KISAH KEKALAHAN VOC BELANDA DI PULAU TIMOR PADA AWAL ABAD 17 Bagian 4 – (Habis) Pertarungan yang mengenaskan bagi para Pahlawan

KISAH KEKALAHAN VOC BELANDA
DI PULAU TIMOR PADA AWAL ABAD 17
Pertarungan yang mengenaskan bagi para Pahlawan
BAGIAN 4 – (Habis)



Tulisan ini untuk lebih melengkapi buku “Konflik Politik Di Timor Tahun 1600-1800an- Perjalanan Amanuban Menentang Hegemoni Bangsa Eropa Atas Timor Tahun 1600-1800an”.

Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.

            KISAH SUPREMASI MILITER BELANDA DIPERMALUKAN
DI PULAU TIMOR PADA AWAL ABAD 17
Pertarungan yang mengenaskan bagi para Pahlawan
BAGIAN 4 – (Habis)

            Pada bagian ketiga dari rangkaian tulisan ini, telah kita ikuti bahwa peristiwa peperangan di bulan September 1657 ini sudah sampai di Gunung Mollo. Sekutu Amabi terkepung dan pasukan VOC menjadi tawar hati serta melarikan diri dari kepungan dan juga dari medan tempur. Pada bagian empat ini, kita akan mengetahui bahwa akibat dari kemunduran ini, maka raja Amabi harus menghadapi musuhnya sendirian bersama adiknya hingga mereka berdua gugur dalam pertempuran di atas gunung Mollo, bi Mollo tunan. Dalam sebuah pertempuran jarak dekat, sang raja Amabi ini menghadapi para penyerbu ini secara jantan dan berani. Sayangnya ia terdesak dan jatuh ke jurang.
Dalam tradisi lisan disebutkan bahwa ia sangat kecewa karena peperangan ini ia banyak kehilangan wilayahnya sebab dahulu ia bertempat tinggal Nobi-Nobi TaEmnanu (sekitar 1,5 Km dari Niki-Niki sekarang ini) namun sekarang ia harus kehilangan benteng terakhirnya di puncak Gunung Mollo. Ia sangat sedih dan membuat syair “Umung kaet kaenoin hen meus’, na nanẽs neun meus bi Mollsam pe” artinya “burung dara menangis, suatu tangisan yang menandakan bahwa hari akan usai, terlebih ketika subuh tiba, si Mollo telah dihancurkan”. Ini adalah syair yang menunjukan keputus asaanya bahwa segala sesuatu yang ia miliki akan berakhir. Ia kecewa lalu membunuh dirinya dengan cara membuang dirinya dari atas puncak gunung dan mati. Jadi tradisi lisan menyebutkan bahwa ia bukan mati oleh pedang atau peluru orang Amanuban namun ia  mati bunuh diri. Lalu puteranya melarikan diri ke Kupang bersama rakyatnya yang sangat banyak.
Hingga hari ini puncak gunung ini disebut sebagai Nefo ne’ Jabi (perkampungan / benteng Jabi)[1]. Uniknya Dusun kecil di kaki gunung Mollo ini juga dinamakan dusun Kona yang juga berdasarkan peristiwa ini. Menurut seorang penutur disana bermarga Lake, ketika orang-orang Amanuban tiba dan peperangan berkobar, ternyata orang-orang Jabi dikalahkan ini melarikan diri dan bersembunyi di ceruk-ceruk bukit gua. Orang Amanuban Koa’ dan menyindir dengan berkata seorang dengan yang lain “sin naenam na’ tolo es Kona nanan” yang artinya “mereka lari bersembunyi di dalam gua”.[2] Itulah sebabnya dusun ini bernama dusun Kona  dan dusun yang satunya bernama “Koa” hingga hari ini.

