SEJARAH KOTA KUPANG : MARET 1812, RESMINYA PENDUDUKAN INGGRIS DI KUPANG

 

SEJARAH KOTA KUPANG :

MARET 1812, RESMINYA PENDUDUKAN INGGRIS DI KUPANG

Oleh    : Pina Ope Nope[1]

Sadler, Battle of Waterloo.jpg

 

Pokok bahasan tentang pemerintahan sisipan Inggris atau Interegnum Inggris pada masa kolonial tentu sangat jarang kita dengar. Bahkan banyak diantara kita yang percaya bahwa Indonesia yang dulunya disebut Hindia Timur (Hindia Belanda) hanya dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Ini adalah “angka pasti” yang tidak dapat ditawar-tawar. Melalui tulisan ringan ini saya mengajak kita untuk sedikit mengenal peristiwa interegnum Inggris di Nusantara maupun di Kupang baik itu sebelum maupun selama interegnum hingga berakhirnya interegnum.

Di bulan Juni ini kita akan kembali ke masa 210 tahun lalu, dimana Kupang merupakan salah satu saksi dari perang Napoleon yang berkecamuk dari Eropa. Pada 7 Juni 1812 setelah Kupang dalam genggaman Inggris, Komisioner Sipil - Richard Phillips dari Makasar yang juga bertanggung jawab atas Timor tiba di Kupang dan menandai resminya Interegnum Inggris atas pulau Timor[1]. Namun sebenarnya awal peristiwa interegnum Inggris, semasa interegnum maupun sesudahnya sangatlah menarik untuk diulas.

Bermulanya Inggris mendambakan Hindia Belanda

Ketika pemimpin Perancis Napoleon Bonaparte memulai perang pada tahun 1797, ia berhasil menaklukan banyak Negara di Eropa termasuk Belanda dan Italia. Ia berambisi membangun kekaisarannya di seluruh Eropa namun ditentang oleh kerajaan Inggris dan sekutunya yakni Austria, Russia dan Prusia. Sebagai akibat dari penguasaan Perancis ini, maka secara otomatis seluruh koloni Belanda berpindah tangan ke Perancis. Napoleon lalu menunjuk adiknya Louis Bonaparte menjadi raja Belanda (1806-1810). Sebelum itu, Negara Belanda berbentuk “Republik” dengan nama Republik Bataf  yang di pimpin oleh seorang Raadpensionaris yang bernama Rutger Jan Schimmel Penninck.

Pada tanggal 28 Januari 1807, Jenderal Herman Willem Daendels ditugaskan sebagai Gubernur Jenderal di Batavia. Ia di instruksikan untuk mempertahankan Hindia Timur dari serangan

Inggris. Sesaat setelah Daendels tiba di pulau Jawa, ia langsung memulai proyek pembangunan beberapa Benteng termasuk Master Cornelis di Batavia dan di Surabaya. Ia juga merekrut orang pribumi menjadi menjadi anggota angkatan bersenjata, membangun jalur jalan sepanjang 1000 km yang kemudian dikenal dengan jalur Anyer – Panarukan dan upaya-upaya lainnya[2].

Sebenarnya sebelum Daendels menjabat sebagai Gubernur Jenderal, Inggris telah merebut beberapa wilayah Hindia Belanda seperti Malaka, Padang, Banda, Ambon dan Ternate tanpa kesulitan. Walau Ternate sempat bertahan beberapa tahun, namun kapitulasi terjadi pada 1801. Satu-satunya pos yang berhasil menggagalkan serangan Inggris adalah Kupang[3].

Pada tahun 1802, perdamaian dideklarasikan dan wilayah-wilayah yang tadinya diduduki Inggris dikembalikan lagi ke Belanda. Namun kemudian permusuhan Inggris dengan Perancis dimulai kembali terutama setelah Napoleon menggabungkan wilayah Belanda menjadi wilayah Perancis.  Alasannya adalah Napoleon tidak menerima kenyataan beberapa kapal Inggris berlabuh di pelabuhan Belanda sedangkan menurutnya Belanda memiliki peran strategis bagi Perancis[4]. Buntut dari permusuhan ini maka Inggris berupaya kembali menduduki koloni Belanda termasuk Hindia Timur/ Hindia Belanda. Salah satunya adalah Ambon yang walaupun setelah bertahan beberapa hari berhasil diduduki pada 19 Pebruari 1810.

Ketika mengetahui jatuhnya Ambon, Daendels murka sehingga Kolonel Filz komandan benteng Ambon dihukum mati. Kabar kematian Filz menggentarkan semua komandan termasuk Jacobus Arnoldus Hazaart sang-Resident di Kupang[5]. Selama Inggris di Maluku inilah, mereka merekrut warga lokal menjadi pasukan pembantu, salah satunya adalah Thomas Matulessy yang berkarier dalam ketentaraan Inggris dan mencapai pangkat Sersan Mayor. Matullesy menjadi pasukan setia Inggris yang kemudian melawan Belanda setelah penyerahan kembali Maluku kepada Belanda tahun 1817. Kini dia dikenal sebagai pahlawan Nasional Republik Indonesia dengan nama Kapiten Pattimura dan lukisan wajahnya mewarnai berbagai pecahan uang rupiah.

