KISAH KEKALAHAN VOC BELANDA DI PULAU TIMOR PADA AWAL ABAD 17 Bagian 3 - Pertarungan yang mengenaskan bagi para Pahlawan BAGIAN 3
KISAH KEKALAHAN VOC BELANDA
DI PULAU TIMOR PADA AWAL ABAD 17
Pertarungan yang
mengenaskan bagi para Pahlawan
BAGIAN 3Pertarungan yang mengenaskan bagi para Pahlawan - lanjutan dari bagian kedua
Tulisan ini untuk lebih melengkapi buku “Konflik Politik Di Timor Tahun 1600-1800an- Perjalanan Amanuban Menentang Hegemoni Bangsa Eropa Atas Timor Tahun 1600-1800an”.
Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
Memori dalam
ingatan lokal
Pada
bagian kedua dari rangkaian tulisan ini, telah kita ketahui bahwa usaha VOC
untuk menguasai perdagangan di Pulau Timor telah mengalami kegagalan lagi di
tahun 1656 dengan ditandai oleh kekalahan gubernur Maluku, Arnold de Vlaming
van Outhshorn yang menurutnya peristiwa ini sangat memalukan. Bahkan dalam
salah satu laporannya, ia menyarankan agar benteng di Kupang dipindahkan ke pulau
Rote, sebuah pulau yang sudah lama menjadi sahabat VOC dan telah dipersiapkan
dengan baik. Pada bagian ketiga ini saya akan menceritakan peristiwa puncak
dari serangkaian perang yang terjadi dipedalaman Timor hingga klimaksnya yaitu di
Gunung Mollo (1657) yang mengakibatkan kematian Raja Amabi dan adiknya.
Walaupun pertempuran kali ini dibantu oleh 42 Kompi Belanda namun mereka
melarikan diri sebelum pertempuran klimaksnya terjadi. Sedangkan Amatomananu
berhasil melarikan diri bersama bangsawan muda Sonbai (Nisnoni). Merekalah yang
kemudian menjadi kerajaan Sonbai Minor atau Sonbai Kecil (Lasser Sonbai) di
Kupang.
Disamping itu
Portugis dan sekutu terkuatnya Amanuban berhasil menawan Kaisar Sonbai Ammanasj
(Nai Tuklua Sonbai/ Amatuan), yang sejak peristiwa ini Amanasj tetap menjadi
Kaisar di wilayahnya yang luas itu (berikutnya disebut Sobai Besar) namun harus
menjadi sekutu Portugis dan aliansinya. Sedangkan pasukan VOC sebanyak 42 kompi
yang diperbantukan untuk menolong raja Amabi dan Sonbai melarikan diri dibawah
komando Sersan Lembrach Heyman yang membiarkan sekutu mereka bertempur
sendirian menghadapi Portugis dan aliansinya selama 1 tahun berikutnya. Namun
sebelum itu, ijinkan saya untuk menceritakan peristiwa ini dalam perpektif dan
ingatan masyarakat lokal di Timor.
Sebenarnya
rangkaian peristiwa Perang Amabi - demikian
perang ini dikenang dalam tutur tradisi lisan merupakan perang yang sangat
dikenang dalam komunitas Amanuban sebagai penanda tentang awal mula perluasan
wilayah Amanuban. Disebutkan bahwa Amanuban
kuno merupakan wilayah kecil seluas Sibe (Tunbes), Loli, Elo, Abi yang sekarang
ini dalam peta modern meliputi empat Kecamatan. Meluasnya wilayah Amanuban
merupakan peran penting dari Olak Malik/ Ol Mai Nope sebagai raja Amanuban yang
berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan memperluas wilayah yang jauh lebih luas
dari wilayah Amanuban yang sekarang ini.
Pada
mulanya wilayah ini dipercaya yang merupakan bagian wilayah dari penguasa kuno
di Timor dari klan Jabi (bangsawan Amabi) dan Tkesnai, klan yang terahir ini
dipercaya oleh sebagian penutur merupakan keturunan orang-orang Sulawesi yang telah
menetap beratus-ratus tahun lamanya dan berpusat di Gunung Lunu (Lunu tunan/
Fatulunu) di pedalaman pulau Timor jauh sebelum Portugis mencapai pulau Timor di
tahun 1511-1515. Pada masa itu, sebagian penduduk Tkesnai menetap di Noebunu,
sedangkan Amabi bermukim di Nobi-Nobi Taemnanu sekitar 1,5 Km dari Niki-Niki
sekarang ini.
