KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ATOIN METO’ YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

 Tulisan ini telah saya presentasikan dalam kegiatan Seminar yang diselenggarakan oleh FKUB propinsi NTT di Hotel T-More Kupang pada 13-15 Agustus 2020.

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ATOIN METO’ YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

                              --- Belajar dari keindahan budaya Atoni Pah Meto’ ---




Pendahuluan

Saat ini dunia sedang dirudung oleh suatu gejolak global dari sebuah ideologi intoleran yang cukup mengancam peradaban berbagai bangsa di dunia. Beberapa tahun lalu di benua Eropa dan Australia diguncang oleh aksi-aksi terorisme oleh pendukung ideologi  ini. Bahkan di negara Timur Tengah yang homogen sekalipun seperti di Suria, Afganistan, Libya dan lain-lain porak poranda oleh perang yang berlatar belakang ideologi ini.

Semenjak berakhirnya perang dingin di tahun 1991 dengan ditandainya keruntuhan Uni Soviet, dunia menghadapi perubahan polar yang semakin berbeda dengan persaingan pasca perang dunia kedua. Namun uniknya perang ideologi pasca perang dingin berakhir, maka paham liberalisme (demokrasi) dan komunisme tidak menjadi populer lagi. Namun dewasa ini, seperti yang sekarang kita saksikan bersama bahwa politik dunia telah menghadapi fase baru yakni sebuah “benturan peradaban” demikian pendapat Samuel P. Huntington[1]. Mengenai situasi baru yang melanda politik dunia ini, maka Samuel P. Huntington merincikan bahwa semenjak Perang Dingin berakhir, maka dunia tidak lagi terbagi menjadi Dunia Pertama, Dunia Kedua dan Dunia Ketiga. Kini pembagian ini tidak relevan lagi namun pembagian justru berdasarkan budaya dan peradabannya, sebagai akibatnya, komposisi dan batas-batas peradabanpun berubah. Huntington menjabarkan bahwa “peradaban menjadi tingkat terluas dari sebuah identifikasi yang dengannya ia mendefinisikan kembali identitasnya. Perbedaan peradaban bukan hanya nyata namun juga mendasar”.

Mengenai penjabaran Peradaban, ia akhirnya memberikan pandangan bahwa Peradaban di bedakan atau juga dapat disatukan oleh unsur Sejarah, Bahasa, Kebudayaan, Adat istiadat dan tradisi dan yang paling penting dari itu semua adalah Agama[2]. Ini jelas menunjukan cara pandang yang berbeda tentang hubungan Tuhan dan manusia serta pengamalannya.

Walaupun kajian dan karya Huntington ini diliris tahun 1996 yang bagi banyak pakar menyebut esai ini sebagai ramalan tentang geopoltik dunia. Namun kini seolah ramalan Huntington mulai terlihat bahwa telah terjadi benturan antara peradaban barat yang dianggap mewakili era kebebasan dan budaya timur tengah yang semakin religius bahkan semakin mengarah ke fundamentalisme. Bahkan benturan ini turut menggoyang negara kita, setidaknya begitu nyata di belahan lain di Republik kita ini.

 

Merajut keberagaman dalam kemajemukan

Dalam beberapa tahun belakangan ini, bahkan mungkin hingga hari ini, negara kita juga sempat mengalami guncangan ideologis yang mengancam struktur kesatuan bangsa dan negara kita. Yang paling mengejutkan adalah ideologi ini telah menyusup hingga ke universitas-universitas sebagai institusi pendidikan yang akan mencetak generasi penerus bangsa.

Kejadian-kejadian ini merupakan sebuah akumulasi tentang kebangkitan suatu era baru pasca Reformasi dimana kebebasan berpendapat menjadi terbuka lebar. Tentu saja keterbukaan ini juga berkaitan dengan isu-isu SARA (Suku Ras Agama Antar golongan) yang berpontensi menimbulkan konflik-konflik tajam di tengah masyarakat. Konflik SARA yang paling parah pasca reformasi adalah di Maluku juga kemudian di Halmahera, Banjarmasin, Pontianak, Mataram, Bali dan masih banyak lagi. Isu-isu ini dapat mengancam keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa dan Negara kita.

Oleh karena itu, dipandang penting bagi seluruh komponen bangsa dalam usaha untuk merawat kemajemukan dari bangsa dan negara kita ini dengan berbagai cara termasuk dengan menggali kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal. Tentu tidak dapat disangkal lagi bahwa salah satu unsur yang tidak dapat dirusak oleh pemahaman radikal adalah kearifan lokal. Konflik-konflik bernuansa SARA adalah isu-isu yang paling mudah menyulut tindakan kekerasan dan bentrokan fisik. Harus diakui bahwa semua ini bermula dari perang-perang ideologi yang disebar secara masif dan sporadis. Perang-perang isu terutama isu-isu agama akan dibumbui dengan intrik-intrik politik, maka dapat membawa malapetaka bagi keamanan dan ketertiban.

Beberapa waktu lalu ketika perhelatan kampanye pemilu presiden (2018-2019), isu-isu perang ideologi turut meramaikan pemilu presiden ini. Kita tidak bisa menganggapnya sebelah mata, bahkan A.M Hendropriyono sebagai mantan kepala Badan Intelejen Nasional Indonesia meluncurkan sebuah draft buku yang berjudul “Filsafat Intelejen Negara Republik Indonesia”. Dalam siaran persnya, beliau menyatakan bahwa Pemilu 2019 ini adalah pertarungan dua Ideologi yakni Ideologi Pancasila dan Ideologi Kilaffah. Namun dari waktu ke waktu kita selalu berharap-harap cemas, seperti apa dan kemana arah peradaban negara kesatuan kita ini akan berakhir dalam menghadapi persoalan ini?.

Bukan hanya Hendropriyono, namun Komarudin Hidayat[3] dalam artikelnya berjudul “Peran Sosial Agama” yang ditulisnya pada tahun 2000 juga telah meramalkanya. Ia menyinggung tentang bangkitnya sentimen keagamaan dalam bernegara. Ia menyebutkan dengan perspektif bahwa hubungan antara agama dan negara di Indonesia merupakan tema yang sulit diselesaikan dan berkepanjangan. Ia menambahkan bahwa sekalipun partai berbasis agama menguat kembali dan sentimen-sentimen agama masih kental, namun ia menyadari bahwa kenyataan negara kita adalah sebuah nation state yang dibangun atas landasan wawasan kebangsaan[4]. Sehingga ia berkesimpulan bahwa dalam konteks kehidupan bernegara didalam negara kebangsaan kita ini, tidak dapat menjatuhkan pilihan pada satu kutub yang sama-sama ekstrem: negara sekuler atau negara agama. Bahwa dalam sistem negara sekuler tidak dapat menggeser peran agama namun juga tidak bisa menempatkan peran agama diatas keberadaan negara yang berwawasan kebangsaan seperti negara kita ini.

 

Kearifan lokal, kepekaan sosial

Salah satu pandangan tentang kebangkitan Fundamentalisme juga disinggung oleh Francis Fukuyama[5] dalam karyanya berjudul “Akhir Sejarah”. Ia mengatakan bahwa kebangkitan fundamentalisme agama di tahun-tahun terakhir dalam tradisi Kristen, Yahudi dan Muslim yang bagi sebagian orang menunjukan bahwa kebangkitan kembali agama membuktikan tentang ketidakbahagiaan yang luas terhadap impersonalitas dan kekosongan spritualitas dari masyarakat konsumerisme liberal[6]. Nampaknya konsumerisme liberal dengan kemampuan membangun negara-negara menjadi kaya tidak dapat menutupi kebutuhan akan kekosongan spritualitas dari masing-masing personalitas. Sehingga dalam pencarian ini, masing-masing berusaha memperdalam apa yang mereka yakini dalam agama dan tradisi mereka.

Pada tataran ini, akhirnya kita menyadari bahwa ada suatu tubrukan pemikiran yang datang dari dunia peradaban Islam yang tentu saja tidak dapat di paralelkan dengan pemikiran peradaban non Islam ataupun agama lainnya. Usaha untuk menyatukan banyak dasar agama ini menjadi homogen adalah mustahil bahkan oleh pemikir-pemikir dunia sekelas Samuel Huntington, Anthony Giddens atau Francis Fukuyama-pun menemui jalan buntu. Itulah sebabnya kemudian para founding father kita merumuskan nilai-nilai Pancasila. Namun tidak dapat disangkal bahwa sesungguhnya Kearifan Lokal di Timor dapat saja menjadi salah satu bagian yang memperkaya falsafah Pancasila untuk menyelesaikan kebuntuan ide ini. FKUB NTT dalam tujuannya tentu mencoba untuk menggali nilai-nilai dalam tradisi dan budaya kita yang disebut dengan kearifan lokal yang mungkin bisa menjadi jalan ketiga atau solusi (solution way) atas kebuntuan ini.

