KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ATOIN METO’ YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA
Tulisan ini telah saya presentasikan dalam kegiatan Seminar yang diselenggarakan oleh FKUB propinsi NTT di Hotel T-More Kupang pada 13-15 Agustus 2020.
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ATOIN METO’ YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA
--- Belajar dari keindahan budaya Atoni Pah Meto’ ---
Pendahuluan
Saat ini dunia sedang dirudung oleh
suatu gejolak global dari sebuah ideologi intoleran yang cukup mengancam
peradaban berbagai bangsa di dunia. Beberapa tahun lalu di benua Eropa dan
Australia diguncang oleh aksi-aksi terorisme oleh pendukung ideologi ini. Bahkan di negara Timur Tengah yang
homogen sekalipun seperti di Suria, Afganistan, Libya dan lain-lain porak
poranda oleh perang yang berlatar belakang ideologi ini.
Semenjak berakhirnya perang dingin di tahun 1991 dengan ditandainya keruntuhan Uni Soviet, dunia menghadapi perubahan polar yang semakin berbeda dengan persaingan pasca perang dunia kedua. Namun uniknya perang ideologi pasca perang dingin berakhir, maka paham liberalisme (demokrasi) dan komunisme tidak menjadi populer lagi. Namun dewasa ini, seperti yang sekarang kita saksikan bersama bahwa politik dunia telah menghadapi fase baru yakni sebuah “benturan peradaban” demikian pendapat Samuel P. Huntington[1]. Mengenai situasi baru yang melanda politik dunia ini, maka Samuel P. Huntington merincikan bahwa semenjak Perang Dingin berakhir, maka dunia tidak lagi terbagi menjadi Dunia Pertama, Dunia Kedua dan Dunia Ketiga. Kini pembagian ini tidak relevan lagi namun pembagian justru berdasarkan budaya dan peradabannya, sebagai akibatnya, komposisi dan batas-batas peradabanpun berubah. Huntington menjabarkan bahwa “peradaban menjadi tingkat terluas dari sebuah identifikasi yang dengannya ia mendefinisikan kembali identitasnya. Perbedaan peradaban bukan hanya nyata namun juga mendasar”.
Mengenai penjabaran Peradaban, ia akhirnya memberikan pandangan bahwa Peradaban di bedakan atau juga dapat disatukan oleh unsur Sejarah, Bahasa, Kebudayaan, Adat istiadat dan tradisi dan yang paling penting dari itu semua adalah Agama[2]. Ini jelas menunjukan cara pandang yang berbeda tentang hubungan Tuhan dan manusia serta pengamalannya.
Walaupun kajian dan karya Huntington ini diliris tahun 1996 yang bagi banyak pakar menyebut esai ini sebagai ramalan tentang geopoltik dunia. Namun kini seolah ramalan Huntington mulai terlihat bahwa telah terjadi benturan antara peradaban barat yang dianggap mewakili era kebebasan dan budaya timur tengah yang semakin religius bahkan semakin mengarah ke fundamentalisme. Bahkan benturan ini turut menggoyang negara kita, setidaknya begitu nyata di belahan lain di Republik kita ini.
Merajut keberagaman dalam kemajemukan
Dalam beberapa tahun belakangan ini,
bahkan mungkin hingga hari ini, negara kita juga sempat mengalami guncangan
ideologis yang mengancam struktur kesatuan bangsa dan negara kita. Yang paling
mengejutkan adalah ideologi ini telah menyusup hingga ke
universitas-universitas sebagai institusi pendidikan yang akan mencetak
generasi penerus bangsa.
Kejadian-kejadian ini merupakan
sebuah akumulasi tentang kebangkitan suatu era baru pasca Reformasi dimana
kebebasan berpendapat menjadi terbuka lebar. Tentu saja keterbukaan ini juga
berkaitan dengan isu-isu SARA (Suku Ras Agama Antar golongan) yang berpontensi
menimbulkan konflik-konflik tajam di tengah masyarakat. Konflik SARA yang
paling parah pasca reformasi adalah di Maluku juga kemudian di Halmahera,
Banjarmasin, Pontianak, Mataram, Bali dan masih banyak lagi. Isu-isu ini dapat
mengancam keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa dan Negara kita.
Oleh karena itu, dipandang penting
bagi seluruh komponen bangsa dalam usaha untuk merawat kemajemukan dari bangsa
dan negara kita ini dengan berbagai cara termasuk dengan menggali kembali
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal. Tentu tidak dapat
disangkal lagi bahwa salah satu unsur yang tidak dapat dirusak oleh pemahaman
radikal adalah kearifan lokal. Konflik-konflik bernuansa SARA adalah isu-isu
yang paling mudah menyulut tindakan kekerasan dan bentrokan fisik. Harus diakui
bahwa semua ini bermula dari perang-perang ideologi yang disebar secara masif
dan sporadis. Perang-perang isu terutama isu-isu agama akan dibumbui dengan
intrik-intrik politik, maka dapat membawa malapetaka bagi keamanan dan
ketertiban.
Beberapa waktu lalu
ketika perhelatan kampanye pemilu presiden (2018-2019), isu-isu perang ideologi
turut meramaikan pemilu presiden ini. Kita tidak bisa menganggapnya sebelah
mata, bahkan A.M Hendropriyono sebagai mantan kepala Badan Intelejen Nasional
Indonesia meluncurkan sebuah draft buku yang berjudul “Filsafat Intelejen
Negara Republik Indonesia”. Dalam siaran persnya, beliau menyatakan bahwa
Pemilu 2019 ini adalah pertarungan dua Ideologi yakni Ideologi Pancasila dan
Ideologi Kilaffah. Namun dari waktu ke waktu kita selalu berharap-harap cemas,
seperti apa dan kemana arah peradaban negara kesatuan kita ini akan berakhir
dalam menghadapi persoalan ini?.
Bukan hanya
Hendropriyono, namun Komarudin Hidayat[3]
dalam artikelnya berjudul “Peran Sosial Agama” yang ditulisnya pada tahun 2000
juga telah meramalkanya. Ia menyinggung tentang bangkitnya sentimen keagamaan
dalam bernegara. Ia menyebutkan dengan perspektif bahwa hubungan antara agama
dan negara di Indonesia merupakan tema yang sulit diselesaikan dan
berkepanjangan. Ia menambahkan bahwa sekalipun partai berbasis agama menguat
kembali dan sentimen-sentimen agama masih kental, namun ia menyadari bahwa
kenyataan negara kita adalah sebuah nation
state yang dibangun atas landasan wawasan kebangsaan[4].
Sehingga ia berkesimpulan bahwa dalam konteks kehidupan bernegara didalam
negara kebangsaan kita ini, tidak dapat menjatuhkan pilihan pada satu kutub
yang sama-sama ekstrem: negara sekuler atau negara agama. Bahwa dalam sistem
negara sekuler tidak dapat menggeser peran agama namun juga tidak bisa
menempatkan peran agama diatas keberadaan negara yang berwawasan kebangsaan
seperti negara kita ini.
Kearifan
lokal, kepekaan sosial
Salah satu pandangan
tentang kebangkitan Fundamentalisme juga disinggung oleh Francis Fukuyama[5]
dalam karyanya berjudul “Akhir Sejarah”. Ia mengatakan bahwa kebangkitan
fundamentalisme agama di tahun-tahun terakhir dalam tradisi Kristen, Yahudi dan
Muslim yang bagi sebagian orang menunjukan bahwa kebangkitan kembali agama
membuktikan tentang ketidakbahagiaan yang luas terhadap impersonalitas dan
kekosongan spritualitas dari masyarakat konsumerisme liberal[6].
Nampaknya konsumerisme liberal dengan kemampuan membangun negara-negara menjadi
kaya tidak dapat menutupi kebutuhan akan kekosongan spritualitas dari
masing-masing personalitas. Sehingga dalam pencarian ini, masing-masing
berusaha memperdalam apa yang mereka yakini dalam agama dan tradisi mereka.
Pada tataran ini, akhirnya
kita menyadari bahwa ada suatu tubrukan pemikiran yang datang dari dunia peradaban
Islam yang tentu saja tidak dapat di paralelkan dengan pemikiran peradaban non
Islam ataupun agama lainnya. Usaha untuk menyatukan banyak dasar agama ini
menjadi homogen adalah mustahil bahkan oleh pemikir-pemikir dunia sekelas
Samuel Huntington, Anthony Giddens atau Francis Fukuyama-pun menemui jalan
buntu. Itulah sebabnya kemudian para founding father kita merumuskan
nilai-nilai Pancasila. Namun tidak dapat disangkal bahwa sesungguhnya Kearifan
Lokal di Timor dapat saja menjadi salah satu bagian yang memperkaya falsafah
Pancasila untuk menyelesaikan kebuntuan ide ini. FKUB NTT dalam tujuannya tentu
mencoba untuk menggali nilai-nilai dalam tradisi dan budaya kita yang disebut
dengan kearifan lokal yang mungkin bisa menjadi jalan ketiga atau solusi (solution way) atas kebuntuan ini.