Situasi
politik berubah seiring ketatnya persaingan perdagangan sehingga terjadi
gesekan-gesekan antar kekuatan-kekuatan maupun pertalian perkawinan yang rumit sehingga
akan mempengaruhi konstelasi politik di daratan Pulau Timor pada berapa dekade
yang akan datang.
Selanjutnya disebutkan bahwa putra-putra
raja Jabi menikahi putri orang terpandang dari klan Da Costa yang kemudian
anak-anak dari hasil pernikahan ini dinikahkan lagi dengan banyak putri-putri
penguasa Tkesnai. Anak-anak ini lalu menurunkan keturunan raja-raja Belu
(Liurai Wewiku Wehali-Malaka dan Likusaen – di Timor Leste) serta raja-raja
Atoni (Liurai Sonbai, Ambenu, Amarasi, Amanatun dstnya) suku-suku ini yang
kemudian mendominasi Timor bagian barat. Itulah sebabnya dalam Natoni atau penuturan bahasa adat
disebutkan
Sonbai ma Amanatun on tataf-olif (Sonbai adalah kakak dan Amanatun adik)
Sonbai ma Amarasi on mone-feto (Sonbai adalah saudara lelaki dan Amarasi saudara
perempuan)
Sonbai ma Amabi on olif-tataf (Sonbai adalah adik dan Amabi adalah kakak)
Sonbai ma Amabesi on olif-tataf (Sonbai adalah adik dan Amabesi adalah kakak)
Sonbai ma Amfoan nok Ambeno on tataf-olif (Sonbai adalah kakak dan Amfoan serta Ambenu adalah
adik)[1]
Ini menunjukan bahwa pengaruh-pengaruh politik diawali
dari perikatan perkawinan-perkawinan yang cukup rumit terutama ada
bagian-bagian komunitas yang menganut sistim Patrialinear (warisan yang diberikan kepada anak lelaki) maupun bagian
komunitas bangsawan lainnya menganut Matrialinear
(warisan dan nama yang diteruskan oleh anak perempuan) turut mempengaruhi
kebingungan dalam sistim kekerabatan pada generasi kedua, ketiga dan
seterusnya.
Namun text-text lain menyebutkan bahwa sesungguhnya
Amabi adalah penguasa yang memiliki wilayah yang paling luas dari utara Ambenu
hingga Amanuban, Amanatun dan Toianas hingga ke barat Timor kecuali wilayah suku
Helong. Wilayahnya ini merupakan terdiri dari suku-suku kecil yang walaupun
merdeka dan bebas satu sama lainnya namun masih menunjukan bahwa Amabi dan
Tkesnai adalah elemen utama dan sakral.
Pengakuan Moen Ha’
Kemudian akan muncul domain Amanuban yang ekspansif dan Olak
Malik/ Olmai Nope dipercaya sebagai pendiri kerajaan Amanuban yang independen,
namun uniknya namanya cukup dikenal oleh suku-suku lain selain Amanuban hingga
kini. Namun asal usul Olak Malik sebagai raja Amanuban telah menjadi perdebatan
selama ratusan tahun lamanya oleh berbagai kalangan. Walaupun tidak ada tradisi
lisan yang menceritakan bahwa eksistensinya berasal dari kisah-kisah mitologi[2], namun asal usulnya telah
memunculkan spekulasi terutama beredarnya isu bahwa ia berasal dari pulau Rote
dan asumsi ini begitu berkembang dari ujung barat pulau Timor sampai ujung timur
pulau Timor hingga hari ini.
Namun sebagian
tradisi lisan menunjukan bahwa ayah dari Olak Malik adalah seorang pendatang dan
pedagang ketika berkunjung ke Tunbes (yang kemudian menjadi Ibu Kota pertama
Amanuban). Ayah Olak Malik disebut Na’
Luan atau Lua Kase demikian ia
dikenang yang kemudian menikahi salah satu puteri penguasa Tkesnai yang saat
itu berada di Tunbes. Puteri ini bernama Bi
Meusin Tkesnai. Bi Meusin lalu di boyong keluar dari Tunbes dan mereka berkeliling
untuk berdagang. Dalam pengembaraan ini, mereka dikaruniai beberapa putera
termasuk Olak Malik. Banyak
penutur Amanuban percaya bahwa Olak Malik atau Olmai atau O’nai adalah nama
dari d’Ornay (de Hornay). Pada masa itu, komunitas Topas[3] (Portugis Hitam atau Swarten Portugis atau
Larantuqeuiros-lihat catatan kaki)
di pimpin oleh keluarga D’ornay[4]
dan Da Costa.