Aib yang memalukan bagi Belanda
            Tragedi itu merupakan aib yang sangat memalukan bagi Belanda. Sebenarnya gunung itu tidak bisa ditembus oleh serangan musuh jika di pertahankan dengan tegas dan serius, bahkan diyakini oleh banyak pihak bahwa benteng itu dapat dipertahankan walaupun hanya sepuluh orang tentara dengan senapan. Hal ini tentu sangat kontras dengan pertahanan Portugis yang berhasil mengalahkan Pasukan De Vlaming di Amarasi setahun sebelumnya (baca Kisah Supremasi Militer Belanda Dipermalukan Di pulau timor pada awal abad 17 Pertarungan yang mengenaskan bagi para Pahlawan Bagian 2). Bahkan disebutkan bahwa Kekalahan ini membuat beberapa pejabat Kompeni mulai berpikir untuk pindah ke pulau Rote yang penuh gejolak tetapi disediakan dengan baik sesuai dengan saran de Vlaming[3]. Ter Horst sangat marah ketika mengetahui tentang perbuatan sersan Lambrecht Heyman yang meninggalkan sekutu mereka bertempur sendirian.
            Bahkan rumor tentang tragedi Gunung Mollo ini telah menyebar jauh dan luas serta menyebabkan keresahan serius pada orang-orang Rote di pulau Rote sebab disana (di pulau Rote) Portugis masih memiliki sekutu. Akhirnya dari efek “Makenat na’ Jabi”  ini dengan tiga kekalahan Belanda dan sekutunya di tahun 1655, 1656 dan 1657 sangat menentukan sejarah politik Timor selama hampir 150 tahun berikutnya. Secara umum akibat dari perang ini sangat mempengaruhi situasi politik di Timor Barat. Belanda sejak itu tidak pernah lagi secara terbuka memerangi kerajaan Amanuban ataupun Portugis selama kurang lebih 150 tahun ke depan. Bahkan peristiwa ini mendorong Belanda untuk membuat perjanjian damai tahun 1663 antara Belanda dan Portugal. Namun pada perang Penfui tahun 1749 keadaan menjadi terbalik. Pada tahun 1749 karena kecewa atas perlakuan orang Portugis, maka Amanuban menyeberang ke pihak VOC dan memerangi kekuatan Portugis hitam di Penfui hingga kekalahan yang mengerikan bagi Portugis pada tahun itu juga.
Sedangkan mengenai akibat perang di gunung Mollo tahun 1657 ini, maka Raja Sonbai berhasil ditawan dan sebagai seorang raja Besar, maka ia tetap pada kedudukannya sebagai raja Sonbai namun harus menjadi sekutu Portugis dan kerajaan Atoni lainnya. Sedangkan Amatomananu beserta pangeran Amabi dengan seluruh rakyat yang masih selamat melarikan diri ke Kupang.
Dengan kemenangan dalam pertempuran di gunung Mollo ini, maka pihak Portugis dan Amanuban menjadi domain yang berperan besar di pedalaman Timor dan untuk hal ini bahkan Francisco Viera de Figueiredo di tahun 1664 dalam salah satu laporannya berkaitan dengan Pertempuran Gunung Mollo ini menyebut “Amanuban” sebagai the powerful on Timor and they have always been our friend and joined us in the war”-(yang terkuat di pulau Timor dan mereka telah menjadi teman kita dan akan selalu bersama kita dalam peperangan)[4]. Viera de Figueiredo sendiri adalah seorang sahabat dan pedagang kesayangan Sultan Hasanudin, raja Gowa Sulawesi Selatan[5]. Sultan Hasanudin kini kita kenal sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia dari Sulawesi Selatan. Tentu saja semenjak perang ini, maka pengaruh Amabi semakin menurun dan juga sang penguasa besar Sonbai mulai melemah.Sementara itu, oleh karena kesibukan maupun peristiwa-peristiwa kekalahan Belanda yang berturut-turut ini, maka Hendrick Ter Horst mengundurkan dirinya dari jabatan Opperhofd di Kupang dan digantikan oleh Joseph Margits.