Harus diakui bahwa kemajemukan adalah kunci keindahan bangsa dan negara kita. Namun pada suatu titik, kemajemukan ini merupakan suatu konsep yang rumit. Kemajemukan adalah keadaan dimana terjadi penggabungan kelompok-kelompok yang tadinya berbeda menjadi satu kesatuan yang plural. Hal ini merefleksikan suatu kerumitan tersendiri. Pada dasarnya, gesekan-gesekan yang bernuansa SARA adalah datang dari suatu pemahaman yang sempit dan kehilangan instik komunitas. Demikian Irwan Abdullah dalam artikelnya berjudul “Kondisi Sosial yang dibanyangi Disintegrasi Tanpa Ujung”[7]. Ia menjelaskan bahwa ini adalah bentuk suatu kenyataan tentang hilangnya rasa memiliki oleh sekelompok orang terhadap sebuah negara-bangsa (nation state). Ini menjadi jelas kemudian dimana menunjukan bahwa terjadi hilangnya ketaatan kepada sistem, (kepekaan) sosial dan norma-norma yang berlaku.
Merajut kearifan
lokal
Bila menilik pada runutan sejarah
penyebaran agama di kepulauan Nusa Tenggara Timur, dimana agama sebagai salah
satu bagian dari peradaban yang turut memberi sumbangsih dan memperkaya
keberagaman identitas kita, maka telah nampak bagi kita bahwa hal ini memiliki
keunikan seperti yang telah kita baca dalam artikel saya yang lain berjudul “Sekilas
Tentang Penyebaran Agama Di Solor,
Flores, Rote Dan Timor - Pasang surut hubungan antara agama dan hubungan
Sosial”. Ternyata benturan peradaban di daerah kita telah
berlangsung ratusan tahun lalu walaupun itu dibumbui oleh faktor perdagangan
dan berakhir pada kolonialisme Belanda. Namun dewasa ini pemahaman warga NTT
lebih maju dengan mengarahkan pikirannya kepada pengkristalan pemahaman serta
kesadaran kesatuan bangsa sebagai sebuah Nation
State atau negara kebangsaan. Dengan memperkuat identitasnya melalui
penggalian akan warisan-warisan budaya sebagai kearifan lokal yang tentu saja berkontribusi kepada terciptanya
kerukunan umat beragama.
Kearifan Lokal sendiri memiliki
falsafah yang mengandung makna-makna terdalam. Falsafah ataupun
filosofi-filosofi yang terkandung dalam kearifan lokal telah tertanam dalam
kehidupan masyarakat NTT yang multi budaya. Tentu saja kebudayaan, tradisi,
bahasa dan adat istiadat merupakan bagian peradaban yang walaupun
kini mungkin dianggap oleh sebagian orang tidak begitu penting lagi, namun
tidak dapat disangkal bahwa keharmonisan dan toleransi yang dicapai oleh
masyarakat NTT adalah karena penerapan warisan budaya yang kaya, akan falsafah
hormat menghormati perbedaan yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.
Hari ini kita mulai
menyaksikan perubahan-perubahan yang berarti ketika masyarakat dan terutama
negara semakin berusaha untuk menggali kembali bagian-bagian dirinya yang
terpendam termasuk dalam kerangka kebudayaan dan tradisi sebagai Kearifan Lokal. Kearifan Lokal orang
Atoni ini adalah kekayaan warisan budaya di Timor yang memiliki nilai-nilai
falsafah yang tersembunyi dan menanti untuk digali dan dihayati sebagai bagian
dari kekayaan budaya Nusantara. Kearifan lokal dari Timor diharapkan dapat
memberi sumbangsih dalam upaya pemerintah dan negara mengupayakan keharmonisan
dan toleransi dalam kerukunan agama di Indonesia secara umum dan di Nusa
Tenggara Timur secara khususnya.
Penggalian dan
pengembangan nilai-nilai Kearifan Lokal seperti yang sekarang kita upayakan
melalui wadah FKUB sangat penting terutama agar nilai-nilai ini dapat
diteruskan kepada generasi-generasi yang akan datang. Tantangan berbangsa dan
bernegara dimana menghadapi Fundamentalisme
dan pengristalan identitas benar-benar dipertaruhkan pada masa kini dan akan datang.
Kita semua memiliki harapan yang indah agar keberlangsungan negara kebangsaan
kita ini dapat terawat dalam kesatuan dan persatuan bersama. Ternyata banyak
penelitian tentang anti fundamentalisme, ditemukan fakta bahwa Kearifan Lokal,
tradisi dan budaya adalah bagian yang sulit dipengaruhi oleh fundamentalisme
agama.
Kearifan Lokal – karakteristik bangsa
Kehidupan
bermasyarakat dan kehidupan sosial masyarakat kabupaten Timor Tengah Selatan
hingga hari ini masih terpelihara walaupun tidak dapat disangkal bahwa telah
mengalami degradasi secara perlahan. Suku di TTS mayoritas adalah suku Atoni
yang berasal dari kata Atoni Pah Meto’ (orang-orang tanah gersang/ kering).
Bagian dari warisan budaya sendiri adalah bahasa daerah atau Uab Meto’ masih terpelihara, pakaian
adat dan tradisi-tradisi lainnya. Namun sesungguhnya inti dari budaya-budaya
ini juga mengandung nilai-nilai luhur didalamnya yang turut membantu membentuk
kehidupan bermasyarakat di kalangan masyarakat Timor. Filosofi yang terkandung
didalamnya mungkin dapat menjadi kajian mendalam bagi pengembangan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Sesungguhnya,
proses berbangsa dan bernegara dengan sebuah pembangunan sistem yang sehat dan
bermartabat, maka kemajuan haruslah dibangun dengan bergandengan tangan dengan tata
tertib sosial kemasyarakatan yang berdasar pada warisan-warisan budaya sebagai
sumber identitas. Warisan-warisan budaya ini sebagai kearifan lokal bukan hanya
sebagai warisan yang bersifat pasif namun juga haruslah diimplementasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara aktif.
Dalam sambutan pada
buku “Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI” oleh Drs. H. Ahmad Basarah
menyebutkan demikian, “dalam proses mengisi kemerdekaan, bangsa Indonesia
memiliki kosepsi bersama menyangkut hal-hal fundamental bagi keberlangsungan,
keutuhan dan kejayaan bangsa. Dalam pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa
tanggal 30 September 1960, presiden pertama Republik Indonesia Soekarno
memperkenalkan Pancasila kepada dunia sebagai konsepsi dan cita-cita bangsa
Indonesia. Pancasila mengandung nilai-nilai yang mencerminkan karakteristik
bangsa”[8].
Hal menjadi jelas bagi kita bahwa keberlangsungan dan kelestarian negara kita
mendasarkan kepada nilai-nilai Pancasila yang memberikan perlindungan dan juga
merupakan bagian dari peradaban serta kebudayaan bangsa bagi kemajemukan di
tengah-tengah bangsa yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, perlu
dikembangkan inti dari nilai-nilai kearifan lokal yang diharapkan dapat memberikan
pemahaman-pemahaman yang luas dan penuh makna. Salah satu kearifan lokal dari
budaya Atoni Pah Meto’ adalah kearifan yang dapat memperkaya serta memberi arti
penting bagi keberlangsungan hidup bangsa dan negara kita. Perlu bagi
komponen-komponen bangsa untuk menggali dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan
dan peradaban bangsa sendiri. Berikut ini ulasan-ulasan tentang kearifan lokal
yang dapat kita pelajari bersama mungkin dapat merajut kebersamaan dan
kemajemukan.
Agama dalam kerangka Atoin Meto’
Dalam
bahasa Atoni atau Uab Meto’, agama tidak memiliki padanan kata dalam Uab Meto selain
dari kata “Palsait” yang artinya “kepercayaan/
keyakinan”. Inipun digunakan untuk menamai perbedaan Agama di masa kini. Palsait bersumber pada satu pemahaman
bahwa seluruh aspek keagamaan adalah datang dari rasa percaya atau meyakini.
Mempercayai adanya suatu kekuatan suprantural diluar diri manusia itu sendiri
dan Atoni mempercayai bahwa seluruh
alam semesta adalah ciptaan Yang Maha Kuasa yaitu Raja yang bersemayam di
langit atau Uis Neno. Kata Usi/ Uis
berarti Raja dan Neno berarti langit. Uis Neno dalam kemahakuasaanNya
menciptakan manusia dengan beragam perbedaan, dengan suku-suku yang berbeda dan
dengan keadaan yang berbeda-beda pula termasuk kepercayaan.
