] untuk mengisi perut mereka, sehingga sebagian besar mereka beserta istri dan anak-anak kembali pergi ke wilayah Portugis. Namun, ini bukan satu-satunya alasan [ketidakpuasan], tetapi juga kata-kata tajam yang dilontarkan Opperhoofd tersebut terhadap kami tujuh bulan lalu: setiap kali kami sekali lagi terlibat pertempuran dengan musuh-musuh kami, dan [jika kami] memaksa kami harus mundur di bawah benteng Kompeni, maka ia [Leers, red] akan menembaki kami dan tidak mengampuni kami [yang adalah] orang-orang sekutu Kompeni. Karena ini dan kekejaman lain yang mungkin terjadi, penguasa tersebut meminta Yang Mulia (untuk menghindari kejadian yang menyedihkan seperti itu), bahwa jika Opperhoofd Leers tinggal di sini lebih lama lagi, Yang Mulia di tahun yang akan datang dapat mengizinkannya [sang-permaisuri] untuk datang sendiri melalui kapal Kompeni, dengan biaya sendiri, agar ia memberikan Yang Mulia laporan lisan tentang berbagai hal, karena ia sama sekali tidak bermaksud untuk menginap dan hidup bersama di rumah musuh bebuyutannya, orang-orang Portugis di Lifau. Akan tetapi, jika Yang Mulia tidak ingin bersusah payah menyediakan kapal, maka Nonje Sonba’i tersebut meminta izin untuk berangkat dari sini dengan kapal dagang Tiongkok yang bagus.

Keluhan ratu membuahkan hasil. Penguasa Kompeni di Batavia bereaksi dengan mengganti Leers dengan tokoh yang lebih bersahabat. Karena Portugis (Topas) menguasai sebagian besar pulau itu, kesetiaan lima kerajaan kecil di Kupang harus dipertahankan.

 

    Dari penjelasan Prof. HH ini kita mengetahui bahwa interaksi antara pemimpin Lokal dan kolonial berjalan dengan baik. Saya membayangkan hari ini bagaimana dengan pejabat kita di TTS apabila ada Jaksa Nakal, Polisi Nakal, Hakim Nakal dan Pejabat Republik Nakal lainnya yang ada di TTS yang melakukan penyelewengan sering kita laporkan ke Jakarta hampir-hampir tidak ditanggapi seperti yang terjadi pada masa kolonial 300 tahun yang lalu. Miris.

 

Kemiskinan Literasi

    Menyimak pernyataan pendahuluan saya “tidak semua buta huruf, banyak yang bisa menulis dan membaca” tentu banyak yang mengatakan, kemampuan membaca dan menulis hanya oleh para bangsawan. Saya sekali lagi menolak pendapat ini.

    Pada bulan Oktober tahun 1850, Misionaris Belanda William Mathias Doonselaar melakukan perjalanan ke Amanuban selama 10 (sepuluh) hari dan ia membukukan laporan perjalanan singkatnya itu dalam sebuah tulisan berjudul “Reis naar het rijk van Amanoebang op Timor, in October 1850”. Hari ini salinan laporannya tersimpan rapih di Eropa.

    Dari laporan Doonselar, ia menceritakan perjalanannya dari Kupang menuju ke Babuin (Baboni), Humau (Oeleu), Lasi dan Pene (Batnit di selatan). Ia menggambarkan bahwa Amanuban adalah negeri yang subur dengan tanaman jeruk yang melimpah dan sangat hijau kontras dengan Kupang yang gersang.

    Ketika ia hendak kembali ke Kupang, ia ditemani oleh Fettor Boimau yang menceritakan kepada Donselaar perseteruan di antara mereka para pemimpin di Selatan yaitu Nakamnanu, Nabuasa dan Boimau. Donselaar menjelaskan bahwa Boimau ini orang terpelajar yang memperoleh pengaruh dari Portugis. Jadi jelas bahwa bukan hanya orang Niki-Niki tapi juga para raja-raja kecil di Selatan adalah orang terpelajar.

Dari Donselaar inilah saya kutip secuil laporannya menyebut demikian : 

“Amanuban adalah negara kesatuan dengan pusat Niki-Niki, kerajaan ini memusuhi Belanda sejak lama dan ekspedisi militer dikirim dari waktu ke waktu, yang terakhir dibawah Resident Hazaart namun tidak berhasil. Terlepas dari penggunaan artileri dan senjata berat, Belanda tidak bisa menaklukan Niki-Niki, sementara itu, raja di Niki-niki masih tetap memusuhi Belanda…”

 

    Makam Donselaar sudah saya temukan di Kerkof Kupang, sedangkan tulisannya dapat dibaca di Belanda dan ia dikenang sebagai penginjil di Pulau Sabu setelah ia memutuskan bahwa Amanuban bukan tempat yang aman untuk penginjilan.