Eksodus pertama di Pulau Timor
            Ketika kita membaca buku Jenderal Kiky Shanakri, berjudul “Timor-Timur, The Untold Story” kita akan mengetahui secara jelas tentang peristiwa pelarian besar-besaran orang-orang Timor-Timur pada tahun 1999 pasca Referendum. Eksodus ini sebagai akibat dari perang saudara karena terpecah menjadi dua kelompok besar, yang satu memilih merdeka dan kelompok lainnya memilih integrasi. Peristiwa ini juga penulis saksikan sendiri di tahun 1999, dimana eksodus orang-orang yang berjumlah puluhan ribu yang setiap hari melintasi jalan raya di Niki-Niki disertai oleh rentetan tembakan ke udara oleh pihak pasukan TNI yang merasa kecewa atas hasil Refendum ini. Tiba-tiba kota-kota di Timor Barat (dari Atambua sampai Kupang) menjadi mencekam dan dihinggapi oleh ketakutan. Namun tidak banyak yang tahu bahwa ternyata Eksodus penduduk yang berjumlah puluhan ribu untuk pertama kali terjadi pada tahun 1658 atau 341 tahun sebelum eksodus dari Timor Timur tahun 1999 dan akibat perang saudara juga.
                Dalam laporan VOC di tahun 1658, peristiwa ini tercatat bahwa saat Joseph Margrits sedang menemani Hendrick Ter Horst ke Solor. Ketika ia tiba kembali ke Kupang, Philip Boels sebagai penjaga benteng naik ke kapalnya dan menceritakan berita mengejutkan yang telah terjadi selama ketidak hadirannya di Kupang. Pada tanggal 11 September 1658 (satu tahun setelah perang Gunung Mollo, red) langkah kehidupan di Kupang berubah secara radikal dengan kedatangan rombongan para pengungsi. Mereka dikejar-kejar oleh Portugis dan sekutu Portugis dari pedalaman Timor. Sebagian besar penduduk Sonba'i dan Amabi terputus dari permukiman mereka di pedalaman Timor Barat.
Ketika para pengungsi Amabi dan Sonbai sedang berjalan ke arah pantai, pasukan musuh berkerumun diatas bukit dan berteriak bahwa mereka tidak akan tinggal lebih aman di Kupang daripada di kampung lama mereka. Dengan para wanita, anak-anak, ternak dan semua yang bisa mereka bawa, mereka mengungsi dan berkemah beberapa kilometer dari benteng "seperti segerombolan lebah" demikian mereka menggambarkan situasi pengungsian saat itu. Jumlah mereka menurut Boels diperkirakan 8.000-9.000 jiwa namun menurut Hendrick Ter Horst ada 18.000-20.000 dan itu benar-benar sebuah pemandangan yang menyedihkan.
Boels bertemu dengan para pemimpin pengungsi di lereng bukit di atas benteng Kompi. Kedua kelompok ini memberitahukan bahwa mereka ini telah kehilangan pangeran mereka yang berkuasa; yang disebut "kaisar" Sonba'i yang telah ditangkap oleh Portugis dan sekutunya. Sementara itu, raja Amabi telah jatuh dari atas bebatuan curam Gunung Mollo dengan banyak rakyatnya ketika diserang oleh musuh. Juru bicara utama untuk para pendatang baru ini adalah Ama Tomnanu, bupati eksekutif ("komandan lapangan") dalam struktur pemerintahan diarkis Sonba'i. Ama Tomnanu dan para pangeran Amabi semua tampak muram dengan air mata di pelupuk mata mereka. Mereka mengeluh kepada Belanda tentang kondisi mereka yang kelaparan. Oleh karena mereka tidak punya apa-apa untuk dimakan dan untuk itu mereka meminta beras. Boels menolak permintaan itu, karena tidak melihat cara untuk memberi makan orang sebanyak itu. Namun mereka bersikeras dan memohon. Akhirnya para pangeran terkemuka diberi masing-masing 100 pon beras, yang oleh karenanya mereka tampak sangat berterima kasih[6].
Dalam tradisi lisan juga terekam secara jelas dan diteruskan secara turun temurun bahwa akibat perang ini, maka Amabi membawa banyak rakyatnya ke Kupang. Disebutkan “Nai Jabi nek in to nifun sio natun sio bo’ siom sio’ nao neu snae ketu Kopan hu mate’ Kopan” yang artinya “bangsawan Jabi membawa rakyatnya sebanyak sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang ke pantai pasir di Kupang, ke padang rumput di Kupang”. Dalam syair natoni ini angka bukan merujuk pada jumlah namun merupakan petunjuk bahwa eksodus ini membawa hampir seluruh (atau sekitar 90%) populasi Amabi di pedalaman Timor ke Kupang.