Selanjutnya
tradisi lisan menyebutkan bahwa putra Luan Kase yaitu Olak Malik kembali dengan banyak pengikutnya ke Tunbes
sebagai kampung halaman namun ternyata Tunbes telah ditinggalkan oleh keluarga
ibunya, sang penguasa Tkesnai oleh karena suatu konflik internal. Tradisi lisan
juga menyebutkan bahwa Tkesnai memusatkan permukiman mereka di Noebunu[5], kira-kira 5 Km dari
Tunbes. Selanjutnya diketahui bahwa Tunbes ini diurus oleh Moen Ha’ (Empat
Kesatria pria) yakni dari keluarga Tenis,
Asbanu, Nuban, dan Nubatonis dan
dari empat keluarga ini Nuban ditunjuk sebagai pemimpin sebab ia adalah
keturunan dari wanita Tkesnai juga yaitu Bi
Bunu Tkesnai.
Butuh waktu beberapa
tahun kemudian agar Moen Ha’ ini dapat mengakui Olak Malik sebagai pribadi yang
cerdas dan kuat terutama sejak kepergian/ perpindahan penguasa Tkesnai, keempat
Kesatria ini diserahkan dibawah pengawasan Raja Amabi yang tidak jujur dan loba
dalam bisnis Cendana. Ketika itu Olak Malik/ Olmai Nope akhirnya menunjukan kecerdasannya
sehingga dapat menyelesaikan hutang Moen Ha’ terutama Moen Ha’ yang mencurigai
Amabi telah berkomplot dengan Kaes Muti[6] untuk membebani Moen Ha’
dengan hutang Cendana sebanyak 8 Pikul[7]
yang mana hutang ini tidak pernah lunas walaupun cendana-cendana diantar
dalam jumlah yang banyak dan besar.
Nampaknya untuk melawan ketamakan sang raja Amabi, maka Olak
Malik telah diangkat oleh Moen Ha’ sebagai raja baru mereka dengan nama Nuban Mnuke’ (Nuban yang muda) dan menyandang nama Nope[8] yang artinya “awan” yang dapat diharapkan sebagai
pelindung dari panas matahari. Nampaknya Moen Ha’ ini bermaksud memperalat Olak
Malik untuk melawan raja Amabi yang tidak jujur. Amabi dinilai sebagai seorang
pemarah yang di umpamakan sebagai “panas matahari”. Ulah Moen Ha’ ini cukup
mengangganggu Amabi dan memantik konflik hingga terjadinya peristiwa peperangan
sejak berberapa tahun yaitu 1653-1658. Serangkaian peristiwa ini berakumulasi
pada konflik dan berubah menjadi konflik berdarah sejak tahun 1655 ketika Raja
Amabi memutuskan untuk mengikat diri dalam perjanjian dengan Ver Heyden bersama
Sonbai untuk memerangi Olak Malik.
Penyebab konflik
Penyebab konflik antara Olak Malik sebagai pemimpin
Amanuban melawan Amabi dalam tradisi lisan merujuk pada dua versi yang
nampaknya saling paralel. Menurut tradisi lisan pada versi yang pertama[9] disebutkan bahwa Amabi
berniat untuk membunuh Olak Malik karena Moen Ha’ telah mengakuinya sebagai
raja. Untuk mencapai tujuannya, maka Amabi mengundang pasukan Belanda atau Kaes muti untuk memerangi Olak Malik
sebaliknya Olak Malik merespon tindakan ini sebagai usaha membela diri dengan
mengumpulkan Meo-Meo dan orang brani untuk menghadapi Amabi. Meo naek yang
menjadi Komandan adalah Fina, Isu, Sae dan Baok. Dengan demikian perang ini
dimulai dari perbatasan Amabi di sungai Noefatu hingga puncaknya di Gunung
Mollo. Uniknya Sae disebutkan merupakan keluarga bangsawan Amabi yang juga
kecewa pada raja itu dan lebih memilih bekerja dengan Olak Malik yang kemudian
menjadi mertuanya.
