SEJARAH WABAH-WABAH PENYAKIT DI TIMOR DAN SOLOR DI MASA LALU

SEJARAH WABAH-WABAH PENYAKIT DI TIMOR DAN SOLOR DI MASA LALU



Oleh Pina Ope Nope

Tahun 2020 ini dunia dikejutkan oleh suatu wabah virus mematikan yang kemudian dikenal dengan sebutan Virus Corona. Walaupun virus ini diketahui pada tahun 2019 (dinamai Covid 19) namun menjadi heboh pada awal tahun 2020 ini. Berapa bulan terakhir ini, seluruh media massa di seluruh dunia digemparkan oleh isu-isu penyakit Corona yang sangat menakutkan bahkan ketakutan telah mencapai kota-kota kecil di pulau Timor. Isu corona ini begitu menakutkan sehingga berjabatan tangan dan cium hidung yang sudah menjadi tradisi dan budaya orang NTT selama ratusan tahun seolah menjadi ancaman sebab dianggap merupakan media penularan virus Corona ini.
Uniknya sampai hari ini pemerintah Republik Indonesia belum merilis secara resmi jumlah penduduk Indonesia yang telah terinveksi virus mematikan ini,berapa jumlah korban meninggal dunia dan juga informasi detil lainnya tentang proses penyebaran/ penularan, bagaimana ciri-ciri orang yang menderita virus Corona hingga angka penyebaran di setiap kota di seluruh Indonesia. Satu-satunya informasi yang diperoleh masyarakat Indonesia adalah melalui media sosial Facebook yang memang sedang merebak dimana-mana dengan dibarengi oleh informasi-informasi yang belum dapat dibuktikan kebenarannya.
Oleh karena itu saya tergerak untuk membuat tulisan ini sebagai bahan bacaan pengisi waktu bagi orang-orang yang mungkin ingin tahu tentang sejarah wabah penyakit dalam peradaban kita. Seyogyanya tulisan ini juga bukan sebuah kajian medik atas penyebaran virus Corona, bukan juga merupakan sebuah kajian mendalam tentang wabah-wabah penyakit yang pernah dialami penduduk Nusa Tenggara Timur secara umum dan Timor secara khusus. Tulisan ini hanya sebuah kilas balik/ flash back untuk melihat kembali ke belakang tentang wabah-wabah yang pernah terjadi dalam peradaban manusia baik secara dunia maupun hingga dalam lingkup yang lebih kecil yakni dalam sejarah peradaban masyarakat di Timor berdasarkan catatan-catatan yang sempat dikumpulkan oleh penulis.