Namun
akan datang satu pertanyaan bahwa bila sebelum datang agama-agama (wahyu_?[9]),
maka apa perbedaan kepercayaan dalam komunitas orang-orang Atoni?. Pada bagian
ini baru kita dapat memahami konsep kehidupan spritual orang-orang Atoni yang
sebenarnya unik dan berbeda. Dalam komunitas masyarakat Atoni di masa lampau
dikenal kata “Kae ma Nono”. Kae
artinya pantangan atau larangan yang berhubungan dengan Nono. Nono inilah sebenarnya dalam bahasa Atoni atau Uab Meto’ yang
sebenarnyalah memiliki sinonim dengan kata Agama. Namun kini kata Nono sangat
jarang digunakan dan lebih menggunakan pada kata Palsait.
Kae
berasal dari kata kaiha’ yang berarti
terlarang/ dilarang/ dipantang. Kae ini berhubungan sangat erat dengan
keberlangsungan Nono. Sedangkan Nono sendiri walaupun dihubungkan dengan
kata keramat namun memiliki 2 akar kata :
1. Nonot : sahabat atau teman. Ini memiliki arti
bahwa seseorang yang memiliki Nono, maka ia memiliki sahabat yang mewakili
salah satu ciptaan Uis Neno yang di tempatkan oleh Uis Neno untuk menjaga dan
menjadi pelindung. Nono ini berbeda-beda untuk setiap keluarga orang Atoni. Pada
masa kepercayaan Aninisme, kepemilikan Nono bisa berupa Ular misalnya dan
keluarga lainnya bisa berupa Naga, Buaya, Tokek, Biawak bahkan Burung. Nonot
mereka merupakan sahabat, suatu kumpulan persamaan yang akan berhubungan dengan
Kae (pantangan) yang akan mempengaruhi kehidupan keseharian suatu keluarga.
Pantangan ini bisa berupa makanan, tindakan atau bahkan kebiasaan. Bagian ini
telah ditinggalkan karena dianggap sebagai budaya pagan.
2. Nanono : yang memiliki arti “mengatur dalam
keselarasan untuk kehidupan”. Makna harafiah Nono adalah sama seperti seorang penenun selimut. Ia menyelaraskan atau
dalam bahasa Atoni disebut nanono – yaitu
mengatur dan menyelaraskan benang-benang. Kata ini juga dipakai contohnya untuk
proses menenun kain. Benang-benang kusut dari berbagai-bagai warna diatur sedemikian
rupa sehingga rapih dan tersusun yang disebut non abas[10].
Benang-benang ini kemudian ditenun menjadi selembar kain selimut yang indah
berwarna warni dan dengan motif yang menyatu. Itulah proses menenun selembar kain
yang indah.
Pada masa kini kata Nanono masih digunakan untuk upacara
atau kegiatan yang sangat lekat dengan kepercayaan orang Atoni. Kegiatan itu memeliki
dampak yang dalam bagi seorang Atoni yang disebut Nanon keti’. Nanon keti’ adalah
suatu tradisi yang bertujuan untuk memeriksa kehidupan pribadi atau keluarga
terkait dengan kesalahan-kesalahan/ dosa-dosa masa lalu dari diri sendiri yang
menjadi hambatan dalam kehidupan hari ini. Bisa juga merupakan kesalahan orang
tua atau kakek dan nenek. Nanon keti’
ini bertujuan agar seorang Atoni tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Sebagai
wadah sakral untuk berintrospeksi serta memperbaiki tingkah laku. Ternyata Nanon Keti’ selaras dengan ajaran Kristen
dan masih di lakukan hingga hari ini.
Ada
beberapa pengalaman yang pernah dan sering terjadi, kami amati dan kami cermati
bahwa Nanon Keti’ benar-benar
berpengaruh dalam kehidupan orang Atoni hingga hari ini. Ijinkan kami
menyampaikan suatu kisah nyata, suatu pengalaman yang akan memberi gambaran
jelas dan nyata bagaimana Nanon Keti dapat
memperbaiki hubungan sosial masyarakat.
Sekitar
tahun 2001, di Desa Neke, Kecamatan Oenino - Amanuban diadakan acara pesta
pernikahan oleh keluarga sepasang pemuda-pemudi yang datang dari dua klan keluarga
yang berbeda. Keluarga calon mempelai laki-laki bermarga “S” dan yang perempuan
bermarga “T”. Dalam acara pesta pernikahan itu kami juga turut diundang. Di malam
pesta peminangan, ternyata ibu kandung dari calon mempelai wanita ini meninggal
dunia secara tiba-tiba. Pesta pernikahan dibatalkan dan rencananya akan
dilangsungkan satu tahun berikutnya. Setahun kemudian, saat acara pernikahan
akan dilangsungkan, ternyata adik dari ayah (paman) calon mempelai pria
meninggal dunia secara tiba-tiba.
Kedua
keluarga sepakat untuk mengadakan pertemuan keluarga untuk melakukan nanon keti’. Setelah melalui serangkaian
tanya jawab oleh para tetua adat dan kampung, akhirnya diketahui bahwa dahulu
entah berapa generasi sebelumnya, kakek buyut kedua calon mempelai ini yang sebenarnya
masih cukup dekat, mereka berseteru dalam sebuah perkara tanah. Dalam
perseteruan ini, mereka saling bersumpah dan mengutuk untuk tidak saling
mengenal kedua keluarga hingga anak cucu mereka sendiri.
Namun
seiring berjalannya waktu, ternyata keturunan mereka bertemu dan saling jatuh
cinta dan kini akan menikah. Yang tidak kedua keluarga ketahui bahwa kutuk atau
keti’ ini telah menjadi penghalang
keturunan mereka bisa bersatu dalam institusi pernikahan ini. Kutuk ini mengakibatkan
anggota keluarga kedua belah pihak ini meninggal dunia. Akhirnya pada hari itu
juga dibuatlah acara untuk perdamaian antara kedua keluarga ini. Acara ini
disebut Nafin Keti’ (melewatkan musibah
atau kutuk) dan mereka berdamai atau
disebut Nek mese[11].
Akhir
dari semua ini adalah kedua calon mempelai ini dapat melangsungkan pernikahan
dalam sebuah acara pesta yang sederhana tanpa ada berita kematian lagi. Sejak
itu mereka hidup bahagia sebagai suami istri yang saling mencintai. Hal ini
merupakan contoh kasus bahwa nanon keti’
dapat mempersatukan dua keluarga yang bermusuhan, menghindari musibah dan hidup
dalam keharmonisan serta keselarasan.
Pada
kisah lainnya adalah kisah tentang teman dekat saya, seorang dari suku Atoni yang dulunya sudah 3 tahun menikah
dengan teman kantornya seorang wanita dari suku Rote, namun mereka belum
dikaruniai seorang anak. Pada suatu kesempatan ketika saya bertemu dengannya,
dalam suatu basa-basi kami berdiskusi bahwa mereka mungkin seharusnya na’ keti (akronim dari nanon keti”)
untuk diketahui apa penyebab mereka belum dikaruniai anak. Saya mengingatkan
dia bahwa mungkin dia pernah berkata untuk tidak menikahi wanita dari suku
istrinya yang sekarang. Dia mengiyakan bahwa bukan hanya dia namun ayahnya dahulu
semasa ia masih kuliah pernah dinasehati oleh ayahnya agar jangan menikahi
wanita dari suku istrinya yang sekarang. Namun ia menambahkan bahwa seminggu
sebelum kami berdiskusi ini, mereka sudah membuat doa (onen) nafin keti’ sehingga mereka sudah mendoakan hal ini. Kini mereka
hidup bahagia dengan dikaruniai 3 (tiga) orang anak. Itulah sebabnya tradisi Nanon Keti’ ini masih hidup dan sangat
berpengaruh dalam kehidupan orang Atoni
pah meto’.
Pada
tataran berbeda, kata Nanono juga
dapat diimplikasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan lainnya. Contohnya musyawarah
yang diambil dan perlu dilakukan ditengah-tengah masyarakat guna merajut
perbedaan pendapat ini disebut sebagai Nanon
Uab. Kata nanon uab ini artinya
menyelaraskan pemikiran dan konsep. Perbedaan
pemikiran dapat di selaraskan menjadi satu pemikiran yang paralel sama seperti kain
tenunan Timor yang indah dan warna-warni diselaraskan atau non abas dari berbagai macam benang warna-warni yang kusut.
Kesepakatan adalah penggabungan beberapa pendapat menjadi satu pendapat atau
dapat dikatakan hasil yang disepakati adalah sebuah permusyawaratan dan
permufakatan yang adil.
Begitu
juga dengan kehidupan masyarakat Atoni sebagai sebuah komunitas dan
peradabannya penuh dengan dinamika dan konsepsi-konsepsi yang logis dan
bersahaja. Kata Nono juga berkaitan
dengan kehidupan sosial masyarakat ketika mereka bersepakat untuk melakukan
kerja gotong royong. Pada bagian ini kita akan mengenal kata “Meup Nono”. Kata Meup berasal dari kata
Mepu yang artinya kerja sedangkan Nono adalah selaras, bersama, bergotong
royong bila dipadankan dengan kata kerja Mepu.
