SEKILAS TENTANG PENYEBARAN AGAMA DI SOLOR, FLORES, ROTE DAN TIMOR
SEKILAS TENTANG PENYEBARAN AGAMA DI
SOLOR, FLORES, ROTE DAN TIMORPada tanggal 16 Agustus 2019 ketika pertama kali membagikan blog saya yang berjudul KISAH KEKALAHAN VOC BELANDA DI TIMOR PADA AWAL ABAD KE 17 bagian 1 pada halaman Facebook, muncul satu pertanyaan dari salah satu Netizen yang menggunakan nama akun Peter Tahaob yang kemudian mengundang sedikit diskusi antara sesama Netizen. Pertanyaan ini berbunyi demikian “Satu Pertanyaan yang membuat saya terus ingin bertanya, bahwa flores (Solor) telah jatuh ke tangan Kolonialisme Belanda seperti yang telah diulas, tetapi mengapa Flores masih tetap Katholik yang merupakan ajaran Portugis. Berbeda dengan daerah lainnya yang dikuasai penuh Belanda tentu misi Zending sangat dominan di sana”.
Ini adalah pertanyaan yang cerdas berkaitan dengan penyebaran agama Katholik dan Kristen Protestan di Nusantara terutama di wilayah Timur Indonesia. Ada berbagai tanggapan mengenai pertanyaan ini termasuk salah satunya menjawab “Nederlandsch Zending Genootschap yang memulai usaha zending di Timor”. Suatu jawaban ambigu yang tidak akan memuaskan penanya. Namun pertanyaan ini saya anggap perlu untuk dijawab dalam sebuah artikel dan saya berketetapan untuk menulisnya apabila keempat seri kisah kekalahan Belanda di Timor ini selesai saya tulis. Dengan selesainya keempat seri penulisan tentang kekalahan yang memalukan yang dialami oleh VOC Belanda di Timor, maka saya berusaha untuk menjawab pertanyaan ini berdasarkan informasi historis yang mampu saya kumpulkan. Semoga informasi selebihnya yang lebih akurat dan tersusun rapih dapat disampaikan oleh para akademisi yang terdidik dan terlatih.
Doktrin Kurikulum
Beberapa waktu lalu, ketika Pandemi Corona ini masih mencekam, maka sekolah di rumah adalah hal lumrah. Suatu waktu saya berkunjung ke rumah keluarga yang puterinya masih duduk di bangku SMP kelas II, ia menyodorkan kepada saya materi pelajaran Geografi yang kemudian dibarengi dengan soal-soal yang wajib dijawab dan kami membantu puterinya untuk menjawab soal-soal tersebut. Yang cukup menggelitik adalah materi ini disesuaikan dengan buku Kurikulum standard Nasional menjelaskan tentang proses penyebaran agama di pulau Jawa dan Nusantara. Disana disebutkan bahwa proses penyebaran agama Islam adalah melalui perdagangan dan akulturasi budaya bukan dengan kekerasan. Pada bagian lainnya disebutkan bahwa agama Kristen disebarkan oleh kolonial penjajah melalui slogan Gold, Glory and Gospel suatu slogan yang berkonotasi kurang menyenangkan. Tentu saja bagian ini cukup menggelitik dalam pikiran saya tentang perspektif penyebaran agama di Nusantara terutama bagi saya di bidang kajian sejarah di Nusa Tenggara Timur. Pada bagian tulisan saya ini, saya akan memaparkan fakta-fakta sejarah penyebaran agama tanpa mendiskreditkan salah satu satu keyakinan atau agama atas keyakinan dan agama lainnya.
Bila kita melihat kembali ke belakang, maka saya mengajak kita untuk menelusuri dari laporan Tom Pires seorang pelancong Portugis yang pernah berkunjung ke Nusantara. Ia menulis dalam laporannya berjudul “Suma Oriental” tahun 1512-1515. Dalam karyanya itu ia menyebut tentang sumber-sumber perdagangan di Nusantara. Salah satu kutipan terkenalnya yaitu “: “Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk pala dan Maluku untuk cengkeh”. Pada kenyataannya Tom Pires adalah pelancong yang benar-benar pernah sampai ke wilayah Nusantara.
Namun ada salah satu bagian yang sekarang menjadi bahan perdebatan kaum cendekiawan sekarang ini adalah tentang laporan Tom Pires mengenai proses penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Menurut laporan Pires, ia menyebutkan bahwa penyebaran agama Islam disana berawal dari kedatangan bangsa Persia, Arab, Gujarat, Bengali dan Melayu untuk berdagang di pesisir pulau Jawa. Mereka (Tom Pires menyebut mereka dengan sebutan Moor) lalu membangun mesjid dan mushola. Orang Moor ini semakin kaya dan kekayaan mereka mulai melebihi penduduk lokal, lalu anak cucu mereka dalam kurun waktu 70 tahun kemudian disebut juga sebagai orang Jawa. Mereka lantas membentuk pasukan dan menyerang kerajaan-kerajaan asli Jawa yang bercorak Hindu/Budha serta memaksa raja-raja dan orang-orang disana masuk Islam. Selanjutnya orang Moor ini menjadi raja disana menggantikan penguasa Hindu/ Budha yang dikalahkan itu[1].
Ketika karya Tom Pires ini dibahas, tentu saja memantik banyak kritik terutama pihak garis keras. Bahkan hari ini ulasan tentang laporan Tom Pires ini telah disensor dari dunia maya. Ini tentu sangat mengguncang terutama dalam kurikulum pendidikan kita diajarkan bahwa proses penyebaran agama Islam disana secara damai melalui perdagangan dan akulturasi budaya sedangkan kekristenan melalui penjajahan dan pemaksaan. Kekristenan disebarkan secara penuh intrik dan paksaan melalui slogan Gold, Glory and Gospel. Tentu saja bagian ini menjadi stigma yang sedikit negatif bahwa Kekristenan identik sebagai “agama penjajah” terutama bila dipandang dengan rentang waktu penjajahan selama 350. Oleh karena itu saya mengajak pembaca untuk bersama-sama menyimak atau bahkan membahas penyebaran agama Katholik dan Kristen ini di beberapa wilayah di Nusa Tenggara Timur tanpa mengabaikan peran wilayah lainnya namun daerah-daerah ini yakni di Solor, Rote, Larantuka dan Timor adalah wilayah yang paling dinamis.
Hadirnya agama di Nusa Tenggara
Seyogyanya, banyak wilayah di Nusa Tenggara Timur yang menganut agama tradisional. Di Timor misalnya agama kepercayaan leluhur disebut Halaika’, di Sabu disebut Jinitiu dan di Sumba disebut Merapu dan lainnya. Secara umum, agama-agama tradisional ini masih ada sampai hari ini walaupun jumlah pemeluknya semakin berkurang. Namun perlu juga kita ketahui tentang penyebaran dan keberadaan agama-agama resmi yang sekarang telah menyebar dan berkembang di Nusa Tenggara Timur ini.