Jatuh bangun Inggris merindukan Kupang

            Jauh sebelum Inggris menduduki Kupang, Timor adalah Pos Belanda yang paling rumit dan penuh gejolak. Ada 5 raja sekutu (raja Helong, raja Sonbai Kecil, raja Amabi, raja Amfuang dan raja Taebenu) yang mengakui kedaulatan Belanda di kantong kecil Kupang, sedangkan raja-raja lainnya memiliki hubungan yang pasang surut dengan Belanda dan hanya merupakan sekutu dagang saja. Mereka saling memanfaatkan guna memerangi kekuatan Portugis di utara dan timur pulau serta melawan satu kerajaan merdeka lainnya yang paling ekspansif di tengah pulau Timor yang akan kita bahas di akhir tulisan ini.

Situasi-situasi ini sering membuat para Resident Kupang tidak begitu produktif dari masa ke masa. Alasan strategisnya posisi Kupang sebagai penghubung antara Batavia-Makasar-Banda dan Maluku yang memaksa Belanda untuk tetap mempertahankan Pos yang kacau ini. Kini beban resident di Kupang semakin bertambah dengan hadirnya Inggris yang juga mengincar Kupang.

            Upaya pendudukan Inggris atas kota Kupang terjadi dalam 3 fase. Fase pertama terjadi di tahun 1797, namun Inggris berhasil dipukul mundur oleh orang pribumi yang diprovokasi oleh wakil resident Greeving. Upaya pendudukan fase kedua terjadi pada April 1811 dan sekali lagi digagalkan oleh Resident Hazaart yang berhasil mengerahkan pasukan raja-raja sekutu dan mengusir Inggris setelah 17 jam menduduki Kupang. Akhirnya Kupang tercatat dalam sejarah sebagai kota yang sulit di taklukan Inggris[6].

Tetapi fokus utama Inggris adalah Jawa sehingga pulau Jawa diblokade Inggris dari laut dan memutus semua komunikasi Batavia dengan dunia luar. Pada 4 Agustus 1811, Inggris berhasil mendarat di Cilincing. Pertempuran terjadi selama lebih dari satu bulan lamanya yang akhirnya memaksa Gubernur pengganti Daendels, Jan Willem Jansen menyerah kepada negara Adi Daya ini pada 18 September 1811[7]. Meskipun demikian, kota Kupang masih jauh dari jangkauan Inggris.

Pendudukan Kupang oleh Inggris hanyalah masalah waktu. Uniknya, keberhasilan Inggris kali ini justru terjadi karena suatu kebetulan. Pada Januari 1812 kapal Hespers yang dikomandani Charles Thurston tidak sengaja terseret oleh angin dari selat Bali[8] dan muncul di perairan Kupang. Dengan teropong ia mengamati benteng dan ternyata bendera Belanda masih berkibar. Thuston mengirim pesan ke darat agar bendera Belanda diganti dengan bendera Inggris sebab Batavia telah menyerah. Ia mengancam apabila Hazaart tidak melakukannya dalam sepuluh menit, maka ia menyerbu ke benteng. Ini hanya gertakan Thurston sebab anak buahnya terlalu sakit untuk melakukan pertempuran akibat mabuk laut. Hazaart dengan enggan melakukan kapitulasi. Pada Juni 1812, Letnan Phillips tiba di Kupang dan meresmikan pendudukan Inggris di Kupang[9].

Kupang sebelum Inggris dan masa Inggris

Ketika Inggris menduduki Nusantara (1811-1816) hampir tidak ada perlawanan rakyat pribumi terhadap pemerintah pendudukan Inggris. Bahkan boleh dikatakan tidak ada satupun orang yang memperoleh Gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah RI karena melawan pendudukan Inggris. Ini disebabkan karena nama besar kerajaan Inggris dan juga pemerintahan Inggris di Hindia Timur yang dipimpin oleh Sir Thomas Stamford Raffles ini memiliki jasa yang besar terutama di pulau Jawa. Ia merestorasi birokrasi warisan Belanda, menghapus kepemilikan tanah adat di Jawa dan membatasi kedaulatan raja-raja di Jawa. Raffles juga berhasil menemukan reruntuhan candi Borobudur dan memerintahkan renovasi candi ini serta banyak jasa Raffles lainnya.

