KISAH KEKALAHAN VOC BELANDA DI PULAU TIMOR PADA AWAL ABAD 17 bagian 2
KISAH KEKALAHAN VOC BELANDA
DI PULAU TIMOR PADA AWAL ABAD 17
BAGIAN 2
Pertarungan yang mengenaskan bagi para Pahlawan
lanjutan dari bagian pertama
lanjutan dari bagian pertama
Tulisan ini untuk lebih melengkapi buku “Konflik Politik Di Timor Tahun 1600-1800an- Perjalanan Amanuban Menentang Hegemoni Bangsa Eropa Atas Timor Tahun 1600-1800an”.
Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
Sang bintang, Vlamingh
van Oudshoorn dipanggil
Pada
bagian pertama tulisan ini, telah kita ketahui bahwa usaha VOC untuk menguasai
perdagangan di Pulau Timor telah mengalami kegagalan. Pada konfrontasi
bersenjata pada pertempuran skala kecil dan menengah melawan Amanuban pada
tahun 1619, 1622/1623 dan 1629 mengalami kegagalan. Kemudian usaha Jacob Ver
Heyden yang memulai petualangannya dengan ekspedisi militer yang besar pada
tahun 1655 justru membawa pada kematiannya di Amakono maka jelas bahwa wibawa
VOC sedang dipertaruhkan di Timor, pulau yang kering kerontang ini (Pah Meto’).
Oleh sebab itu perlu bagi VOC untuk melakukan tindakan yang akan menunjukan
kepada mereka bahwa kekuatan militer VOC patut diperhitungkan oleh orang-orang Atoni
Pah Meto’ ini.
Tidak ada yang
meragukan kegigihan orang Belanda. Kegagalan satu kali bukan akhir dari
segalanya. Menilik pada pengalaman mereka, bila gagal pada ekspedisi pertama,
maka pasti berhasil pada ekspedisi berikutnya. Pada saat ini, VOC masih menaruh
harapannya untuk dapat menyingkirkan serta membersihkan Timor dari musuh. Belanda selanjutnya akan memanfaatkan aset terbesar
mereka yakni Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Komandan ini, memiliki jabatan pengawas
tahun 1651-1656 dan merupakan pemimpin Pasukan dalam kemenangan dalam Perang
Ambon Raya. Namun kemudian akan jelas bahwa keberuntungan Arnold de Vlaming van
Oudshorn tidak begitu bagus di pulau Timor dibandingkan dengan keberhasilannya
di Maluku.
Peran Vlaming dalam perang Ambon Raya
Namun
sebelum kita mengikuti alur kisah tentang kekalahan Arnold de Vlaming van
Oudshoorn di Timor, maka saya mengajak para pembaca untuk mengenal Arnold de
Vlaming van Oudshoorn sebelum ekspedisinya ke Timor serta persiapannya
bertarung melawan Atoni-Atoni pah Meto’. Arnold de Vlamingh van Oudshoorn sendiri
lahir sekitar tahun 1618 di Beverwijk, di utara Belanda, Netherland. Dia adalah
putera dari Volckert de Vlaming van Oudshoorn dan Maritge Braems. Ia berkarier
dan bekerja pada Kompeni (VOC).
Ketika masa
tugas Jan Pietersz Coen sebagai Gubernur Jenderal di Batavia, Coen menggunakan
kekerasan untuk mengamankan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku
terutama cengkeh. Penduduk Banda diperbudak dengan kejam dan bahkan
dideportasi. Setiap orang yang menolak untuk menjual cengkehnya kepada VOC maka
tanaman mereka dicabut dan desa-desa mereka dibakar. Setidaknya dibutuhkan
waktu sepuluh tahun untuk dapat memanen cengkeh dari pohon yang baru. Akhirnya
para penduduk kehilangan mata pencaharian mereka dan mereka putus asa sehingga
tidak punya pilihan selain mengungsi atau mati kelaparan. Setelah periode yang
tenang hingga tahun 1651 pemberontakan baru melawan pemerintahan Belanda di
Maluku pecah. Untuk melindungi monopoli perdagangan cengkeh, maka VOC sekali
lagi memberlakukan pembatasan penanaman pohon cengkeh. Majira, seorang kepala
di Hoamoal di pulau Seram, menolak untuk menghancurkan bagian dari perkebunan yang
mulai ditanamnya itu dan juga ia menegaskan bahwa ia ingin menjual cengkeh
kepada para pedagang Asia. Amasser, sebuah kota di pulau Sulawesi, yang
diperintah oleh Sultan Goa, mendukung para pemberontak ini, seperti halnya
Ternate[1].