Dalam versi yang berbeda[10], disebutkan bahwa raja
Amabi membuat gara-gara dengan menyuruh anak buahnya mencuri kerbau-kerbau
sebanyak 99 ekor yang digembalakan oleh Asbanu. Ketika diketahui hal ini, maka
Amabi menyangkal telah mencurinya dan berkata “Ho bijael neuk hu supul nasenem man matet mak au es eos isan. Ho
bijael niun hu supul nasenem man matet mak au es eos isan. Nao kum” yang
artinya “Kerbaumu makan rumput di supul
tersedak dan mati kau menuduhku membunuh mereka, kerbaumu minum air supul
tersedak dan mati kau menuduhku membunuh mereka. Pergilah kau”. Mendapat
jawaban ini Olak Malik berkata semoga kamu dan anak buahmu tidak mencuri kerbau,
tapi kalau memang kedapatan mencuri maka kau akan dikebiri seperti
kerbau-kerbau itu.
Namun kemudian hari anak buah raja Jabi bernama Boi
Beta’ kedapatan sedang mencuri 2 ekor lainnya. Boi Beta ditangkap dan dikebiri
seperti kerbau dan akhirnya ia mari di perbatasan Amabi di sungai Neofatu, itulah
sebabnya anak sungai tempat Boi Beta’ dibunuh dinamakan Noe Beta’. Ketika Amabi
mendengar itu, maka ia takut akan diperlakukan sama sehingga ia memprovokasi
orang-orangnya untuk memerangi Olak Malik sehingga konflik ini berkembang menjadi
perang dari noe beta’ hingga ke Gunung Mollo. Walaupun tradisi lisan ini saling
berbeda, namun dapat diparelelkan sebagai sebuah rangkaian peristiwa yang
kemudian menjadi suatu alasan atau Reason
d’etre yang mendatangkan kemalangan bagi suku bangsa Amabi. Perang besar
ini mengakibatkan mereka harus tersingkir ke arah barat di Kupang atau disebut
dalam tutur lisan “nai’ Jabi nok to nifun
sio natun sio bo siom sio naen neu snae ketu Kopan, hu mate’ Kopan”.
Pengusiran dan pendudukan tanah
Amabi
Perang dimulai
dengan terbunuhnya na’ Boi Beta’ lalu na’ Maku Jabi[11] di perkampungan yang
sekarang di sebut Maku (dekat Niki-Niki) dan perang terus berkobar hingga Tetaf
dimana ketika rombongan pasukan tiba disana, perkampungan telah ditinggalkan
kosong. Karena tergesa-gesa, maka piring-piring dan tembikar di perkampungan
Ambi ini ditemukan oleh pasukan Olak Malik ini telah pecah berkeping. Itulah
sebabnya tempat tersebut kemudian disebut “Pik
Pees” yang artinya “piring tembikar yang pecah”. Selanjutnya dilakukan pengepungan-pengepungan dan pembakaran
perkampungan-perkampungan orang-orang Amabi yang masih bertahan, banyak yang
terbunuh dan sebagian lagi ditawan. Bahkan disebutkan bahwa ada perkampungan
tertentu di kampung Nusa (sekarang masuk Kecamatan Amanuban barat) menggunakan
kepala kambing untuk menipu para penyerbu ini sehingga tempat tersebut
dinamakan Bibi Nakan (kepala kambing).
Ketika Nusa jatuh ke tangan penyerbu, maka raja Amabi melantunkan syairnya
(dalam bahasa Atoni disebut nait ne) dengan
berkata “Kakael neno tape’ nope kan na’
faines-nesab bi Netto mpe’ yang artinya “burung
dara terbang tinggi memecah awan sehingga ditengah malam Netto (nama tempat) telah
dihancurkan”. Netto lalu disebut juga Nusa’.
Raja Amabi mundur ke arah barat untuk melakukan sebuah
persiapan pertempuran di Hane, sebuah perkampungan yang sekarang berada di
Kecamatan Batu Putih. Benteng disana dipersiapkan secara baik dan terutama
posisi ini diuntungkan oleh sebuah danau yang boleh disebut rawa-rawa sebagai
bagian dari pertahanan alamnya. Pasukan Amabi yang lelah bertempur di pedalaman
dipersiapkan lagi.