Harus diakui bahwa kemajemukan adalah kunci keindahan bangsa dan negara kita. Namun pada suatu titik, kemajemukan ini merupakan suatu konsep yang rumit. Kemajemukan adalah keadaan dimana terjadi penggabungan kelompok-kelompok yang tadinya berbeda menjadi satu kesatuan yang plural. Hal ini merefleksikan suatu kerumitan tersendiri. Pada dasarnya, gesekan-gesekan yang bernuansa SARA adalah datang dari suatu pemahaman yang sempit dan kehilangan instik komunitas. Demikian Irwan Abdullah dalam artikelnya berjudul “Kondisi Sosial yang dibanyangi Disintegrasi Tanpa Ujung”[7]. Ia menjelaskan bahwa ini adalah bentuk suatu kenyataan tentang hilangnya rasa memiliki oleh sekelompok orang terhadap sebuah negara-bangsa (nation state). Ini menjadi jelas kemudian dimana menunjukan bahwa terjadi hilangnya ketaatan kepada sistem, (kepekaan) sosial dan norma-norma yang berlaku.

Merajut kearifan lokal

Bila menilik pada runutan sejarah penyebaran agama di kepulauan Nusa Tenggara Timur, dimana agama sebagai salah satu bagian dari peradaban yang turut memberi sumbangsih dan memperkaya keberagaman identitas kita, maka telah nampak bagi kita bahwa hal ini memiliki keunikan seperti yang telah kita baca dalam artikel saya yang lain berjudul “Sekilas Tentang Penyebaran Agama Di  Solor, Flores, Rote Dan Timor - Pasang surut hubungan antara agama dan hubungan Sosial”. Ternyata benturan peradaban di daerah kita telah berlangsung ratusan tahun lalu walaupun itu dibumbui oleh faktor perdagangan dan berakhir pada kolonialisme Belanda. Namun dewasa ini pemahaman warga NTT lebih maju dengan mengarahkan pikirannya kepada pengkristalan pemahaman serta kesadaran kesatuan bangsa sebagai sebuah Nation State atau negara kebangsaan. Dengan memperkuat identitasnya melalui penggalian akan warisan-warisan budaya sebagai kearifan lokal yang tentu saja berkontribusi kepada terciptanya kerukunan umat beragama.

Kearifan Lokal sendiri memiliki falsafah yang mengandung makna-makna terdalam. Falsafah ataupun filosofi-filosofi yang terkandung dalam kearifan lokal telah tertanam dalam kehidupan masyarakat NTT yang multi budaya. Tentu saja kebudayaan, tradisi, bahasa dan adat istiadat merupakan bagian peradaban yang walaupun kini mungkin dianggap oleh sebagian orang tidak begitu penting lagi, namun tidak dapat disangkal bahwa keharmonisan dan toleransi yang dicapai oleh masyarakat NTT adalah karena penerapan warisan budaya yang kaya, akan falsafah hormat menghormati perbedaan yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.

Hari ini kita mulai menyaksikan perubahan-perubahan yang berarti ketika masyarakat dan terutama negara semakin berusaha untuk menggali kembali bagian-bagian dirinya yang terpendam termasuk dalam kerangka kebudayaan dan tradisi sebagai Kearifan Lokal. Kearifan Lokal orang Atoni ini adalah kekayaan warisan budaya di Timor yang memiliki nilai-nilai falsafah yang tersembunyi dan menanti untuk digali dan dihayati sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara. Kearifan lokal dari Timor diharapkan dapat memberi sumbangsih dalam upaya pemerintah dan negara mengupayakan keharmonisan dan toleransi dalam kerukunan agama di Indonesia secara umum dan di Nusa Tenggara Timur secara khususnya.

Penggalian dan pengembangan nilai-nilai Kearifan Lokal seperti yang sekarang kita upayakan melalui wadah FKUB sangat penting terutama agar nilai-nilai ini dapat diteruskan kepada generasi-generasi yang akan datang. Tantangan berbangsa dan bernegara dimana menghadapi Fundamentalisme dan pengristalan identitas benar-benar dipertaruhkan pada masa kini dan akan datang. Kita semua memiliki harapan yang indah agar keberlangsungan negara kebangsaan kita ini dapat terawat dalam kesatuan dan persatuan bersama. Ternyata banyak penelitian tentang anti fundamentalisme, ditemukan fakta bahwa Kearifan Lokal, tradisi dan budaya adalah bagian yang sulit dipengaruhi oleh fundamentalisme agama.

Kearifan Lokal – karakteristik bangsa

            Kehidupan bermasyarakat dan kehidupan sosial masyarakat kabupaten Timor Tengah Selatan hingga hari ini masih terpelihara walaupun tidak dapat disangkal bahwa telah mengalami degradasi secara perlahan. Suku di TTS mayoritas adalah suku Atoni yang berasal dari kata Atoni Pah Meto’ (orang-orang tanah gersang/ kering). Bagian dari warisan budaya sendiri adalah bahasa daerah atau Uab Meto’ masih terpelihara, pakaian adat dan tradisi-tradisi lainnya. Namun sesungguhnya inti dari budaya-budaya ini juga mengandung nilai-nilai luhur didalamnya yang turut membantu membentuk kehidupan bermasyarakat di kalangan masyarakat Timor. Filosofi yang terkandung didalamnya mungkin dapat menjadi kajian mendalam bagi pengembangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

            Sesungguhnya, proses berbangsa dan bernegara dengan sebuah pembangunan sistem yang sehat dan bermartabat, maka kemajuan haruslah dibangun dengan bergandengan tangan dengan tata tertib sosial kemasyarakatan yang berdasar pada warisan-warisan budaya sebagai sumber identitas. Warisan-warisan budaya ini sebagai kearifan lokal bukan hanya sebagai warisan yang bersifat pasif namun juga haruslah diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara aktif.

Dalam sambutan pada buku “Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI” oleh Drs. H. Ahmad Basarah menyebutkan demikian, “dalam proses mengisi kemerdekaan, bangsa Indonesia memiliki kosepsi bersama menyangkut hal-hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa. Dalam pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 30 September 1960, presiden pertama Republik Indonesia Soekarno memperkenalkan Pancasila kepada dunia sebagai konsepsi dan cita-cita bangsa Indonesia. Pancasila mengandung nilai-nilai yang mencerminkan karakteristik bangsa”[8]. Hal menjadi jelas bagi kita bahwa keberlangsungan dan kelestarian negara kita mendasarkan kepada nilai-nilai Pancasila yang memberikan perlindungan dan juga merupakan bagian dari peradaban serta kebudayaan bangsa bagi kemajemukan di tengah-tengah bangsa yang adil dan beradab.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan inti dari nilai-nilai kearifan lokal yang diharapkan dapat memberikan pemahaman-pemahaman yang luas dan penuh makna. Salah satu kearifan lokal dari budaya Atoni Pah Meto’ adalah kearifan yang dapat memperkaya serta memberi arti penting bagi keberlangsungan hidup bangsa dan negara kita. Perlu bagi komponen-komponen bangsa untuk menggali dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban bangsa sendiri. Berikut ini ulasan-ulasan tentang kearifan lokal yang dapat kita pelajari bersama mungkin dapat merajut kebersamaan dan kemajemukan.

Agama dalam kerangka Atoin Meto’

            Dalam bahasa Atoni atau Uab Meto’, agama tidak memiliki padanan kata dalam Uab Meto selain dari kata “Palsait” yang artinya “kepercayaan/ keyakinan”. Inipun digunakan untuk menamai perbedaan Agama di masa kini. Palsait bersumber pada satu pemahaman bahwa seluruh aspek keagamaan adalah datang dari rasa percaya atau meyakini. Mempercayai adanya suatu kekuatan suprantural diluar diri manusia itu sendiri dan Atoni mempercayai bahwa seluruh alam semesta adalah ciptaan Yang Maha Kuasa yaitu Raja yang bersemayam di langit atau Uis Neno. Kata Usi/ Uis berarti Raja dan Neno berarti langit. Uis Neno dalam kemahakuasaanNya menciptakan manusia dengan beragam perbedaan, dengan suku-suku yang berbeda dan dengan keadaan yang berbeda-beda pula termasuk kepercayaan.