Nampaknya sejak berakhirnya pengaruh Majapahit, maka perdagangan berpindah ke tangan para pedagang dari kerajaan-kerajaan Islam di utara pantai Jawa. Mereka juga memiliki hubungan dengan para pedagang dari Malaka yang memiliki hubungan dengan perdagangan rempah-rempah di beberapa daerah. Disamping itu, muncul juga kekuatan dari Makassar yang memiliki pengaruh kuat dalam perdagangan yang membawa pengaruh agama Islam dari pulau Lombok sampai pulau Aru di Timur[2]. Oleh sebab itu agama Islam sangat kuat di Lombok dan ada juga menyebar di beberapa bagian pulau di Nusa Tenggara Timur terutama di pesisir pulau baik di pulau Timor dan Flores. Kekuatan Makassar ini mengalami kejayaan di masa Karaeng Matoaya (1573-1637) dan Pattingaloang (1600-1654) yang akan jelas nantinya. Ini juga diperkuat dengan tradisi lisan di pulau Timor yang menyebut tentang keberadaan suku Tkesnai yang berasal dari Luwu dan Makasar di Sulawesi yang kemudian dikenang dengan istilah “Lub-Lubum Maksal taku ma Tkesnai”.
Disamping itu, pengaruh Kesultanan Ternate atas perdagangan di Nusa Tenggara Timur cukup nampak sehingga akan nampak kemudian ada beberapa kepala penduduk di beberapa pulau seperti di Flores dan Bima menggunakan titel Sengaji atau Sangaji. Namun tahun 1683 Kesultanan Ternate membuat perjanjian untuk penyerahan hak-hak dagangnya kepada VOC. Hal ini membuktikan bahwa ada beberapa bagian di pulau Flores yang telah memeluk agama Islam.
Namun ketika masa kerajaan-kerajaan Islam mulai menanamkan pengaruhnya di beberapa bagian pulau Nusa Tenggara Timur ini, ternyata bersamaan dengan masuknya pengaruh Portugis dengan agama Katholiknya. Bahkan disebutkan bahwa banyak penduduk Eropa-Asia yang beragama Katholik yang juga menjalin hubungan dagang dengan kerajaan Gowa salah satunya adalah FranciscoViera de Figueiredo yang banyak melakukan perdagangan dari Makassar ke Macau, Timor, Flores dan pantai Coromandel dan ia menjadi orang kesayangan Sultan Hasannudin[3]. Namun akan nyata kemudian bahwa terjadi gesekan-gesekan perdagangan yang juga bersentuhan dengan pengaruh kedua agama ini.
Bila pengaruh Islam di pulau Timor dan Flores datang dari para pedagang Sulawesi, maka datangnya agama Katholik adalah dari bangsa Portugis walaupun sebagian besar kepulauan masih banyak dihuni oleh orang-orang yang belum beragama seperti yang dilaporkan oleh Tom Pires. Menurut beberapa informasi bahwa setelah penaklukan Malaka oleh Portugis tahun 1511, maka ekspedisi Portugis pertama yang datang ke Maluku adalah pada pertengahan tahun 1511 dibawah komando Antonio d'Abreu ditemani Francisco Ferrao dan Francisco Rodriques seorang kartograf. Selanjutnya pada November 1511 mereka mengunjugi Wetar, Alor, Solor dan Timor. Menurut Mclntyre, mereka melihat sebuah pulau besar dan memperkirakan itu adalah Timor lalu menandai dalam peta tetapi mereka kemudian mendarat di Solor. Saat itulah beberapa orang Degradedos[4] di turunkan dan membentuk komunitas Portugis pertama di Solor[5].
Dari komunitas inilah terbentuk komunitas Portugis campuran yang menikahi wanita-wanita lokal Solor dan Timor yang kemudian dikenal sebagai Topas. Di sana, orang Topas membentuk sebuah kerajaan kecil merdeka, yang bertahan hingga abad ke-19 dan Topas ini hanyalah bawahan kerajaan Portugis secara nominal bahkan boleh dikatakan sepenuhnya merdeka (tidak di bawah kontrol penuh Portugis). Dari Solor mereka melakukan perdagangan cendana dan lilin di Timor sebagai mata pencaharian utama mereka sekaligus menyebarkan agama Katholik disana. Bahkan menurut beberapa literatur yang memang masih kurang dapat dipercaya menyebutkan bahwa Gereja Abi (di Timor wilayah Amanuban) didirikan tahun 1527. Menurut tradisi lisan yang dituturkan oleh Smarthenryk W. Nope, bahwa leluhur orang Topas datang ke Timor untuk mempertahankan “Sepe ma Klei” yang menurutnya Sepe adalah akronim dari kata Septuaginta dan Klei adalah dari kata Eklesia.
Namun akan kita ketahui nantinya bahwa kedudukan Topas dan identitas Katholiknya di Solor akhirnya berakhir di tahun 1613. Solor direbut Belanda dibawah komando Apollonius Schot sehingga mereka berpindah ke Larantuka. Komunitas ini kemudian lebih dikenal sebagai Larantuqueiros. Dalam sejarah Nasional akhirnya Kerajaan Larantuka ini disebut sebagai satu-satunya kerajaan di Nusantara yang bercorak agama Katholik, walaupun sebenarnya beberapa raja-raja di pulau Timor juga sudah mulai memeluk agama Katholik.
Persaingan antar kelompok
Ketika komunitas Topas di Solor ini semakin berkembang, kaum Dominikan memerintah total 27 kampung di Solor, Flores dan pulau-pulau tetangga, dengan sekitar 100.000 orang yang bertobat dan menjadi Katholik. Menurut perkiraan Belanda, jumlah itu sebenarnya 12.250 orang Kristen baru. Pos mereka yang paling penting, setelah Solor sendiri adalah Pulo Ende, di pantai selatan Flores, di sana mereka memiliki benteng yang terbuat dari batu koral[6].
Selain itu, desa-desa Katholik yang sudah berkembang menjadi kekuatan lokal membentuk aliansi Lima Panti (lima pemukiman), yang terdiri atas Adonara, Lamahal dan Terong di Pulau Adonara, Lawayong dan Lamakera di Pulau Solor. Mereka juga bekerjasama dengan penguasa Larantuka untuk menghadapi kekuatan orang-orang Islam yang dianut oleh penduduk di daerah pedalaman. Dari laporan ini, maka kita ketahui bahwa di pedalaman pulau ini telah banyak penganut agama Islam yang kemudian didesak oleh komunitas Katholik ini. Untuk meluaskan pengaruhnya, maka penguasa Larantuka lambat laun mempengaruhi dan menguasai daerah-daerah lainnya di Flores, seperti Sikka, Lio dan Ende. Mereka biasanya akan mengerahkan pasukan untuk menekan para penguasa lokal agar mau memeluk agama Katholik[7]. Salah satu pos yang terkuat dari komunitas Katholik ini adalah di Ende yang menggeser sejumlah pemeluk Islam. Namun nampaknya mereka tidak dapat bertahan disana sebab komunitas Islam dari Makassar tidak tinggal diam dan bereaksi serta mengirimkan pasukannya. Komunitas Larantuqueiros kemudian diusir oleh komunitas Islam Makasar dan dengan bantuan Belanda dari benteng pada tahun 1630 dan terakhir pada tahun 1664.