Lalu secara tiba-tiba disana terjadi pertempuran sengit
lagi sehingga Hane jatuh ke tangan orang Amanuban. Raja Amabi melantunkan
syairnya dengan berkata “Seut bi snaom
tasain haen baun, seut bis snaom tasain fao baun”. Lalu mereka mengundurkan
diri ke sekitar 16 km ke arah barat, disana sudah berkumpul semua keluarga
Amabi dari timur dan selatan. Disana mereka berkumpul dan mengenang masa-masa di
kampung halaman yang telah ditinggalkan oleh karena kalah perang. Lalu mereka
melantunkan syair-syair penuh kesedihan. Dipengaruhi oleh rasa haru, maka
mereka berkumpul dan melakukan Bonet[12] sambil menyanyikan
syair-syair sedih tentang kenangan kampung halamannya. Begitu banyaknya mereka Bonet
sehingga ada 9 (sembilan) formasi Bonet
dengan melingkari api unggun.
Namun ternyata malam itu, sementara mereka sedang menghibur
diri dengan syair-syair bonet tiba-tiba mereka dikejutkan oleh serangan para
peyerbu ini sehingga mereka menghentikan bonet lalu mereka lari meninggalkan
api-api unggun. Itulah sebabnya kemudian tempat itu dinamakan “Boentuka” yang berasal dari kata “Bonet pan tuka” yang artinya “Bonet
yang syairnya tidak selesai”. Disana lalu mereka memutuskan untuk untuk
bertahan di sebuah benteng masif di puncak gunung Mollo yang sekarang ini
dikenang dengan sebutan “Nefo ne’ Jabi”.
Perpindahan Kompeni
Namun dalam berapa paragraf diatas merupakan gambaran
tentang situasi yang muncul dalam tragedi perang Amabi yang terekam dalam ingatan
tradisi lisan. Sekarang ini kita akan melihat jalannya pertempuran menurut
catatan Belanda. Sebenarnya disebutkan bahwa konflik ini sudah dimulai dari
tahun 1653. Disebutkan bahwa Nai Besi, atau Ama Besi, adalah raja kecil yang
pergi dari pedalaman Timor untuk menetap di antara Helong di Pulau Semau pada
Juli 1653, takut akan agresi Portugis dan kerajaan-kerajaan sekutunya yang
mulai agresif terhadap kehadiran Belanda. Mereka memerangi kerajaan-kerajaan
yang pro Belanda dan untuk itu, maka Ama Besi kemudian menyingkir ke sana dan
kemudian menjadi raja utama kerajaan Helong Kupang, pada tahun 1660.
Perang-perang ini mencapai klimaksnya di tahun 1657.
Sedangkan peristiwa 1657 bahwa untuk membendung kekuatan
Portugis dan kerajaan lokal, maka kekuatan ditambah lagi dan penambahan pasukan
dari pihak Sonbai yang berada di bawah komando Amatomananu (Oematan) yang dalam
hirarkis kekaisaran Sonbai sebagai raja vatsal. Sedangkan pasukan Belanda yang berada
dibawah komando Sersan Lambrecht
Heyman.
Namun sebelum itu, kita akan melihat bagaimana persiapan
VOC dalam pertempuran tahun itu (1657). Nampaknya mereka berkesimpulan bahwa
sekutu Amabi dan Sonbai tidak banyak berkontribusi dalam ekpsedisi de Vlaming
di Amarasi setahun sebelumnya (1656), namun di satu sisi mereka juga tidak
menunjukan tanda-tanda bahwa sekutu mereka ini akan meninggalkan Kompeni. Bagaimanapun
perang tetap harus dilanjutkan.
Akhirnya VOC mempertimbangkan saran de Vlaming yaitu untuk
membangun benteng di pulau Rote atau Semau sehingga seluruh penghuni benteng
Hendrikus di Solor diperintahkan untuk pindah ke sana. Alih-alih membangun
pertahanan di Rote atau Semau, malah garnisun ini memperkuat benteng di Kupang,
sebab mereka tetap memandang Kupang sebagai posisi yang penting dan
menguntungkan. Selanjutnya perintah pemindahan ini ditujukan juga kepada sekutu
lokal mereka di Solor dan sekitarnya.