Nampaknya peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kita dan juga merupakan rujukan sejarah tentang peristiwa perang saudara yang terjadi di Timor selalu berdampak pada pengungsian seperti yang telah ketahui pada tahun 1658 dan tahun 1999.

Kehidupan para pengungsi
Kompeni (VOC) sekarang memberi para imigran ini peralatan berupa parang dan kapak untuk membuka lahan dan kebun. Kompeni juga memerintahkan sekutu mereka, raja-raja di Solor maupun Rote untuk membawa kacang, beras, dan gula aren setiap hari yang akan dibagikan kepada para pengungsi ini. Mereka mulai membuat perkebunan di tanah kering dekat dengan Kupang dan membudidayakan jagung. Tahun pertama mereka di Kupang adalah mimpi buruk bagi mereka dan juga para pasukan Kompeni. Dalam satu waktu sudah menjadi lazim apabila ditemukan dua puluh atau tiga puluh mayat setiap hari di sepanjang jalan atau di bawah pagar benteng VOC[7]. Orang Timor pengungsian ini yang apabila berjalan terlalu jauh dari benteng mungkin terperangkap dan dibunuh oleh patroli musuh mereka[8] dan sebagian lagi mati karena kelaparan. Namun, pemukiman baru tetap bertahan dan akhirnya secara perlahan-lahan mulai berkembang hingga kini.
Selanjutnya Sonba’i (Kecil), Amabi dan kerajaan Helong Kupang tetap menjadi sekutu setia kompeni sejak saat itu, hingga waktunya bergabung pula dua kelompok pengungsi lainnya yakni Amfo'an (1683) dan Taebenu (1688). Kelima sekutu adalah sebagai entitas terpisah dari orang Atoni di Timor Barat dan merupakan sekutu terdekat dan paling setia kepada Belanda sampai abad kedua puluh. Mereka kemudian dalam dokumen-dokumen Eropa disebut sebagai “Lima Raja Sekutu”. Kelima raja sekutu ini berikutnya akan menjadi teman dan juga merupakan benteng bertahanan Belanda menghadapi serangan-serangan kerajaan Atoni di pedalaman Timor dingga abad ke 20.

Situasi Politik di kawasan Timor
   Keadaan tahun-tahun sesudah peristiwa diatas tidak banyak berubah bagi keuntungan Belanda. Dalam surat dari opperhofd Joannes van Leden bertanggal 15 September 1684 menyebutkan bahwa aliansi Belanda di Timor sejauh ini hanya Kupang, Amabi dan Sonbai (kecil). Leden lalu mengirim utusan ke Batavia yakni pangeran Barent dari Kupang, Amababouw dari Sonbai (kecil) dan Amakobogh dari Amabi masing-masing dengan 4 pelayan[9]. Disamping itu, dalam surat ini dilaporkan bahwa para ksatria (Meo) Amarasi secara aktif melakukan penyerangan di Rote. Di sebutkan mereka menghancurkan permukiman-permukiman di sana dan mereka menolak untuk berunding dengan Belanda. Lima raja dari Rote meminta bantuan dari Belanda untuk membantu Termanu menghadapi serbuan Amarasi ini. Pada surat tahun berikutnya disebutkan bahwa pada bulan September hingga Desember 1684 terjadi pembakaran dan penghancuran permukiman Eropa dan gereja di Kupang oleh pihak Amarasi.
Nampaknya juga situasi di pulau Rote pada tahun itu (1685) belum sepenuhnya berada dalam kontrol Belanda, disebutkan bahwa ada sekitar 600-700 kstaria Amarasi yang aktiv di sana. Hal ini mendorong Fooa Teyamma temukung dari Raccouw (Rakouw) mendatangi dan membujuk Batuisi agar bekerja sama dengan orang-orang Amarasi guna memerangi pemerintahan Belanda, namun Batuisi menolak. Karena perbedaan pendapat ini maka orang Raccouw, Bilba dan Korbafo membunuh 6 orang Batuisi. Akhirnya pecah perang dan dalam perang melawan Landu, beberapa orang Amarasi terbunuh sehingga orang-orang Amarasi ini kembali ke tanah airnya[10]. Pada tahun 1687, Antonio de Hornay memerintahkan Amarasi untuk tidak menggangu Kupang lagi sehingga nampak akan ada kedamaian antara kerajaan-kerajaan Atoni.