Disebutkan dalam material sejarah bahwa pada tahun 1664, satu armada Islam Makassar dengan kekuatan 28 perahu dan pasukan 1000 orang, mereka lalu menduduki Ende dengan alasan untuk membendung Portugis. Kekuatan ini masih di ikuti lagi oleh delapan buah perahu berikutnya dengan muatan 600 orang. Karena bantuan dari pasukan Makasar ini, maka terjadi percampuran dengan penduduk setempat, sehingga menumbuhkan komunitas penduduk campuran yang dikenal dengan sebutan “orang Ende” (Ende Pantai) yang berbeda dengan orang Ende pedalaman. Pada tahun-tahun berikutnya masih terjadi migrasi dari makasar atau Bugis secara bertahap ke Ende[8].
Kembali ke komunitas Portugis di Solor, dalam seratus tahun ke depan (dari tahun 1511), bukan Timor, tetapi pulau Solor menjadi pusat permukiman dan kegiatan perdagangan cendana oleh orang-orang Portugis ini. Pemukiman didirikan di titik paling strategis kepulauan Solor oleh kaum Dominikan Katholik. Keadaan ini juga didorong oleh keberhasilan mereka dalam pekabaran agama Katholik disana. Kita tidak tahu bagaimana dengan sumber-sumber gereja tentang penanggalan berdirinya komunitas Katholik di Solor, namun menurut sumber-sumber sejarah bahwa mereka berkembang sejak 1511 itu lalu tahun 1566 mereka membangun sebuah benteng batu dengan meriam di setiap sudut dan menamainya benteng (fort) “Hendricus”. Tujuan benteng adalah untuk melindungi penduduk kampung Katholik ini dari serangan para pedagang budak-budak Muslim dari Makassar dan Jawa yang sebelumnya sering menyerbu penduduk setempat lalu menangkap mereka dan menjual sebagai budak[9]. Nampaknya persaingan komunitas Islam dan Khatolik dari tahun-tahun sebelumnya belum mereda dan maraknya perdagangan budak semakin memotivasi persaingan ini.
Sebenarnya akan jelas kemudian bahwa entitas Belanda bahkan sering menggunakan pasukan-pasukan muslim dari Sulawesi, Buton dan Jawa dalam persaingan melawan Portugis sehingga alegasi sebagian orang bahwa Belanda dan Portugis memiliki ambisi yang sama yakni Kristenisasi[10] adalah keliru. Baik komunitas Portugis yang Katholik versus Belanda yang Kristen Protestan maupun versus Kerajaan-kerajaan Sulawesi dan Jawa yang Islam memiliki persaingan yang sama yaitu perdagangan. Tentang sentimen agama dari masing-masing kelompok adalah sangat sedikit, sebaliknya lebih mengarah ke persaingan perdagangan. Justru akan terlihat kemudian bahwa komunitas Portugis dengan agama identitas Katholiklah yang paling konsisten dalam mempertahankan jati dirinya dalam hubungan politik dan perdagangan dibandingkan pihak VOC Belanda yang terlihat lebih opurtunis dan pragmatis.
Saling membantu
Salah satu contoh adalah ketika tahun 1613 Kapten VOC, Apollonius Schot menyerbu Solor dan merebutnya dari Portugis, ia di bantu oleh Sultan Buton dengan mengirim kora-kora (prau perang). Contoh lainnya adalah ketika sekutu VOC yakni Amabi dan Sonbai sedang mati-matian bertempur mempertahankan kedudukan mereka di Timor pada September 1658, komandan Belanda Joseph Margits bersama Hendrick ter Horst pergi ke Kepulauan Solor. Di Solor beberapa pedagang Muslim datang ke kapal Margit dan menyampaikan saran agar diizinkan untuk mengambil barang dagangan Belanda dengan nilai 1.244,8 real, di mana mereka berjanji untuk membeli kayu cendana dan lilin lebah di pantai selatan Timor (wilayah Amanatun, Belu malaka dan Amanuban) yang tidak dapat diakses dan berbahaya bagi pedagang maupun pihak Belanda. Para pedagang muslim ini berjanji akan mengirimkannya untuk pos VOC di Kupang[11].
Namun ketika para pedagang Muslim ini beristirahat di Matayer, mereka diserang oleh kapal-kapal Portugis yang turun dari Makassar. Dua kapal hancur dan empat belas orang kehilangan nyawa, sementara kapten dan lima belas orang berhasil menyelamatkan diri dan berlayar ke Solor, "yang", mengutip Ter Horst, "tidak memberi kami kabar menyenangkan"[12]. Dua kabar yang mengecewakan adalah kekalahan sekutu Amabi-Sonbai-VOC melawan Portugis dan kerajaan Timor serta kehancuran sekutu mereka yaitu pedagang Muslim mereka di lautan.
Sedangkan Sultan Tallo atau Karaeng Matoaya alias Sultan Abdullah (1573-1636) juga menyebarkan pengaruhnya sampai ke Timor. Bahkan untuk menguatkan kedudukannya dalam perdagangan cendana di Timor ia kemudian menikahi putri dari kerajaan Wesei Wehali (atau umum disebut Weweiku Wehali) - sebuah kerajaan yang sangat berpengaruh di pusat pulau Timor[13]. Sultan lalu memperkenalkan Islam di sana. Bahkan ia berambisi untuk menjadi Raja atas Timor. Dengan diterimanya agama Islam disana maka pengaruh Islam semakin kuat. Orang-orang Sulawesi ini akhirnya menunjukan pengaruhnya dalam usaha perdagangan. Bahkan Karaeng yang terkenal bernama Patingalloang, anak dari Matoaya membuat perjanjian dengan VOC Belanda untuk menjadikan Makassar sebagai pemasok utama kayu cendana dari Timor bagi VOC Belanda. Ini menunjukan bahwa sesungguhnya kerjasama antara Belanda dengan kesultanan untuk mengakhiri hegemoni Portugis tidak ada kaitannya dengan sentimen keagamaan atau kristenisasi, semuanya hanya untuk perdagangan.
