MENGULAS TENTANG KOTA KUPANG DARI TAHUN 1600 - Melawan lupa atas sejarah HUT Kota Kupang

 

MENGULAS TENTANG KOTA KUPANG DARI TAHUN 1600

Melawan lupa atas sejarah HUT Kota Kupang

Oleh : Pina Ope Nope


                Ketika membaca salah satu pucuk berita pada portal salah satu media on line (GATRA.com) beberapa waktu lalu, saya cukup terkejut dengan berita di media ini yang menyebutkan bahwa pada tanggal 25 April 2020, kota Kupang berulang tahun yang ke-134 tahun. Yang membuat saya terkesima adalah adalah daerah Kupang dianggap lahir sebagai sebuah kota pada tahun 1886. Hal ini sedikit membingungkan sebab beberapa dokumen sejarah telah menulis tentang keberadaan Kota Kupang jauh sebelum tahun tersebut. Bahkan dapat dihitung dua ratus tahun ke belakang dari tahun 1886 itu sendiri. Ketika kita menelusuri penyebab penetapan hari lahir kota Kupang maka kita akan sampai pada sebuah alasan yaitu : karena pada tanggal 23 April tahun 1886, Resident saat itu Resident Creeve telah menetapkan batas-batas kota dengan menerbitkan Staatblad Nomor 171 tahun 1886. Namun benarkah merujuk pada penentuan batas-batas kota ini maka sejarah berdirinya sebuah kota ditetapkan?.

Apabila kita membandingkan hari lahir kota Jakarta maka ada perbedaan secara mencolok. Hari lahir kota Jakarta ditetapkan pada masa Gubernur Sudiro, Gubernur ketiga yang menjabat pada tahun 1953-1957. Sebenarnya ada pilihan lain bagi Sudiro yakni pada bulan Mei yaitu perayaan yang selalu dilakukan oleh orang-orang Belanda di Batavia untuk mengenang kemenangan Jan Pieterzoon Coen yang menaklukan Sunda Kelapa pada tahun 1619, namun Sudiro tidak suka dengan gagasan itu karena menurutnya itu akan menciderai rasa kebangsaan dan Nasionalisme rakyat.

Sudiro lantas mengundang tiga sejarawan kondang ke ibu kota, untuk berdiskusi mencari tanggal yang lebih baik. Ketiga sejarawan itu masing-masing adalah Mohamad Yamin, Sukanto, dan wartawan senior Sudarjo Tjokrosisworo yang ia sebut sebagai upaya akademik namun sebenarnya ini adalah upaya Politis. Setelah berunding maka diputuskan hari ulang tahun DKI Jakarta adalah 22 Juni terhitung sejak tahun 1527. Tanggal ini ditentukan dengan merujuk pada kemenangan pasukan Fatahillah melawan kerajaan Padjajaran (bercorak hindu) dan itu adalah kerajaan bercorak hindu terakhir di tanah Jawa. Saat itu kerajaan ini merupakan sekutu dagang dengan Portugis. Malangnya kapal-kapal Portugis yang baru datang dan pasukan-pasukan Portugis yang belum menginjakkan kakinya di tanah kering dibunuh oleh pasukan Fathillah. Fatahillah sendiri adalah seorang pelarian dari Malaka yang penuh dendam terhadap Portugis akibat kejatuhan Malaka di tangan Portugis pada tahun 1511. Uniknya sebagian sejarahwan menyebut bahwa Fatahillah baru menginjakkan kakinya di Jawa pada tahun 1525. Hingga hari ini tanggal tepatnya kota ini berdiri masih diperdebatkan walaupun tahunnya telah mencapai konsesus. Ini adalah suatu perbandingan dengan penentuan hari lahir antara kota Jakarta dan Kota Kupang.