Perang ini akhirnya membuat VOC Belanda tidak lagi berperang secara terbuka melawan kerajaan-kerajaan di pedalaman Timor hingga akhir abad 19. Walaupun pada masa kepemimpinan Resident J.A Hazaart pernah memimpin pasukan sebanyak 11.000 orang untuk menyerbu ibukota Amanuban di Niki-Niki pada tahun 1820 dan 1822, namun usaha ini gagal, bahkan banyak membuat pasukan yang dipimpin Hazaart ini ditangkap dan ditawan. Bahkan hingga tahun 1890 kontrol Belanda berdasarkan suatu laporan Resident ke Gubernur Batavia hanya sejauh Babau. Daerah yang berada di bawah pengawasan pemerintah Belanda saat itu dikenal dengan sebutan  zez  palen  gebied. Wilayah selebihnya ke arah timur dari Babau merupakan wilayah Amanuban dan Sonbai yang bebas dan merdeka[11].
Menurut Dr. I Gde Parimartha – Dosen Universitas Udayana dalam bukunya berjudul Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara pada tahun 1815-1915 menjelaskan bahwa kedudukan wilayah-wilayah di Nusa Tenggara terhadap pengaruh Kolonialisme Belanda. Kelompok Pertama yang berada langsung dibawah kontrol Belanda yakni kota Kupang dan kota pelabuhan Atapupu. Sedangkan kelompok kedua yakni wilayah-wilayah dn kerajaan-kerajaan yang mengakui tunduk kepada pemerintahan Belanda adalah Sumbawa, Bima, Dompu dan Sangar yang berada di Nusa Tenggara Barat. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur adalah Kerajaan Sonbai Kecil, Taebenu, Semau, Rote, Sabu, Sumba, Solor, Alor dan Ende.
Sebaliknya wilayah-wilayah yang merdeka dan bebas dari penjajahan dan kolonialisme Belanda adalah Mataram (Lombok) di Nusa Tenggara Barat sedangkan di Nusa Tenggara Timur yakni Amarasi, Amanuban, Amanatun, Sonbai Besar, Amfuang dan Wewiku Wehali[12]. Wilayah-wilayah kelompok ketiga ini juga berada diluar pengaruh Portugis yang telah berhasil mengkolonisasi wilayah di Timor bagian Timur dan enclave di Oekusi.
Walaupun perang tahun 1653-1658 ini tidak dapat disebut sebagai satu-satunya perang yang besar dan menentukan namun efek perang ini cukup berpengaruh terhadap mental para pasukan Belanda ketika berhadapan dengan para pasukan Atoni Pah Meto selama 150 tahun sesudahnya. Terutama Belanda harus berusaha secara ekstra untuk menghadapi domain Amanuban yang ekpansif dan kuat di pedalaman Timor[13]. Bahkan dalam salah satu laporan J.A Hazaart kepada Gubernur Hindia Belanda di Batavia yang menyebutkan bahwa Amanuban sebagai kerajaan yang “sangat berbahaya” bagi kekuasaan Belanda[14] di Timor.

Perspektif dalam ingatan Atoni
            Ketika buku saya berjudul “Konflik Politik di Timor tahun 1600-1800an. Perjalanan Amanuban dan kerajaan Atoni lainnya menentang Hegemoni bangsa Eropa di Timor tahun 1600-1800an” di launching pada April 2019 dan resume buku ini dibagikan melalui blog saya, maka peristiwa perang gunung Mollo ini akan terbaca dalam resume ini. Bagian inilah yang paling banyak mengundang kritik. Seorang Netizen dari Amarasi menolak kisah ini karena menurutnya Amarasi tidak pernah bersekutu dengan Portugis. Ketika saya mengkonfirmasi agar dia menjelaskan menurut versinya, maka ia meminta saya keluar masuk dari pintu ke pintu di rumah-rumah orang Amarasi untuk mengkonfirmasi tradisi lisan dari tua-tua Amarasi. Suatu saran yang tentu sangat melelahkan ketika baru saja kita memikirkannya, terutama peristiwa ini telah terjadi hampir 400 tahun lalu.