Akhirnya meup nono ádalah bentuk
implementasi dari keselarasan kehidupan sosial masyarakat yang masih hidup
dalam masyarakat orang Atoni.
Menjadi
jelas bagi kita bahwa Nanono atau Nono memiliki makna filosofis yang mendalam
yaitu merajut perbedaan untuk mencapai tujuan yang selaras demi tujuan yang
indah, bersatu dan harmonis. Bagian ini memiliki implikasi yang bersifat
pribadi ataupun hingga yang lebih luas yaitu komunitas masyarakat Atoni. Secara
keseluruhan, hampir setiap sisi kehidupan orang Atoni masih kental nilai-nilai
adat dan budayanya yang istilah kerennya disebut kearifan lokal.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam kearifan lokal budaya Atoni Pah Meto’ sangat indah dan
selaras bagi kelestarian, kesatuan dan kejayaan bangsa Indonesia. Oleh karena
itu sudah sepatutnya kearifan lokal ini dikembangkan dan dilestarikan bahkan
dipromosikan atau ditularkan kepada generasi-generasi penerus bangsa.
Pengobatan dalam tradisi Atoni
Nono
bukan saja berhubungan dengan suatu
peristiwa yang berpengaruh terhadap mati hidupnya orang Atoni, namun juga berpengaruh
terhadap keberlangsungan hidup orang Atoni terutama ketika seseorang Atoni ditimpa
sakit penyakit. Pengobatan dalam Nono orang Atoni sangat berbeda dengan
pengobatan modern seperti yang sekarang ini.
Orang Atoni menyebut
dukun atau tabib dengan sebutan Mnane.
Ketika seorang mnane diminta untuk
mengobati seorang pasien, maka ia akan melakukan beberapa hal yaitu
pertama-tama adalah ia akan memeriksa (ote
naus[12])
apakah penyakit ini karena keti’ atau
bukan. Suatu penyakit dalam kepercayaan orang Atoni adalah bisa karena memang
sakit, bisa juga dikarenakan keti’ (musibah
akibat kesalahan yang dilakukan oleh si-pasien sehingga ia perlu melakukan nanon keti’ baik dari diri sendiri atau dari
leluhurnya). Bisa juga bisa timbul karena guna-guna atau levi’ yang mungkin disengaja atau tidak disengaja atau karena
melanggar pantangan (kae) sehingga ia tertimpa sakit penyakit. Atau memang
menderita sakit secara wajar.
Apabila karena keti’, maka tabib atau mnane mengharuskan pasien itu untuk na’keti (mengingat kembali perbuatannya serta mengakuinya)
yang mungkin mengakibatkan timbulnya penyakit ini. Apabila dia melakukan nanon’ keti’ dan si-pasien teringat akan
kesalahannya, misalnya belum lama menjelang sakit ia pernah marah, membenci dan
mengatai-ngatai orang tuanya atau saudaranya atau tetangganya atau temannya
atau sesamanya, maka dia diharuskan mengaku kepada pihak tersebut untuk
mendapat maaf atau ampunan. Atau mencuri barang orang lain, maka ia harus
mengembalikan, atau melukai binatang orang lain dan seterusnya. Bisa juga
karena ia telah berjanji untuk melakukan sesuatu dan tidak ditepatinya atau
mengabaikan norma-norma keluarga (kae) maka
ia patut mengakuinya.
Na’
keti’ ini setelah diketahui bahwa timbulnya sakit misalnya salah satunya karena ia telah ingkar janji untuk melakukan suatu perbuatan baik atau
bermanfaat bagi keluarga atau komunitas, atau ia berjanji untuk membangun
sesuatu, membuat sebuah upacara dan sebagainya namun ia telah mengingkari
janjinya, maka dia diharuskan untuk menunaikan janjinya itu.
Setelah na’ keti’ ini dilakukan, maka si pasien
diobati oleh mnane dan setelah sembuh dia wajib melakukan janjinya. Bagian ini
masih dipraktekan oleh mayoritas orang Atoni atau orang Timor di Amanuban hingga sekarang.
Hal ini merupakan sebuah cerminan untuk mengingatkan, agar tidak berbohong
kepada publik atau kepada diri sendiri dan kelompoknya serta mengangkat harkat
dan martabat keluarga di tengah-tengah komunitas.
Namun
bila karena keti’ ini dari kesalahan almarhum
kakeknya atau neneknya, maka ia harus berdoa kepada Uis Neno untuk melewatkan (atau dalam bahasa Atoni disebut Nafinib) kutuk/ keti’ dari kakek atau
neneknya itu. Apabila sakitnya ini timbul karena ia melanggar pantangan (Kae)
maka ia harus mengakuinya di depan keluarga. Bagi sebagian keluarga hingga hari
ini tradisi nafin keti’ juga diikuti
dengan berziarah ke makam kakek atau nenek serta membakar lilin di pusara kakek
dan neneknya. Namun budaya terakhir ini sudah jarang dilakukan seiring dengan
kepercayaan kristen yang melarang praktek-praktek seperti ini. Setelah
serangkaian keti’ ini dilakukan,
barulah proses pengobatan dengan diberi obat luar atau obat minum dilakukan karena
tanpa nanon keti’ maka segala jenis
upaya pengobatan akan sia-sia.
Apabila
sakit ini timbul karena memang terkena guna-guna (levi’) baik sengaja atau tidak disengaja sehingga dia sakit, maka
ia akan diberi obat sesuai dengan jenis sakitnya dengan cara melepas levi’.
Begitu juga dengan sakit yang wajar, maka ia diobati secara wajar.
Namun
kadang kala pengobatan tradisional justru membawa permasalahan tersendiri
terutama di tengah kemajuan ilmu kedokteran. Salah satu penginjil yang pernah
bertugas di Kapan pada tahun 1916-1922 bernama D.S Krayer van Aalst mencatatkan
dalam laporannya. Pada tahun 1920-1922 ketika terjadi wabah Flu Spanyol di
seluruh dunia seperti Corona sekarang ini, maka di Timor banyak jatuh korban.
Namun ketika itu, pemerintah Belanda menyediakan dana sebesar 10.000 florin per tahun dengan membangun pusat
kesehatan di Nulle – di Amanuban dan mendistribusikan obat-obatan guna
menanggulangi wabah ini. Namun van Aalst menyayangkan bahwa ternyata penduduk
lebih percaya kepada mnane dibanding
dengan dokter dari pemerintah Belanda. Mereka membeli obat-obatan dari mnane walaupun dengan harga mahal sehingga sering
ditukar dengan kalung atau gelang mereka.
Van
Aalst mengeluhkan demikian “seorang dokter tidak dapat menolong mereka. Pegawai
pemerintah di bidang kesehatanpun tidak akan berdaya selama mereka tidak ingin
ditolong karena mereka terbelenggu kuat oleh kebodohan dan ketidak percayaan
kepada hal-hal baik dari luar budaya mereka[13]”.
Akhirnya banyak yang meninggal dunia karena mereka lebih memilih pengobatan mnane dari pada seorang dokter yang
terlatih. Van Aalst sangat menyesalkan kejadian ini sebab tahun 1920-1922 itu
adalah wabah dunia dan ia menganggap bahwa kebanyakan mnane dan masyarakat yang mempercayai mnane yang adalah para pemabuk dan pembohong sehingga tidak mampu
mengerti secara nalar bagaimana nyawa mereka dipertaruhkan karena kebodohan
mereka.
Penting disini bagi
kita untuk memahami kerangka berpikir dari masyarakat Atoin Meto’. Mereka
percaya bahwa Nono setiap orang
adalah telah ditentukan oleh Uis Neno sejak
mereka lahir. Itu adalah urusan pribadi masing-masing dan tidak dapat
dipaksakan kepada orang lain. Pada kenyataannya Kae ma Nono baik dalam
arti pertama atau kedua merupakan urusan pribadi masing-masing orang atau
kelompok keluarga. Satu keluarga tidak bisa dengan mudah memindahkan
kepercayaannya atau Nono-nya kepada
orang lain dengan mudah.
Nono
masing-masing
orang dihormati dalam budaya orang Atoni dan saling menjaga. Ini juga kemudian
berkaitan dengan penghormatan kepada orang lain berkaitan dengan Kae atau pantangan. Misalnya, ketika
diadakan suatu acara pesta atau kenduri dimana hadir dari kelompok keluarga
lain yang memiliki pantangan contoh tidak memakan daging kambing atau daging
babi, maka tuan rumah wajib menggantinya dengan lauk lainnya seperti daging
sapi atau ayam. Hal ini akhirnya masih terbawa hingga sekarang dimana dalam
pesta-pesta atau resepsi-resepsi, maka disediakan satu meja hidangan untuk tamu
yang memiliki perbedaan keyakinan yang kemudian bermuara pada hal pantangan (kae)
untuk makan makanan tertentu.