Perlindungan komunitas Katholik di Timor
Namun nampaknya hegemoni perdagangan para pedagang Sulawesi ini mulai memasuki wilayah yang riskan yaitu “Politik”. Untuk menunjukan keseriusan mereka dalam memonopoli perdagangan di pulau Timor, maka pada bulan Januari 1641, Sultan Mudaffar dengan armada Makassar bersama pasukannya sebanyak 5.000-7.000 orang menyerbu Portugis di Larantuka sebagai pesaing perdagangan mereka. Disana mereka menghancurkan permukiman, juga membakar gereja dan perabotannya. Lalu mereka meneruskan perjalanan ke desa Islam bernama Lamakera dan dari sana mereka melanjutkan pelayarannya ke Timor. Ketika Mudaffar tiba di Timor, ia mendatangi kerajaan Mena dan mengancam ratu serta raja dan memaksa mereka untuk memeluk agama Islam. Selama dua bulan lamanya Sultan Mudaffar menghancurkan daerah pesisir, menangkap 4.000 orang dan menjual mereka sebagai budak. Tindakan Sultan ini merupakan sebuah invasi berskala besar pertama yang terjadi di pulau Timor[14].
Ketika pihak Portugis melihat bahwa komunitas Katholik mulai terancam dengan invasi ini, maka komunitas Portugis di Larantuka mengutus seorang Dominikan bernama Francisco Fernandes dengan 150 orang Muskiter (pasukan bersenjata) untuk menghadapi invasi ini. Belajar dari pengalaman dan kekalahan mereka di Ende dan bebrapa daerah lainnya, maka mereka harus mengambil tindakan dengan hati-hati. Kali ini mereka mendarat di Naikliu bukan di Lifau dimana konsentrasi pasukan Makassar berada. Mereka lalu berjalan melewati wilayah Sonbai dan mencapai Amanuban. Disana mereka mengajak kerajaan Amanuban dan kerajaan lainnya untuk menyerang Mudaffar dan kerajaan Mena.
Dengan pasukan kecil ini, mereka berhasil menaklukan raja Serviao dan berhasil mengkonversikan rajanya kembali menjadi seorang Katholik. Sementara itu, raja Wehali mengirim pesan ke Tallo dan meminta bantuan pasukan satu skuadron penuh untuk menaklukan kerajaan lainnya. Bangsawan Tkesnay yang terjepit diantara kedua kekuatan ini akhirnya harus memilih dengan siapa ia harus bersekutu dan pilihannya jatuh pada Makassar dan Wehali.
Selanjutnya yang menjadi target pasukan sekutu Makasar, Wehali dan Tkesnai berikutnya adalah menaklukan Batumean (sekarang ini kita kenal sebagai kerajaan Amanatun[15]) namun Francisco Fernandes dan kerajaan sekutunya bertindak cepat. Batumean diamankan sebagai sekutu baru dan membaptis rajanya menjadi Katholik. Akhirnya Serviao dan Batumean bergabung dengan Fernandes, Amanuban dan sekutu lainnya untuk menyerbu pusat kerajaan (Wehali) dan pertempuranpun tidak dapat dihindarkan dan orang-orang Makasar ini berhasil dikalahkan oleh portugis dan sekutu kerajaan Atoni. Kampanye tahun 1641-1642 ini menandai kemenangan Portugis dan kerajaan sekutunya atas Makassar di pulau Timor[16]. Sejak kejadian ini dalam tradisi lisan dikenal dengan sebutan “Makenat Lub-Lubum Makasal, Taku ma Tkesnay”. Selanjutnya untuk tahun-tahun berikutnya pedalaman pulau Timor (termasuk Amanuban) tidak ada pengaruh agama Islam hingga tahun 1900an.
Dalam catatan Eropa berkaitan dengan peran Francisco Fernandes ini disebutkan bahwa mereka memuji pemimpin milisi ini. Bahkan seorang Dominikan melaporkan bahwa ia meninggal pada usia lanjut yakni 130 tahun dan hidup berkecukupan. Tepat sebelum kematiannya, ia merayakan kelahiran seorang bayinya lagi atau kembali menjadi seorang ayah. Disebutkan, ia menembak seekor kerbau selama perburuan. Setelah kematiannya, tubuhnya dikirim ke Belanda untuk penelitian ilmiah. Suatu penelitian yang akan dihubungkan dengan alam Pulau Solor dan Laratuka yang sehat dan bersih serta menunjang orang-orang dapat berusia lanjut disana[17].
Pengaruh Invasi Sultan dalam Politik di Timor
Setelah invasi Makasar ini akhirnya menyadarkan para raja-raja di Timor bahwa mereka membutuhkan sekutu Portugis untuk membantu mereka melawan invasi-invasi semacam ini dan komunitas Larantuqueiros tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Akhirnya dengan sukarela para raja ini mengkonversikan dirinya menjadi Katholik. Raja-raja Timor lainnya dalam catatan Eropa kemudian memang menjadi pemeluk agama Katholik.
Ini kemudian akan kita dapati ketika aliansi yang dibangun Jacob Verheyden dengan raja Amabi dan Sonbai di Kupang (tahun 1655). Raja Amabi di identifikasi dengan nama Dom Sebastiao, raja Amarasi dengan nama Dom Augustinho dan lainnya. Seperti pada artikel sebelumnya (Kisah kekalahan VOC Belanda di Timor pada awal 17), maka kerajaan Amanuban, Amarasi, Sonbai Besar dan beberapa kerajaan lainnya menjadi sekutu para Topas/ Larantuqueiros kecuali 5 raja sekutu Belanda lainnya setelah kekalahan Belanda di tahun 1658. Aliansi Belanda yakni Amabi, Sonbai Kecil, Taebenu, Helong dan Amfoan.
Setelah akhir pertempuran Gunung Mollo di tahun 1657, maka keadaan politik di Timor tidak begitu stabil dan Belanda hanya berkutat di kantung kecil Kupang dengan perlindungan Lima Raja Sekutu. Pada momentum perang Penfui (1749), Raja Amanuban yang saat itu bernama Seo Bill Nope dengan identitas Katholik bernama Dom Miguel (Michiel) De Concenciao, raja Sonbai bernama Baob Sonbai dengan identitas Katholik bernama Dom Alonso Sallema dan Raja Amfoan Timau Bernardo da Costa kecewa dengan kekejaman para pemimpin Topas sehingga mereka menyeberang ke pihak Belanda. Sedangkan Amarasi, Amanatun dan Amakono justru meninggalkan pertempuran sejak awal[18]. Mereka kemudian menjadi sekutu Belanda dan berperang di pihak Belanda hingga kekalahan Portugis dalam perang ini. Akhirnya Topas kehilangan pengaruh dan bukan lagi menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan lagi.