            Juga ada reaksi penuh amarah dari seorang netizen yang akun facebooknya barbau-bau Sonbai, bahkan mancaci maki saya menggunakan kata-kata yang kurang sopan. Ia berhipotesis bahwa Sonbai tidak pernah bersekutu dengan penjajah Belanda dan kalau memang ada Sonbai yang pernah bersekutu dengan Belanda, maka itu adalah tindakan pribadi bukan atas nama kerajaan Sonbai. Nampaknya ia melihat peristiwa sejarah di Timor dari perpektif sejarah Indonesia. Bahkan salah satu cendekiawan dan doktor Sejarah di Kupang menelpon saya dan berkata “dia baru tahu tentang adanya perang Amabi dan Gunung Mollo”. Lalu saya jawab bahwa peristiwa ini sangat dikenang dalam tradisi lisan Amanuban dan juga ada dalam catatan bangsa Eropa. Walaupun ia sedikit heran dan ada nada curiga dalam suaranya, namun saya memakluminya sebab peristiwa ini memang hampir tidak pernah diteliti secara mendalam oleh cendekiawan di NTT.
Namun bagi saya seorang Amanuban, kisah ini telah disampaikan oleh orang tua saya ketika saya masih duduk di bangku SMP secara jelas dan tidak samar-samar. Bahkan salah satu penutur Amanuban L.W Bako dari Oele’u yang berdomisili di Niki-Niki mengisahkan bahwa ketika Amabi berhasil di desak ke Kupang, maka para prajurit Amanuban berburu rusa sambil mengisi waktu di Babau. Ketika mereka kembali sampai di suatu tempat, maka mereka menggunakan kulit rusa yang sudah kering sebagai tikar bagi raja Amanuban - Ol Mai yang dalam bahasa Atoni disebut “na’ benat lus” yang artinya “bertikarkan kulit rusa”. Kemudian tempat itu disebut Benlut hingga hari ini. Juga S.W Nope mengisahkan bahwa setelah Amabi berhasil dikalahkan dan didesak ke barat, maka raja Amanuban Ol Mai melarang para Meo agar tidak perlu lagi menyerang Amabi di Kupang yang dalam bahasa Atoni disebut “Nakaina’” - cukup disini saja. Dari kata inilah nama Takain ini muncul. Namun rancunya Don Y.Y.K Banunaek dalam bukunya[15] menyebutkan bahwa justru nama Takain baru muncul pada tahun 1915 karena raja Amanatun Muti Banunaek melarang (Nakaina) para pekerja rodi untuk tidak memberontak kepada Belanda karena Belanda hendak menawan raja Amanatun. Nampaknya nama tempat ini ada sedikit perbedaan perspektif terutama rentang waktu 257 tahun perbedaannya.
Namun perpektif Mollo sedikit berbeda juga tentang peristiwa ini. Menurut mafefa Mollo, F.H Fobia yang dikutip dalam buku Prof. Hans Hagerdall[16] disebutkan bahwa justru Nai Tuklua Sonbai-lah yang berperang melawan Amabi. Lalu Amabi mengajak Amanuban untuk memerangi Nai Tuklua Sonbai namun aliansi Amanuban-Amabi ini berhasil dikalahkan Tuklua Sonbai sehingga raja Amabi bunuh diri dari atas gunung Mollo sedangkan pangeran Amabi dan penduduknya menyingkir ke Kupang. Bagaimanapun kisah ini bertentangan dengan catatan bangsa Belanda yang pada masa itu secara aktiv membantu Amabi dan Sonbai berperang menghadapi Portugis dan aliansinya terutama Amanuban. Namun nampaknya kisah ini ditransmisikan secara lisan oleh mafefa Mollo guna memelihara wibawa Sonbai sebagai seorang Kaisar besar di Timor (Liurai) serta keterlibatan Sonbai dalam perang besar ini.