Wabah tahun 1920-nyanyian menyayat hati
            Tahun 1920 atau tepat 100 tahun lalu ada sebuah wabah di Timor yang dilaporkan oleh Ds. Krayer van Aalst, dia adalah seorang penginjil kelahiran Belanda yang bertugas di Kapan sejak tahun 1916-1922. Ia melaporkan dalam surat korespondensinya tentang wabah yang menyerang seluruh pulau Timor di tahun 1919-1921 (De Timor Bode No. 63, Juli 1921)[1]. Tergambar jelas ada kesedihan yang mendalam dalam suratnya ini sehingga dapat membuat kita terharu. Dalam kisah ini penerjemah[2] memberi judul “Epidemi menyerang Timor” kita dapat menyelami situasi saat itu.
Ia memulai suratnya dalam sebuah pembuka yang menggambarkan kesedihan dan kemurungan. Ia mengawali surat ini “Teman-teman yang terkasih. Saya berjalan melalui kebun-kebun masyarakat yang ada di sekitar Gunung Mutis, menjelajahi hutan tropis yang ada di lereng dataran tinggi itu. Badan terasa kurang enak karena suatu penyakit. Nabi dan imam (Mnane, tukang ramal dan dokter bagi penduduk di Timor) diutus ke dalam dunia tanpa dilengkapi secukupnya dengan fasilitas yang perlu untuk melaksanakan tugasnya. Penduduk Kaisliu lumpuh tak berdaya sukacita masa panen dan kebahagiaan ketika pesta pernikahan tiba, tidak lagi terdengar.... Semua mereka sedang berarak menuju ke tempat pemakaman. Mereka bergerak maju seperti berjalan dalam kegelapan. Sinar matahari yang hangat dan cerah siang itu sepertinya tidak mampu mengusir duka yang menyelimuti hati...
Selanjutnya van Aalst mengutip nyanyian ratapan yang sangat menyayat hati. “Masih tahukah kamu isi nyanyian ratapan yang dikumandangkan pada saat seorang penghuni kampung atau yang dihormati meninggal dunia?
Maut telah menyusup ke jendela-jendela kita
Masuk ke dalam rumah-rumah kita
Ia melenyapkan anak-anak dari jalan
Pemuda-pemuda dari lapangan
Mayat-mayat manusia berhamparan
Seperti pupuk di ladang
Seperti berkas gandum di belakang
Orang yang menuai
Tanpa ada yang mengumpulkannya[3]
Memang menurut beberapa sumber disebutkan bahwa pada tahun 1920 terjadi wabah yang disebut flu Spanyol yang diperkirakan kemudian bahwa wabah ini telah menginfeksi 500 juta orang diseluruh dunia termasuk orang-orang di pulau-pulau pasifik yang terpencil hingga sampai kutub utara dan tentu saja tidak terkecuali di Hindia Timur (Indonesia). Wabah ini menjadikannya sebagai salah satu wabah yang mematikan dalam sejarah.  Mengenai wabah ini, bahkan Ds. Krayer van Aalst mengutip H.J Tillema dalam tulisannya di Kromo Belanda 1920-1921, kutipannya demikian “di banyak pulau, penduduk masih tetap pada posisi kritis. Barangkali ada yang sudah meninggal dunia atau yang pasti jumlah mereka yang terserang wabah semakin banyak. Penyebab dari bencana ini belum diketahui. Umpama saja jumlah kematian pada anak-anak yang meningkat tajam. Ada yang meninggal karena kekurangan asupan makanan, wabah dan kurangnya pakaian. Hampir di semua sudut, awan hitam kesedihan dan duka menggantung sangat rendah...”

Kematian dimana-mana
            Ketika tahun 1906 kerajaan Sonbai berhasil ditaklukan dan juga tahun 1910 raja Amanuban berhasil dikalahkan, maka usaha pemerintah Belanda di pedalaman Timor terbuka lebar. Kolonisasi yang diusahakan selama 300 tahun atas pedalaman Timor baru di mulai. Sejak itu fasilitas sekolah mulai dibuka berbarengan dengan rumah ibadah selain itu juga fasilitas kesehatan walaupun semuanya itu masih serba terbatas. Ds. Krayer van Aalst dalam kapasitasnya sebagai pendeta bukan hanya bertugas dalam membina iman jemaat Kristen tapi juga turut mengawasi sekolah-sekolah Kristen yang dibuka tersebut. Seluruh aktivitas sekolah di awasi secara cermat termasuk pada waktu wabah menyerang Timor di tahun 1920-1921.
            Namun mengenai keadaan wabah tahun 1920-1921 tersebut, van Aalst melaporkan bahwa wabah sudah terjadi dimana-mana hingga pelosok-pelosok. Ia juga menerima surat-surat dari para guru dari berbagai pelosok tentang kematian murid-murid sekolah yang membuat kegiatan belajar mengajar menjadi terhenti. Van Aalst menulis “Guru di Kaisliu menulis surat kepada saya pada 1 Maret 1920 sebagai berikut  - Sejak bulan Januari sampai hari ini, sudah 51 orang dalam desa ini yang meninggal dunia. 33 diantaranya adalah anak-anak. Tetapi sekarang wabah itu sepertinya belum mau berhenti. Hasil panen di kebun-kebun telah dihancurkan oleh babi hutan, kera, tikus dan burung. Tahun 1921 akan menjadi tahun kelaparan bagi penduduk. Sudah tiga bulan sekolah diliburkan”.
            Ia juga melaporkan tentang surat yang diperolehnya dari guru di Kuanfatu tanggal 31 Maret bahwa mereka meliburkan sekolah karena wabah. Banyak sekali yang sakit dan tidak sedikit yang meninggal. Bahkan disebutkan bahkan seorang murid meninggal pada waktu jam pelajaran. Dimana-mana ada tenda duka. Ia juga mendapat surat dari guru di Toi bertanggal 28 Februari 1921 bahwa sudah satu bulan penuh sekolah telah diliburkan, bukan hanya itu juga katekisasi dan kebaktian minggu juga diliburkan. Korban meninggal sudah 30 orang dan wabah masih merajalela. Juga surat dari Oepliki 1 April 1921 bahwa sekolah libur karena banyak murid yang sakit dan sebagian besar dari mereka sudah meninggal dunia. Tanggal 28 Februari 1921 juga datang kabar dari Put’ain bahwa sekolah ditutup oleh guru karena wabah, tidak terkecuali guru itu juga terserang penyakit. Banyak murid yang sakit dan juga banyak penduduk yang meninggal dunia. Ia melanjutkan bahwa ia juga mendengar berita serupa hampir di semua wilayah. Dimana-mana terdengar tangisan dan perkabungan. Pada bagian surat lainnya ia juga menyinggung tetang wabah cacar di Nunkolo pada tahun yang sama yang juga merenggut banyak jiwa.
            Untuk menanggulangi wabah ini, pemerintah Kolonial menyusun rencana untuk anggaran tahun 1921. Disebutkan bahwa direncanakan untuk menempatkan dokter pemerintah (Kerajaan Belanda) di Nulle, Amanuban supaya bisa menolong orang-orang yang terserang wabah dan mengunjungi mereka secara rutin. Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit yakni sebesar f. 10.000[4] per tahun. Namun para dokter mengalami kendala. Orang-orang Timor tidak berdaya sebab mereka terbelenggu oleh tahyul dan kebodohan.
Di Kaisliu misalnya, obat-obat diberikan secara gratis tetap tidak diminum sebab mereka lebih percaya kepada ramuan penyembuhan dari Mnane dan tahyul-tahyul dari pada minum obat padahal untuk mendapat ramuan itu mereka harus menjual barang-barang mereka yang berharga. Van Aalst menulis pada penutup demikian “kami sungguh menaruh belas kasihan terhadap orang-orang ini karena hati dan roh mereka yang dikeraskan. Kami sudah berusaha menolong tetapi mereka tidak mau ditolong, sejalan dengan nasihat Tillema, kami ingin membawa peradaban baru kepada penduduk yang masih hidup dalam peradaban lama, peradaban yang masih dikuasai oleh Alkohol. Peradaban baru yang ingin kami perkenalkan adalah bersumber pada Injil”[5].
            Salah satu keluhan van Aalst lainnya adalah pola hidup masyarakat yang masih jauh dari pola hidup higienis.