Identitas Katholik yang bertahan
Lalu bagaimana dengan jawaban atas pertanyaan Peter Tahaob tersebut diatas?. Jawabannya adalah ketika tahun 1851 saat pihak Portugis dan Belanda melihat bahwa situasi politik di Timor berada di luar kendali mereka. Pada kenyataan bahwa kerajaan-kerajaan Timor yang tadinya diikat dalam perjanjian Paravicini telah lepas dari kontrol Belanda. Bukan hanya itu, mereka secara masif dan berkala melakukan peperangan dengan entitas Belanda dan Portugis. Keadaan ini memaksa Belanda dan Portugis bersepakat untuk duduk di meja perundingan. Klausul yang akan dirundingkan adalah pengambil alihan wilayah di Pulau Timor untuk meredam persaingan politik dan militer kedua entitas Eropa ini.
Akhirnya Gubernur Dili yang baru yaitu Jose Lopes de Lima menyetujui penawaran transfer atas kekuasaan di Flores, Adonara, Solor, Lomblen, Pantar, dan Alor dan Timor bagian barat dengan nilai penjualan sebesar 200.000 Florin. Uniknya Timor bagian barat yang turut dijual Portugis (Amanuban, Sonbai Besar, Amanatun, Amakono dan Wewiku Wehali dan beberapa wilayah lainnnya) adalah wilayah yang benar-benar merdeka kecuali daerah yang benar-benar dibawah kontrol Portugis seperti Oekusi dan Neomuti.
Dari perjanjian Belanda-Portugis ini selain berkaitan dengan transfer wilayah-wilayah, juga disepakati pula bahwa umat Katholik dipastikan bebas mengamalkan ajaran agamanya. Di Larantuka dan daerah-daerah Flores yang mayoritas Katholik juga di daerah-daerah Timor misalnya Belu dan Noemuti tidak boleh ada penyebaran ajaran Calvinisme (Kristen Protestan) sebagaimana biasanya dianut orang Belanda. Tentu saja pihak Belanda menyetujui usulan ini. Guna menunjukan keseriusan mereka, maka Belanda mengutus serikat Yesuit dari negeri Belanda untuk dapat terlibat dalam pekerjaan kolonial. Di Larantuka dan Solor misalnya, mereka mendirikan bangunan paroki pertama dan kembali mengarahkan bentuk ortodoks agama tersebut. Itulah sebabnya daerah-daerah yang telah memeluk agama Katholik tidak boleh dilakukan misi dari Kristen Protestan.
Agama Kristen Protestan di Kupang
Namun hubungan agama Kristen Protestan di wilayah yang kemudian dikuasai Belanda-pun patut kita pelajari hanya mungkin untuk menambah pemahaman kita tentang penyebaran agama Kristen.
Bahwa setelah perang sekutu Amabi-Sonbai-VOC ini berakhir di tahun 1658, maka secara otomatis Belanda hanya memiliki 3 sekutu di Kupang yakni Amabi, Sonbai Kecil dan Raja Helong hingga bergabung pula dua kelompok pengungsi lainnya yakni Amfo'an (1683) dan Taebenu (1688). Kelima sekutu adalah sebagai entitas terpisah dari orang Atoni di Timor Barat dan merupakan sekutu terdekat dan paling setia kepada Belanda sampai abad kedua puluh. Mereka kemudian dalam dokumen-dokumen Eropa disebut sebagai “Lima Raja Sekutu”. Kelima raja sekutu ini berikutnya akan menjadi teman dan juga merupakan benteng bertahanan Belanda menghadapi serangan-serangan kerajaan-kerajaan Atoni yang pro Portugis di pedalaman Timor hingga tahun 1749 dan beberapa tahun berikutnya.
Penting disini untuk dapat kita mengikuti dinamika interaksi sosial berbarengan dengan upaya pasifikasi Belanda yang stagnan di pulau Timor. Sebenarnya hubungan Kelima Sekutu ini memiliki kekayaan dokumentasi dari pihak Belanda yang dapat memberi gambaran tentang interaksi Politik dan Sosial dalam studi sejarah yang sangat kontekstual bagi pembangunan Kota Kupang dewasa ini. Namun sangat disayangkan bahwa kurangnya upaya pemerintah daerah di Kupang maupun NTT dan pihak gereja dalam pengembangan study ini yang mungkin dapat bermanfaat bagi pembangunan di Nusa Tenggara Timur terutama berkenaan dengan aspek sejarah, budaya dan interaksi keagamaan.
Menurut ringkasan Prof. Hans Hagerdall, disebutkan bahwa kelompok-kelompok Timor yang berimigrasi pasca perang ini tinggal di komunitas mereka yang tidak jauh dari benteng Concordia dan pola integrasi sosial dalam komunitas kota (dalam hal bergereja,red) selama periode VOC nampaknya sangat terbatas. Dari catatan pembaptisan, disebutkan bahwa hanya sedikit sekali laki-laki Timor yang bergabung dibandingkan perempuan yang lebih banyak bergabung[19].
Memang harus diakui bahwa kelompok-kelompok orang Timor dari Lima Sekutu itu banyak yang masih beridentitas Katholik. Kekristenan mereka ini melalui upaya para misionaris Dominika Portugis pada abad 17. Ini jelas seperti diatas, bahwa anggota elit/ bangsawan-bangsawan itu telah menggunakan nama Katholik pada saat mereka melakukan kontak dengan VOC. Namun demikian, justru pihak Belanda menunjukkan minat yang relatif terbatas bahkan sangat minim dalam upaya meng-Kristen Protestan-kan kelima sekutu mereka ini. Proses Kristenisasi justru terjadi dengan berjalan secara alami berdasarkan kecepatannya sendiri.
Tentu hal ini sejalan dengan kebijakan VOC secara umum di Nusantara; bahwa upaya konversi (perpindahan agama) biasanya dihindari oleh Belanda agar tidak menimbulkan masalah bagi hubungan antara Kompeni dan sekutunya serta anak asuhnya. Selama abad kedelapan belas, praktik-praktik berkembang bahwa para raja dan bupati dibaptis pada waktu atau segera setelah aksesi mereka. Namun, tidak ada bukti untuk konversi atau perpindahan agama secara massal selama periode VOC, bahkan di kalangan elit itu sendiri.
Sebaliknya, walaupun terjadi interaksi sosial dalam hubungan perkawinan antara pegawai Belanda dengan wanita setempat, namun nampaknya interaksi ini justru dipandang sebagai penghambat atau bahkan dapat mengganggu hubungan antara Belanda dengan raja-raja sekutu ini. Cara pandang tentang perkawinan orang Timor dengan orang Eropa jelas berbeda. Hal ini berkaitan dengan pemahaman orang Timor, bahwa pihak pemberi istri harus dihormati oleh pihak pengambil istri. Bahkan perkawinan ini menjadi persoalan bagi pihak Belanda itu sendiri sebab kadang pegawai Belanda yang menikahi puteri raja justru menjadi gagah dan sok yang kemudian menimbulkan masalah bagi Kompeni maupun bangsawan setempat.