            Namun akan datang satu pertanyaan bahwa bila sebelum datang agama-agama (wahyu_?[9]), maka apa perbedaan kepercayaan dalam komunitas orang-orang Atoni?. Pada bagian ini baru kita dapat memahami konsep kehidupan spritual orang-orang Atoni yang sebenarnya unik dan berbeda. Dalam komunitas masyarakat Atoni di masa lampau dikenal kata “Kae ma Nono”. Kae artinya pantangan atau larangan yang berhubungan dengan Nono. Nono inilah sebenarnya dalam bahasa Atoni atau Uab Meto’ yang sebenarnyalah memiliki sinonim dengan kata Agama. Namun kini kata Nono sangat jarang digunakan dan lebih menggunakan pada kata Palsait.

            Kae berasal dari kata kaiha’ yang berarti terlarang/ dilarang/ dipantang. Kae ini berhubungan sangat erat dengan keberlangsungan Nono. Sedangkan Nono sendiri walaupun dihubungkan dengan kata keramat namun memiliki 2 akar kata :

1.      Nonot        : sahabat atau teman. Ini memiliki arti bahwa seseorang yang memiliki Nono, maka ia memiliki sahabat yang mewakili salah satu ciptaan Uis Neno yang di tempatkan oleh Uis Neno untuk menjaga dan menjadi pelindung. Nono ini berbeda-beda untuk setiap keluarga orang Atoni. Pada masa kepercayaan Aninisme, kepemilikan Nono bisa berupa Ular misalnya dan keluarga lainnya bisa berupa Naga, Buaya, Tokek, Biawak bahkan Burung. Nonot mereka merupakan sahabat, suatu kumpulan persamaan yang akan berhubungan dengan Kae (pantangan) yang akan mempengaruhi kehidupan keseharian suatu keluarga. Pantangan ini bisa berupa makanan, tindakan atau bahkan kebiasaan. Bagian ini telah ditinggalkan karena dianggap sebagai budaya pagan.

2.      Nanono     : yang memiliki arti “mengatur dalam keselarasan untuk kehidupan”. Makna harafiah Nono adalah sama seperti seorang penenun selimut. Ia menyelaraskan atau dalam bahasa Atoni disebut nanono – yaitu mengatur dan menyelaraskan benang-benang. Kata ini juga dipakai contohnya untuk proses menenun kain. Benang-benang kusut dari berbagai-bagai warna diatur sedemikian rupa sehingga rapih dan tersusun yang disebut non abas[10]. Benang-benang ini kemudian ditenun menjadi selembar kain selimut yang indah berwarna warni dan dengan motif yang menyatu. Itulah proses menenun selembar kain yang indah.

Pada masa kini kata Nanono masih digunakan untuk upacara atau kegiatan yang sangat lekat dengan kepercayaan orang Atoni. Kegiatan itu memeliki dampak yang dalam bagi seorang Atoni yang disebut Nanon keti’. Nanon keti’ adalah suatu tradisi yang bertujuan untuk memeriksa kehidupan pribadi atau keluarga terkait dengan kesalahan-kesalahan/ dosa-dosa masa lalu dari diri sendiri yang menjadi hambatan dalam kehidupan hari ini. Bisa juga merupakan kesalahan orang tua atau kakek dan nenek. Nanon keti’ ini bertujuan agar seorang Atoni tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Sebagai wadah sakral untuk berintrospeksi serta memperbaiki tingkah laku. Ternyata Nanon Keti’ selaras dengan ajaran Kristen dan masih di lakukan hingga hari ini.

Ada beberapa pengalaman yang pernah dan sering terjadi, kami amati dan kami cermati bahwa Nanon Keti’ benar-benar berpengaruh dalam kehidupan orang Atoni hingga hari ini. Ijinkan kami menyampaikan suatu kisah nyata, suatu pengalaman yang akan memberi gambaran jelas dan nyata bagaimana Nanon Keti dapat memperbaiki hubungan sosial masyarakat.

Sekitar tahun 2001, di Desa Neke, Kecamatan Oenino - Amanuban diadakan acara pesta pernikahan oleh keluarga sepasang pemuda-pemudi yang datang dari dua klan keluarga yang berbeda. Keluarga calon mempelai laki-laki bermarga “S” dan yang perempuan bermarga “T”. Dalam acara pesta pernikahan itu kami juga turut diundang. Di malam pesta peminangan, ternyata ibu kandung dari calon mempelai wanita ini meninggal dunia secara tiba-tiba. Pesta pernikahan dibatalkan dan rencananya akan dilangsungkan satu tahun berikutnya. Setahun kemudian, saat acara pernikahan akan dilangsungkan, ternyata adik dari ayah (paman) calon mempelai pria meninggal dunia secara tiba-tiba.

Kedua keluarga sepakat untuk mengadakan pertemuan keluarga untuk melakukan nanon keti’. Setelah melalui serangkaian tanya jawab oleh para tetua adat dan kampung, akhirnya diketahui bahwa dahulu entah berapa generasi sebelumnya, kakek buyut kedua calon mempelai ini yang sebenarnya masih cukup dekat, mereka berseteru dalam sebuah perkara tanah. Dalam perseteruan ini, mereka saling bersumpah dan mengutuk untuk tidak saling mengenal kedua keluarga hingga anak cucu mereka sendiri.

Namun seiring berjalannya waktu, ternyata keturunan mereka bertemu dan saling jatuh cinta dan kini akan menikah. Yang tidak kedua keluarga ketahui bahwa kutuk atau keti’ ini telah menjadi penghalang keturunan mereka bisa bersatu dalam institusi pernikahan ini. Kutuk ini mengakibatkan anggota keluarga kedua belah pihak ini meninggal dunia. Akhirnya pada hari itu juga dibuatlah acara untuk perdamaian antara kedua keluarga ini. Acara ini disebut Nafin Keti’ (melewatkan musibah atau kutuk) dan mereka berdamai atau disebut Nek mese[11].

Akhir dari semua ini adalah kedua calon mempelai ini dapat melangsungkan pernikahan dalam sebuah acara pesta yang sederhana tanpa ada berita kematian lagi. Sejak itu mereka hidup bahagia sebagai suami istri yang saling mencintai. Hal ini merupakan contoh kasus bahwa nanon keti’ dapat mempersatukan dua keluarga yang bermusuhan, menghindari musibah dan hidup dalam keharmonisan serta keselarasan.

Pada kisah lainnya adalah kisah tentang teman dekat saya, seorang dari suku Atoni yang dulunya sudah 3 tahun menikah dengan teman kantornya seorang wanita dari suku Rote, namun mereka belum dikaruniai seorang anak. Pada suatu kesempatan ketika saya bertemu dengannya, dalam suatu basa-basi kami berdiskusi bahwa mereka mungkin seharusnya na’ keti (akronim dari nanon keti”) untuk diketahui apa penyebab mereka belum dikaruniai anak. Saya mengingatkan dia bahwa mungkin dia pernah berkata untuk tidak menikahi wanita dari suku istrinya yang sekarang. Dia mengiyakan bahwa bukan hanya dia namun ayahnya dahulu semasa ia masih kuliah pernah dinasehati oleh ayahnya agar jangan menikahi wanita dari suku istrinya yang sekarang. Namun ia menambahkan bahwa seminggu sebelum kami berdiskusi ini, mereka sudah membuat doa (onen) nafin keti’ sehingga mereka sudah mendoakan hal ini. Kini mereka hidup bahagia dengan dikaruniai 3 (tiga) orang anak. Itulah sebabnya tradisi Nanon Keti’ ini masih hidup dan sangat berpengaruh dalam kehidupan orang Atoni pah meto’.

 Nanon Uab, pola hidup orang Atoni

Pada tataran berbeda, kata Nanono juga dapat diimplikasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan lainnya. Contohnya musyawarah yang diambil dan perlu dilakukan ditengah-tengah masyarakat guna merajut perbedaan pendapat ini disebut sebagai Nanon Uab. Kata nanon uab ini artinya menyelaraskan pemikiran dan konsep. Perbedaan pemikiran dapat di selaraskan menjadi satu pemikiran yang paralel sama seperti kain tenunan Timor yang indah dan warna-warni diselaraskan atau non abas dari berbagai macam benang warna-warni yang kusut. Kesepakatan adalah penggabungan beberapa pendapat menjadi satu pendapat atau dapat dikatakan hasil yang disepakati adalah sebuah permusyawaratan dan permufakatan yang adil.

Begitu juga dengan kehidupan masyarakat Atoni sebagai sebuah komunitas dan peradabannya penuh dengan dinamika dan konsepsi-konsepsi yang logis dan bersahaja. Kata Nono juga berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat ketika mereka bersepakat untuk melakukan kerja gotong royong. Pada bagian ini kita akan mengenal kata “Meup Nono”. Kata Meup berasal dari kata Mepu yang artinya kerja sedangkan Nono adalah selaras, bersama, bergotong royong bila dipadankan dengan kata kerja Mepu. Akhirnya meup nono ádalah bentuk implementasi dari keselarasan kehidupan sosial masyarakat yang masih hidup dalam masyarakat orang Atoni.