Begitu pentingnya
penghormatan kepada keluarga lain yang memiliki Nono yang berbeda sehingga tidak mudah secara sembarangan seseorang
bisa memasuki rumah (Lopo) seseorang atau suatu keluarga bila tidak diijinkan
oleh pemilik rumah karena Kae yang
saling bertentangan. Hal ini juga berkaitan dengan berkat dari masing-masing
keluarga yang berbeda Nono-nya, agar
pengaruh buruk dari satu Kae ma Nono
tidak mempengaruhi nono dari keluarga
lainnya. Namun perbedaan Kae ini bukan menjadi alasan untuk berperang tetapi
sebagai pemahaman untuk saling menghargai.
Begitu pula Nono
seseorang tidak bisa dengan mudah dipindah atau dimiliki oleh orang lain dari
klan atau keluarga yang berbeda. Hal ini menunjukan bahwa orang Atoni tidak
memiliki pemikiran untuk memaksa orang lain percaya kepada Nono-nya atau
agamanya. Perpindahan atau pergantian Nono hanya terjadi dalam institusi
perkawinan. Dalam tradisi orang Atoni pada umumnya, menganut sistem patriallinear yaitu menganut garis
laki-laki sehingga apabila seorang lelaki menikahi seorang perempuan dari
keluarga yang berbeda Nono, maka pada
puncak ritual pernikahan diadakan upacara “Kaus
Nono” atau dibuat dalam syair “kae
nuni nono heu” yang artinya “melepaskan Nono lama dan menerima Nono yang
baru”. Seorang wanita harus melepas Nono dari ayahnya dan menerima Nono dari
suaminya dan hal ini mau tidak mau pihak orang tua wanita harus menyetujuinya
sebab telah menjadi adat kebiasaan orang Atoni pada umumnya. Di masa kini
tradisi Kaus Nono masih dijalankan
terutama bagi pernikahan beda agama. Seorang wanita yang sudah menikah dengan
suaminya namun belum diadakan upacara kaus nono, maka si-istri tidak
diperbolehkan mengambil makanan di lumbung rumah mereka baik itu di Lopo[14]
atau di Ume Kbubu[15].
Kaus Nono juga memiliki
makna filosofi yang mendalam tentang bersatunya dua keluarga yang mungkin
benar-benar berbeda dalam status sosial atau dari Nono yang berbeda. Itulah sebabnya bagi wanita yang sudah menikah,
nama marga suaminya ditaruh di depan marganya sendiri sebagai pengingat anak
cucunya bahwa telah terjadi unifikasi atau perpaduan dari klan ibu dan bapa.
Klan ibu walaupun dari kae ma nono yang berbeda akan dikenang sebagai am uf atau disebut juga peut uf ma bon uf (arti tekstualnya : umbi dari bambu yang menjadi
banyak) atau laku basfam oe mata’ (yang
artinya umbi-umbian dan atau sumber mata air). Arti secara harfiah yaitu sumber
keturunan yang menurunkan banyak keturunan. Sedangkan klan ayah sebagai alikip ma apeeb, ataos ma amahanit[16]
atau (arti tekstualnya : yaitu yang mengerami dan menetaskan serta yang
melahirkan) arti harfiahnya yaitu sebagai sumber silsilah.
Disini kita dapat
belajar bahwa tradisi menghormati agama dan percayaan orang lain telah tertanam
dibawah alam bawah sadar para leluhur kita. Dengan menghormati dan menghargai Nono orang lain, maka disana ada
keselarasan, kebersamaan dan menyatukan perbedaan-perbedaan yang mendasar. Juga
sebagai tali pemersatu antara keluarga-keluarga di Timor.
Memahami pengertian diatas, maka kita memiliki keselarasan kearifan lokal dengan konsep-konsep modern tentang toleransi. Kehilangan kepekaan dan rasa saling menghargai membuat kita selalu hidup dalam pertentangan sebagaimana yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid dalam artikelnya berjudul “Tuntutan Pengembangan Masyarakat Madani”[17]. Disana ia mengatakan “masyarakat akan selamanya dirudung oleh pertentangan, kecuali jika ada hubungan saling menghargai dan saling percaya antara sesama anggotanya. Karena itu, masyarakat madani tidak mungkin tanpa sikap saling menghormati dan mempercayai. Inilah yang dimaksud dengan ide toleransi dalam pengertiannya yang lebih positif yaitu : pengertian toleransi tidak semata-mata pada sikap membiarkan tetapi juga berkembang pada sikap kesediaan memandang orang itu sebagai pribadi yang punya potensi kebaikan”.
Budaya
Tonis
Setahun yang lalu, negara kita
digegerkan oleh ucapan salah satu penceramah yang menyinggung umat yang
lainnya. Bukan hanya sampai situ, bahkan penceramah lainnya justru mendukungnya
dan berorasi dengan kata-kata yang lebih pedas dan menggigit sehingga lebih
menyakiti dari yang pertama. Bahkan beberapa tahun sebelumnya lagi, seorang
penceramah yang sekarang ini melarikan diri ke Arab justru mengkritik
pemerintah dengan kata-kata yang diluar batas etika. Namun nampaknya mereka
harus belajar dari tradisi orang Timor, sebab orang Atoni dalam menyampaikan
suatu pendapat yang walaupun mungkin berbeda tujuan ataupun maksud namun akan
mencapai tujuan yang sama dengan cara uab
tonis (berbicara dalam kata majas sinonim mejemuk).
Uab Tonis adalah budaya
berbicara, berorasi dan menyampaikan pendapat dalam berkomunikasi dengan
menggunakan kata-kata dan kalimat yang sopan santun dan berbahasa tinggi dengan
unsur-unsur puisi majas hiperbola ataupun sinonim majemuk. Tonis ini biasanya
merupakan satu kebiasaan bertutur kata yang menghormati pihak lain dengan
menggunakan metafora-metafora yang sopan dan bermartabat. Kadang kala
penggunaan kata-kata ini cukup rumit namun penuh makna dan adat kesopanan
sehingga sulit di pahami secara lateral. Karena kesopanan dan mertabat yang
terkandung dalam kata-kata Uab Tonis ini, maka hanya pada acara-acara resmi
saja, dimana saat ini Uab Tonis ini di lakukan seperti pesta pernikahan,
kedukaan, acara adat dan acara-acara resmi lainnya.
Uab Tonis sebenarnya
suatu sarana berkomunikasi yang digunakan untuk meyakinkan lawan bicara atau
pendengar sekaligus mempengaruhinya sedemikian rupa dengan menggunakan
kata-kata yang indah dan bermartabat. Misalnya dalam bahasa Timor atau Uab Meto’, ketika kita mempersilahkan
seorang tamu untuk duduk kita akan berkata “silahkan kamu duduk di situ” dalam
bahasa Uab Meto’ sehari-hari disebut
“au auba kit het tok”. Namun ketika mengungkapkan dengan cara Uab Tonis
maka kata ini menjadi “maut ha au
aubakit lek-leok ma utaib kit lek-leok, het ta’ tu’nok lek-leok ma tane’ok
lek-leok neu tok noni intunan ma bauk noni intunan ” yang artinya “biar
saya mempersilahkan dan mendaulat tuan dengan sebaik-baiknya dan
semanis-manisnya guna duduk di kursi
emas dan bangku emas itu”.
Uab
Tonis juga menempatkan diri kita sebagai pembicara dengan
tidak menonjolkan diri namun dengan kerendahan hati. Misalnya dalam dalam
bahasa Timor atau Uab Meto’ sehari-hari, ketika kita berkata “biarkan saya
berbicara” dikatakan “maut he au u molok”. Namun ketika mengungkapkan dengan Uab Tonis maka kata ini menjadi “auk on he’ nau puat” yang artinya
“mohon saya berbicara dan bersuara seperti orang yang memungut rumput-rumputan”
atau “auk on he’ pisu’ polaif” yang
artinya “mohon saya berbicara dan bersuara seperti orang yang merobek-robek
kulit jagung”. Ini adalah kata-kata Uab
Tonis sebagai suatu metafora tentang kerendahan hati sang komunikator
dengan menempatkan lawan bicara pada posisi yang terhormat.
Orang Atoni Pah Meto atau orang Timor selalu
menerima keterbukaan dan kebebasan berbicara dalam menyampaikan pendapat.
Menyampaikan pendapat yang berbeda bukan suatu kekeliruan. Namun jelas, bahwa
penyampaian pendapat harus dengan kata-kata yang sopan dan menunjukan keluhuran
budi pekerti. Ketika seseorang berbeda pendapat dalam berkomunikasi kita, maka
tidak sopan apabila menggunakan kata “pendapatmu itu salah, itu keliru dan
sesat” namun menggunakan kata-kata “Au’
utnin ninat ma lin linot mes onle’ ha ka onef, es ha’ utiaba kit au’ yang
artinya “saya merasa-rasa dan mempertimbangkannya, nampaknya tidak seperti itu,
bolehkah saya menyampaikan pertimbangan saya?”. Ini bukan sebuah bantahan
langsung tetapi merupakan suatu ajakan untuk berdiskusi dan mengkritisi dengan
kepala dingin.