Namun rencana ini mendapat protes keras dari Nyai Cilli
seorang Ratu Solor yang menyampaikan surat keberatannya kepada Gubernur
Jenderal Joan Maetsuiker di Batavia dalam suratya berbahasa Melayu. Sang Ratu
menolak untuk dipindahkan ke Kupang. Ia juga menyinggung tentang jasanya kepada
de Vlaming bahwa hanya orang-orang Lohayong, Lamakera
dan Terong
yang membantu De Vlaming walaupun Sengaji dari Adonara telambat tiba. Ia
mengkritik “Dari mereka yang mengikuti
Bapak De Vlaming dalam ekspedisi ke Timor, siapa yang membawa bubuk mesiu dan
peluru? Siapa yang membawa korek api? Siapa yang membawa semua barang? Apakah
itu bantuan dari orang-orang Rote, atau dari Sawu, atau dari Amabi, atau dari
Sonbai, atau tentara atau pelaut - atau siapa mereka, yang membawa orang-orang yang
terluka dari [jalan] pegunungan ke kapal-kapal kecil?[13]”.
Secara implisit ia mengatakan bahwa dimanapun mereka tinggal, mereka masih
dapat membantu VOC.
Nampaknya bukan
hanya Nyai Chili yang keberatan dengan perpindahan ke Timor. Lima orang Belanda
dan tiga budak para wanita melarikan diri ketika perintah pemindahan ke Timor
ini disampaikan. Mereka beranggapan bahwa Timor bukanlah alternatif yang baik
bagi keselamatan mereka. Seorang perwira kapal ditangkap karena melarikan diri
dan di jatuhi hukuman mati, tetapi akhirnya terhindar dari eksekusi karena sang
ratu, Nyai Cilli mengintervensi keputusan eksekusi ini. Akhirnya, perpindahan ini
tetap berjalan sesuai rencana pada 11 Agustus 1657.
Bergabungnya Amanatun
Ketika de Vlaming gagal dalam ekspedisi di Amarasi, sesaat
sepertinya penguasa Sonbai justru berhasil dalam peperangan mereka di pedalaman
Timor. Pasukan Sonbai yang terdiri dari 250-300 orang menyerbu domain yang agak
lemah yaitu Pita’i dan juga mengalahkan Amanuban yang merupakan domain yang terpenting
dan utama sebagai sekutu terkuat Portugis dan merupakan andalan otoritas
Portugis bahkan dalam salah satu akun dominikan disebut ‘yang terpenting dari semua’ di antara suku Atoni. Namun kali ini Sonbai
berhasil mengalahkan Amanuban dan beberapa pemukiman utama Amanuban dibakar dan
banyak orang Amanuban yang dibunuh. Melihat kekuatan Sonbai yang berhasil
membalas Amanuban ini cukup menggetarkan beberapa bangsawan Atoni lainnya sebab
bagi beberapa bangsawan Atoni, Amanuban dipandang sebagai domain militer yang paling
kuat. Beberapa domain Atoni lainnya mulai takut akan keberadaan mereka yang
terancam oleh ekspedisi Sonbai setelah mengalahkan Amanuban.
Akhirnya seorang
kedutaan dari Fatumean (Amanatun) muncul di hadapan tuan Sonbai dan meminta
dukungannya serta dukungan Kompeni ‘seperti
yang telah mereka jalani di masa lalu'[14]
demikian mereka menyatakan. Para utusan diperkenalkan oleh bupati eksekutif
(veltoverste) dari Sonbai, Ama Tomananu alias Dom Luíz (nama Khatolik) yang melakukan
kunjungan persahabatan ke Kupang pada bulan September 1657. Para utusan itu
menegaskan bahwa mereka akan dengan senang hati mengikuti contoh-contoh yaitu Sonbai
dan Amabi dalam melawan kerajaan Atoni sekutu Portugis terutama Amanuban serta
mengusir Portugis dari tanah mereka dan membuka pantai mereka untuk para pedagang
Belanda.
Menurut mereka,
peperangan ini telah merusak perdagangan Fatumean yang secara tradisional
dikenal sebagai salah satu pelabuhan utama cendana di pantai selatan Timor. Penguasa
Amanatun tertarik untuk berdagang dengan kapal dagang Belanda sekali lagi dan
menjalin hubungan dagang yang sempat renggang berapa waktu lalu. Namun Fatumean
tidak tahu bahwa mereka sedang melakukan perjanjian dengan domain yang berada
di ambang kekalahannya.