Menjadi jelas bagi kita bahwa Nanono atau Nono memiliki makna filosofis yang mendalam yaitu merajut perbedaan untuk mencapai tujuan yang selaras demi tujuan yang indah, bersatu dan harmonis. Bagian ini memiliki implikasi yang bersifat pribadi ataupun hingga yang lebih luas yaitu komunitas masyarakat Atoni. Secara keseluruhan, hampir setiap sisi kehidupan orang Atoni masih kental nilai-nilai adat dan budayanya yang istilah kerennya disebut kearifan lokal.

Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal budaya Atoni Pah Meto’ sangat indah dan selaras bagi kelestarian, kesatuan dan kejayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu sudah sepatutnya kearifan lokal ini dikembangkan dan dilestarikan bahkan dipromosikan atau ditularkan kepada generasi-generasi penerus bangsa.

Pengobatan dalam tradisi Atoni

            Nono bukan saja berhubungan dengan suatu peristiwa yang berpengaruh terhadap mati hidupnya orang Atoni, namun juga berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup orang Atoni terutama ketika seseorang Atoni ditimpa sakit penyakit. Pengobatan dalam Nono orang Atoni sangat berbeda dengan pengobatan modern seperti yang sekarang ini.

Orang Atoni menyebut dukun atau tabib dengan sebutan Mnane. Ketika seorang mnane diminta untuk mengobati seorang pasien, maka ia akan melakukan beberapa hal yaitu pertama-tama adalah ia akan memeriksa (ote naus[12]) apakah penyakit ini karena keti’ atau bukan. Suatu penyakit dalam kepercayaan orang Atoni adalah bisa karena memang sakit, bisa juga dikarenakan keti’ (musibah akibat kesalahan yang dilakukan oleh si-pasien sehingga ia perlu melakukan nanon keti’ baik dari diri sendiri atau dari leluhurnya). Bisa juga bisa timbul karena guna-guna atau levi’ yang mungkin disengaja atau tidak disengaja atau karena melanggar pantangan (kae) sehingga ia tertimpa sakit penyakit. Atau memang menderita sakit secara wajar.

Apabila karena keti’, maka tabib atau mnane mengharuskan pasien itu untuk na’keti (mengingat kembali perbuatannya serta mengakuinya) yang mungkin mengakibatkan timbulnya penyakit ini. Apabila dia melakukan nanon’ keti’ dan si-pasien teringat akan kesalahannya, misalnya belum lama menjelang sakit ia pernah marah, membenci dan mengatai-ngatai orang tuanya atau saudaranya atau tetangganya atau temannya atau sesamanya, maka dia diharuskan mengaku kepada pihak tersebut untuk mendapat maaf atau ampunan. Atau mencuri barang orang lain, maka ia harus mengembalikan, atau melukai binatang orang lain dan seterusnya. Bisa juga karena ia telah berjanji untuk melakukan sesuatu dan tidak ditepatinya atau mengabaikan norma-norma keluarga (kae) maka ia patut mengakuinya.

Na’ keti’ ini setelah diketahui bahwa timbulnya sakit misalnya salah satunya karena ia telah ingkar janji untuk melakukan suatu perbuatan baik atau bermanfaat bagi keluarga atau komunitas, atau ia berjanji untuk membangun sesuatu, membuat sebuah upacara dan sebagainya namun ia telah mengingkari janjinya, maka dia diharuskan untuk menunaikan janjinya itu.

Setelah na’ keti’ ini dilakukan, maka si pasien diobati oleh mnane dan setelah sembuh dia wajib melakukan janjinya. Bagian ini masih dipraktekan oleh mayoritas orang Atoni atau orang Timor di Amanuban hingga sekarang. Hal ini merupakan sebuah cerminan untuk mengingatkan, agar tidak berbohong kepada publik atau kepada diri sendiri dan kelompoknya serta mengangkat harkat dan martabat keluarga di tengah-tengah komunitas.

            Namun bila karena keti’ ini dari kesalahan almarhum kakeknya atau neneknya, maka ia harus berdoa kepada Uis Neno untuk melewatkan (atau dalam bahasa Atoni disebut Nafinib) kutuk/ keti’ dari kakek atau neneknya itu. Apabila sakitnya ini timbul karena ia melanggar pantangan (Kae) maka ia harus mengakuinya di depan keluarga. Bagi sebagian keluarga hingga hari ini tradisi nafin keti’ juga diikuti dengan berziarah ke makam kakek atau nenek serta membakar lilin di pusara kakek dan neneknya. Namun budaya terakhir ini sudah jarang dilakukan seiring dengan kepercayaan kristen yang melarang praktek-praktek seperti ini. Setelah serangkaian keti’ ini dilakukan, barulah proses pengobatan dengan diberi obat luar atau obat minum dilakukan karena tanpa nanon keti’ maka segala jenis upaya pengobatan akan sia-sia.

            Apabila sakit ini timbul karena memang terkena guna-guna (levi’) baik sengaja atau tidak disengaja sehingga dia sakit, maka ia akan diberi obat sesuai dengan jenis sakitnya dengan cara melepas levi’. Begitu juga dengan sakit yang wajar, maka ia diobati secara wajar.

            Namun kadang kala pengobatan tradisional justru membawa permasalahan tersendiri terutama di tengah kemajuan ilmu kedokteran. Salah satu penginjil yang pernah bertugas di Kapan pada tahun 1916-1922 bernama D.S Krayer van Aalst mencatatkan dalam laporannya. Pada tahun 1920-1922 ketika terjadi wabah Flu Spanyol di seluruh dunia seperti Corona sekarang ini, maka di Timor banyak jatuh korban. Namun ketika itu, pemerintah Belanda menyediakan dana sebesar 10.000 florin per tahun dengan membangun pusat kesehatan di Nulle – di Amanuban dan mendistribusikan obat-obatan guna menanggulangi wabah ini. Namun van Aalst menyayangkan bahwa ternyata penduduk lebih percaya kepada mnane dibanding dengan dokter dari pemerintah Belanda. Mereka membeli obat-obatan dari mnane  walaupun dengan harga mahal sehingga sering ditukar dengan kalung atau gelang mereka.

            Van Aalst mengeluhkan demikian “seorang dokter tidak dapat menolong mereka. Pegawai pemerintah di bidang kesehatanpun tidak akan berdaya selama mereka tidak ingin ditolong karena mereka terbelenggu kuat oleh kebodohan dan ketidak percayaan kepada hal-hal baik dari luar budaya mereka[13]”. Akhirnya banyak yang meninggal dunia karena mereka lebih memilih pengobatan mnane dari pada seorang dokter yang terlatih. Van Aalst sangat menyesalkan kejadian ini sebab tahun 1920-1922 itu adalah wabah dunia dan ia menganggap bahwa kebanyakan mnane dan masyarakat yang mempercayai mnane yang adalah para pemabuk dan pembohong sehingga tidak mampu mengerti secara nalar bagaimana nyawa mereka dipertaruhkan karena kebodohan mereka.

 Agama adalah urusan pribadi

Penting disini bagi kita untuk memahami kerangka berpikir dari masyarakat Atoin Meto’. Mereka percaya bahwa Nono setiap orang adalah telah ditentukan oleh Uis Neno sejak mereka lahir. Itu adalah urusan pribadi masing-masing dan tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Pada kenyataannya Kae ma Nono baik dalam arti pertama atau kedua merupakan urusan pribadi masing-masing orang atau kelompok keluarga. Satu keluarga tidak bisa dengan mudah memindahkan kepercayaannya atau Nono-nya kepada orang lain dengan mudah.

Nono masing-masing orang dihormati dalam budaya orang Atoni dan saling menjaga. Ini juga kemudian berkaitan dengan penghormatan kepada orang lain berkaitan dengan Kae atau pantangan. Misalnya, ketika diadakan suatu acara pesta atau kenduri dimana hadir dari kelompok keluarga lain yang memiliki pantangan contoh tidak memakan daging kambing atau daging babi, maka tuan rumah wajib menggantinya dengan lauk lainnya seperti daging sapi atau ayam. Hal ini akhirnya masih terbawa hingga sekarang dimana dalam pesta-pesta atau resepsi-resepsi, maka disediakan satu meja hidangan untuk tamu yang memiliki perbedaan keyakinan yang kemudian bermuara pada hal pantangan (kae) untuk makan makanan tertentu.