Lawan bicara biasanya
akan menjawab seperti ini : “neu aiti
mukua a’ma’ het he tatnin fe’, kalu lekot tat maka’ tui’, hat tahakeb uab
neuna’” yang artinya : “silahkan anda
menuturkan suara indahmu supaya kita sama-sama mempertimbangkannya, kalau kita sepakat
maka kita berdiri di satu sisi dan maksud yang sama”. Ini merupakan suatu
keindahan komunikasi yang memiliki nilai keluhuran budi pekerti.
Uab
Tonis ini juga memiliki makna yang mendalam tentang suatu
peristiwa penting. Bila itu berkaitan dengan peristiwa duka yang mendalam, maka
suasana duka digambarkan dalam Uab Tonis dengan
kata-kata dan kalimat yang begitu dalam sehingga lawan bicara yang mendengarnya
dapat tersentuh tentang segala hal pada kisah orang yang meninggal itu dan
keluarganya. Uab Tonis juga dapat mempengaruhi suatu peristiwa perselisihan,
dimana diungkapkan dengan kata-kata yang menunjukan kesalahan dua belah pihak
tanpa membela salah satu pihak.
Uab Tonis adalah kuas
dan kanvas keindahan suatu peristiwa bersejarah bila dituturkan. Uab Tonis juga
merupakan ungkapan-ungkapan dan makna tersembunyi bila di kisahkan untuk
merunut silsilah seseorang. Pendeknya uab
tonis memiliki makna yang luas sebagai perekat yang tidak kelihatan.
Walaupun dalam banyak hal disebutkan bahwa Oko
Mama[18]
sebagai alat perekat namun sesungguhnya Oko Mama tidak ada artinya bila tidak
dibarengi dengan Uab Tonis yang indah
dan bermartabat. Begitu juga sebaliknya, sebuah ungkapan uab tonis tidak dapat berarti banyak bila media oko mama’ tidak ditempatkan di depan dua
pembicara.
Pelaku Uab Tonis disebut Atonis, sedangkan prosesi ketika mengucapkan Tonis ini disebut Natoin. Penggambaran dari keseluruhan peristiwa-peristiwa dengan sikap saling menghormati. Ini adalah seni dalam berkomunikasi ini dan mengandung falsafah yang mendalam terutama berkaitan dengan perbedaan-perbedaan yang tajam dan mencolok. Budaya ini tentu bila dilestarikan, di integrasikan dalam pola komunikasi bahasa Indonesia maka akan menjadi salah satu katalisator dalam kerukunan dan toleransi. Bahkan bukan hanya itu, namun bisa menjadi ciri khas kesopanan dan keluhuran bangsa kita yang dapat mendunia.
Budaya
Fanu
Pada bagian ini,
budaya Uab Fanu juga memiliki nilai
filosofis yang sangat tinggi. Uab Fanu
adalah suatu hal yang dianggap sakral dan tabu, bukan dalam hal magis dan
gelap, namun sangat berpengaruh dalam kehidupan seorang Timor atau Atoni Pah Meto’. Bahkan ada semacam "Atoin Meto' ka namtausan fa sa-sa, in alah namtausan Fanu" yang artinya "orang Timor tidak takut pada apapun juga, dia hanya takut kepada Fanu". Fanu merupakan suatu
peristiwa yang menempatkan keluhuran budi pekerti pada tataran “kejujuran dan
kebenaran”. Ketika seseorang pergi berperang atau berburu atau mengajukan
perkara atau sejenisnya, maka ia akan mengucapkan Fanu terlebih dahulu agar diberikan kemenangan oleh Tuhan Yang Maha
Kuat. Namun apabila Fanu-nya salah
atau keliru misalnya jusru ia berbohong, mencuri, merampok atau melakukan
kesalahan lainnya, maka ia akan gagal bahkan dapat berakibat pada kematian.
Itulah sebabnya bagi sebagian sejarahwan dan antropolog tentang Timor seperti Schulte Nordholt mengartikan Fanu ini sebagai "formula perang" yang menentukan
kemenangan dan keberhasilan dalam perang.
Fanu adalah batu dasar atau pijakan,
sebagai suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih yang memperjanjikan
sesuatu dengan menyebutkan Uis Neno (penguasa langit) dan Uis Pah (penguasa
bumi) sebagai saksi. Uis Neno adalah pelindung dan pemberi panas maupun hujan,
sedangkan Uis Pah adalah yang memangku di pangkuan dan membesarkan kita. Uab Fanu dibuat
dalam kerangka kata-kata yang sakral dan magis yang berasaskan kejujuran,
kebenaran dan ketulusan. Itulah sebabnya, seseorang yang mengucapkan Fanu harus datang dari kejujuran hatinya
juga harus datang dari kebenaran tindakannya. Bagaimana fanu dapat begitu mempengaruhi hidup seseorang?. Sebab ia
menganggap bahwa Fanu adalah wujud
nyata yang dapat dilihat dan disaksikan atau dirasakan seorang manusia
berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Kuasa atau Uis Neno ketika membela atau
memperkarakan sesuatu.
Oleh karena Fanu datang dari kemurnian, kejujuran
serta kebenaran, maka fanu adalah
formula yang tepat untuk isu-isu pemberantasan Korupsi. Fanu tepat bagi para penegak hukum mulai dari institusi kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan sebab dengan fanu
setiap penegak hukum menjalankan fungsi Yudikatif dengan kejujuran dan
kebenaran hati bukan karena pekerjaan semata ataupun karena suap. Begitu juga
para pejabat-pejabat yang mengelola keuangan negara tidak akan berani melakukan
praktik korupsi karena nyawa adalah taruhannya.
Fanu diperkirakan dari kata dasar fanut yang artinya mencuci tangan sampai
bersih. Ini memiliki artian atau perlambang bahwa perjanjian ini berasal dari
hati yang bersih dan murni dengan dilandasi ketulusan untuk tetap memegang
janji oleh seluruh keturunan para pihak yang menyampaikan fanu ini. Fanu dilanjutkan secara turun temurun untuk menjadi
pegangan pengetahuan sehingga suatu hari ketika berperang atau berperkara dapat
diperiksa apakah ia berada pada pihak pelanggar janji atau tidak.
Orang
Timor menyadari bahwa ketidak jujuran akan menyulitkan hidup seseorang. Sampai
hari ini banyak orang Atoni yang masih mempercayai keampuhan fanu dalam menyelesaikan perbedaan yang
tajam tentang suatu persoalan yang rumit. Salah satu ketidak jujuran di negara
kita adalah bagaimana nilai-nilai sejarah kita telah dibengkokkan. Dalam banyak
kurikulum pendidikan menyebutkan bahwa agama Kristen dan agama Katholik adalah
agama penjajah yang disebarkan dengan slogan Gold, Glory and Gospel. Hari ini apabila anda mengetik kata ini di
Google maka ini akan menjadi kata kunci dalam mendiskreditkan agama kristen
sebagai produk penjajah. Tentu kita semua tahu bahwa bangsa Eropa datang dalam
misi perdagangan.
Apabila
kita merunut pada sejarahnya, pada awal hadirnya Kolonialisme di Nusantara
tentu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan perdagangan terutama kolonialisme
ini justru dijalankan oleh perusahaan perdagangan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Perusahaan
Belanda Hindia Timur). Namun bukankah keberlangsungan kehidupan
suatu negara tergantung pada kemampuan berdagangnya?. Namun VOC, sebagai supir
Kolonialisme di Indonesia hadir ketika alam kesadaran peradaban dan perubahan
masyarakat kita masih sangat lemah.
Ketika bangsa Eropa,
bangkit dari keterbelakangan mereka, menyatukan pola pikir mereka dan
menyingkirkan perbedaan dan bersatu dibawah suatu sistim pemerintahan yang
lebih unggul lalu melangkah masuk ke daerah-daerah Nusantara yang masih terisi
oleh entitas-entitas lokal dan suku-suku yang terpecah-pecah dan saling
menghancurkan. Mereka hadir sebagai entitas Politik yang teratur dan
terstruktur dan sangat konkrit serta esensial dimana mereka mampu
mempertahankan suatu sistem yang seimbang yang menutup kekurangan-kekurangan
pada entitas-entitas lokal kita yang masih terkukung oleh ego diri sendiri dan
keterbelakangan.
Ketika
berdagang itulah mereka membawa peradaban mereka salah satunya adalah agama
Kristen. Bila kita mau jujur, maka kedatangan agama Hindu di Nusantara juga
karena perdagangan dari orang-orang India sekitar seribu tahun lalu. Lalu
kedatangan agama Islam juga akibat perdagangan dari orang-orang Arab, Persia
dan Timur Tengah lainnya juga karena perdagangan. Lalu apabila dengan
konskurensi yang sama mengapa hanya agama Kristen yang identik dengan Gold, Glory and Gospel?. Semoga ke
depan, elemen bangsa kita ketika merumuskan suatu sejarah atau pokok-pokok
pikiran, menyusun dengan kejujuran dengan Fanu
dan bukan dengan pikiran sempit.