Sedangkan dalam tradisi lisan, disebutkan bahwa semenjak Amanatun menjadi sekutu
Belanda maka Amanuban terkepung oleh dua front perang timur dan barat. Lalu terjadilah
peperangan melawan Amanuban di bagian timur dan ketika itu Amanuban berhasil
mengkonsolidasikan dirinya dan menghadapi Amanatun di bagian timur. Perang ini
dipimpin oleh salah satu Meo Naek yakni Meo[15] Bako dan berhasil merebut
wilayah bagian timur yang sekarang ini disebut Pisnam Laisnono, Ali’m Neonmat. Setelah pertempuran ini, maka
Amanuban harus secepatnya mempersiapkan ekspedisi ke barat untuk pertempuran
besar di Gunung Mollo. Semuanya harus dipersiapkan secara cepat dan tepat.
Pertempuran Gunung Mollo
Saat itu Koloni Portugis dipimpin oleh Simão Luís. Dia
adalah sosok yang sangat kontroversial. Sejarahwan de S. Domingos mencirikannya
sebagai 'orang yang berpengalaman dan
gagah berani' (Santa Catharina 1866: 315). Pada saat yang sama, ia juga
adalah seorang pemimpin yang kejam, mendekati sadis dalam berurusan dengan
orang-orang Timor, sesuatu yang bahkan diakui oleh orang Portugis itu sendiri. Memang
harus disadari bahwa saat itu, adalah tahun-tahun yang sulit untuk Portugis dalam
perdagangan di perairan Asia dan untuk kondisi di Timor. Namun mereka
diuntungkan oleh semangat juang komunitas campuran etnis di Flores dan Timor (yang
biasanya disebut Topas, lihat penjelasan catatan kaki). Mereka seolah bertempur
dengan punggung menempel ke dinding, menghasilkan keberanian yang boleh kita
sebut “Nekat” ditambah dengan
tindakan tegas oleh Luis terhadap siapa pun yang menentang perintah Portugal
dengan alasan apapun. Belanda tidak mengetahui hal ini namun mereka akan merasakan
konsekuensinya dalam pertempuran di tahun 1657. Ketika itu Simao Luis berhasil
menyelinap dari tanah Larantuka ke pulau Timor tanpa VOC mampu mencegahnya.
Pada tanggal 25 September 1657, pemimpin
Portugis Simao Luis memimpin pasukan dan kerajaan sekutunya menyerbu tanah Sonbai dengan
ratusan penembak dan 'pembantu' sekutu di Timor yang tak terhitung
jumlahnya. Untuk menghadapinya, Belanda menyiapkan tentara
sebanyak 42
Kompi di bawah komando sersan Lambrecht Heyman, dan pasukan Sonbai dibawah Ama Tomananu (dari
Oematan salah satu bupati dari hirarki Sonbai) sebagai komandan lapangan
sedangkan pasukan Amabi di bawah komando langsung raja Amabi. Karena keadaan sekutu yang terus terdesak, maka atas saran Ama Tomananu, maka sekutu Amabi ini mundur ke Gunung Mollo, sebuah benteng massif setinggi 2.070 meter di pusat
Barat Timor[16].
Satu hari berikutnya pasukan Simao
Luis tiba dan mengepung gunung ini selama lima hari lamanya. Akhirnya semangat juang para pasukan
Belanda berkurang,
mereka mulai berpikir untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Ama Tomananu dan raja Amabi menyadari hal ini dan
mencela Sersan Heyman atas kelakuannya. Karena tersinggung, sersan itu menampar wajah Ama
Tomananu dan berkata, ‘Kami tidak ingin bertarung. Kami telah
berikan bantuan yang cukup dan sekarang mencari jalan keluar, karena itu anda berdua sudah selesai”. Ketika Belanda mengibarkan
bendera putih dan meloloskan diri, maka para prajurit pengepung
bergegas memanjat ke dalam kamp sekutu sambil itu berteriak keras (atau biasanya disebut dalam bahasa Atoni “Koa’[17]).