Begitu pentingnya penghormatan kepada keluarga lain yang memiliki Nono yang berbeda sehingga tidak mudah secara sembarangan seseorang bisa memasuki rumah (Lopo) seseorang atau suatu keluarga bila tidak diijinkan oleh pemilik rumah karena Kae yang saling bertentangan. Hal ini juga berkaitan dengan berkat dari masing-masing keluarga yang berbeda Nono-nya, agar pengaruh buruk dari satu Kae ma Nono tidak mempengaruhi nono dari keluarga lainnya. Namun perbedaan Kae ini bukan menjadi alasan untuk berperang tetapi sebagai pemahaman untuk saling menghargai.

Begitu pula Nono seseorang tidak bisa dengan mudah dipindah atau dimiliki oleh orang lain dari klan atau keluarga yang berbeda. Hal ini menunjukan bahwa orang Atoni tidak memiliki pemikiran untuk memaksa orang lain percaya kepada Nono-nya atau agamanya. Perpindahan atau pergantian Nono hanya terjadi dalam institusi perkawinan. Dalam tradisi orang Atoni pada umumnya, menganut sistem patriallinear yaitu menganut garis laki-laki sehingga apabila seorang lelaki menikahi seorang perempuan dari keluarga yang berbeda Nono, maka pada puncak ritual pernikahan diadakan upacara “Kaus Nono” atau dibuat dalam syair “kae nuni nono heu” yang artinya “melepaskan Nono lama dan menerima Nono yang baru”. Seorang wanita harus melepas Nono dari ayahnya dan menerima Nono dari suaminya dan hal ini mau tidak mau pihak orang tua wanita harus menyetujuinya sebab telah menjadi adat kebiasaan orang Atoni pada umumnya. Di masa kini tradisi Kaus Nono masih dijalankan terutama bagi pernikahan beda agama. Seorang wanita yang sudah menikah dengan suaminya namun belum diadakan upacara kaus nono, maka si-istri tidak diperbolehkan mengambil makanan di lumbung rumah mereka baik itu di Lopo[14] atau di Ume Kbubu[15].

Kaus Nono juga memiliki makna filosofi yang mendalam tentang bersatunya dua keluarga yang mungkin benar-benar berbeda dalam status sosial atau dari Nono yang berbeda. Itulah sebabnya bagi wanita yang sudah menikah, nama marga suaminya ditaruh di depan marganya sendiri sebagai pengingat anak cucunya bahwa telah terjadi unifikasi atau perpaduan dari klan ibu dan bapa. Klan ibu walaupun dari kae ma nono yang berbeda akan dikenang sebagai am uf atau disebut juga peut uf ma bon uf  (arti tekstualnya : umbi dari bambu yang menjadi banyak) atau laku basfam oe mata’ (yang artinya umbi-umbian dan atau sumber mata air). Arti secara harfiah yaitu sumber keturunan yang menurunkan banyak keturunan. Sedangkan klan ayah sebagai alikip ma apeeb, ataos ma amahanit[16] atau (arti tekstualnya : yaitu yang mengerami dan menetaskan serta yang melahirkan) arti harfiahnya yaitu sebagai sumber silsilah.

Disini kita dapat belajar bahwa tradisi menghormati agama dan percayaan orang lain telah tertanam dibawah alam bawah sadar para leluhur kita. Dengan menghormati dan menghargai Nono orang lain, maka disana ada keselarasan, kebersamaan dan menyatukan perbedaan-perbedaan yang mendasar. Juga sebagai tali pemersatu antara keluarga-keluarga di Timor.

Memahami pengertian diatas, maka kita memiliki keselarasan kearifan lokal dengan konsep-konsep modern tentang toleransi. Kehilangan kepekaan dan rasa saling menghargai membuat kita selalu hidup dalam pertentangan sebagaimana yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid dalam artikelnya berjudul “Tuntutan Pengembangan Masyarakat Madani”[17]. Disana ia mengatakan “masyarakat akan selamanya dirudung oleh pertentangan, kecuali jika ada hubungan saling menghargai dan saling percaya antara sesama anggotanya. Karena itu, masyarakat madani tidak mungkin tanpa sikap saling menghormati dan mempercayai. Inilah yang dimaksud dengan ide toleransi dalam pengertiannya yang lebih positif yaitu : pengertian toleransi tidak semata-mata pada sikap membiarkan tetapi juga berkembang pada sikap kesediaan memandang orang itu sebagai pribadi yang punya potensi kebaikan”.

Budaya Tonis

        Setahun yang lalu, negara kita digegerkan oleh ucapan salah satu penceramah yang menyinggung umat yang lainnya. Bukan hanya sampai situ, bahkan penceramah lainnya justru mendukungnya dan berorasi dengan kata-kata yang lebih pedas dan menggigit sehingga lebih menyakiti dari yang pertama. Bahkan beberapa tahun sebelumnya lagi, seorang penceramah yang sekarang ini melarikan diri ke Arab justru mengkritik pemerintah dengan kata-kata yang diluar batas etika. Namun nampaknya mereka harus belajar dari tradisi orang Timor, sebab orang Atoni dalam menyampaikan suatu pendapat yang walaupun mungkin berbeda tujuan ataupun maksud namun akan mencapai tujuan yang sama dengan cara uab tonis (berbicara dalam kata majas sinonim mejemuk).

Uab Tonis adalah budaya berbicara, berorasi dan menyampaikan pendapat dalam berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang sopan santun dan berbahasa tinggi dengan unsur-unsur puisi majas hiperbola ataupun sinonim majemuk. Tonis ini biasanya merupakan satu kebiasaan bertutur kata yang menghormati pihak lain dengan menggunakan metafora-metafora yang sopan dan bermartabat. Kadang kala penggunaan kata-kata ini cukup rumit namun penuh makna dan adat kesopanan sehingga sulit di pahami secara lateral. Karena kesopanan dan mertabat yang terkandung dalam kata-kata Uab Tonis ini, maka hanya pada acara-acara resmi saja, dimana saat ini Uab Tonis ini di lakukan seperti pesta pernikahan, kedukaan, acara adat dan acara-acara resmi lainnya.

Uab Tonis sebenarnya suatu sarana berkomunikasi yang digunakan untuk meyakinkan lawan bicara atau pendengar sekaligus mempengaruhinya sedemikian rupa dengan menggunakan kata-kata yang indah dan bermartabat. Misalnya dalam bahasa Timor atau Uab Meto’, ketika kita mempersilahkan seorang tamu untuk duduk kita akan berkata “silahkan kamu duduk di situ” dalam bahasa Uab Meto’ sehari-hari disebut “au auba kit het tok”. Namun ketika mengungkapkan dengan cara Uab Tonis maka kata ini menjadi “maut ha au aubakit lek-leok ma utaib kit lek-leok, het ta’ tu’nok lek-leok ma tane’ok lek-leok neu tok noni intunan ma bauk noni intunan ” yang artinya “biar saya mempersilahkan dan mendaulat tuan dengan sebaik-baiknya dan semanis-manisnya guna duduk  di kursi emas dan bangku emas itu”.

Uab Tonis juga menempatkan diri kita sebagai pembicara dengan tidak menonjolkan diri namun dengan kerendahan hati. Misalnya dalam dalam bahasa Timor atau Uab Meto’ sehari-hari, ketika kita berkata “biarkan saya berbicara” dikatakan “maut he au u molok”. Namun ketika mengungkapkan dengan Uab Tonis maka kata ini menjadi “auk on he’ nau puat” yang artinya “mohon saya berbicara dan bersuara seperti orang yang memungut rumput-rumputan” atau “auk on he’ pisu’ polaif” yang artinya “mohon saya berbicara dan bersuara seperti orang yang merobek-robek kulit jagung”. Ini adalah kata-kata Uab Tonis sebagai suatu metafora tentang kerendahan hati sang komunikator dengan menempatkan lawan bicara pada posisi yang terhormat.

Orang Atoni Pah Meto atau orang Timor selalu menerima keterbukaan dan kebebasan berbicara dalam menyampaikan pendapat. Menyampaikan pendapat yang berbeda bukan suatu kekeliruan. Namun jelas, bahwa penyampaian pendapat harus dengan kata-kata yang sopan dan menunjukan keluhuran budi pekerti. Ketika seseorang berbeda pendapat dalam berkomunikasi kita, maka tidak sopan apabila menggunakan kata “pendapatmu itu salah, itu keliru dan sesat” namun menggunakan kata-kata “Au’ utnin ninat ma lin linot mes onle’ ha ka onef, es ha’ utiaba kit au’ yang artinya “saya merasa-rasa dan mempertimbangkannya, nampaknya tidak seperti itu, bolehkah saya menyampaikan pertimbangan saya?”. Ini bukan sebuah bantahan langsung tetapi merupakan suatu ajakan untuk berdiskusi dan mengkritisi dengan kepala dingin.