Tapi di Timor, Inggris tidak dapat berbuat banyak sebab suasana di Timor penuh dengan kekacauan berbeda jauh dari belahan lain di Nusantara. bahkan ada satu orang yang dengan gagah berani melawan Inggris di Kupang. Dia adalah Don Louis Nope II raja Amanuban ke-9 yang memerintah Amanuban sejak tahun 1802 sampai tahun 1824. Louis merupakan lawan Belanda serta Inggris yang paling tangguh. Uniknya Amanuban ini berjarak cukup jauh dari Kupang. Rute modern sekarang ini, jarak yang harus ditempuh adalah 137 km. Pelancong Perancis - Jacques Arago yang datang ke Kupang tahun 1817 menyebutkan bahwa jarak Amanuban ke Kupang adalah 5 hari perjalanan.

Louis dan ayahnya Tubani Nope (raja ke 8 Amanuban) adalah raja yang paling ditakuti pemerintah Belanda di Kupang. Tubani ayah Louis berhasil merebut kepemimpinan Amanuban dari sepupunya Kobis Nope (Jacobus Albertus Nope) -  putra dari Don Louis I yang condong ke Belanda. Bahkan Tubani mengejar para pengikut Kobis yang melarikan diri ke Kupang (1786-88)[10]. Surat Resident Kupang bertanggal 19 maret 1802 kepada Gubenur Jenderal di Batavia menyebutkan tentang konflik antara Tubani dan sepupunya Kobis yang didukung Belanda “dan kerajaan ini akhirnya di perintah oleh sepupunya Tobanio” demikian akhir laporan itu.

Masih tentang Tubani, ia menyerang Kupang dengan alasan mencari pengkhianat dari Amanuban. Tubani juga menyerang kerajaan Amanatun (tahun 1782) yang adalah sekutu dekat Belanda untuk perdagangan[11]. Karena reputasinya itu, maka raja Sonbai-Kau Sonbai (Alphonsus Adrianus) juga meminta bantuannya mengeroyok Mollo – Oematan (tahun 1783) yang hendak melepaskan diri dari pengaruh sang raja Sonbai[12]. Amanuban bukan saja tidak dijajah Belanda, sebaliknya menjadi seteru paling berbahaya bagi Belanda. Pada tahun 1802, Tubani tua meninggal dunia dan digantikan oleh putranya Louis Nope.

            Catatan-catatan Eropa tentang Louis Nope cukup banyak. Menurut Louis de Freycinent seorang Perancis yang mengunjungi Kupang pada tahun 1817 menyebut bahwa Louis beragama Kristen Reformasi yang menjalani pendidikan di Kupang pada masa mudanya [13]. Ini terjadi saat masa damai antara Belanda dan Amanuban pasca perang Penfui tahun 1749. Bahkan Louis pernah ke Batavia. Disanalah ia melihat semua efek buruk Kolonialisme terutama perdagangan Budak. Louis menentang perdagangan budak oleh bangsa Eropa. Perlawanan Louis tercatat oleh Freycinent  yang berkunjung ke Kupang tahun 1817 dalam bukunya berjudul Voyage tour du monde (Paris Pillet Aine : 1825) halaman 537 demikian :

“Pada tahun 1808, raja Louis dari Amanoubang, kepala salah satu
kerajaan paling kuat dan kaya menolak upaya penjajahan oleh Belanda, yang menolak dominasi tirani penjajah sehingga dia dan rakyatnya menolak
dengan mengangkat standar kemerdekaan. Pendidikannya dimulai di Coupang, di mana dia dibaptis; namun ke Batavia sendirilah dia pergi untuk menambah pengetahuannya sehingga kemampuan alaminya membuatnya penuh dengan semangat, dan karena itu akan menjadi sangat menyakitkan bagi para penindas negerinya.
Tindakan pemberontakan baru saja dimulai dan didukung dengan segala cara yang memungkinkan guna memastikan keberhasilannya: raja ini mempersenjatai sebagian besar rakyatnya dengan assegais, pedang, kapak perang, dan senapan; dia dilengkapi dengan pasukan kavaleri, yang sebenarnya tidak terlalu banyak tetapi sangat efektif untuk melawan negeri-negeri ini. Dia membangun tiga benteng untuk melindungi perbatasannya. Belanda tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menekan secara paksa pemberontakan ini; dan mereka pasti berharap bahwa negosiasi dan gencatan senjata maupun upaya diplomatik secara damai akan cukup untuk menghentikannya; tetapi keberanian raja ini hanya semakin meningkat oleh kelambanan ini[14]

Sedangkan Jacques Arago menulis demikian :

Singkatnya, dia berjuang untuk kemerdekaan: sedangkan ke-14 raja itu berjuang untuk perbudakan. Para prajurit Louis selalu berada disekelilingnya dan siap mati demi melindungi pemimpin mereka itu[15]