Wabah sebelum tahun 1900
            Apabila kita merunut sejarah masyarakat dunia, maka wabah yang paling mematikan dalam sejarah yang pernah dikenang manusia adalah wabah “penyakit Hitam” atau Black Death. Wabah ini muncul tahun 1348-1350 dan menyapu seluruh Eropa dari Sicilia sampai Swedia, Inggris dan Spanyol. Wabah ini bercirikan bercak darah hitam dibawah kulit. Bercak-bercak ini disertai demam tinggi, rasa nyeri yang amat sangat dan kelenjar yang membengkak, pnemonia yang akhirnya berujung pada kematian. Wabah ini membawa total kematian sebesar 25 juta- 35 juta jiwa. Bahkan beberapa kota kecil kehilangan 90 % penduduknya.
Dimana-mana orang menjadi gila, bahkan ada yang bunuh diri yang lain membakar semua harta bendanya karena putus asa. Di Hamburg, Jerman misalnya kehilangan dua pertiga penduduknya, bahkan Inggris kehilangan separuh dari Populasinya. Perekonimian ambruk, dan dibutuhkan 200 tahun untuk mengembalikan jumlah penduduk seperti sebelum tahun 1347. Setelah ditelusuri barulah diketahui bahwa wabah ini dibawa oleh gigitan kutu yang membawa bibit penyakit Bacillus pestis, kutu-kutu ini dibawa oleh tikus-tikus[6]. Dalam masa itu, belum dapat kita ketahhui apakah wabah ini pernah mencapai Nusa Tenggara atau tidak sebab belum ada satu rujukan tertulis mengenai wabah ini.
Namun hal ini dapat dimaklumi sebab peristiwa-peritiwa wabah di pulau Timor dan sekitarnya masih belum dapat kita ketahui pada abad-abad sebelum tahun 1900, selain karena kurangnya catatan sejarah juga karena pedalaman Timor masih terisolasi karena belum mengalami pasifikasi pihak Belanda sehingga tidak dapat dikatakan bahwa apabila ada laporan-laporan disana sini, namun tidak begitu spesifik sebagaimana situasi yang digambarkan dalam laporan van Aalst tahun 1920-1921, walaupun ada namun itu hanya berupa laporan yang singkat.
Misalnya pada tahun 1700 dapat diketahui bahwa telah terjadi wabah yang menghancurkan pulau-pulau di Nusantara dan tidak terkecuali di Solor. Akhirnya raja dari Kerajaan Solor yakni Sengaji Cili (memerintah1687-1700) meninggal dunia juga diakibatkan oleh wabah ini. Akhirnya kematian sang Sengajji Cili ini mengakibatkan perpecahan dalam keluarga raja yang kemudian mereka meminta bantuan VOC untuk hadir sebagai wasit. Namun perdamaian yang diupayakan oleh VOC tidak begitu bagus dan keluarga raja Solor terpecah menjadi dua faksi, yang satu faksi memerintah Lohayong dan diakui sebagai sengaji oleh VOC, sementara faksi lainnya memerintah desa Menanga di dekatnya. Sengaji Lohayong berada di peringkat pertama dalam hierarki politik, tetapi mereka tidak lagi disebut sebagai 'penguasa Solor'[7].