Berbeda dengan HUT kota Jakarta dan Kupang, kota SoE memang sejak dahulu bukan sebuah daerah penting. Daerah ini bukanlah pusat perdagangan dan hanya sebuah kampung kecil yang sepi. Ketika penentuan ibukota atas pendirian Zuid Midden Timor (Timor Tengah Selatan), atas kesepakatan Raja Amanuban, Mollo dan Amanatun barulah SoE ditetapkan sebagai sebuah pusat pemerintahan[1] dan secara perlahan bertumbuh menjadi sebuah kota seperti sekarang ini. Memang harus diakui kajian Historis atas banyak hal di Timor masih sangat minim bahkan boleh dikatakan tidak ada.

 

Penyebutan “kota” untuk Kupang

                Ketika menyebut hari lahir atau dirgahayu, maka kita kan sampai pada kesimpulan bahwa hari tersebut adalah hari dimana sesuatu itu bermula. Sebelum itu, apa yang kita sebut “sesuatu itu” baru mulai ada, sebab “sesuatu itu” tadinya belum ada. Oleh karena itu, apabila kita merujuk pada ulang tahun untuk menyebut “Kota” Kupang bermula di tahun 1886 maka kita akan tersandung pada pemikiran ini.

Apabila kita mau menelisik dan mencermati catatan sejarah, maka ada beberapa catatan yang telah menyebut Kupang sebagai kota bahkan hampir seratus tahun sebelumnya. Kita kutip saja tulisan dari George Miller dalam bukunya Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992. Hal. 82; yang diambil dari catatan William Bligh, dengan judul “Beristirahat di Kupang”. Ia mengutip catatan perjalanan William Bligh yang singgah di Kupang sejak 14 Juni 1789. Dalam catatannya Bligh menyatakan bahwa :

 “Kota Kupang terletak di sebuah teluk besar yang daerahnya cocok untuk jalur pelayaran. Kota ini berada pada 10’ 12’ Lintang Selatan dan menurut peta pelayaran Belanda berada pada 121’ 51’ Bujur Timur. Tetapi dengan menghitung proyeksi rata-rata bujur Kota Kupang, yakni antara perkiraan awal saat kedatangan kami dengan perkiraan setelahnya dalam pelayaran kami ke Batavia, agaknya Kota Kupang terletak pada 124’ 41’ Bujur Timur”[2].

William Blight yang menurut buku Prof. Hans Hagerdall[3] adalah seorang pelaut Inggris pernah singgah di Kupang selama beberapa lama. Apabila Blight saat itu (tahun 1789) telah menyebut Kupang sebagai “kota”, maka tentu saja situasi di Kupang saat itu memang sudah merupakan sebuah kota, kecuali Blight salah menilainya. Oleh sebab itu saya pribadi mendorong Pemerintah Propinsi terutama Pemerintah Kota Madya Kupang untuk lebih serius dalam menelusuri sejarah berdirinya Kota Kupang.

Kupang kota pelarian

            Apabila kita menelisik sejarah di Timor, sangat banyak rujukan-rujukan yang menyebutkan bahwa kota Kupang merupakan sebuah kota pelabuhan yang penting. Gejolak-gejolak politik yang menentukan pasang surutnya tempat itu telah berlangsung semenjak awal tahun 1600an. Kalau boleh dikatakan Kupang menjadi area dimana persaingan Politik di Timor mencapai klimaksnya disana.

            Sejak tahun 1613, Belanda hadir disana atas ajakan raja Helong di Kupang. Belanda hanyalah satu kelompok kecil sedangkan di pedalaman Timor bergerak sebuah kekuatan besar dari kerajaan-kerajaan Atoni yang dipengaruhi oleh Portugis Hitam (Topas) yang semakin mendesak ke arah barat. Oleh karena khawatir akan hal ini, maka raja Helong di Kupang mengundang kekuatan Belanda untuk membangun basisnya di Kupang. Pergolakan politik di pedalaman Timor akhirnya mencapai suatu klimaks dimana terjadi perpecahan diantara kerajaan-kerajaan Atoni yang akhirnya membentuk sebuah aliansi “Amabi dan Sonbai”. Ketika itulah aliansi ini melirik kekuatan VOC sehingga terbentuklah aliansi Amabi-Sonbai-VOC pada tahun 1655 untuk mengakhiri dominasi Portugis Hitam (Topas). Namun akhirnya perang ini justru mengakibatkan kekalahan yang memalukan aliansi ini pada tahun 1657-1657 serta mengakhiri kakisaran Amabi di tengah pulau.