Pada periode
antara 1651 hingga 1656, gubernur Maluku, Arnold de Vlamingh van Oudshoorn,
berhasil menekan pemberontakan dengan bantuan para pemimpin Maluku, yang
menempatkan kora-kora (prau perang) sebagai pembantunya. Belakangan peristiwa
pemberontaan ini disebut Perang Ambon Raya atau Perang Hoamoal. Penulis sejarah
Levinus Bor, yang menemani De Vlamingh van Oudshoorn, melaporkan bahwa kampanye
militer ini cukup berat yang menempatkan Arnold de Vlaming van Oudshoorn
sebagai inisaitor dalam semua taktik perang yang akhirnya berhasil memenangkan
perang ini. Dengan kemenangan van Oudshoorn menekan pemberontakan ini, maka
cengkeh yang tumbuh terbatas ke Ambon dan pulau-pulau Haruku, Saparua dan Nusa
Laut telah berada di dalam genggaman Belanda yang kuat. Monopoli cengkeh
sekarang benar-benar berada di tangan VOC. Apabila tanaman cengkeh dapat
menyebar ke seluruh dunia, maka itu adalah peran para petualang Prancis yang
berhasil menyelundupkan bibit tanaman ini pada awal tahun 1700-an dari Maluku
ke Mauritus lalu menyebar ke seluruh dunia. Penyebaran ini membutuhkan waktu
lebih dari 30 tahun.
Dari
hasil kemenangan van
Oudshoorn, maka dalam pertimbangan Gubernur
Jenderal di Batavia bahwa Arnold de Vlamingh van Oudshoorn adalah orang yang tepat untuk melawan orang-orang
Atoni yang sedang terpecah belah ini dan akan menutupi kekalahan VOC di pulau Timor.
Guna mendukung keberhasilan kampanye ini, maka Arnold de Vlamingh van
Oudshoorn turut membawa pasukan kulit putih dan jagoan-jagoan
dari perang Ambon Raya. Para jagoan ini adalah tawanan VOC dari perang Ambon yakni
pemimpin perlawanan bernama Achmad Sangadji Kawasa (Jonker) dan Raja Tahalele
dari Pulau Boanao beserta pasukan mereka. Mereka akhirnya bekerja bagi VOC
dalam ekspedisi militernya di seluruh kawasan Asia. Dalam suatu pertempuran
VOC di Srilangka,
Raja Tahalele mengalami luka parah dan Jonker diangkat menjadi pemimpin
penggantinya dan menyandang gelar Kapitan dan selanjutnya ia menjadi pemimpin
pasukan Maluku yang bermarkas di Batavia.
Mereka kemudian di libatkan di berbagai medan perang seperti di pantai barat
Sumatera, Sulawesi, pantai timur Jawa, Palembang dan Banten dalam usaha membantu pasifikasi
VOC, termasuk di pulau
Timor. Itulah sebabnya kemudian dalam kampanye van Oudshoorn di pulau Timor,
maka nama Kapitan Jonker sering disebut-sebut dalam beberapa akun sejarah Nasional
Indonesia.
Persiapan
Kampanye Arnold de Vlamingh van Oudshoorn
Pada tanggal 27
Januari 1656 Belanda mendarat di teluk Kupang Timor di bawah Jenderal Arnold de
Vlamingh van Oudshoorn dengan kekuatan pasukan Eropa dan India serta pasukannya
dari Batavia[2].
Pada Bulan Juni 1656, Arnold de Vlamingh van Oudshoorn tiba di Solor dan
bertemu dengan Hendrik ter Horst yang ditunjuk menggantikan Ver Heyden. Semua orang
tahu bahwa yang akan mereka lawan adalah Antonio d’ Hornay yang menggetarkan
lawan-lawannya. Antonio d’Hornay adalah seorang berdarah campuran (ibunya adalah
wanita Timor) yang telah berlatih menggunakan senjata sejak ia masih remaja
serta mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan medan di pulau Timor serta
menguasai strategi perang yang sangat sesuai bagi orang-orang pribumi Timor.