Wabah di antara desingan peluru dan perang
            Laporan lain tentang wabah, walaupun tidak begitu lengkap, namun muncul pada laporan di tahun 1729 ketika terjadi peperangan antara Gubernur Portugis Putih Pedro de Mello (memerintah dari 1728-1731) di Lifau. Ia bertengkar dengan pemimpin Topass, Francisco de Hornay sehingga harus berperang dengan Topass dibawah komando Francisco de Hornay yang dibantu oleh aliansi lokalnya. Tahun-tahun berikutnya adalah salah satu periode yang paling kacau dalam sejarah pulau Timor. Pedro de Mello dengan marah menuduh Belanda di Kupang memasok bagi musuh-musuhnya dengan mesiu dan peluru dan menyatakan mereka sebagai musuhnya. Walaupun demikian, orang Belanda lain, yang telah menjauh dari pusat VOC, membantu gubernur de Mello melawan Topass.
Namun tahun itu wabah cacar menimpa semua pihak, terutama akibat wabah ini membuat menipisnya tenaga Topass. Namun hal ini tidak mempengaruhi keadaan Topas, beberapa daerah pesisir yang berada di bawah kendali Gubernur tampaknya hancur karena mereka dikelilingi oleh Topass dan kerajaan sekutu Timor. Di Manatuto, gubernur berserta anak buahnya menderita pengepungan selama tiga bulan dan sangat menderita karena kekurangan makanan dan perbekalan lainnya[8]. Hal ini menunjukan bahwa akibat wabah dari tahun 1700 mungkin masih timbul atau masih terasa hingga tahun 1729 bahkan dalam suasana wabah tidak mengurangi semangat berperang orang-orang Timor yang keras kepala ini. Tentu ini sangat berpengaruh pada penurunan jumlah penduduk baik yang mati karena wabah maupun karena perang.
                Selanjutnya wabah dalam suasana perang muncul juga dalam laporan bahwa pada bulan Juli 1759, ketika terjadi pertempuran di Noemuti. Sekali lagi benteng dataran tinggi dikepung oleh kekuatan pasukan yang besar dibawah pimpinan VOC Albert von Plüskow, dan nampaknya Belanda akan menang. Orang-orang terkepung ini tahu nasib buruk yang akan menimpa mereka apabila benteng itu jatuh ke tangan Belanda. Oleh sebab itu, mereka bertempur dengan keberanian yang luar biasa untuk melawan Belanda. Namun kemudian mereka diuntungkan oleh mengamuknya wabah Cacar yang ditakuti di seluruh wilayah dan beberapa kontingen sekutu VOC[9] mengundurkan diri saat menghadapi epidemi ini karena sebagian pasukan terserang wabah. Akhirnya serangan mendadak dan terburu-buru dari Von Plüskow melengkapi kegagalan Belanda. Akhirnya pada bulan Oktober, Von Plüskow harus mengakui kekalahannya di Neomuti dan dia mundur ke Kupang dengan meninggalkan sebagian besar meriamnya[10]. Mungkin ini adalah salah satu laporan tentang terjadinya wabah ditengah pertempuran yang juga turut mempengaruhi jalannya pertempuran.