Agama, arena interaksi sosial
Namun arena interaksi yang paling baik dan paling bermartabat justru terjadi dalam intitusi gereja. Ketika mulai banyak orang-orang Timor dari komunitas raja-raja sekutu ini menjadi pemeluk Kristen, mereka memandang Agama Kristen secara serius. Bahkan dalam sebuah laporan seorang pendeta Calvinis bernama Warnerus van Loo bahwa seorang Pangeran Kupang bernama Paulus bahkan menjabat sebagai Krankenbesoeker (pengunjung orang sakit, posisi klerus yang lebih rendah). Van Loo adalah pendeta yang diutus oleh otoritas Gereja di Batavia ke Kupang pada tahun 1732. Tentu saja pelayanan sang Pangeran ini merupakan suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang bangsawan dalam keadaan biasa.
Dalam laporannya disebutkan “dengan meninggalnya penatua Johannes Tano (raja Kupang) dan diakon Erasmus Hans agar digantikan oleh penatua Leender van Dijk untuk pemulihan dewan gereja.... untuk itu, saya, setelah pencalonan tersebut menunjuk orang yang baik hati, rendah hati dan menjalani kehidupan yang saleh, untuk memimpin upacara-upacara agama Kristen yang benar dan reformis serta menjadi wakil gereja yaitu Raja Daniel dari Amfo’an sebagai penatua dan Cornelis Zegers sebagai Diakon. Dan mengenai diaken Amos Pietersz Thenoe telah jatuh dalam pesta pora yang keras dengan konsekwensi bahwa karakter dan kehidupannya sangat tidak kristen dan buruk yang tidak sesuai dengan jabatan apapun apalagi sebagai pelayan gereja, seteleh saya pertimbangkan matang maka saya memutuskan bahwa Thenoe tidak layak untuk melayani. Untuk itu kami telah menunjuk Tobias (Raja) Amabi sebagai diakon sebagai gantinya...dstnya...”
Seperti yang kita lihat bahwa organisasi gereja bersandar pada otoritas individu dari para raja sekutu bahkan posisi terdepan dalam komunitas gereja lokal. Jelas dan nyata bagi kita bahwa ruang interaksi keagamaan adalah titik pertemuan dimana interaksi penting telah terjadi antara dunia Eropa dan dunia Timor- terlepas dari upaya resmi Belanda untuk memisahkan kedua dunia ini. Orang Kristen Timor mungkin akan memperoleh tingkat pemahaman tentang budaya dan pola pikir para orang kulit putih dan sebaliknya, demikian Prof. Hans Hagerdall meringkasnya[20].
Dengan demikian upaya pengkristenan oleh Belanda bukan paksaan namun memang sebuah sarana interaksi dari kedua komunitas yang saling membutuhkan. Komunitas Belanda di Kupang membutuhkan eksitensi kelima raja sekutu sebaliknya kelima raja sekutu juga membutuhkan perlindungan Belanda terhadap serangan-serangan dari kerajaan-kerajaan musuh mereka di pedalaman Timor yang sulit diatur baik oleh Kompeni maupun Portugis itu. Dalam upaya interaksi ini banyak hal yang sulit, terutama secara politik bahwa walaupun kelima raja sekutu ini telah menjadi sekutu mereka di Kupang namun kadang kala timbul juga kecurigaan bila terjadi pembelotan atau penghianatan manakala terjadi penyerbuan dari musuh-musuh Belanda yang sering menyerang dan menembaki Belanda hingga di depan benteng. Tentu saja arena interaksi dalam gerejalah, mereka dapat saling mempercayai tanpa rasa saling curiga.
Situasi yang unik di Pulau Rote
Bila hubungan antara entitas Belanda dan Portugis di Timor sangat rumit dan kacau terutama pengaruh keagaman yang stagnan dan saling curiga, maka perkembangan yang paling mengejutkan justru terjadi di pulau Rote. Bila dilihat dari sisi perdagangan, pulau ini dinilai hanya memiliki arti perdagangan yang sangat kecil bahkan dapat dianggap tidak berarti bagi semua pihak. Disana pihak Belanda menjalin persekutuan dengan kelompok-kelompok lokal. Pada tahun 1681 sebuah serangan berdarah VOC yang membantu sekutu-sekutu lokal di pulau itu atas serangan Amarasi dan komunitas Topas yang berusaha mendominasi pulau itu dan berhasil mengusir mereka serta memperkokoh kekuasaan sekutu-sekutu lokalnya. Pulau Rote kini berada dibawah perlindungan VOC dan pulau ini menjadi basis perdagangan budak. Meskipun demikian tidak terdapat satupun benteng yang kokoh di Rote.
Pada abad ke 18, orang-orang Rote mulai mengambil keuntungan dari keadaan yang timbul karena kehadiran VOC. Mereka secara berangsur-angsur mulai menganut agama Kristen yang memberikan status sosial yang lebih tinggi juga status yang membebaskan dari perbudakan dan kemungkinan memperoleh kedudukan sosial dari VOC. Ketika sebuah perkara hukum yang berlarut-larut terutama VOC masih membiarkan para pemimpin lokal memeriksa perkara berdasarkan hukum adat, maka sejak tahun 1724 yang menentukan preseden bahwa seorang penduduk Rote yang beragama Kristen berada di luar kekuasaan penguasanya (rajanya) dibandingkan dari penduduk yang masih beragama tradisonal, maka hal itu justru mempercepat proses pengkristenan penduduk Rote. Ini jelas bahwa seorang rakyat biasa yang menjadi kristen memiliki kedudukan sosial yang dihormati hak-haknya terutama untuk menyelesaikan konflik hukum adat dan keluarga diantara mereka sendiri dengan hukum Eropa dibandingkan hukum adat yang bertele-tele.
Pada tahun 1729, penguasa Rote yang pertama lalu memeluk agama Kristen dan kemudian terjadi sebuah perkembangan yang luar biasa. Selanjutnya para penguasa yang sudah beragama Kristen meminta kepada VOC supaya memberi mereka guru-guru sekolah. Pada tahun 1765, penduduk lokal Rote sendiri sudah sanggup mengambil alih pengelolaan sekolah-sekolah berbahasa Melayu itu. Rakyat Rote menciptakan sebuah bentuk Kristiani dan sekolah-sekolah mereka sendiri dari naluri-naluri reformasi kekristenan. Dengan demikian penduduk Rote menjadi elit yang terpelajar di wilayah ini yang akan memberi mereka suatu peran regional yang menonjol pada abad ke [21].[22]
Sekutu VOC di Timor
Perkembangan di Rote berbeda dengan di Timor yang penuh gejolak dan pasang surut. Setelah perang Penfui di tahun 1749 berakhir, banyak kerajaan di Nusa Tenggara ini menjadi sekutu Belanda dan diikat dalam suatu perjanjian pada tahun 1756. Tahun itu, VOC membuat kontrak yang digagas oleh komisioner Johannes Andreas Paravicini yang di kemudian hari dikenal sebagai Kontrak Paravicini. Kontrak ini ditandatangani oleh penguasa-penguasa dari Rote, Sabu, Sumba, Solor, Flores dan raja-raja di Timor termasuk didalamnya adalah liurai Sonbai dan Amanuban. Namun kontrak ini sesungguhnya lebih menunjukan persahabatan dalam perdagangan. Dengan Kontrak ini, diharapkan para raja ini dapat menjual hasil bumi berupa lilin dan lainnya hanya kepada VOC Belanda.[23]
Namun pengaruh politik dan perdagangan saat itu terhadap identitas keagamaan juga menjadi nampak semenjak persahabatan ini. Di kerajaan Amanuban misalnya, pada tahun 1751 putra raja Amanuban bernama Jacobus Albertus (Kobis Nope) mengkonversikan dirinya dari agamanya Katholik menjadi Kristen Protestan. Ia dibaptis secara Kristen Protestan oleh pendeta Siljma dari Banda. Resident Kupang yaitu William Andrian van Este menjadi bapa saksinya (Bapa Ani-sebutan orang Kupang).