Lawan bicara biasanya akan menjawab seperti ini : “neu aiti mukua a’ma’ het he tatnin fe’, kalu lekot tat maka’ tui’, hat tahakeb uab neuna’” yang artinya : “silahkan anda menuturkan suara indahmu supaya kita sama-sama mempertimbangkannya, kalau kita sepakat maka kita berdiri di satu sisi dan maksud yang sama”. Ini merupakan suatu keindahan komunikasi yang memiliki nilai keluhuran budi pekerti.

Uab Tonis ini juga memiliki makna yang mendalam tentang suatu peristiwa penting. Bila itu berkaitan dengan peristiwa duka yang mendalam, maka suasana duka digambarkan dalam Uab Tonis dengan kata-kata dan kalimat yang begitu dalam sehingga lawan bicara yang mendengarnya dapat tersentuh tentang segala hal pada kisah orang yang meninggal itu dan keluarganya. Uab Tonis juga dapat mempengaruhi suatu peristiwa perselisihan, dimana diungkapkan dengan kata-kata yang menunjukan kesalahan dua belah pihak tanpa membela salah satu pihak.

Uab Tonis adalah kuas dan kanvas keindahan suatu peristiwa bersejarah bila dituturkan. Uab Tonis juga merupakan ungkapan-ungkapan dan makna tersembunyi bila di kisahkan untuk merunut silsilah seseorang. Pendeknya uab tonis memiliki makna yang luas sebagai perekat yang tidak kelihatan. Walaupun dalam banyak hal disebutkan bahwa Oko Mama[18] sebagai alat perekat namun sesungguhnya Oko Mama tidak ada artinya bila tidak dibarengi dengan Uab Tonis yang indah dan bermartabat. Begitu juga sebaliknya, sebuah ungkapan uab tonis tidak dapat berarti banyak bila media oko mama’ tidak ditempatkan di depan dua pembicara.

Pelaku Uab Tonis disebut Atonis, sedangkan prosesi ketika mengucapkan Tonis ini disebut Natoin. Penggambaran dari keseluruhan peristiwa-peristiwa dengan sikap saling menghormati. Ini adalah seni dalam berkomunikasi ini dan mengandung falsafah yang mendalam terutama berkaitan dengan perbedaan-perbedaan yang tajam dan mencolok. Budaya ini tentu bila dilestarikan, di integrasikan dalam pola komunikasi bahasa Indonesia maka akan menjadi salah satu katalisator dalam kerukunan dan toleransi. Bahkan bukan hanya itu, namun bisa menjadi ciri khas kesopanan dan keluhuran bangsa kita yang dapat mendunia.

Budaya Fanu

            Pada bagian ini, budaya Uab Fanu juga memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi. Uab Fanu adalah suatu hal yang dianggap sakral dan tabu, bukan dalam hal magis dan gelap, namun sangat berpengaruh dalam kehidupan seorang Timor atau Atoni Pah Meto’. Bahkan ada semacam "Atoin Meto' ka namtausan fa sa-sa, in alah namtausan Fanu" yang artinya "orang Timor tidak takut pada apapun juga, dia hanya takut kepada Fanu". Fanu merupakan suatu peristiwa yang menempatkan keluhuran budi pekerti pada tataran “kejujuran dan kebenaran”. Ketika seseorang pergi berperang atau berburu atau mengajukan perkara atau sejenisnya, maka ia akan mengucapkan Fanu terlebih dahulu agar diberikan kemenangan oleh Tuhan Yang Maha Kuat. Namun apabila Fanu-nya salah atau keliru misalnya jusru ia berbohong, mencuri, merampok atau melakukan kesalahan lainnya, maka ia akan gagal bahkan dapat berakibat pada kematian. Itulah sebabnya bagi sebagian sejarahwan dan antropolog tentang Timor seperti Schulte Nordholt mengartikan Fanu ini sebagai "formula perang" yang menentukan kemenangan dan keberhasilan dalam perang.

            Fanu adalah batu dasar atau pijakan, sebagai suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih yang memperjanjikan sesuatu dengan menyebutkan Uis Neno (penguasa langit) dan Uis Pah (penguasa bumi) sebagai saksi. Uis Neno adalah pelindung dan pemberi panas maupun hujan, sedangkan Uis Pah adalah yang memangku di pangkuan dan membesarkan kita. Uab Fanu dibuat dalam kerangka kata-kata yang sakral dan magis yang berasaskan kejujuran, kebenaran dan ketulusan. Itulah sebabnya, seseorang yang mengucapkan Fanu harus datang dari kejujuran hatinya juga harus datang dari kebenaran tindakannya. Bagaimana fanu dapat begitu mempengaruhi hidup seseorang?. Sebab ia menganggap bahwa Fanu adalah wujud nyata yang dapat dilihat dan disaksikan atau dirasakan seorang manusia berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Kuasa atau Uis Neno ketika membela atau memperkarakan sesuatu.

Oleh karena Fanu datang dari kemurnian, kejujuran serta kebenaran, maka fanu adalah formula yang tepat untuk isu-isu pemberantasan Korupsi. Fanu tepat bagi para penegak hukum mulai dari institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebab dengan fanu setiap penegak hukum menjalankan fungsi Yudikatif dengan kejujuran dan kebenaran hati bukan karena pekerjaan semata ataupun karena suap. Begitu juga para pejabat-pejabat yang mengelola keuangan negara tidak akan berani melakukan praktik korupsi karena nyawa adalah taruhannya.

          Fanu diperkirakan dari kata dasar fanut yang artinya mencuci tangan sampai bersih. Ini memiliki artian atau perlambang bahwa perjanjian ini berasal dari hati yang bersih dan murni dengan dilandasi ketulusan untuk tetap memegang janji oleh seluruh keturunan para pihak yang menyampaikan fanu ini. Fanu dilanjutkan secara turun temurun untuk menjadi pegangan pengetahuan sehingga suatu hari ketika berperang atau berperkara dapat diperiksa apakah ia berada pada pihak pelanggar janji atau tidak.

         Orang Timor menyadari bahwa ketidak jujuran akan menyulitkan hidup seseorang. Sampai hari ini banyak orang Atoni yang masih mempercayai keampuhan fanu dalam menyelesaikan perbedaan yang tajam tentang suatu persoalan yang rumit. Salah satu ketidak jujuran di negara kita adalah bagaimana nilai-nilai sejarah kita telah dibengkokkan. Dalam banyak kurikulum pendidikan menyebutkan bahwa agama Kristen dan agama Katholik adalah agama penjajah yang disebarkan dengan slogan Gold, Glory and Gospel. Hari ini apabila anda mengetik kata ini di Google maka ini akan menjadi kata kunci dalam mendiskreditkan agama kristen sebagai produk penjajah. Tentu kita semua tahu bahwa bangsa Eropa datang dalam misi perdagangan.

        Apabila kita merunut pada sejarahnya, pada awal hadirnya Kolonialisme di Nusantara tentu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan perdagangan terutama kolonialisme ini justru dijalankan oleh perusahaan perdagangan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Perusahaan Belanda Hindia Timur). Namun bukankah keberlangsungan kehidupan suatu negara tergantung pada kemampuan berdagangnya?. Namun VOC, sebagai supir Kolonialisme di Indonesia hadir ketika alam kesadaran peradaban dan perubahan masyarakat kita masih sangat lemah.

Ketika bangsa Eropa, bangkit dari keterbelakangan mereka, menyatukan pola pikir mereka dan menyingkirkan perbedaan dan bersatu dibawah suatu sistim pemerintahan yang lebih unggul lalu melangkah masuk ke daerah-daerah Nusantara yang masih terisi oleh entitas-entitas lokal dan suku-suku yang terpecah-pecah dan saling menghancurkan. Mereka hadir sebagai entitas Politik yang teratur dan terstruktur dan sangat konkrit serta esensial dimana mereka mampu mempertahankan suatu sistem yang seimbang yang menutup kekurangan-kekurangan pada entitas-entitas lokal kita yang masih terkukung oleh ego diri sendiri dan keterbelakangan.

         Ketika berdagang itulah mereka membawa peradaban mereka salah satunya adalah agama Kristen. Bila kita mau jujur, maka kedatangan agama Hindu di Nusantara juga karena perdagangan dari orang-orang India sekitar seribu tahun lalu. Lalu kedatangan agama Islam juga akibat perdagangan dari orang-orang Arab, Persia dan Timur Tengah lainnya juga karena perdagangan. Lalu apabila dengan konskurensi yang sama mengapa hanya agama Kristen yang identik dengan Gold, Glory and Gospel?. Semoga ke depan, elemen bangsa kita ketika merumuskan suatu sejarah atau pokok-pokok pikiran, menyusun dengan kejujuran dengan Fanu dan bukan dengan pikiran sempit.