Wabah di tahun 1800-an
                Sebuah catatan sederhana tentang suatu peristiwa wabah di Amanuban datang dari seorang misionaris bernama Wilhelm Mathias Donselaar[11]W.M Donselaar adalah misionaris yang pada saat itu mengunjungi Amanuban untuk melihat prospek penginjilan namun situasi perang saudara dan juga karena sampai saat itu pemerintah Belanda di Kupang belum berhasil menundukan Amanuban sehingga wilayah ini masih sangat berbahaya bagi orang kulit putih maka saat itu ia berkesimpulan bahwa hal ini tidak dapat dilakukan. Ia berkunjung ke bagian selatan Amanuban pada tahun 1850 dan melakukan ekspedisi ini ditemani beberapa orang yang ditugaskan oleh Resident dan ia juga ditemani oleh rekannya C.G Schot. Ia kemudian membuat laporan berjudul “Reis naar het rijk van Amanoebang op Timor” (Catatan perjalanan ke tanah Amanuban di Timor). Mereka memulai ekspedisi dari Kupang pada tanggal 4 Oktober 1850 dan mencapai Kuanfatu, Babuin dan Lasi lalu kembali pada tanggal 14 Oktober 1850 melalui daerah Nai Toni yang sekarang kita kenal dengan sebutan Kualin.
            Sedikit menyimpang, menurut tradisi lisan berdasarkan penuturan Kris Toni, bahwa dahulu kakek moyangnya bernama Koim Linah yang mendapat mandat dari Raja Amanuban Olak Malik/ Ol Mai Nope untuk menjalankan pemerintahan adat bersama kakaknya yang bernama Leosae di pesisir selatan. Disana mereka memerintah sebagai Nai/ Usif hal palan dan dari nama Koim Linah bermarga Toni inilah nama “Kualin” ini berasal. Namun dalam laporan Donselaar dia hanya menyebutkan tentang wilayah Nai Toni ini ketika mereka melewati wilayah ini.
Donselaar juga melaporkan tentang wabah yang pernah terjadi di sana (di wilayah Nai Toni). Ia menulis Pada 14 Oktober ekspedisi meninggalkan Boi Mau dan berbelok ke selatan, dan ke barat di sepanjang jalan. Mereka melewati distrik Nai Tonie yang terkenal itu. Boi Mau telah mendirikan benteng di sini dengan persetujuan Nai Tonie, dengan 20 orang. Sebuah dataran kecil yang indah di dekatnya tampaknya cocok untuk penanaman padi. Pada pertanyaan mengapa tidak (diolah), jawabannya adalah bahwa itu wilayah itu adalah leu[12]. Populasi langka karena cacar baru-baru ini merusak daerah tersebut dan 110 orang telah meninggal karena penyakit termasuk Nai Tonie dan keluarganya. Oleh karena itu daerah itu sekarang diperintah oleh meo. Ekspedisi ini kemudian mengunjungi meo, dan kemudian mengundurkan diri pada tanggal 18 Oktober, kembali ke tanah Pemerintah Belanda di Kupang. Singkatnya, tanah itu (Amanuban) itu bagus dan subur tetapi orang-orang disana hidup dalam kondisi yang menyedihkan. Dutch Missionary Society telah mengirim dua misionaris tahun lalu untuk melihat apakah pekerjaan dapat dilakukan di Amanoebang[13].Nampaknya peristiwa wabah ini belum lama terjadi ketika ekpsedisi Donselaar kesana dan ketika masa itu untuk sebuah ketemukungan dengan kematian akibat wabah ini dengan jumlah 110 orang merupakan sebuah angka kematian yang cukup besar.

Makam Donselaar di Pekuburan Belanda Fatufeto Kupang

Selanjutnya di Amanuban ada juga tradisi lisan yang menyebut tentang “Men Bono” yaitu wabah mematikan yang berakibat banyaknya orang Amanuban meninggal dunia sedangkan yang selamat dalam satu rumah tangga hanya sedikit. Walaupun ada anggota keluarga yang selamat, namun mengakibatkan orang tersebut keguguran rambutnya sehingga menjadi botak, itulah sebabnya disebut “Men Bono”. Tahun peristiwa tidak begitu pasti, namun disebutkan bahwa wabah ini menyerang penduduk Amanuban sekitar 1 atau 2 tahun sebelum perang Niki-Niki (1910) yang akhirnya wabah ini juga turut mempengaruhi kekalahan Amanuban ketika menghadapi pasukan Belanda saat terjadi perang Niki-Niki yag berakibat pada matinya Raja Amanuban Sufa Le’u Bill Nope. Ia mati dengan jalan membakar dirinya dari pada tunduk kepada penjajah Belanda, itulah sebabnya kemudian ia dijuluki “Usi Lan ai’”.