Sebaliknya dalam tradisi lisan Amanuban yang sempat tercatat dalam sebuah artikel berjudul “Tjeritera Asal Oesoel Radja Amanuban, Noeban dan Tenis”[17] menyebutkan bahwa dalam perang Amanuban melawan Amabi ini justru Amanuban mendapat bantuan dari sang Liurai - Sonbai dengan cara mencari gara-gara karena kehilangan anjing kesayangannya. Di akhir perang ini yaitu kekalahan di pihak Amabi yang kemudian menyingkir ke Kupang. Selanjutnya, pada suatu waktu pangeran/ putera raja Amabi, Neno Jabi kembali untuk berdamai dengan Tuklua Sonbai serta mengambil mayat ayahnya sang Raja Amabi untuk dikuburkan. Ternyata mayat ini ditemukan sudah tidak berkepala lagi.
Lalu sang pangeran Amabi mengundang seluruh raja di Timor untuk menyaksikan peguburan jasad ayahnya sekaligus membujuk Sonbai selama 3 hari 3 malam agar Sonbai agar mau menunjukan dimana kepala ayahnya, maka Sonbai menuntut agar wilayah Amabi di tengah Timor itu dibagi bersama Amanuban sebagai imbalan bagi sang pangeran untuk mendapat kembali kepala ayahnya. Akhirnya sang Pangeran menyetujui usulan ini karena cintanya kepada ayahnya sehingga menyerahkan wilayah Amabi kepada Sonbai dan kepada Amanuban sebagai pihak pemenang perang. Nampaknya kisah ini disusun pihak Amanuban dengan sangat hati-hati untuk menjaga agar wibawa Kaisar Sonbai tetap dihormati walaupun catatan-catatan Eropa berseberangan dengan tradisi lisan ini.
Selanjutnya dalam tradisi lisan yang di sampaikan oleh Smarthenryk W.Nope. Menurut Nope disebutkan bahwa setelah perang ini berakhir dan Amabi berhasil dikalahkan, maka raja Amanuban Ol Mai menyelenggarakan sebuah upacara untuk mengenang para pejuang yang mati dalam perang ini serta menyumpahi Belanda agar tidak menginjakkan kakinya ke padalaman Timor. Upacara ini dalam bahasa Atoni disebut “Bana Lassa’” dan liurai Sonbai turut diundang. Sebagai kerajaan yang akan berbatasan langsung dengan Amanuban, maka Sonbai memiliki kekhawatiran yang serius. Ia beranggapan bahwa raja Amanuban Ol Mai adalah pribadi yang agresif dan sewaktu-waktu dapat merebut wilayahnya pula.
Ketika upacara “Bana Lasa” ini diselenggarakan selama 3 hari 3 malam berakhir, maka ditutup dengan acara tari-tarian sebagai bentuk sukacita namun sang Liurai Sonbai menolak untuk turut dalam tari-tarian. Ia hanya menunduk dan bermain-main abu sehingga Ol Mai memahami isyarat Sonbai. Ketika itu Ol Mai berkata “sudah tiga hari Tuan Sonbai bermain abu, apakah ingin tanah yang ditinggalkan Amabi?”. Seketika itu sang Liurai menganggukan kepalanya tanda setuju.
Lalu dibuatlah perjanjian batas antara Amanuban dengan Sonbai yang kemudian dikenang dalam tradisi lisan dengan sebutan “Lasa hu’e nep ayo, las tune nepa’ beba’” yang artinya “menyusun kayu putih di tanah, namun berpikulkan di bahu dengan kayu kasuari, menyusun daun lontar di tanah berpikul di bahu dengan bebak (pelepah lontar)”. Ungkapan ini merupakan syair untuk memelihara tangggung jawab atas tanah yang telah dibagi baik mengenai batas maupun pemanfaatannya bagi masyarakat. Akhirnya batas-batas yang disepakati dengan membagi wilayah Amabi adalah “Babau pan muti, Noelmina menyusur Noeleke, Knit bi Nubas-knit bi Mollos, Ajaobtomas, Nais mesokan, Fatu Kapten, Noe Be’O sampai Gereja Khatolik di Noemuti dibagi dua. Empat pilar di utara milik Sonbai dan Empat pilar di selatan milik Amanuban”. Selanjutnya gereja Khatolik di Noemuti adalah tempat ibadah bersama antar dua raja ini.