Sekarang ini banyak
sekali orang-orang yang tidak jujur, bersilat lidah ketika melakukan kesalahan
bahkan bila itu suatu perbuatan yang menista atau menghina kepercayaan orang
lain, maka ia dengan berbagai kata dan kepandaian bersilat lidah menghindar
dari tanggung jawab. Budaya Fanu dapat menjadi katalisator agar seseorang mau
dan jujur mengakui kesalahannya.
Suatu
diskusi tentang agama adalah diskusi yang melelahkan dan tiada habis-habisnya.
Ini tentu bersumber pada pemahaman bahwa kepercayaan pada Tuhan dalam
agama-agama adalah kepercayaan di luar batas kemampuan berpikir manusia (nalar)
. Karena kerumitan dan kesulitan dalam memahami kerangka ketuhanan dalam
agama-agama ini, maka perbedaan-perbedaan tajam dapat terjadi yang bisa
berakhir pada bentrok fisik dan konflik berkepanjangan. Hal ini merupakan
ganjalan pada kerukunan umat beragama di dalam pergaulan.
Nilai-nilai
kearifan lokal dapat merajut kembali kebersamaan tanpa mempertentangkan
perbedaan-perbedaan yang ada diantara masyarakat sebab nilai-nilai kearifan
lokal merupakan bagian dari tradisi dan budaya bukan hasil keruwetan berpikir
dan bernalar tetapi bersumber kepada kearifan dan kebijaksanaan yang membawa
penyatuan perbedaan secara naluri.
Namun
perlu disadari pula bahwa kehidupan bermasyarakat dan berbudaya merupakan akar
kehidupan yang muncul dari jati diri sendiri sehingga tidak begitu membias
kepada isu-isu sensitif yang mungkin menyinggung pada kepercayaan lapisan
masyarakat yang lainnya. Pada kenyataannya justru kearifan lokal kini semakin
terpinggirkan, sehingga menjadi jelas bagi kita bahwa merawat kerukunan umat
beragama di Indonesia sama sulitnya dengan merawat keberadaan kaarifan lokal
yang semakin terpinggirkan.
Dalam
hal merawat kerukunan antar umat beragama dengan merujuk pada fokus utama
kearifan lokal justru menjadi suatu kenyataan yang benar-benar paradoksal. Di
satu sisi kehidupan beragama adalah untuk menata kehidupan sosial masyarakat
dalam hubungannya dengan Tuhan dan manusia, disisi lainnya justru agama dikerdilkan
karena perbedaan-perbedaan diantara agama-agama ini menjadi alasan perpecahan
dan konflik.
Oleh karena itu, dalam
hal budaya, agama, politik dan terutama hubungan sosial kemasyarakatan maka
pendekatan itu tidak berarti harus dilihat secara terpisah-pisah namun harus
dilihat secara menyeluruh. Hubungan keharmonisan antara agama, politik dan
hubungan kemasyarakatan sebagai suatu ikatan yang saling berpengaruh baik di
masa sekarang maupun di masa yang akan datang.
Isu-isu
yang berkaitan dengan kesetaraan gender-pun merupakan isu yang sangat penting.
Harus kita akui bahwa dalam budaya-budaya Timur, penghargaan terhadap
kesetaraan gender adalah sangat sedikit. Namun kita harus jujur bahwa kesetaraan
gender bukan berasal dari budaya eropa tetapi justru konsep ini datang dari
kesadaran intelektual serta nilai-nilai kekristenan yang menyadarkan bahwa semua
manusia dilahirkan sama.
Namun kearifan lokal di
Amanuban pada beberapa aspek masih memandang wanita sederajat. Penunjukan
pemimpin kampung misalnya, pada masa pemerintahan raja Amanuban PaE Nope
(1920-1945) ada beberapa temukung[19]
(Temukung adalah jabatan setingkat kepala kampung. Kurang lebih kepada
desa sekarang ini. Diatas Temukung ada jabatan Fetor dan diatas Fetor adalah
raja)
yang
dipimpin oleh perempuan. Ini merupakan salah satu bentuk bahwa budaya di Timor
tidak begitu mengabaikan peran perempuan. Tentu saja isu-isu lainnya terutama
kesetaraan gender tetap harus menjadi bagian terpenting untuk menyelaraskan
bagian-bagian yang masih kurang dalam kearifan lokal dan budaya ketimuran.
Namun penting disini
bahwa nilai-nilai luhur kearifan lokal dapat di sebar luaskan melalui dunia
pendidikan formal dan informal. Tentu kita memiliki alasan yang tepat sebab
budaya merupakan jati diri kita dan juga menjadi identitas bangsa kita. Uniknya
justru banyak pemerhati budaya dan perdaban Nusantara adalah orang-orang Eropa.
Kita contohkan saja Van Vollenhoven seorang ahli hukum adat yang sangat
terkenal beserta muridnya Mr. B. Ter Haar Bzn, Mr, H.G Baron Nahuijs van
Burgst, C.F Winter, dr. D.L Mounier dan selusin sarjana lainnya.
Begitu
pula dengan pengembangan budaya Atoni Pah Meto justru oleh Pieter Middelkop,
Schulte Nordholt, D.S Krayer van Aalst dan selusin penulis lainnya yang lebih
dikenal. Tentu ada suatu kekhawatiran bahwa ketika modernitas dalam kalangan
pribumi terutama dari kalangan Atoni yang begitu deras dan semakin meminggirkan
budaya asli kita. Oleh karena itu, mencintai budaya dan kearifan lokal haruslah
datang dari ketulusan hati dan bukan hanya saat dibutuhkan bagi
seremoni-seremoni ataupun ketika terjadi perhelatan politik saja.
Semenjak dunia
dilanda oleh demam internet dengan bebagai aplikasi layanannya, maka seolah
dunia hanya dalam genggaman saja. Dunia menjadi begitu kecil dan deras arus
budaya-budaya luar begitu terkenal. Korea Selatan tidak hanya mengimpor Hp
Samsungnya tapi juga budaya K-Pop dan Gangnam Style yang sangat digandrungi
anak-anak remaja di seluruh dunia. China juga tak ketinggalan dengan Xiaomi-nya
sekaligus dengan mendunianya aplikasi Tik-Tok. Semua informasi dapat menyebar
secara instan sehingga sudah sepatutnya diupayakan agar penyebaran informasi
tentang keindahan dan kekuatan kearifan lokal kita bisa disebarkan secara masif
dan efektif bisa dilakukan sebagaimana Tik-Tok dan K-Pop.
Namun
justru budaya-budaya dan kearifan lokal kita sebaliknya mengalami kematian
perlahan-lahan karena ketidak mampuan kita menyeimbangkan arus informasi yang
masuk dengan arus informasi yang keluar. Disamping itu pula kita tidak mampu
menyebarkan dan menunjukan kepada dunia tentang keindahan budaya kearifan lokal
kita. Ketidakmampuan ini bukan hanya menenggelamkan identitas kita namun juga
membuat kita menjadi komunitas masyarakat kita menjadi tertutup (Closed Society) seolah-olah tidak ada
informasi penting dan berharga dalam budaya kita yang patut di sebarkan ke
dunia luar.
Dalam
sejarah dunia kita tahu bahwa peradaban China pada mulanya lebih maju dari
peradaban barat. Beberapa abad yang lalu China lebih maju dari barat baik itu
dari segi ilmu pengetahuan, kemajuan filasafat, teknologi dan peradaban
lainnya. Contohnya pengecoran besi dengan menggunakan tungku tekan (blast-furnace) telah dimulai pada 200
tahun sebelum masehi. Bahkan sejarah mencatat bahwa bangsa China-lah yang
pertama kali menciptakan kertas, kompas, kain sutra, bubuk mesiu, mercon, mesin
percetakan, desain kapal dan hasil kebudayaan-kebudayaan lainnya yang lebih
maju dari bangsa Eropa. Namun apa yang kemudian membuat peradaban Eropa menyalip
peradaban China?.
Banyak
pemikir sejarah telah menyetujui bahwa sebab-sebab kebudayaan masyarakat China disalip
kebudayaan Eropa adalah karena “konstruksi sosial” mereka lebih tertutup (Closed-society). Hal ini tentu
dikarenakan budaya-budaya konstruktif dari China yang muncul dan lestari dalam
peradaban mereka hanya dikuasai dan dimiliki oleh elit-elit bangsa, para
bangsawan dan para pejabat. Hal ini sebagai alasan bahwa ketika budaya-budaya
konstuktif ini hilang bersama-sama dengan elit-elit bangsa dan para bangsawan
ketika terjadi pergantian dinasti maka hilang pula semua budaya-budaya
konstruktif ini.