Wabah di Timor-Timur
                Bila kita menyebut tentang situasi wabah di Timor maka tidak lengkap bila kita tidak menyinggung wilayah Timor Portugis yang sekarang ini disebut Timor Leste yang saat itu berada dibawah koloni Portugis. Gubernur Antonio Joaquim Garcia (1868)-69) yang hanya bertugas kurang lebih selama setahun disana, ia menulis bahwa usaha untuk memperbaiki keadaan di kota Dilli mengalami kendala oleh beberapa sebab yaitu “karena keadaan perang, epidemi kolera dan cacar” . Hal yang menyulitkannya adalah oleh karena kekurangan sarana secara umum,termasuk kurangnya pekerja, sehingga dia tidak bisa melakukan perbaikan yang lebih baik di kota Dili. Namun, dia mengingatkan, "Saya menyerahkan Distrik dalam kondisi yang lebih baik dari pada ketika saya menerimanya dahulu". Ia membandingkan Dili dengan pusat perdagangan dinamis seperti Batavia, Surabaya, Makasar dan kota-kota lain di Hindia Belanda dan juga ia  menyesalkan kurangnya lembaga publik di Timor. Selanjutnya ia mengajukan permohonan bekerja untuk memulai menata di rumah sakit, juga untuk menyelesaikan barak dan untuk membangun kembali kediaman gubernur. Rumah sakit memang sudah ada, namun ia mengungkapkan, hanya bisa menampung 'beberapa pasien dan bangunan ini dinyatakan dalam kondisi kebersihan yang buruk, sementara barak-barak itu benar-benar pengap dengan serdadu-serdau yang wajib tidur dengan pakaian dan sepatu botearthern moor karena kekurangan tempat tidur dan selimut[14]. Tentu saja keadaan seperti tidak banyak membantu untuk dapat meredam penyebaran wabah penyakit.
            Peristiwa wabah di Timor Timur juga terekam dalam laporan kapten korvet, Sa da Bandeira, yang, telah tiba di Dili pada saat puncak epidemi kolera pada tahun 1869. Ia lalu ia berlayar kembali dengan rasa ngeri ke arah Kupang. Sebelumnya ia berhenti di Maubara, Batugede, dan Oecusse. Di Maubara, ia gambarkan bahwa bangunan koloni disana sebagai terdiri dari "sejumlah kecil bangunan semi permanen dengan struktur atap dari jerami dan daun palem (daun gewang, red)", yang dimiliki oleh komandan distrik[15]. Nampaknya gambaran sang komandan Korvet tidak jauh berbeda dengan sang Gubernur Joaqim Garcia tentang situasi dan minimnya sarana kesehatan di wilayah Timor Portugis. Bahkan sebuah laporan seorang Kapten Fregat Portugis yang tiba di Dili pada awal 1870, ia mengatakan: "Kolera telah berhenti tetapi kekacauan yang ditimbulkannya telah diganti, apa pun penyebabnya, oleh demam berbahaya yang, hampir sama dalam intensitas fatalnya, tidak ada yang membuat bangga sebelum terjadi wabah".
            Di kota Dilli laporan tentang terjadinya wabah juga terekam ketika awal tahun 1900-an terjadi pemberontakan beberapa kerajaan terhadap pemerintah Portugis terutama kerajaan Manufahi, namun pemberontakan ini berhasil dipadamkan karena para pemberontak terserang wabah Kolera dan mereka sangat menderita. Akibatnya terjadi banyak pembantaian oleh pihak Portugis. Pada tahun 1902 Portugis kembali berhadapan dengan pemberontakan di Ainaro, dan pemberontakan juga pecah di Letefoho, Aileu (1903), Quelicai (1904), dan Manufahi sekali lagi pada tahun 1907. Walaupun perang-perang lokal ini terjadi namun wabah disentri dan Kolera banyak juga membunuh penduduk setempat[16].