Dalam suatu peristiwa pada tahun 1808, seorang pribumi bermarga Manubait di eksekusi raja Kobis dengan dukungan Belanda. Louis memimpin Meo-Meonya (perwiranya) menyerbu tempat eksekusi, merebut jenazah Manubait, membunuh para pasukan Kobis dan pasukan Belanda. Utusan Belanda dikirim ke Amanuban untuk berdamai namun tidak ditangapi Louis. Dalam sepucuk surat Gubernur Kupang ke Batavia tahun 1808 ia melaporkan “kami tidak pernah dihargai olehnya, perilakunya acuh tak acuh dan arogan”. Semenjak itu genderang perang Amanuban melawan Belanda ditabuhkan kembali[16]. Pada tahun 1810, Louis Nope bahkan menyerbu kota Kupang dan membakar permukiman orang Eropa termasuk rumah Resident (Gubernur). Teman seperjalanan Freycinent yaitu Jacques Arago (1817) seorang seniman Perancis menulis demikian :

“Louis dari Amanuban tidak takut pada upaya begitu banyak musuh yang bergabung. …. Sehingga pada akhirnya tangannya yang penuh kemenangan dan kejayaan telah membawanya ke pintu gerbang Kupang dimana, tujuh tahun yang lalu, dia menyebarkan terror, setelah membakar beberapa bangunan, diantaranya rumah Resident[17] (rumah Gubernur). Hasil dari tindakannya tersebut, mereka menyandangkan kepadanya sebuah gelar yaitu sebagai suatu aib yang memalukan….

keberanian mereka (orang Amanuban) yang menakjubkan, dan kejeniusan dari pemimpin mereka itu, membuat mereka menjadi musuh yang menakutkan, tangguh dan sangat sulit untuk di atasi .[18]

Itulah sebabnya dalam laporan-laporan Hazaart ke Batavia menyebut bahwa Louis dari Amanuban ini “sangat berbahaya” (very dangerous) bagi kekuasaan Belanda[19]. Belanda mengorganisir seluruh raja-raja sekutu untuk mengirim pasukan yang seluruhnya berjumlah lebih dari 10.000 pasukan dan melawan Louis berkuatan 6.000 pasukan yang dua pertiganya (4000 orang) adalah pasukan berkuda.

Louis de Freycinent juga melaporkan demikian :

“Perang yang dilancarkan Belanda melawan Penguasa Amanoubang mengharuskan pendirian Kamp Militer yang agak besar di dekat Coupang (Kupang), di mana setiap raja yang bersekutu dengan Kompeni wajib mengirim kontingennya dan muncul secara langsung sebagai kepala pasukannya. Salah satunya,kepala kerajaan Denka di pulau Rottie, termasuk di antaranya; namun, dia terpaksa meninggalkan tentaranya karena alasan kesehatan, dia ditemani oleh raja pulau kecil Dao dan beberapa perwiranya.

Uniknya pasukan Eropa tidak memiliki cukup banyak pasukan Kaveleri untuk melawan Amanuban. Ini jelas dalam laporan Gaimars seorang Dokter Bedah kapal Eropa yang melaporkan demikian :

“Raja Louis, pemimpin Amanoebang layak kita perhatikan sejenak. Ia seorang laki-laki yang membanggakan, aktif, berani, gesit dan nekat ini lahir dan dibesarkan di Kupang dalam agama Kristen. Ada yang mengatakan ayahnya Tobany mengirimnya ketika ia masih sangat muda ke Batavia di mana ia menerima pendidikan yang lebih baik dari raja-raja Timor lainnya. Ia naik tahta saat kematian Tobany dan ia menyusun rencana nekat dan keluar dari dominasi Batavia serta mengeluarkan Belanda dari Kupang dan membebaskan negerinya. Didukung oleh orang-orang yang suka berperang, ia mengibarkan bendera kemerdekaan dan menyatakan bahwa raja-raja yang melawan usahanya yang mulia tersebut adalah musuh dari tanah nenek moyang (orang Timor). Belanda telah berusaha untuk menaklukannya selama sepuluh tahun namun sia-sia; bahkan hanya beberapa tahun lalu saja ia setelah ia mengalahkan Resident, ia beranjak ke pintu-pintu gerbang Kupang yang seperti sehelai rambut yang nyaris dikalahkan olehnya. Di saat ini (Oktober 1818) sang Guillaume Tell (Pahlawan dan legenda Eropa) yang baru ini memiliki 6000 orang yang dipersenjatai dengan senapan lantak, pedang, tombak dan kapak perang; dua pertiga dari prajuritnya menunggang kuda. Ibukotanya lebih besar dari Kupang dan ia menarik banyak orang terampil/ perkasa ke kerajaanya oleh dorongan yang ia berikan kepada mereka. Pemimpin yang tidak kenal takut ini menempatkan ia beserta keluarganya dalam bahaya yang paling depan atau pertama. Untuk itu, Resident Hazaart memerintahkan 12.000 tentara yang hampir tanpa kaveleri dan adalah pasti bahwa pertempuran penentuan segera akan terjadi”

Kesusahan mantan dan galaunya Inggris

Ketika Phillips di Kupang pada Juni 1812, ia meminta Hazaart menjadi Gubernur atas nama Inggris, namun Hazaart menolak. Akhirnya jabatan ini jatuh ke tangan Cornelis Willem Knibbe. Namun demikian nama besar Inggris sebagai negara adi daya pada masa itu tidak menggentarkan hati Louis Nope. Ia tetap menyerbu Kupang dan kerajaan-kerajaan sekutu Eropa. C.W Knibbe dalam salah satu laporannya kepada Phillips pada tanggal 29 Maret 1812 ia menyebut demikian :