Ama Tomnanu berhasil meloloskan diri, tetapi musuh
menyerang dengan sengitnya. Walaupun ditinggalkan
sekutunya namun Raja Amabi dan saudara lelakinya tetap bertempur dengan gagah
berani bertempur di sisi rajanya
sampai mereka berdua meninggal dunia. Bersambung ke bagian 4 (penghabisan)
Jangan lupa kunjugi topik-topik lainnya yang menarik di Blok ini dan kalau anda berminat untuk membeli buku KONFLIK POLITIK di TIMOR TAHUN 1600-1800an, anda dapat memesan di Nomor 085239121425, atau kalau anda di area Kupang dapat menghubungi RIKEN DA SILVA 081339151800, IBETH XIMENES 081547836113, GUS NOMLENI 081316761091.
Untuk area SoE dapat mambelinya di Toko ANDA (Pertanahan SoE), Toko SINAR PUTAIN (Depan Toko Mubatar) dan toko buku SOBAT DARI GALILEA di Pasar Inpres SoE.
Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
[1] Hans Hagerdall, Lord of
the land, Lord of the sea. Merupakan catatan dari Fobia dalam buku tersebut
[2] Kisah-kisah mitos di
Timor cukup unik dan sedikit susah diterima logika. Misalnya ada raja yang
mengklaim bahwa leluhur mereka muncul dari bumi, atau turun dari langit namun ini
merupakan legitimasi religius yang digunakan untuk memperkuat kedudukan politisnya.
Kisah Olak Malik tidak terkontaminasi dengan Mitos demikian.
[3] Topas adalah keturunan
campuran antara Portugis dan wanita Timor maupun Flores dan orang-orang
campuran Portugis India dan Afrika yang menetap di Timor sejak tahun 1511-1515
namun pangkalan utama mereka di Solor. Mereka mendominasi perdagangan dan
politik di Timor sejak abad 16 sampai abad 18. Setelah Solor di rebut Belanda
tahun 1616, maka permukiman mereka berpindah ke Larantuka namun secara rutin
mereka datang dan berdagang di Timor hampir setiap bulan. Itulah sebabnya
mereka juga disebut Larantuqueiros
sedangkan orang Belanda menyebut mereka Swarten
Portugis atau setengah Portugis
[4]
Klan
D’ornay adalah pemimpin Topas atau Portugis Hitam bersama dengan klan Da Costa
[5] Tradisi lisan yang
ditulis dalam bentuk esai pendek oleh Usi John Paul Nope dalam “Tjeritera
Asal Oesoel Radja Amanuban, Noeban dan Tenis” dokumen KITVL - Belanda
[6] Kaes Muti adalah sebutan
bahasa Atoni yang berarti Orang Asing Kulit putih (bisa Belanda atau Portugis
Putih)
[10] Dikisahkan oleh Usi
Smarthenryk W. Nope dan kisah ini juga di tulis dalams sebuah esay pendek oleh
Usi John Paul Nope dalam “Tjeritera Asal Oesoel Radja Amanuban, Noeban
dan Tenis” dokumen KITVL -
Belanda
[11] Dalam bahasa Atoni,
sebutan na’ didepan sebuah nama maka pemilik nama ini seorang
laki-laki. Sedangkan bi di depan sebuah nama maka pemilik
nama tersebut adalah seorang perempuan
[12] Bonet adalah sejenis
tarian dengan formasi melingkar dengan diikuti oleh banyak orang, bisa satu
lingkaran sampai 100 orang
[14] Pada tahun 1620 ketika
domain Amanuban, Mena dan Lifau bersebarangan dengan Belanda, sebaliknya beberapa kerajaan yang
sebaliknya menentang perkembangan baru ini. Penguasa dari kerajaan Kamanasse, kerajaan Suai, kerajaan
Amanatun,
kerajaan Amabi dan raja-raja di Kupang membangun perjanjian
dengan Belanda. Bahkan pangeran dari Kupang, yang wilayahnya tidak ditumbuhi cendana justru
memiliki perjanjian tanpa syarat dengan Belanda. Namun semenjak perang
melawan Sultan Mudaffar di tahun 1641, Amanatun menjadi sekutu Portugis
[15] Meo adalah sebutan untuk
pejuang perang atau disebut “orang brani”
yang memimpin para petarung dan pasukan dalam perang
[17] Koa’ adalah pekik
perang (semangat perang) dapat juga berarti berteriak saling memberi semangat
atau juga berarti memberi isyarat kepada pasukan di garis yang lainnya bahwa
penyerbuan telah dimulai. Inilah asal mula nama Desa Koa di kaki gunung Mollo
Komentar
Posting Komentar