Akhirnya serancu apapun kisah tradisi lisan, setidaknya membuktikan bahwa peristiwa ini memang pernah terjadi dan sempat terekam dalam ingatan orang Atoni. Setidaknya kritikan atas karya saya tentang perang Gunung Mollo ini menunjukan satu hal. Bahwa kurikulum sejarah Indonesia telah merubah pola pikir orang-orang Atoni dalam dua generasi terakhir. Secara masif diajarkan bahwa Indonesia telah ditekuk lutut dan dijajah bangsa Eropa selama 350 tahun oleh bangsa Portugis maupun Belanda. Dan mereka (Belanda dan Portugis) adalah penghisap dan lintah “sialan” sehingga apabila ada kisah bahwa leluhur kita yang bersekutu dengan salah satu dari kedua bangsa ini memunculkan perpektif bahwa leluhur kita adalah Penghianat Bangsa dan Negara ini.
Hal ini juga berakibat pada perspektif kita yang keliru tentang kedudukan raja-raja di Timor. Apabila masih ada raja di Timor hingga akhir abad ke 19 sedangkan penjajahan sudah berlangsung 350 tahun, maka raja-raja ini dapat dipastikan adalah raja Boneka bentukan Belanda dan Portugis. Suatu hal yang benar-benar menyimpang dan telah menjadi ide-ide yang benar-benar liar. Bagaimana kita dapat melihat perspektif sejarah kita dari mata orang-orang di bagian barat Indonesia lalu mengabaikan fakta-fakta sejarah kita sendiri?.
Demikian kisah ini dapat saya sajikan dengan mengkoorborasikan tradisi lisan dan catatan VOC.
Terima kasih.... Nekseunbait Neu Kit.....Uis Neno Nokan kit alakit.

Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.



[1] Tahun 2006, penulis berkunjung ke Besana, Mollo Barat dimana desa ini tepat berada dibawah gunung Mollo..
[2] Tradisi lisan ini juga diperoleh Penulis dari seorang sesepuh sekaligus Guru Sekolah Dasar di Besana tahun 2006. Dari kejadian itulah nama dusun Kona ini dinamakan.
[3] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudulWhite And Dark Stranger Kings: Kupang In The Early Colonial Era
[4] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “Amanuban” - tidak dipublikasikan
[5] Dr. I Gde Parimartha, Perdagangan & Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, hal. 97 merujuk pada C.R Boxer, Fidalgos in the Far East 1550-1770 (the Hague Martinus Nijhoff, 1948), hlm 179 – juga disebutkan oleh Prof. Hans Hägerdal dalam materialnya
[6] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “White And Dark Stranger Kings: Kupang In The Early Colonial Era
[7] Nampaknya laporan ini menggambarkan bahwa kebanyakan meninggal karena lapar atau mati diserang oleh Patroli orang Portugis dan sekutunya
[8] VOC 1229, f. 858a, in: NA 1.04.02.
[9]Prof. Hans Hägerdal, Archival Notes on Timor in the VOC Period, Nationaal Archief, Den Haag
[10] Prof. Hans Hägerdal, Archival Notes on Timor in the VOC Period, Nationaal Archief, Den Haag
[11] Dr . I Gde Parimartha, Perdagangan & Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, hal. 242
[12] Dr . I Gde Parimartha, Perdagangan & Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, halaman belakang
[13] The paradox of powerlessness: Timor in historical perspective, hal. 10, Prof. James Fox. Tracing the path, recounting the past, historical perpectives on Timor, hal. 16
[14]Steven Farram, Jacobus Arnoldus Hazaart and the British interregnum in Netherlands Timor, 1812-1816, hal. 470
[15] Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek, ST, MT Arst-Raja-Raja Amanatun yang berkuasa, 2007, hal. 39
[16] Prof. Hans Hagerdall, Lords of the lands, Lords of The Sea hal. 74
[17] Tradisi lisan yang ditulis dalam bentuk esai pendek oleh Usi John Paul Nope dalam “Tjeritera Asal Oesoel Radja Amanuban, Noeban dan Tenis” dokumen KITVL - Belanda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH TIMOR : KISAH HILANGNYA PENGARUH MAJAPAHIT DI PULAU TIMOR

Seri Sejarah Timor : GUBERNUR PALING JENIUS DALAM SEJARAH KUPANG (Bagian I)

ANAK KANDUNG ATOIN METO' DALAM DUNIA POLITIK NASIONAL