“para raja pribumi disini ternyata tidak memberikan uang apa-apa kepada Gubernur, namun mereka memberikan penghormatan dan menawarkan bantuan kepada Gubernur pada satu-satunya hal yaitu Gubernur sedang dalam hadapi peperangan melawan raja yang paling memberontak yaitu Raja di Amanubang dan untuk menghadapinya pemerintah haruslah berhati-hati. Namun saya atas nama pemerintah Inggris beberapa hari yang lalu telah mengirim utusan untuk memberitahukannya (Louis) tentang penguasaan Pemerintah Inggris di atas tanah ini dan berharap bisa menyadarkan dia kepada jalur yang benar. Namun dia menolak, sehingga saya telah meminta kepada salah satu kaisar terbesar di pulau ini (kaisar Sonbai - Nai Sobe Sonbai I)  yang mungkin sekarang telah ada dalam perjalanan ke sana (Amanuban) untuk memerangi raja itu atas nama Pemerintah Belanda[20]

Ekspedisi Sonbai melawan Amanuban atas nama Pemerintah gagal dan ini merusak hubungan kedua kerajaan Amanuban dan Sonbai. Guna mengatasi kebuntuan, C.W Knibbe berulangkali berusaha meminta bantuan 5 raja sekutu di Kupang (Amabi, Helong, Amfuang, Taebenu dan Sonbai Kecil) untuk menjembatani perdamaian Inggris dengan Amanuban, namun ternyata ke-5 raja ini sepakat agar Inggris tidak bernegosiasi dengan Amanuban. Jelas ini sangat merisaukan dan membuat Knibbe galau berkaitan dengan reputasi Pemerintah Inggris yang nyata dalam suratnya bertanggal 3 mei 1812 yang isinya demikian :

Yang Mulia [Kapten Richard Phillips di Makassar] dalam surat terakhir saya juga sampaikan bahwa ada Pangeran asli (Amanuban) yang berniat berperang di sini, untuk alasan itu aku sudah lebih dari sekali berkonsultasi dengan 5 pemimpin lainnya di sini, guna mengakomodir pemberontakan ini dengan cara bernegosiasi secara damai dengannya [Louis], tetapi ke-5 raja ini berbicara sama seperti dari satu mulut, bahwa mereka selalu setia kepada Pemerintah, dan bahwa mereka akan selalu tetap demikian. Oleh sebab itu, mereka tetap akan melawan Pangeran perang” ini, karena dia tidak berperilaku sebagai seorang yang setia kepada kita sebagaimana seorang pelayan, tetapi seorang pemberontak, seperti yang saya dengar dia telah sangat banyak menyusahkan mantan Pemerintah sebelumnya (Belanda). Demikian juga saya sampaikan kepada Yang Mulia, kemarin saya telah menerima laporan, bahwa raja pemberontak ini tadi malam, menyerbu ke kampung raja sekutu kita yang berjarak 4 jam perjalanan dari sini dan oleh karena itu mereka telah terlibat dalam pertempuran, yang mengakibatkan penduduk asli telah terbunuh dan dia menawan satu orang bersamanya. Di atasnya semua kepala suku ini telah meminta saya untuk membantu mereka dengan mesiu, peluru dan senjata api, tapi permintaan ini tidak dapat saya penuhi karena kelangkaannya yang besar[21].

Perlawanan Louis cukup sengit. Pada tahun 1814, Louis berbaris ke wilayah Amabi Kupang dan kali ini Inggris harus bertindak. Sekretaris Curtois memimpin ekspedisi dan ia ditemani oleh J.A Hazaart, tetapi hasil dari pertempuran ini tidak menguntungkan bagi pihak Inggris. Sementara itu, Joseph Burn (pengganti C.W Knibbe) meninggal dunia secara mendadak dan Curtois dipanggil untuk mengambil alih kepemimpinan. Musim hujanpun tiba dan para tentara pribumi yang mendukung Pemerintah harus dilepas untuk mengerjakan ladang jagung mereka. Rupanya situasi ini membuat dilema, sebab Hazaart dan pasukannya harus menghadapi Amanuban sendirian, namun ternyata para pejuang Amanuban untuk saat itu juga mundur ke wilayah mereka sendiri. Tentu saja mereka juga harus pulang untuk mempersiapkan ladang mereka juga dan untuk peristiwa ini Hazaart dapat bernafas lega (Heijmering 1847: 217)[22].