Sementara itu, semenjak berakhirnya perang aliansi ini melawan kerajaan di pedalaman Timor yang bercorak Katholik dan dibawah pengaruh Portugis Hitam (Topas), terutama pengungsian besar-besaran dari pihak Amabi dan sebagian Sonbai (kelompok ini kemudian disebut Sonbai kecil) yang mencapai 20.000 orang yang menurut laporan Ter Horst saat itu. Jumlah pengunsi yang demikian besar ini akhirnya cukup mempengaruhi wajah Kupang. Pembaca dapat membacanya pada tulisan saya (Kisah Kekalahan VOC Belanda Di Pulau Timor pada awal abad 17 bagian 1 s/d 4).

Selanjutnya Kupang menjadi lebih hidup ketika bergabungnya pengungsi lainnya menjadi sekutu VOC di Kupang yaitu Amfoan (1683) dan Taebenu (1688). VOC bersama 5 kerajaan sekutunya ini kemudian membangun suatu komunitas kota yang saling bergantung untuk bertahan dari serbuan kerajaan-kerajaan di pedalaman Timor. Kupang tetap menjadi sasaran penyerbuan kerajaan-kerajaan di pedalaman Timor hingga klimaksnya pada tahun 1749 di Penfui, dimana pengaruh Portugis Hitam merosot tajam. Walaupun demikian kerajaan-kerajaan di pedalaman Timor masih merdeka dan tercatat Kaisar Sonbai Besar Alfonsus Adrianus (Kau Sonbai) melakukan penyerbuan yang cukup masif di tahun 1786 yang kemudian memiskinkan raja Kupang[4]. Bahkan dalam buku History of Timor, disebutkan bahwa Amanuban sering melakukan penyerbuan ke Kupang. Penyerbuan yang cukup besar terjadi pada masa pendudukan Inggris di Kupang pada tahun 1814-1816.

            Sudah umum dalam tradisi lisan ketika kita mendengar sebuah konflik besar terjadi, banyak orang yang bermasalah, orang-orang yang membutuhkan tempat pelarian memilih untuk mengungsi ke Kupang. Orang-orang Atoni yang berbahasa Uab Meto’ sering menyebut Kupang dengan sebutan “nao neu snae ketu Kopan, hu mate’ Kopan” sebuah kiasan bagi penyebutan tempat itu - “pergi ujung Kupang yang berpasir dan menuju ke tempat yang berumput muda di Kupang”. Entah rumput apa yang muda namun ini nampaknya mengkiaskan tentang kehidupan baru di Kupang seperti kerbau dan kuda yang memperoleh tempat penggembalaan yang baru dengan rumput-rumput baru nan hijau di Kupang.

 Laporan biarawan 

Berikut ini adalah sebuah laporan dari seorang Biarawan Portugis (de Matos) yang menulis tentang keadaan di Timor waktu itu di tahun 1697 atau sekitar 30 tahun setelah perang Amabi (1657) ini berakhir. Disana ada banyak menyebutkan tentang rakyat Timor di Kupang sebagai basis politik yang mulai kuat berusaha merebut Babau dari kontrol Portugis Hitam (Topas) namun upaya ini digagalkan. Salinan laporan ini saya peroleh dari Prof. Hans Hagerdall beberapa waktu lalu. Naskah ini semula berbahasa Portugis namun telah diterjemahkan oleh Prof. Hans Hagerdall ke bahasa Inggris[5]. Demikian laporan yang saya terjemahkan ke bahasa Indonesia :

Pulau Timor ini [tadinya] terdiri dari dua bagian dan dua negara : yang di sisi barat disebut Vaiquenos [Atoni Pah Meto], dan di bagian ini terdapat dua kaisar dengan tanah, kerajaan, dan yurisdiksi mereka. Kaisar pertama adalah Amave [Amabi], yang melarikan diri ke Belanda (di Kupang) pada tahun [1658] dan hari ini membantu mereka di Cupão [Kupang] yang berada bagian ujung barat dari pulau ini. Tanah, kerajaan, dan yurisdiksi dari kaisar ini [Amabi] tetap ada, namun semua sepenuhnya telah dikuasai oleh mereka yang memerintah pada waktu itu [Portugis Hitam].