    Namun kembali pada pertanyaan, apabila sebagian orang Timor bisa membaca dan menulis kenapa tidak ada dokumen sejarah dari orang Timor?. Hanya satu jawabannya Malas Menulis, malas membaca dan malas mendokumentasikan.

    Hari ini orang TTS hampir di penuhi oleh sarjana S1, S2 bahkan doktor, tapi untuk person-person yang mau menulis bisa dihitung dengan jari.

    Bahkan di TTS sendiri sudah ada 8 (delapan) orang yang menduduki jabatan Bupati dan ribuan orang yang menjadi pejabat teras di TTS, ribuan orang yang menjadi Anggota DPRD, namun tidak ada satupun yang menulis perjalanan kariernya dalam bentuk Autobiografi atau bahkan laporan tugasnya dibukukan. Dengan kemalasan ini bagaimana kita anak cucu kita 100 tahun ke depan merekonstruksikan sejarah?. Sedangkan orang Eropa sudah tidak ada lagi di Timor, siapa yang mau mengumpulkan semua peristiwa ini?.

        Uniknya kita hari ini bahkan bisa mangakes Laporan (Maanraporrteen) dari para Resident sejak tahun 1700 sampai bergabungnya Timor dengan Republik tahun 1949 dan ribuan surat kakek leluhur kita tanpa kita memiliki satu lembarpun. Miris.

 

Upaya Literasi

        Saya, disela kesibukan saya yang sebenarnya tidak sibuk-sibuk amat walau saya dilengkapi oleh ribuan keterbatasan dan kekurangan sedang berusaha menulis dengan berbagai varian (buku text, Blog, Novel dan penerjemahan dokuman) bahkan saya sedang merintis sebuah bangunan yang akan mengumpulkan semua dokumen-dokumen bersejarah di seluruh Timor dan pulau-pulau sekitarnya. Bangunan ini saya rencanakan akan dibangun di Niki-Niki dan memang membutuhkan biaya besar tapi ini adalah tekad saya.

        Wisata sejarah sebenarnya paling menjanjikan dibandingkan menawarkan wisata alam yang sedang digencar-gencarkan di TTS. Hari ini apabila anda menggunakan mesin pencari Google, Negara mana yang paling banyak dikunjungi wisatawan maka anda akan menemukan Inggris, Prancis dan Yunani. Apabila kita menelusuri ternyata alasan wisatawan datang ke Negara-negara itu maka alasan yang paling dominan adalah WISATA SEJARAH. Jumlah museum dan lokasi penelitian sejarahnya paling bagus dan tertata rapih sebagai destinasi.

    Semoga literasi kita ada kemajuan, walaupun Atoin Meto’ di pandang sebelah mata oleh sesama Atoin Meto’ tapi tidak ada salahnya kita berusaha.


Salam sejahtera....

Komentar

  1. Mantap, saya suka baca

    BalasHapus
  2. Makasi banyak. Sangat menginspirasi.

    BalasHapus
  3. Luarbiasa inspirasi. Kami ajak diskusi boleh ko usi?

    BalasHapus
  4. Trmksh atas inspirasinya, persoalan kura adalah malas membaca, menulis dan dan mengumpulkan dokumen jadi kami sangat mendukung utk impiannya dan kiranya Tuhan memberkati. Shalom.

    BalasHapus
  5. Terima kasih Usi atas pencerahannya semoga Tuhan merestui rencana Usi..

    BalasHapus
  6. Richard Litelnoni10 April 2025 pukul 09.14

    Mantap Usi...terus berkarya, Tuhan Yesus Memberkati🙏🙏🙏

    BalasHapus
  7. Mantap naimnuke Pina Nope terus dalam karya,Tuhan berkati

    BalasHapus
  8. Amaneng, teruslah berkarya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri Sejarah Timor : GUBERNUR PALING JENIUS DALAM SEJARAH KUPANG (Bagian I)

TUA ADAT NAILEU (DESA TETANGGA BOTI) Kepada Kepala BPN - Laob Tumbesi pelanggaran HAM