 

Kembalinya sang mantan setelah kegalauan Inggris

Walaupun Hazaart menolak untuk menjadi gubernur atas nama Inggris, namun ia merupakan orang yang paling diandalkan oleh pemerintah Inggris selama masa pendudukan sebab situasi  di Timor tidak semudah yang dibayangkan orang-orang Inggris, misalnya selain menghadapi Amanuban, pemerintah pendudukan Inggris juga harus menghadapi satu persoalan di internal kota Kupang yaitu upaya pemberontakan Soroe[Soru], seorang buangan dari Rote di Kupang pada tahun 1814. Namun beruntung bagi pemerintah, Hazaart berhasil menekan rencana pemberontakan ini bahkan sebelum pemberontakan ini dimulai[23].

Salah satu contoh  lainnya adalah Gubernur Inggris Joseph Burn di undang oleh raja Amabi dalam suatu jamuan pesta yang besar, para pejabatnya dan petinggi lainnya juga diundang. Hazaart diam-diam diberitahu mata-matanya bahwa ini adalah jebakan dan mereka akan dibantai. Hazaart sedikit meragukannya sebab ia menganggap Amabi sebagai salah satu sekutu  paling setia. Namun informasi ini membuat  Burn menjadi galau dan berharap untuk tidak menghadiri pesta itu, tetapi Hazaart membujuknya. Seorang pejabat Eropa wajib menghadiri undangan raja Sekutu.

Hazaart lalu menyusun sebuah rencana yang akan menggagalkan serangan apabila ada,  juga bertindak untuk meningkatkan rasa hormat orang Timor kepada pemerintahan Eropa sekaligus menghormati raja Amabi yang akan menaikan prestisenya dihadapan rakyatnya pada saat bersamaan. Hazaart melakukan ini dengan menugaskan para pasukan bersenjata lengkap dengan senapan dan amunisi yang ditempatkan di depan dan belakang kursi mereka di saat jamuan.

Selama prosesi acara pesta ini, para administrator sipil, pegawai bersenjata, dan tentara Eropa yang tiba di Sonaf Amabi memberikan penghormatan dengan cara yang mengesankan dan disajikan sebagai suatu bentuk penghormatan bagi tuan rumah. Raja nampaknya senang dan sangat tersanjung dengan penghormatan ini. Tidak ada serangan yang terjadi dan orang Timor yang hadir dalam pesta ini justru melihat sebuah demonstrasi kekuatan dan kesiapan militer orang Eropa (Heimering 1847: 214-6). Demontrasi ini sebagai show of power agar menghindari pemberontakan raja sekutu. Setidaknya Hazaart berhasil melakukan dua tiga hal sekaligus.

Pada tahun 1814 Curtois menggantikan Burn yang memerintah dalam waktu singkat dan Curtois-pun meninggal dunia juga, maka tidak ada satu orang Inggris yang dianggap mampu untuk mengendalikan Kupang. Akhirnya para penduduk dan raja-raja sekutu di Kupang meminta agar Hazaart mengisi posisi tersebut sekali lagi. Hazaart setuju dan otoritas Inggris di Makassar diam-diam membiarkannya sehingga dianggap sebagai pengakuan resmi. Sepertinya mereka beranggapan bahwa tidak ada orang lain lagi yang dianggap pantas untuk posisi itu selain Hazaart. Demikian maka kembalilah si-mantan. Dalam surat-suratnya dia menyatakan dengan jujur kebenciannya pada dua orang. Orang pertama adalah Sersan Mayor J.L Euvart seorang pengkhianat Perancis yang disebutnya “berbahaya”. Ia lalu ditangkap dan dikirim ke Jawa sebagai tahanan dan yang kedua adalah Louis Nope dari Amanuban yang disebutnya “sangat berbahaya” tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa kepadanya. Demikian keluhan sang-mantan.

 

Inggris melarikan diri dari kenyataan

Pada tahun 1815, masih dalam suasana pendudukan Inggris, hubungan Sonbai dan Amanuban semakin memburuk sebab selama Sonbai masih bersekutu dengan pemerintah kolonial, maka Louis merasa terancam. Dalam suatu pertempuran, Louis dengan sukses berhasil mengalahkan dan memukul pasukan Sonbai hingga ke Babau, suatu tempat berjarak 6 jam perjalanan dari Kupang. Tidak ada ekspedisi yang membuahkan hasil yang baik melawan Louis. Namun demikian hubungan Sonbai dan Amanuban akan mengalami masa damai pada tahun 1820 dan sepeninggal Louis pada tahun 1824, hubungan kedua kerajaan ini mengalami normalisasi terutama ketika Amanuban dipimpin oleh Baki Nope putra Louis[24].