Salah satu tanah kaisar ini adalah Babau, tetangga Cupão [Kupang]. Tempat ini adalah salah satu tanah yang bagus di pedalaman pulau ini yang tidak berpenghuni. Orang-orang Cupão ingin mengambil alihnya pada masa pemerintahan Francisco Hornay, yang dengan segera [tujuan ini] dihalangi olehnya. Mereka yang [salah satunya] memiliki andil dalam perburuan kaisar ini adalah Raja Amarrasse yang malang, D[on]. Augusto, yang memiliki perang secara terus-menerus dengan orang Timor yang berada di Cupão dan orang dapat mengatakan bahwa Amarrasse merupakan kunci dari pulau ini.

Pada masa [berkuasanya] Kapten Jenderal Mateus da Costa [-1672], kerajaan ini [Amarrase] sangat disukai sedangkan pada masa Gubernur António Hornay [1673-1693] tidak begitu banyak [disukai]; tetapi hal ini justru memberikan pemikiran untuk mengambil keputusan yang penuh kehati-hatian dan tahu bagaimana caranya mengambil hati mereka. Bahkan pada masa Francisco Hornay [1693-1696], bagian ini hampir terlupakan. Raja Amarrasse adalah seorang Kristen; letnannya adalah saudara laki-laki Kristennya, dan di wilayah kerajaan ini hidup banyak orang asing. Mereka yang tinggal di sana sama seperti orang buangan dari pulau ini, karena ini adalah sebuah kerajaan yang sangat miskin. Tidak ada biarawan yang mau membantu [atau bertugas] di sana. Penderitaan yang parah! Mereka mengatakan bahwa mereka berpaling dari dunia untuk cinta Tuhan, dan saya akan mengatakan sebaliknya tentang banyak hal yang telah saya lihat di pulau ini.

Babau sangat terancam diambil oleh orang-orang Timor [yang berada] di Cupão, oleh sebab kelalaian mereka yang memerintah [pihak Portugis Hitam]. Tuhan ingin agar pihak Belanda sibuk; jika bukan karena hal ini, Babau tentu telah tidak menjadi bagian kami lagi. António de Mesquita ingin mengisinya dengan orang-orang Sonubay. [Tetapi] ada keberatan dari pihak Raja Amarrasse, karena [penguasa] Sonubay berhubungan dengan orang Timor di Cupão saat ini, sebab saudara perempuannya ada di sana dan orang Kupang biasanya datang ke Servião untuk mencari dia, dan [sebaliknya] orang-orang dari Servião juga pergi ke sana. Untuk alasan yang masuk akal ini maka raja Amarrasse keberatan karena hal ini, [serta] meminta agar [daerah] itu diisi oleh orang lain, yang sama dengan yang dihuni oleh musuh [Amabi].

Ketika António de Mesquita menerima alasan yang diajukan oleh raja [Amarrase] tersebut, dia memerintahkan padre Frei Domingos, pendeta di Amanubão [Amanuban], untuk pergi ke Amarrasse dengan perintahnya untuk memutuskan siapa yang akan berada di Babau, guna mendapatkan [solusi] yang baik. Padre yang disebutkan di atas mengikuti perintah ini untuk mengabulkan apa pun yang diinginkannya [raja Amarrasi]. Selanjutnya raja Amarrasi D[on]. Augusto juga mengambil keputusan untuk diberikan kepadanya António de Mesquita serta Domingos Serrão atau Manuel Antunes untuk menjadi Kapten Amarrasse. Tenente D. Francisco, saudara laki-laki D. Augusto, akan pergi bersama orang-orangnya untuk mengepung Babau. Begitulah keadaan ketika armada Larantuca tiba [1697] dan semuanya akhirnya berakhir.