Namun persahabatan Amanuban-VOC tidak bertahan lama. Pada tahun 1770, sepupu Kobis yang bernama Tubani Nope/ Nuban (putera dari Don Miguel) seorang pangeran yang anti VOC mengangkat diri menjadi raja Amanuban di pedalaman. Akhirnya Kobis Nope hanya menjadi raja secara nominal pada sebuah komunitas Amanuban yang kecil sebanyak 6 temukung dari Noemina hingga Pariti. Semenjak itu Amanuban di pedalaman tidak lagi berhubungan dengan Portugis Putih maupun Belanda secara politik. Jadi persahabatan Amanuban dengan Belanda hanya bertahan 22 tahun[24] sedangkan perkembangan agama Katholik dan Kristen Protestan juga tidak memiliki perkembangan apa-apa disana.
Uniknya putera Tubani, bernama Kusa Nope/ Nuban yang kemudian menjadi Raja Amanuban ke IX (tahun 1802-1824) juga dikenal dalam dokumen-dokumen Eropa adalah seorang Kristen Protestan. Ia memilik nama baptis Don Louis (II) dan ia bahkan disebut sebagai seorang terpelajar dan pernah bepergian ke Batavia[25]. Walaupun raja Amanuban beragama Kristen Protestan, namun tidak ada laporan bahwa terjadi misi pekabaran injil di kalangan masyarakat Amanuban sebab saat itu Amanuban dan Belanda berada dalam situasi peperangan.
Namun pengganti Don Louis II yaitu Baki Nope/ Nuban (1824-1862) atau mungkin cucunya Sanu Nope (menjadi raja 1862-1869) ternyata para raja ini telah menjadi kembali pada agama tradisional leluhur Amanuban yaitu Halaika’. Selama kurang lebih 100 tahun kemudian raja Amanuban tidak bersentuhan dengan agama baik Kristen Protestan maupun Katholik. Pada tahun 1948 atau 38 tahun setelah Amanuban ditaklukan Belanda, raja Amanuban Pa’E Nope/ Nuban (menjadi raja 1920-1945) mengonversikan dirinya menjadi pemeluk Kristen Protestan. Ini menunjukan pasang surut hubungan keagaman di Timor sangat situasional dan berkaitan erat dengan dengan situasi politik di Timor.
Sedangkan disisi lain, pemimpin kerajaan Sonbai Besar yakni Nai Kau Sonbai (Alfonsus Adrianus) memerintah dari (1762-1802) juga dibesarkan di rumah sang opperhoft yaitu van Este. Alfonsus Adrianus adalah seorang Kristen Protestan dan mendapat pendidikan ala Eropa. Namun kemudian memberontak kepada Belanda di tahun 1782 bahkan ia memimpin langsung penyerangan di Kupang[26]. Ketika tahun 1906 Sonbai kembali ditaklukan Belanda, ternyata raja Sonbai dan keluarganya telah menjadi Halaika’. Jelas bahwa pengaruh politik yang berjalan juga ternyata mempengaruhi maju mundurnya keagamaan di sebuah komunitas.
Konversi pedalaman Timor
Bila orang-orang Timor di Kupang sejak tahun 1680an secara perlahan mulai mengenal bentuk keagamaan Kristen Protestan, namun keadaan di pedalaman pulau Timor masih begitu abu-abu. Seperti yang telah dijelaskan diatas, Amanuban dan Sonbai Besar setelah berakhirnya persekutuan mereka dengan Belanda di Kupang untuk waktu yang pendek, raja-raja mereka memilih untuk mengambil bentuk penyembahan kepada agama leluhur Halaika’ sebagai bentuk pemisahan dari kedua entitas Eropa ini (Belanda dan Portugis yang Katholik). Namun sejalan dengan berhasilnya pasifikasi Belanda atas Sonbai pada tahun 1906 dan Amanuban tahun 1910, maka secara perlahan pekabaran injil mulai masuk ke pedalaman Timor.
Namun semenjak tahun 1908 pekabaran injil yang sejalan dengan berdirinya institusi-institusi sekolah tidak sepenuhnya memperoleh dukungan dari pihak pemerintah Belanda. Contohnya menurut laporan Ds. Krayer van Aalst (De Timor Bode NO. 51, Juli 1920)[27]. Krayer van Aalst adalah seorang pendeta yang bertugas dalam misi Zending di Kapan sejak tahun 1916 sampai 1922. Ia menyebutkan bahwa Gezaghebber (pejabat Belanda) masuk ke kelas-kelas dan mencoret jadwal pelajaran agama dan juga jam-jam Belajar Alkitab. Tindakan ini menunjukan bahwa pihak otoritas Belanda tidak begitu menyukai apabila orang pribumi menjadi Kristen dan mengenal ajaran-ajaran Kristus yang memerdekakan itu.
Sedangkan di Amanuban, komunitas pertama yang menjadi Kristen setelah penaklukan Belanda adalah di Pene yang memang secara geografis dekat dengan Kapan. Mereka menerima kekeristenan pada tahun 1912. Pada tanggal 9 Pebruari tahun 1948, oleh karena suatu peristiwa iman, maka raja Tua Amanuban yaitu Pa’E Nope/ Pa’E Nuban menjadi seorang pemeluk Kristen. Proses ini diikuti oleh banyak pejabatnya yakni Fetor dan Meo-Meo maupun Temukung walaupun masih banyak penduduk yang masih memeluk agama Halaika’. Proses perpindahan agama yang paling masif justru terjadi pada tahun 1965 pasca penumpasan PKI, dimana orang-orang banyak berbondong-bondong memeluk agama Kristen dan Islam karena menghindari stigma Halaika sama seperti tak bertuhan (Atheis) yang lebih mengarah ke Komunis.