            Sementara itu, pemerintah Inggris harus menelan ludah atas semua kekalahan melawan Amanuban. Bahkan peperangan ini tetap berlangsung walaupun Inggris telah menyerahkan kembali Kupang kepada Belanda pada 17 Oktober 1816. Mengenai peristiwa ini Louis de Freycinent menyebutkan demikian :

“ketika Kupang diduduki Inggris, maka peristiwa pendudukan ini menghentikan kegiatan persiapan perang yang sangat diperlukan untuk membuat raja Amanoubang patuh. Namun akhirnya Gubernur Inggris di Coupang menyatukan kembali semua pasukannya dan pasukan sekutu di Timor serta pulau-pulau sekitarnya. Mereka lalu berbaris melawan pangeran pemberontak ini pada tahun 1815. Ekspedisi pertama tidak membuahkan hasil yang berarti. Pada tahun berikutnya (1816), tentara sekutu kembali ke medan tempur; karena ingin mengambil risiko pertempuran, ia mengalami kegagalan penuh kerugian besar, yang memaksanya untuk melarikan diri dari pertempuran; kerugiannya berjumlah 80 orang, sedangkan pasukan raja [Louis] hanya kehilangan enam orang tewas, dan tiga tahanan yang sesuai dengan kebiasaan di negara itu, dipenggal. Masa-masa sulit ini menghentikan kedua pihak untuk melakukan operasi militer apapun pada tahun 1817; namun pada tahun 1818 aksi permusuhan dimulai lagi; kami diberi tahu bahwa ketika kami tiba di Coupang kedua pasukan itu ada di sekitar situ. Mengenai Raja Amanoubang, kami diberitahu, bahwa ia memiliki 6.000 pejuang, sedangkan sekutu di bawah komando Tuan Residen Hazaart menghitung setidaknya 10.000 orang. Meskipun yang seorang menunggu yang lainnya, dari hari ke hari, pertempuran yang menentukan, oleh pihak-pihak yang bertikai masih saling mengintai saat menjelang keberangkatan kami (1818)[25]

Akhirnya perjuangan Louis ini memiliki kesan tersendiri dimata orang-orang Eropa. Jacques Arago yang adalah seorang seniman akhirnya menulis dalam kata puitis demikian :

“sekalipun panah musuh menutupi matahari, dia (Louis) dia tetap mempunyai peluang untuk berperang di bawah bayang-bayangnya”

Bahkan Jacques Arago menggambarkan bahwa ketika Louis menyerbu Kupang, banyak pasukan gabungan yang meninggalkan barisan setelah dilakukan pemeriksaan pertama. Nama besar Louis membuat banyak pasukan menjadi desersi[26].

Dendam sang mantan yang tak terbalaskan

 

Dengan peristiwa Waterloo yang menandai kekalahan Napoleon maka sesuai perjanjian Anglo Belanda pada 13 Agustus 1814, Inggris mengembalikan pos-pos yang dikuasai di kepulauan Nusantara ke pihak Belanda. Untuk di Timor justru peristiwa yang paling tidak biasa terjadi. Pada 7 Oktober 1816 perwira Inggris, Letnan Philipps tiba di Kupang untuk menyerahkan Kupang dari otoritas pejabat yang lama yaitu Inggris dibawah J.A Hazaart kepada pejabat Belanda yang baru yaitu J.A Hazaart juga[27].

Di akhir tulisan ini, sebenarnya sudah tidak berkaitan lagi dengan Inggris. Namun tentu pembaca akan bertanya bagaimana akhir permusuhan Hazaart dan Louis Nope?. Bagaimana nasib sang Atoni Banamas itu?. Pada tahun 1816, setelah kepergian Inggris maka Hazaart mendatangkan sekitar 600 pengungsi dari Rote dan beberapa orang Sabu untuk di tempatkan di Babau guna membendung Amanuban yang sering menyerbu dari arah ini.

            Pada tahun 1818, Hazaart menduduki kota Pelabuhan Atapupu dan akibatnya Portugis protes ke Batavia dan Hazaart di berhentikan sementara dari jabatannya. Pada tahun 1820 jabatannya dipulihkan dan sesaat setelah ia kembali menduduki tampuk pemerintahan, maka ia menyusun rencana dengan mengerahkan 11.000 pasukan untuk menyerbu Niki-Niki dan ini adalah serangan pertama Belanda ke Niki-Niki dalam sejarah Timor. Serangan ini gagal, bahkan Saba Theon, raja Bilba Rote bersama pasukannya berhasil ditawan Louis. Pada tahun 1822, Hazaart sekali lagi menyerang Niki-Niki dengan hasil yang tidak lebih baik dari yang pertama (1820) dan sejak itu tidak ada lagi agresi militer ke Amanuban hingga kejatuhan Amanuban tahun 1910 pada masa cicit Louis yang bernama Bill Nope. Pada tahun 1820, Louis berdamai dengan kaisar Sonbai dan pada tahun 1824 raja tua Louis Nope meninggal dunia dengan tenang digantikan oleh putranya Baki Nope.

 

 

ARTIKEL INI DIMUAT DI MEDIA SPEKTRUM NASIONAL JUNI 2022.