Kaisar yang kedua dari bagian Vaiquenos [Atoni Pah Meto] ini adalah Sonubay, yang nenek moyangnya adalah pengkhianat [menjadi sekutu Belanda dan Amabi pada tahun 1655], begitu pula [nenek moyang] dari Amacono, yang memperbaiki kesalahan masa lalu mereka setelah bencana yang telah menimpa mereka. Agar lebih dekat dengan orang-orang yang memerintah pulau ini [yaitu, Portugis Hitam] mereka menjadi Kristen (namun, anda semua harus memahami bahwa hal ini hanya atas nama [peleder], masalah ini akan segera dibahas); dan hari ini mereka lebih dihormati karena belas kasihan Yang Mulia dan khususnya disukai oleh komisaris padre.

Kaisar [Sonbai] ini memiliki tanah, kerajaan dan yurisdiksinya yang penuh kedamaian. Di sisi Timur ada dua kaisar lainnya; yang pertama disebut Camanassa dan yang kedua Vaialy [Wehale]; keduanya memiliki tanah, kerajaan dan yurisdiksi dan keduanya melayani Portugis dan merupakan pengikut Kristen yang setia dan merupakan pengikut Yang Mulia dan tidak pernah memberontak terhadap pengikut dari tuan yang tinggal di sini. Oleh karena mereka tinggal lebih jauh, mereka tidak disebutkan namanya atau dibicarakan di istana itu. (Vaiale menjadi seorang Kristen, tetapi seperti [penghuni] pulau-pulau lainnya). António de Mesquita adalah ayah baptisnya.

Dari pulau Timor ini kita masih perlu menaklukkan sepertiga di pantai timur, dan ini adalah terobosan lain yang dimiliki musuh dan kita tetap [berada] di tengah. Di antara bagian yang belum ditemukan ini dan tanah Belos [Belu], ada sebuah batu besar dan kuat dengan dataran tinggi, yang disebut Matavião, dan mereka yang tinggal di sana bukanlah teman kita, meskipun dengan cara yang fantastis.

            Dari laporan ini kita mengetahui bahwa telah terjadi persaingan dalam memperebutkan daerah Babau oleh pihak orang-orang Timor di Kupang. Orang-orang Timor disana tentu adalah sebagian besar rakyat Amabi yang telah melarikan diri dari pedalaman Timor, rakyat Sonbai Kecil (lasser Sonbai), rakyat Taebenu, rakyat Amfoang dan tentu saja pihak masyarakat Helong yang telah mendiami Kupang terlebih dahulu. Tentu saja kumpulan besar orang Timor di Kupang tidak sedikit dan telah membentuk suatu komunitas kota di Kupang. Walaupun kemudian upaya mereka untuk merebut Babau ini tidak berhasil namun kita kemudian tahu bahwa kumpulan besar pasukan Timor yang di Kupang cukup nekad untuk merebut Babau dari tangan pihak Portugis Hitam dan sekutunya yang juga memiliki pengikut dan pasukan yang cukup besar juga.

Komunitas orang-orang Timor ini belum belum terhitung para pedagang China (yang tidak mengurus politik), pedagang Arab, Jawa dan lainnya. Lalu para warga dari Solor, Lomblen dan lainnya yang dikerahkan Belanda setahun setelah kekalahan pahlawan Maluku, Arnold Vlaming van Outshorn (1656). Belum lagi orang Maluku, Rote dan suku lainnya sehingga kita memiliki sedikit gambaran bahwa Kupang saat itu (tahun 1697) telah menjadi salah satu kota yang cukup padat.

Salah Nomor

Ijinkan saya menutup tulisan ini dengan sedikit humor. Suatu hari Lipus Atoinmese ingin mendapat informasi terkait proses dokumen yang berhubungan dengan pekerjaannya sehingga ia menelpon ke suatu kantor resmi di Jakarta. Ia menghafal nomor ini sehingga ketika pertama kali telpon di seberang berbunyi Lipus ingin memastikan bahwa nomor yang ia tekan itu tidak keliru. Lipus : “Haloo...”, lalu suara di seberang telepon menyahut “ya halo bagaimana?”, lalu Lipus bertanya “apa betul ini nomor dua puluh satu ribu empat ratus dua puluh lima?”. Lalu suara di seberang menjawab “ya ini nomor dua satu empat dua lima”, lalu Lipus terkejut dan berkata “oh... maaf ternyata saya salah sambung” dan Lipus meletakkan gagang telponnya.