Disisi lain,
Arnold de Vlamingh van Oudshoorn bermaksud menambah kekuatan pasukannya disamping
pasukan aliansi di Timor yang telah dibangun oleh Ver Heyden di Timor yakni
Amabi dan Sonbai. Namun usaha Arnold de Vlamingh van Oudshoorn guna menambah
kekuatan pasukannya ini bukan merupakan pertanda baik baginya. Ketika van Oudshoorn yang kala itu berusaha mengumpulkan tenaga dari sekutu VOC
di pulau Flores dan sekitarnya, maka ia mengirim panggilan bernada mengancam ke
Solor, Serbia (berarti Adonara), Loubale (berarti Lembata) dan Pontane (artinya
Pantar) yang isinya agar mengirimkan tenaga bantuan, akan tetapi ia tidak
mendapatkan satu orang pun dari tiga pulau ini dan hanya beberapa orang pasukan
dari Solor. 'Mereka adalah orang-orang
yang sangat lamban, pengecut, dan tidak taat.'. Demikian van Oudshoorn menulis dalam laporannya.
Di Solor ini, rencana kasar telah dibuat untuk penaklukan
Timor. Ide
dasarnya adalah mereka berbaris dari Kupang, dengan tujuan untuk menghancurkan
Kerajaan Amarasi di selatan pulau, yang sekarang muncul sebagai aliansi dan penyangga
utama kekuatan Portugis atau para Larantuqueiros di pulau itu. Amarasi
baru-baru ini menghancurkan beberapa desa milik Amabi, dan bahkan mengancam
untuk menyerbu Kupang itu sendiri. Dalam rancangan Vlaming, ekspedisi apabila Belanda
telah mengalahkan Amarasi, maka mereka akan berbaris melalui Amabi untuk
membantu Sonbai di tengah pulau, lalu menyerang Amanuban dan Batumean
(Amanatun) di wilayah pulau Timor bagian tengah-selatan. Setelah serangan ini
berhasil, maka tujuan berikutnya adalah Lifau di pantai utara. Dengan itu, De
Vlaming berpendapat bahwa apabila kemenangan ini berhasil diraih secara cepat
maka sekutu Portugis atau para Larantuqueiros lainnya akan menyerah dengan
sendirinya dan atas kemauan mereka sendiri sehingga seluruh Timor akan dikuasai
oleh Kompeni (VOC). Walaupun demikian Vlaming merancang taktik ini hanya
berdasarkan informasi orang-orang pribumi yang hanya bisa memberikan informasi
geografis secara sangat samar-samar. Ketika De Vlaming berbicara tentang
'Timor', dia tampaknya berpikir sebagian besar tanah Atoni (demikian Timor
bagian barat ini disebut) yakni daerah tengah dan timur sebagai daerah terra incognita[3]
bagi orang-orang asing.
Ekspedisi
Militer dimulai
Akhirnya Arnold
de Vlamingh van Oudshoorn memulai ekspedisi ini pada tanggal 15 Juni 1656. Melihat
jumlah pasukan, maka dapat dikatakan bahwa de Vlaming benar-benar serius
menaklukan Timor. Rupanya ekspedisi ini merupakan konsentrasi pasukan kulit
putih terbesar di tanah Timor dan ia mengerahkan sebanyak 600 orang dan jumlah
pasukan kulit putih ini merupakan jumlah terbesar dalam sejarah kampanye
militer di Timor. Setelah kampanye ini berakhir, tidak pernah lagi diterjunkan
orang kulit putih sebanyak ini hingga Perang Dunia II (1940-1945). Selain orang
Eropa, mereka juga didampingi oleh pasukan kulit hitam dan penduduk lokal yang
banyak dan tak terhitung jumlahnya yang berbaris dari Kupang. Lima hari
kemudian mereka tiba dan mendekati permukiman utama Amarasi melalui pegunungan.
Namun, tepat saat De Vlaming berniat untuk menyerang Amarasi, pasukannya
dikejutkan oleh hujan lebat, padahal saat itu merupakan musim kemarau di Pulau
Timor dan keadaan sangat gersang. Akibat hujan ini, maka peralatan perang mereka
basah kuyup dan langit tampak gelap tidak terputus-putus. Akhirnya ia
memutuskan agar mereka mundur. Gerakan mundur ini menimbulkan kekecewaan para
penduduk Kupang dan penduduk lokal lainnya yang berharap agar para serdadu
Belanda ini berhasil menghancurkan kerajaan-kerajaan Atoni yang merupakan
sekutu Portugis atau para Larantuqueiros. Mereka khawatir dan mengira Belanda telah
ketakutan dan melarikan diri dari musuh. Sebaliknya De Vlaming berkesimpulan
bahwa ia harus menunggu hingga waktu yang terbaik sekaligus untuk menerima
lebih banyak bantuan dan keadaan yang lebih beruntung.