[1] Steven Farram, Jacobus Arnoldus Hazaart and the Britishinterregnum in Netherlands Timor,1812-1816, hal. 466

[2] Joko Marihandono, Nilai Strategis dan Politis Pulau Jawa dalam konstelasi Politik Global Negara-negara Eropa pada awal abad IXI, Staff pengajar di Program Study Perancis, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia – Makalah ilmiah

[3] Steven Farram, Jacobus Arnoldus Hazaart and the Britishinterregnum in Netherlands Timor,1812-1816, hal. 458

[4] Joko Marihandono, Nilai Strategis dan Politis Pulau Jawa dalam konstelasi Politik Global Negara-negara Eropa pada awal abad IXI, Staff pengajar di Program Study Perancis, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia – Makalah ilmiah

[5] Steven Farram, Jacobus Arnoldus Hazaart and the Britishinterregnum in Netherlands Timor,1812-1816, hal. 461

[6] Steven Farram, Jacobus Arnoldus Hazaart and the Britishinterregnum in Netherlands Timor,1812-1816, hal. 461-466

[7] Joko Marihandono, Nilai Strategis dan Politis Pulau Jawa dalam konstelasi Politik Global Negara-negara Eropa pada awal abad IXI, Staff pengajar di Program Study Perancis, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia – Makalah ilmiah

[8] Mungkin yang dimaksud adalah selat Sape

[9] Steven Farram, Jacobus Arnoldus Hazaart and the Britishinterregnum in Netherlands Timor,1812-1816, hal. 461-466

[10] Usi (Raja) Don Louis Nope II, Pejuang Timor yang tak terkalahkan, Airiz Publishing Slmean Jogja – Pina Ope Nope, 2021, hal. 88

[11] Don Yesriel Y. Kusa Banunaek ST., MT Arst, “Raja-raja Amanatun yang berkuasa”, Pustaka Pelajar Jogja, 2005, Hal. 25

[12] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “Amanuban” - unpublished source

[13] History of Timor, Technische Universitat Lissabon, Hal. 71

[14] Voyage tour du monde (Paris Pillet Aine : 1825) halaman 537

[15] Jacques E. Aragao, A Narrative Voyage Round The World, Perancis - 1823, halaman 64

[16] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “Amanuban” - unpublished source

[17] Gubernur di daerah-daerah Hinda Belanda disebut Resident (sesudah tahun 1800), sebelum itu jabatan ini disebut Opperhofd

[18] Jacques E. Aragao, A Narrative Voyage Round The World, Perancis - 1823, halaman 64

[19] Steven Farram, Jacobus Arnoldus Hazaart and the Britishinterregnum in Netherlands Timor,1812-1816, hal. 470 juga disebut dalam buku Dr. I Gde Parimartha, Politik dan Perdagangan di Nusa Tenggara Timur 1815-1915

[20] Prof. Hans Hagerdall, Historical Notes on Pre-Modern Timor – judul Sonba’i – Departemen Cultural Science Linneaus Universisty Vaxjo- Swedia, hal. 84 berdasarkan data ANRI Timor 29 March 1812

[21] Prof. Hans Hagerdall, Historical Notes on Pre-Modern Timor – judul Sonba’i – Departemen Cultural Science Linneaus Universisty Vaxjo- Swedia, hal. 84

[22]Steven Farram, Jacobus Arnoldus Hazaart and the Britishinterregnum in Netherlands Timor,1812-1816, hal. 471

[23]Steven Farram, Jacobus Arnoldus Hazaart and the Britishinterregnum in Netherlands Timor,1812-1816, hal. 470

[24] Prof. Hans Hagerdall, Historical Notes on Pre-Modern Timor – judul Sonba’i – Departemen Cultural Science Linneaus Universisty Vaxjo- Swedia, hal. 85

[25] Prof. Hans Hagerdall, Historical Notes on Pre-Modern Timor – judul Sonba’i – Departemen Cultural Science Linneaus Universisty Vaxjo- Swedia, hal. 84

[26] Jacques E. Aragao, A Narrative Voyage Round The World, Perancis - 1823, halaman 64

[27]Steven Farram, Jacobus Arnoldus Hazaart and the Britishinterregnum in Netherlands Timor,1812-1816 hal.471


[1] Penulis buku “Konflik Politik di Timor tahun 1600-1800an” [2019] dan buku “Usi (Raja) Don Louis Nope II, Pejuang Timor yang tak terkahalahkan” [2021]

Komentar

  1. Yabuana Yoktan Kosat Banamtuan19 Maret 2023 pukul 23.58

    wow informasi yang sangat penting

    BalasHapus
  2. Don Lois Nope patut diangkat menjadi pahlawan, sebaiknya bp pina Nope bersurat ke presiden RI untuk proses penyebutan pahlawan karena jasa nya dalam melawan agresi Inggris dan Belanda

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH TIMOR : KISAH HILANGNYA PENGARUH MAJAPAHIT DI PULAU TIMOR

Seri Sejarah Timor : GUBERNUR PALING JENIUS DALAM SEJARAH KUPANG (Bagian I)

ANAK KANDUNG ATOIN METO' DALAM DUNIA POLITIK NASIONAL