Khususnya di Amanuban, agama Islam memiliki jumlah pemeluk yang cukup signifikan di beberapa kecamatan seperti di Kecamatan Amanuban Timur, KiE dan Kota SoE. Penyebaran agama Islam di Amanuban bermula dari Fetor Noebunu yaitu Gabriel Isu (kemudian berganti nama menjadi Gunawan Isu) mengkonfersikan dirinya menjadi seorang mualaf atau penganut agama Islam pada tahun 1967 Kefetoran Noebunu ini kemudian menjadi sejumlah kecamatan seperti tersebut diatas. Pada masa kerajaan, jabatan Fetor cukup penting dan memiliki pengaruh atas wilayah dan rakyat, sehingga banyak masyarakat dari kefetoran Noebunu ini mengikuti jejak san Fetor. Hari ini keluarga-keluarga Timor yang berada di kecamatan-kecamatan tersebut hidup rukun dan saling toleransi sebagai keluarga.
Belajar dari sejarah
Bila saat ini Nusa Tenggara Timur bisa meraih predikat Provinsi yang paling toleran kedua se Nusantara, maka itu bukan suatu proses yang mudah dan pendek. Konflik berkepanjangan di abad-abad ke 16 hingga 17 memberi gambaran utuh mengenai perlombaan keberagaman agama yang berbarengan dengan perdagangan. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, segala perbedaan berhasil diselaraskan dengan nilai-nilai Pancasila yang kini menjadi kekuatan penting pemersatu bangsa.
Hari ini kita berusaha merajut perbedaan ini dengan berbagai cara, terutama beberapa tahun belakangan ini negara kita sedang mengalami tekanan ideologis dimana betapa kerasnya sekelompok radikalis yang berusaha untuk mengganti sendi negara kita dengan ideologi yang secara keliru menafsirkan makna terdalam dalam kepercayaan mereka. Dengan saling menghormati dan bertoleransi, maka keharmonisan dan kehidupan yang selaras dalam berbangsa dan bernegara dapat menjadi utuh termasuk dalam kehidupan kebersamaan dalam keragaman agama di Nusantara.
Demikian secuil tulisan saya dan semoga bermanfaat bagi para pembaca.
[1] Tom Pires, Suma Oriental, Hal. 149. H. de Graaf Tomé Pires ,,Suma Oriental en het tijdperk van godsdienstovergang op Java. In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 108 (1952), no: 2, Leiden, 132-171
[2] Dr. I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara Tahun 1815-1915, penerbit Djembatan, hal. 95
[3] Dr. I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara Tahun 1815-1915, penerbit Djembatan, hal. 97
[4] Degradado menurut Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/Degredado) menjelaskan bahwa istilah ini merujuk pada para orang hukuman/ tahanan Politik yang dijatuhi hukuman. Para Degredados memainkan peran penting dalam era penemuan bangsa Portugis dan sangat penting dalam pembentukan koloni Portugis, terutama di Afrika dan Brasil (dan juga di Timor, penulis). Pada tahun-tahun awal penemuan Portugis pada abad ke-15 dan 16, kapal-kapal biasanya membawa sejumlah Degredados, untuk membantu tugas-tugas yang dianggap terlalu berbahaya bagi awak kapal biasa; misalnya ketika mencapai pantai yang tidak dikenal, degredado biasanya mendarat terlebih dahulu untuk menguji apakah penduduk pribumi bermusuhan. Setelah kontak dibuat, degredados sering ditugaskan untuk menghabiskan malam di desa itu (sementara kru lainnya tidur di kapal). Mereka ditugaskan untuk membangun kepercayaan dan mengumpulkan informasi serta membangun hubungan dengan penguasa lokal.
[5] History of Timor, Technische Universitat Lissabon, Hal. 15
[6] Solor Midellepunt van de sandelhouthandel. De kleine Soenda eilanden” oleh Arnold van Wickeren
[7] Perebutan Pulau Dan Laut: Portugis, Belanda Dankekuatan Pribumi Di Laut Sawu Abad XVII-XIX, hal. 7 dalam makalah yang dipresentasikan Konferensi Nasional Sejarah VIII pada tanggal 14-16 Nopember2006 di Jakarta, diselenggarakan oleh Direktorat Nilai Sejarah , Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Didik Pradjoko, Staf Pengajar pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
[8] Dr. I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara Tahun 1815-1915, penerbit Djembatan, hal. 42
[9] Solor Midellepunt van de sandelhouthandel. De kleine Soenda eilanden” oleh Arnold van Wickeren
[10] Istilah ini sangat populer sekarang di dunia maya
[11] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “White and Dark Stranger Kings: Kupang in the Early Colonial Era” - Unpublished sources - Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands, 2008
[12] VOC 1229, f. 859a, in: NA 1.04.02.
[13] Lokasi tepatnya sekarang berada di Kabupaten Malaka
[14] Prof. Hans Hägerdal, Lords of The Land, Lords of The Sea (Conflict and adaptation in early colonial Timor, 1600-1800), Halaman 399, Halaman 85-86
[15] Menurut tradisi lisan kata ini berasal dari kata “Tun Am Fatumean, Noefanu Onam”
[16] Prof. Hans Hägerdal, Lords of The Land, Lords of The Sea (Conflict and adaptation in early colonial Timor, 1600-1800), Halaman 399, Halaman 88-89
[17] Solor Midellepunt van de sandelhouthandel. De kleine Soenda eilanden” oleh Arnold van Wickeren
[18] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “White and Dark Stranger Kings: Kupang in the Early Colonial Era” - Unpublished sources - Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands, 2008
[19] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “White and Dark Stranger Kings: Kupang in the Early Colonial Era” - Unpublished sources - Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands, 2008
[20] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “White and Dark Stranger Kings: Kupang in the Early Colonial Era” - Unpublished sources - Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands, 2008
[21] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “White and Dark Stranger Kings: Kupang in the Early Colonial Era” - Unpublished sources - Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands, 2008
[22] A History of Modern Indonesia, M.C Ricklefs, edisi Indonesia Sejarah Indonesia Modern – Gadjah Mada University Press, 2007, hal. 101-102
[23] Dr. I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara Tahun 1815-1915, penerbit Djembatan,
[24] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “Amanuban” - tidak dipublikasikan
[25] History of Timor, Technische Universitat Lissabon, Hal. 15
[26] Prof. Hans Hägerdal, Lords of The Land, Lords of The Sea (Conflict and adaptation in early colonial Timor, 1600-1800), Halaman 399, Halaman 88-89
[27] Surat-surat Van Aalst diterjemahkan oleh Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo (mantan ketua Sinode GMIT) dalam bukunya berjudul “Surat-surat dari kapan” halaman 248-250
Cerita sejarah yang sangat bermanfaat. Harus jadi muatan lokal di seluruh NTT atau paling tidak, Timor.
BalasHapusTerima kasih
HapusTrimakasi ulasanx. Ilmu br utk kita. obrigado.
BalasHapusMantap.
BalasHapus