Sekarang ini banyak sekali orang-orang yang tidak jujur, bersilat lidah ketika melakukan kesalahan bahkan bila itu suatu perbuatan yang menista atau menghina kepercayaan orang lain, maka ia dengan berbagai kata dan kepandaian bersilat lidah menghindar dari tanggung jawab. Budaya Fanu dapat menjadi katalisator agar seseorang mau dan jujur mengakui kesalahannya.

 Merawat nilai-nilai kearifan lokal

            Suatu diskusi tentang agama adalah diskusi yang melelahkan dan tiada habis-habisnya. Ini tentu bersumber pada pemahaman bahwa kepercayaan pada Tuhan dalam agama-agama adalah kepercayaan di luar batas kemampuan berpikir manusia (nalar) . Karena kerumitan dan kesulitan dalam memahami kerangka ketuhanan dalam agama-agama ini, maka perbedaan-perbedaan tajam dapat terjadi yang bisa berakhir pada bentrok fisik dan konflik berkepanjangan. Hal ini merupakan ganjalan pada kerukunan umat beragama di dalam pergaulan.

         Nilai-nilai kearifan lokal dapat merajut kembali kebersamaan tanpa mempertentangkan perbedaan-perbedaan yang ada diantara masyarakat sebab nilai-nilai kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi dan budaya bukan hasil keruwetan berpikir dan bernalar tetapi bersumber kepada kearifan dan kebijaksanaan yang membawa penyatuan perbedaan secara naluri.

            Namun perlu disadari pula bahwa kehidupan bermasyarakat dan berbudaya merupakan akar kehidupan yang muncul dari jati diri sendiri sehingga tidak begitu membias kepada isu-isu sensitif yang mungkin menyinggung pada kepercayaan lapisan masyarakat yang lainnya. Pada kenyataannya justru kearifan lokal kini semakin terpinggirkan, sehingga menjadi jelas bagi kita bahwa merawat kerukunan umat beragama di Indonesia sama sulitnya dengan merawat keberadaan kaarifan lokal yang semakin terpinggirkan.

            Dalam hal merawat kerukunan antar umat beragama dengan merujuk pada fokus utama kearifan lokal justru menjadi suatu kenyataan yang benar-benar paradoksal. Di satu sisi kehidupan beragama adalah untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan dan manusia, disisi lainnya justru agama dikerdilkan karena perbedaan-perbedaan diantara agama-agama ini menjadi alasan perpecahan dan konflik.

Oleh karena itu, dalam hal budaya, agama, politik dan terutama hubungan sosial kemasyarakatan maka pendekatan itu tidak berarti harus dilihat secara terpisah-pisah namun harus dilihat secara menyeluruh. Hubungan keharmonisan antara agama, politik dan hubungan kemasyarakatan sebagai suatu ikatan yang saling berpengaruh baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

            Isu-isu yang berkaitan dengan kesetaraan gender-pun merupakan isu yang sangat penting. Harus kita akui bahwa dalam budaya-budaya Timur, penghargaan terhadap kesetaraan gender adalah sangat sedikit. Namun kita harus jujur bahwa kesetaraan gender bukan berasal dari budaya eropa tetapi justru konsep ini datang dari kesadaran intelektual serta nilai-nilai kekristenan yang menyadarkan bahwa semua manusia dilahirkan sama.

Namun kearifan lokal di Amanuban pada beberapa aspek masih memandang wanita sederajat. Penunjukan pemimpin kampung misalnya, pada masa pemerintahan raja Amanuban PaE Nope (1920-1945) ada beberapa temukung[19] (Temukung adalah jabatan setingkat kepala kampung. Kurang lebih kepada desa sekarang ini. Diatas Temukung ada jabatan Fetor dan diatas Fetor adalah raja) yang dipimpin oleh perempuan. Ini merupakan salah satu bentuk bahwa budaya di Timor tidak begitu mengabaikan peran perempuan. Tentu saja isu-isu lainnya terutama kesetaraan gender tetap harus menjadi bagian terpenting untuk menyelaraskan bagian-bagian yang masih kurang dalam kearifan lokal dan budaya ketimuran.

Namun penting disini bahwa nilai-nilai luhur kearifan lokal dapat di sebar luaskan melalui dunia pendidikan formal dan informal. Tentu kita memiliki alasan yang tepat sebab budaya merupakan jati diri kita dan juga menjadi identitas bangsa kita. Uniknya justru banyak pemerhati budaya dan perdaban Nusantara adalah orang-orang Eropa. Kita contohkan saja Van Vollenhoven seorang ahli hukum adat yang sangat terkenal beserta muridnya Mr. B. Ter Haar Bzn, Mr, H.G Baron Nahuijs van Burgst, C.F Winter, dr. D.L Mounier dan selusin sarjana lainnya.

            Begitu pula dengan pengembangan budaya Atoni Pah Meto justru oleh Pieter Middelkop, Schulte Nordholt, D.S Krayer van Aalst dan selusin penulis lainnya yang lebih dikenal. Tentu ada suatu kekhawatiran bahwa ketika modernitas dalam kalangan pribumi terutama dari kalangan Atoni yang begitu deras dan semakin meminggirkan budaya asli kita. Oleh karena itu, mencintai budaya dan kearifan lokal haruslah datang dari ketulusan hati dan bukan hanya saat dibutuhkan bagi seremoni-seremoni ataupun ketika terjadi perhelatan politik saja.

 Kearifan lokal dan globalisasi

            Semenjak dunia dilanda oleh demam internet dengan bebagai aplikasi layanannya, maka seolah dunia hanya dalam genggaman saja. Dunia menjadi begitu kecil dan deras arus budaya-budaya luar begitu terkenal. Korea Selatan tidak hanya mengimpor Hp Samsungnya tapi juga budaya K-Pop dan Gangnam Style yang sangat digandrungi anak-anak remaja di seluruh dunia. China juga tak ketinggalan dengan Xiaomi-nya sekaligus dengan mendunianya aplikasi Tik-Tok. Semua informasi dapat menyebar secara instan sehingga sudah sepatutnya diupayakan agar penyebaran informasi tentang keindahan dan kekuatan kearifan lokal kita bisa disebarkan secara masif dan efektif bisa dilakukan sebagaimana Tik-Tok dan K-Pop.

            Namun justru budaya-budaya dan kearifan lokal kita sebaliknya mengalami kematian perlahan-lahan karena ketidak mampuan kita menyeimbangkan arus informasi yang masuk dengan arus informasi yang keluar. Disamping itu pula kita tidak mampu menyebarkan dan menunjukan kepada dunia tentang keindahan budaya kearifan lokal kita. Ketidakmampuan ini bukan hanya menenggelamkan identitas kita namun juga membuat kita menjadi komunitas masyarakat kita menjadi tertutup (Closed Society) seolah-olah tidak ada informasi penting dan berharga dalam budaya kita yang patut di sebarkan ke dunia luar.

            Dalam sejarah dunia kita tahu bahwa peradaban China pada mulanya lebih maju dari peradaban barat. Beberapa abad yang lalu China lebih maju dari barat baik itu dari segi ilmu pengetahuan, kemajuan filasafat, teknologi dan peradaban lainnya. Contohnya pengecoran besi dengan menggunakan tungku tekan (blast-furnace) telah dimulai pada 200 tahun sebelum masehi. Bahkan sejarah mencatat bahwa bangsa China-lah yang pertama kali menciptakan kertas, kompas, kain sutra, bubuk mesiu, mercon, mesin percetakan, desain kapal dan hasil kebudayaan-kebudayaan lainnya yang lebih maju dari bangsa Eropa. Namun apa yang kemudian membuat peradaban Eropa menyalip peradaban China?.

            Banyak pemikir sejarah telah menyetujui bahwa sebab-sebab kebudayaan masyarakat China disalip kebudayaan Eropa adalah karena “konstruksi sosial” mereka lebih tertutup (Closed-society). Hal ini tentu dikarenakan budaya-budaya konstruktif dari China yang muncul dan lestari dalam peradaban mereka hanya dikuasai dan dimiliki oleh elit-elit bangsa, para bangsawan dan para pejabat. Hal ini sebagai alasan bahwa ketika budaya-budaya konstuktif ini hilang bersama-sama dengan elit-elit bangsa dan para bangsawan ketika terjadi pergantian dinasti maka hilang pula semua budaya-budaya konstruktif ini.