Kisah Lipus hanya sebuah guyonan namun penentuan sejarah sebuah kota atau suatu tempat bukan guyonan. Kita dapat mengamati bahwa ternyata peristiwa-peristiwa bersejarah di pulau Timor hampir luput dari pengamatan kita. Sudah seharusnya pihak akademisi dan pemerintah harus proaktif dalam menggali sejarah bukan hanya sebagai kekayaan budaya namun juga bisa menjadi referensi dalam menyelesaikan segala persoalan pembangunan yang sulit diselesaikan hingga sekarang.

Walaupun dalam tulisan ini tidak perlu saya sebutkan bahwa Kupang telah menjadi pusat kota dari suatu komunitas pada tahun 1697, namun tulisan sederhana ini mungkin sedikit memberi gambaran yang samar-samar pada kota Kupang sekitar 370 tahun lalu bahwa kota ini telah menjadi pusat perhatian masyarakat seluruh pulau. Tentu saja penentuan bahwa hari lahir kota Kupang tahun 1886 menurut pendapat saya masih perlu dikaji kembali. Namun bila hal ini dipandang tidak begitu penting, maka bisa saja kita anggap demikian.

Mungkin kita harus banyak belajar dari kota Jakarta sebab dengan menentukan hari lahir kota itu dengan kisah penaklukan Fathillah yang walaupun dinilai bersifat Politis, namun kemudian perayaan HUT kota itu lebih meriah dan lebih hidup dibandingkan dengan perayaan HUT kota Kupang yang lahir hanya karena sebuah Staatblad. Sebenarnya “keriuhan” sejarah di kota Kupang lebih riuh dan lebih dinamis dibandingkan penaklukan Fatahillah yang sampai sekarang kisahnya juga masih terjadi banyak perbedaan dan perdebatan. Apabila kita – orang Timor - memiliki kekayaan sejarah yang lebih riuh dibandingkan dengan tempat lain lalu mengapa kita tidak mau menelisiknya?.

Namun tulisan sederhana ini sebagai penggugah bukan gugatan terhadap HUT kota Kupang. Mohon agar pembaca yang tidak menyetujui pendapat-pendapat saya tidak perlu memperdebatkannya namun menerimanya sebagai perbedaan pendapat saja. Selamat membaca dan merenung....



[1] Raja-raja Amanatun yang berkuasa, Don Y.Y.K Banunaek, ST, MT Arst, Pustaka Pelajar, Hal. 51

[2] Citra Kota Kupang, ANRI (Arsip Negara Republik Indonesia) Jakarta tahun 2018, Halaman 5

[3] Prof. Hans Hagerdall, Lords of The Lands, Lords of the Sea (Conflick and adaptation in Early Colonial Timor, 1600-1800), Halaman 402

[4] Prof. Hans Hagerdall, Lords of The Lands, Lords of the Sea (Conflick and adaptation in Early Colonial Timor, 1600-1800), Halaman 402

[5] de Matos, Timor no passado, 2015, hlm. 125-26

Komentar

  1. Mantap. Selayaknya menelisik sejarah agar kita membangun wacana yang mengandung nilai kebenaran bukan membangun ragam gaya pembenaran.

    Salam perjuangan menelisik sejarah agar menegakkan tugu kehormatan Pah Meto

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH TIMOR : KISAH HILANGNYA PENGARUH MAJAPAHIT DI PULAU TIMOR

SEJARAH KOTA KUPANG : MARET 1812, RESMINYA PENDUDUKAN INGGRIS DI KUPANG

Seri Sejarah Timor : GUBERNUR PALING JENIUS DALAM SEJARAH KUPANG (Bagian I)