Sedangkan menurut
Iskandar Alisjahbana ketertinggalan bangsa China juga diakibatkan karena
pemerintah, dan hanya pemerintah yang maha tahu dan maha berbakat[20].
Akhirnya konstruksi sosial seperti ini mem-buntu-kan
banyak hal. Inovasi tidak berkembang, ide-ide menjadi mati, tidak ada penemuan
baru, segala jenis budidaya tidak berkembang karena pemerintahan yang sangat
sentralistis dan dogmatis. Ini juga merupakan bagian dari perspektif yang
terutup
Sebaliknya kebudayaan
Barat merupakan keterbalikan dari itu semua. Budaya yang konstruktif
dibudidayakan, disebarkan dan dikembangkan. Teknologi serta filsafat
dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi maju dan menjadi patokan dalam
pembangunan di segala bidang. Akses pendidikan dan budidaya serta filosofi yang
konstruktif disebarakan secara masif dan terbuka (open- society). Itulah sebabnya mereka mampu bahu membahu
membangun Eropa dalam segala bidang dan menjadi kampium dunia selama beberapa
abad ini.
Akhirnya kini, bangsa
China telah belajar dari kesalahan masa lalu mereka dan sementara mengejar
ketertinggalan mereka. Mereka telah kembali membangun tatanan masyarakat yang
modern dengan tetap memelihara budaya-budaya dan kearifan lokal mereka bahkan
sekarang menyebarkannya keseluruh dunia seiring dengan berkembangnya dunia
internet. Kini China dan Eropa berlomba-lomba dalam mengembangkan bangsa dan
negara mereka agar maju di segala bidang, sedangkan negara kita tidak sedang
maju kemana-mana karena kelihalangan karakter bangsa. Saat ini negara kita
lebih banyak disibukkan dengan mempertajam perbedaan pilihan politik kita,
memperdebatkan perbedaan budaya kita dan mempersoalkan perbedaan pemahaman
serta tradisi dan adat istiadat kita. Kita bukan saling belajar dan saling
mengisi, saling melengkapi dan saling mengakui eksistensi masing-masing budaya
dan kearifan lokalnya.
Keberagaman
dan perbedaan dalam hal berbangsa dan bernegara di Republik kita sangat kaya
akan nilai-nilai budaya yang positif. Membangun Negara sebenarnya sama sulitnya
ketika memperjuangkannya dari penjajahan. Dengan kesadaran demikian, maka para
Founding Father dari negara ini menyusun dasar-dasar negara kita dengan
asas-asas Pancasila yang menerima segala perbedaan dari seluruh peradaban di
Nusantara. Kemerdekaan kita ini dilandasi oleh pemikiran bersama seluruh
komponen bangsa bahwa Penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan. Dari pemikiran ini, maka seluruh komponen bangsa berhasil
disatukan dan bukan disatukan oleh sentimen keagamaan yang sama seperti yang
saat ini di kampanyekan oleh sekelompok radikalis.
Mari
kita merajut kebersamaan, merajut kerukunan berdasarkan Fanu, Nonot dan Tonis sehingga bangsa dan negara kita ini menjadi
harmonis.
Salam
damai sejahtera.
Pina
Ope Nope :
1. 1. penulis buku Sejarah “Konflik Politik di
Timor tahun 1600-1800an – perjalanan Amanuban dan kerajaan Atoni lainnya
menentang hegemoni bangsa Eropa di Timor tahun 1600-1800an”
2. 2. Anggota pendiri dan anggota pengurus
“Forum Sejarah dan Budaya Timor” (F-SBT) Pusat
3. 3. Ketua dan penggagas Forum Pelestari
Budaya Atoin Meto’ (F-PBAM)
4. 4. Sekertaris Perkumpulan/ Persekutuan
Masyarakat Hukum Adat dan Budaya “AMANUBAN”
5. 5. Sekretaris FKUB Kecamatan Amanuban
Tengah
D A F T A R P U S T A K A
1. “Amerika
dan Dunia” Yayasan Obor Indonesia, Tahun 2005
2.
Indonesia Abad XXI, Di Tengah Kepungan Perubahan Global - PT. Kompas Media Nusantara –
Tahun 2000
3. Materi
Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Pancasila
sebagai dasar dan ideologi Negara dan UUD tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara
serta ketetapan MPR sebagai bentuk negara Bhineka Tunggal Ika sebagai Semboyan
Negara, Penerbit : Sekretariat Jenderal MPR RI, 2016.
4. Krayer
van Aalst, Surat-surat dari Kapan, Benih Cinta Kasih Allah dalam budaya Atoni,
penerjemah : Pdt. Ebenhaizer I. Nuban Timo, penerbit Fakultas teologi
Universitas Kristen Satya Wacana, 2016
5.
Dr. I Gde Parimartha, “Perdagangan dan
Politik di Nusa Tenggara 1815-1915”, Penerbit Djembatan, tahun 2000
[1] Samuel P. Guntington adalah lmuwan politik Amerika Serikat. Ia adalah Guru Besar sekaligus Ketua Jurusan Ilmu Politik di Universitas Harvard dan Ketua Harvard Academy untuk Kajian Internasional dan Regional, di Weatherhead Center for International Affairs.
[2] Benturan Peradaban? Samuel P. Huntington dalam buku “Amerika dan Dunia” Yayasan Obor Indonesia, Tahun 2005
[3] Ketua Yayasan Paradina.
[4] Indonesia Abad XXI, Di Tengah Kepungan Perubahan Global, tahun 2000, hal. 40
[5] Fukuyama merupakan anggota senior Center on Democracy, Development and the Rule of Law di Universitas Stanford sejak Juli 2010. Sebelumnya, ia menjabat sebagai dosen dan direktur program pembangunan internasional di the School of Advanced International Studies, Universitas Johns Hopkins. Sebelumnya lagi, ia merupakan dosen kebijakan publik Omer L. dan Nancy Hirst di School of Public Policy, Universitas George Mason
[6] Akhir Sejarah? Francis Fukuyama dalam buku “Amerika dan Dunia” Yayasan Obor Indonesia, Tahun 2005
[7] Irwan Abdullah, Indonesia Abad XXI, di tengah kepungan perubahan Global, PT. Kompas Media Nusantara, hal.44-45, 2000
[8]
Materi
Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Pancasila
sebagai dasar dan ideologi Negara dan UUD tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara
serta ketetapan MPR sebagai bentuk negara Bhineka Tunggal Ika sebagai Semboyan
Negara. Sambutan Pimpinan Badan Sosialiasi MPR RI Periode 2014-2019, Drs.
H. Ahmad Basarah, Penerbit : Sekretariat Jenderal MPR RI, 2016.
[9] Sebenarnya agama tradisional juga dapat disebut agama wahyu sebab para pelestari agama tradisional juga mengklaim bahwa agam mereka juga merupakan wahyu dari dunia supranatural
[10] Non = mengatur dan Abas = benang
[11] Nek = dari kata Nekaf yang artinya hati, pikiran dan perasaan, Mese= satu. Nek Mese berarti bersatunya hati, pikiran dan perasaan
[12] Ote Naus adalah tradisi untuk mengetahui apa maksud atau kehendak (Tuhan) Uis neno berkaitan dengan persoalan atau penyakit yang diderita. Pada jaman sebelum kekristenan masuk, orang akan membuat Ote’ Naus dengan membelah telur rebus (pol Teno ma neh auni) atau membunuh binatang dan melihat hati binatang (Tae Aten). Pada masa sekarang Ote’ Naus dilakukan orang Atoni Kristen dengan pergi ke hamba Tuhan/ Pendeta untuk didoakan sembari mencari tahu maksud Tuhan
[13] Krayer van Aalst, Surat-surat dari Kapan, Benih Cinta Kasih Allah dalam budaya Atoni, penerjemah Pdt. Ebenhaizer I. Nuban Timo, hal. 348-349, penerbit Fakultas teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2016
[14] Lopo adalah rumah induk yang terdiri dari empat tiang besar dengan atap jerami setengah kerucut namun tanpa dinding
[15] Ume Kbubu artinya rumah bulat. Rumah ini dibuat dengan atap jerami namun ujungnya hampir nenyentuh tanah, dibangun dengan atap berbentuk setengah kerucut namun hampir menyentuh tanah. Berdinding namun tidak berjendela
[16] Istilah ini bisa untuk mempelai perempuan dan mempelai laki-laki
[17] Nurcholis Madjid, Indonesia Abad XXI, di tengah kepungan perubahan Global, PT. Kompas Media Nusantara, hal.148, 2000
[18] Tempat/ wadah untuk menyungguhkan sirih pinang
[19] Dr. I Gde Parimartha, “Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915”, hal. 74. Penerbit Djembatan,
[20] Iskandar Alisjahbana, Indonesia Abad XXI, di tengah kepungan perubahan Global, PT. Kompas Media Nusantara, hal.19-27, tahun 2000
Komentar
Posting Komentar