Sedangkan menurut Iskandar Alisjahbana ketertinggalan bangsa China juga diakibatkan karena pemerintah, dan hanya pemerintah yang maha tahu dan maha berbakat[20]. Akhirnya konstruksi sosial seperti ini mem-buntu-kan banyak hal. Inovasi tidak berkembang, ide-ide menjadi mati, tidak ada penemuan baru, segala jenis budidaya tidak berkembang karena pemerintahan yang sangat sentralistis dan dogmatis. Ini juga merupakan bagian dari perspektif yang terutup

Sebaliknya kebudayaan Barat merupakan keterbalikan dari itu semua. Budaya yang konstruktif dibudidayakan, disebarkan dan dikembangkan. Teknologi serta filsafat dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi maju dan menjadi patokan dalam pembangunan di segala bidang. Akses pendidikan dan budidaya serta filosofi yang konstruktif disebarakan secara masif dan terbuka (open- society). Itulah sebabnya mereka mampu bahu membahu membangun Eropa dalam segala bidang dan menjadi kampium dunia selama beberapa abad ini.

Akhirnya kini, bangsa China telah belajar dari kesalahan masa lalu mereka dan sementara mengejar ketertinggalan mereka. Mereka telah kembali membangun tatanan masyarakat yang modern dengan tetap memelihara budaya-budaya dan kearifan lokal mereka bahkan sekarang menyebarkannya keseluruh dunia seiring dengan berkembangnya dunia internet. Kini China dan Eropa berlomba-lomba dalam mengembangkan bangsa dan negara mereka agar maju di segala bidang, sedangkan negara kita tidak sedang maju kemana-mana karena kelihalangan karakter bangsa. Saat ini negara kita lebih banyak disibukkan dengan mempertajam perbedaan pilihan politik kita, memperdebatkan perbedaan budaya kita dan mempersoalkan perbedaan pemahaman serta tradisi dan adat istiadat kita. Kita bukan saling belajar dan saling mengisi, saling melengkapi dan saling mengakui eksistensi masing-masing budaya dan kearifan lokalnya.

 Penutup

            Keberagaman dan perbedaan dalam hal berbangsa dan bernegara di Republik kita sangat kaya akan nilai-nilai budaya yang positif. Membangun Negara sebenarnya sama sulitnya ketika memperjuangkannya dari penjajahan. Dengan kesadaran demikian, maka para Founding Father dari negara ini menyusun dasar-dasar negara kita dengan asas-asas Pancasila yang menerima segala perbedaan dari seluruh peradaban di Nusantara. Kemerdekaan kita ini dilandasi oleh pemikiran bersama seluruh komponen bangsa bahwa Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dari pemikiran ini, maka seluruh komponen bangsa berhasil disatukan dan bukan disatukan oleh sentimen keagamaan yang sama seperti yang saat ini di kampanyekan oleh sekelompok radikalis.

            Mari kita merajut kebersamaan, merajut kerukunan berdasarkan Fanu, Nonot dan Tonis  sehingga bangsa dan negara kita ini menjadi harmonis.

            Salam damai sejahtera.

 

Pina Ope Nope :

1.  1. penulis buku Sejarah “Konflik Politik di Timor tahun 1600-1800an – perjalanan Amanuban dan kerajaan Atoni lainnya menentang hegemoni bangsa Eropa di Timor tahun 1600-1800an”

2.     2.  Anggota pendiri dan anggota pengurus “Forum Sejarah dan Budaya Timor” (F-SBT) Pusat

3.      3. Ketua dan penggagas Forum Pelestari Budaya Atoin Meto’ (F-PBAM)

4.      4. Sekertaris Perkumpulan/ Persekutuan Masyarakat Hukum Adat dan Budaya “AMANUBAN”

5.     5.  Sekretaris FKUB Kecamatan Amanuban Tengah



D A F T A R   P U S T A K A

 

1.      “Amerika dan Dunia” Yayasan Obor Indonesia, Tahun 2005

2.      Indonesia Abad XXI, Di Tengah Kepungan Perubahan Global - PT. Kompas Media Nusantara – Tahun 2000

3.      Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara dan UUD tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara serta ketetapan MPR sebagai bentuk negara Bhineka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara, Penerbit : Sekretariat Jenderal MPR RI, 2016.

4.      Krayer van Aalst, Surat-surat dari Kapan, Benih Cinta Kasih Allah dalam budaya Atoni, penerjemah : Pdt. Ebenhaizer I. Nuban Timo, penerbit Fakultas teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2016

5.      Dr. I Gde Parimartha, “Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915”, Penerbit Djembatan, tahun 2000



[1] Samuel P. Guntington adalah lmuwan politik Amerika Serikat. Ia adalah Guru Besar sekaligus Ketua Jurusan Ilmu Politik di Universitas Harvard dan Ketua Harvard Academy untuk Kajian Internasional dan Regional, di Weatherhead Center for International Affairs.

[2] Benturan Peradaban? Samuel P. Huntington dalam buku “Amerika dan Dunia” Yayasan Obor Indonesia, Tahun 2005

[3] Ketua Yayasan Paradina.

[4] Indonesia Abad XXI, Di Tengah Kepungan Perubahan Global, tahun 2000, hal. 40

[5] Fukuyama merupakan anggota senior Center on Democracy, Development and the Rule of Law di Universitas Stanford sejak Juli 2010. Sebelumnya, ia menjabat sebagai dosen dan direktur program pembangunan internasional di the School of Advanced International Studies, Universitas Johns Hopkins. Sebelumnya lagi, ia merupakan dosen kebijakan publik Omer L. dan Nancy Hirst di School of Public Policy, Universitas George Mason

[6] Akhir Sejarah? Francis Fukuyama dalam buku “Amerika dan Dunia” Yayasan Obor Indonesia, Tahun 2005

[7] Irwan Abdullah, Indonesia Abad XXI, di tengah kepungan perubahan Global, PT. Kompas Media Nusantara, hal.44-45, 2000

[8] Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara dan UUD tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara serta ketetapan MPR sebagai bentuk negara Bhineka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara. Sambutan Pimpinan Badan Sosialiasi MPR RI Periode 2014-2019, Drs. H. Ahmad Basarah, Penerbit : Sekretariat Jenderal MPR RI, 2016.

[9] Sebenarnya agama tradisional juga dapat disebut agama wahyu sebab para pelestari agama tradisional juga mengklaim bahwa agam mereka juga merupakan wahyu dari dunia supranatural

[10] Non = mengatur dan Abas = benang

[11] Nek = dari kata Nekaf yang artinya hati, pikiran dan perasaan, Mese= satu. Nek Mese berarti bersatunya hati, pikiran dan perasaan

[12] Ote Naus adalah tradisi untuk mengetahui apa maksud atau kehendak (Tuhan) Uis neno berkaitan dengan persoalan atau penyakit yang diderita. Pada jaman sebelum kekristenan masuk, orang akan membuat Ote’ Naus dengan membelah telur rebus (pol Teno ma neh auni) atau membunuh binatang dan melihat hati binatang (Tae Aten). Pada masa sekarang Ote’ Naus dilakukan orang Atoni Kristen dengan pergi ke hamba Tuhan/ Pendeta untuk didoakan sembari mencari tahu maksud Tuhan

[13]  Krayer van Aalst, Surat-surat dari Kapan, Benih Cinta Kasih Allah dalam budaya Atoni, penerjemah Pdt. Ebenhaizer I. Nuban Timo, hal. 348-349, penerbit Fakultas teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2016

[14] Lopo adalah rumah induk yang terdiri dari empat tiang besar dengan atap jerami setengah kerucut namun tanpa dinding

[15] Ume Kbubu artinya rumah bulat. Rumah ini dibuat dengan atap jerami namun ujungnya hampir nenyentuh tanah, dibangun dengan atap berbentuk setengah kerucut namun hampir menyentuh tanah. Berdinding namun tidak berjendela

[16] Istilah ini bisa untuk mempelai perempuan dan mempelai laki-laki

[17] Nurcholis Madjid, Indonesia Abad XXI, di tengah kepungan perubahan Global, PT. Kompas Media Nusantara, hal.148, 2000

[18] Tempat/ wadah untuk menyungguhkan sirih pinang

[19] Dr. I Gde Parimartha, “Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915”, hal. 74. Penerbit Djembatan,

[20] Iskandar Alisjahbana, Indonesia Abad XXI, di tengah kepungan perubahan Global, PT. Kompas Media Nusantara, hal.19-27, tahun 2000

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH TIMOR : KISAH HILANGNYA PENGARUH MAJAPAHIT DI PULAU TIMOR

Seri Sejarah Timor : GUBERNUR PALING JENIUS DALAM SEJARAH KUPANG (Bagian I)

ANAK KANDUNG ATOIN METO' DALAM DUNIA POLITIK NASIONAL