Belajar dari sejarah
           Tulisan pendek ini bukan untuk menakut-nakuti terutama ketika di tahun 2020 ini kita sedang dirudung oleh kewaspadaan terkait mewabahnya Virus Corona yang mendunia. Namun dari catatan-catatan sejarah ini kita belajar untuk hidup lebih higienis, tidak mudah mempercayai tahayul-tahayul dan yang paling utama tetap berusaha menjaga agar komnuitas kita tetap terjaga dan sehat. Sebagai orang beriman saya justru lebih percaya bahwa perlindungan Tuhan adalah yang utama. Kita dapat belajar dari  masa lalu, bahwa suatu keadaan dapat saja berubah keadaanya apabila wabah dalam komunitas kita banyak membunuh orang-orang. Contoh seperti yang dialami Amanuban tahun 1910 juga saudara kita di Timor Timur seperti tersebut diatas. Komunitas mereka mengjadi sulit untuk mempertahankan kebebasan dan kemerdekaanya kala itu, karena terserang wabah sehingga lebih memudahkan pihak Kolonial Belanda dan Portugis untuk memadamkan perjuangan-perjuangan mereka.
            Akhirnya tulisan ini semoga dapat bermanfaat bagi saudar-saudari pembaca. Nekseunbanit neukit, Uis Neno Nokan kit alakit

           




[1] Surat-Surat dar Kapan – Benih cinta kasih Allah dalam budaya Atoni, Ds. Krayer van Aalst, dterjemahkan oleh Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo, hal. 343
[2] Penerjemah adalah Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo, mantan ketua Sinode GMIT
[3] Menurut penerjemah nyanyian ini sejajar dengan Kitab Yeremia pasal 9 ayat 21-22
[4] Nampaknya disebut 10.000 florin pecahan mata uang yang cukup besar kala itu
[5] Surat-Surat dar Kapan – Benih cinta kasih Allah dalam budaya Atoni, Ds. Krayer van Aalst, dterjemahkan oleh Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo, hal. 346
[6] Bill Yenne, 100 Kejadian yang mengubah sejarah Dunia, Delaprasta Publishing 2004, hal. 63-65
[7] Prof. Hans Hägerdal, Lords of The Land, Lords of The Sea (Conflict and adaptation in early colonial Timor, 1600-1800), Halaman. 236
[8] Prof. Hans Hägerdal, Lords of The Land, Lords of The Sea (Conflict and adaptation in early colonial Timor, 1600-1800), Halaman. 343
[9] Kontingen Sawu
[10] Prof. Hans Hägerdal, Lords of The Land, Lords of The Sea (Conflict and adaptation in early colonial Timor, 1600-1800), Halaman. 388
[11] W.M Donselaar adalah misionaris yang pada saat itu mengunjungi Amanuban untuk melihat prospek penginjilan namun situasi perang saudara dan juga karena sampai saat itu pemerintah Belanda di Kupang belum berhasil menundukan Amanuban sehingga wilayah ini masih sangat berbahaya bagi orang kulit putih maka saat itu ia berkesimpulan bahwa hal ini tidak dapat dilakukan. Setelah kunjungan ini ia kemudian membangun jemaat di Sabu dan ketika ia meninggal ia dimakamkan di Fatufeto Kupang. Kuburannya masih ada sampai hari ini.
[12] Leu adalah bahasa Atoni yang berarti keramat
[13] D [onselaar], “Reis naar het rijk van Amanoebang op Timor, pada Oktober 1850: Eene bijdrage tot de kennis van dat eiland”, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 33 1851. Hal. 178-179

[14] History of Timor, Univesitet of Lisabon, hal. 61
[15] History of Timor, Univesitet of Lisabon, hal. 62
[16] History of Timor, Univesitet of Lisabon, hal. 89, 97

Komentar

  1. Saya asli orang kapan,
    Baru tau tentang cerita ini.
    Terimakasih.🙏🙏

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH TIMOR : KISAH HILANGNYA PENGARUH MAJAPAHIT DI PULAU TIMOR

Seri Sejarah Timor : GUBERNUR PALING JENIUS DALAM SEJARAH KUPANG (Bagian I)

ANAK KANDUNG ATOIN METO' DALAM DUNIA POLITIK NASIONAL