Posisi
musuh
Di sisi yang berbeda, pihak yang akan
diserang pasukan de
Vlaming ini telah mempersiapkan pertahanan yang tidak akan disangka-sangka oleh
pihak lawan. Kerajaan Amarasi sendiri saat itu diperintah oleh sekelompok bersaudara yang paling terkenal dan pucuk pimpinan
oleh seorang raja bernama Antonio, saudaranya adalah Dom Thomas, Dom Agostinho dan Dom Rodrigo, yang
disebutkan dengan hormat dalam
sumber-sumber Belanda dan Portugis atau para Larantuqueiros. Dom Antonio ini mungkin adalah
Rasi I atau Nafi Rasi yang dikenal dalam tradisi lisan sebagai raja Amarasi
yang pertama. Dari nama-nama mereka dapat diketahui bahwa mereka telah memeluk
agama Khatolik.
Untuk membantu mereka, maka
Antonio d’ Hornay mengirim pasukan pendukung dari pihak Portugis atau para
Larantuqueiros bernama Balthazar Gonçalves seorang yag berpengalaman tempur berusia 70 tahun dengan
enam belas orang Musketeer. Dalam sejarah militer, Musketir (dari Bahasa
Perancis: "mousquetaire", Bahasa
Inggris: "musketeer") adalah jenis tentara modern awal
yang dilengkapi dengan senapan "musket",
(Bahasa Indonesia: Senapan
lontak). Musketir adalah bagian penting dari tentara modern awal
baik di Eropa maupun Asia. Disebutkan bahwa Musketir di Jepang juga
diperkenalkan oleh pedagang Portugis pada
tahun 1543. Nampaknya dalam peristiwa ini keenam belas Musketeer inilah yang
melatih pasukan Amarasi dalam menghadapi serbuan Belanda. Dalam tradisi lisan disebutkan
bahwa dalam usaha membantu Amarasi, mereka itu dibantu oleh sekutu-sekutu Portugis
atau para Larantuqueiros termasuk Amanuban dan Amakono.
Dalam tulisan ini, ijinkan saya
memberikan gambaran singkat bagaimana orang Atoni kuno membangun perkampungan
sekaligus pertahanan yang dapat disebut sebagai benteng. Ketika orang-orang
Atoni membentuk satu perkampungan yang padat, maka permukiman terkonsetrasi
pada sebuah lokasi yang berada di dataran tinggi terutama bertebing batu. Pada
salah satu atau dua bagian sisinya merupakan tebing tinggi yang tidak mungkin
dapat di panjat tanpa alat bantu. Jalan untuk mencapai benteng ini juga cukup
untuk satu orang berjalan. Pada sekeliling perkampungan dibangun pagar batu
yang tebal dan setinggi manusia dan berbentuk leter U dengan satu pintu (leher
botol).
Sekeliling pagar benteng baik
bagian luar pagar maupun dalam pagar akan ditanami bambu atau paling sering di
Amanuban adalah kaktus (Naus) yang berduri panjang atau juga ditanami dengan sejenis
tanaman yang disebut Kese. Kese ini
adalah sejenis tanaman yang apabila tersentuh kulit, akan menimbulkan gatal
yang luar biasa bahkan dapat berkibat kematian. Sistim pertahanan perkampungan yang
cukup padat ini sering disebut “Kot” atau
juga ada yang menyebutnya “Nefo”.
Dengan sistim pertahanan demikian, apabila terjadi penyerangan, maka
satu-satunya pilihan penyerang hanya dari arah pintu yang tidak begitu lebar
itu dan tentu saja menyerang pada benteng seperti ini diperlukan keberanian
yang luar biasa. Sebaliknya, sistim pertahanan ini juga menguntungkan pihak
yang berada didalam benteng sebab seluruh persenjataan dan tenaga manusia hanya
dipusatkan pada satu arah yakni jalan masuk.
Namun gambaran de Vlaming tentang
kampung-kampung orang Atoni saat itu juga dapat menjelaskan bagi kita bagaimana
keadaan masyarakat Atoni pada saat itu, ia melaporkan demikian “disini anda seperti kampung di De Bresaep,
di sana sini ada gubuk diatas bukit, tiga atau empat gubuk dan paling banyak
lima atau enam yang saling berdampingan secara dekat.... semuanya berada di
ketinggian diatas punggung bukit dan mereka membuat benteng sendiri. Ini adalah
jenis rumah termiskin yang pernah didiami manusia di dunia. Walaupun jenis
gubuk ini tidak bisa dikatakan sebagai sarang lebah namun sedikit lebih besar
dari itu. Atau seperti Noopehuys[4] di tengah ladang yang kering kerontang”. Demikian
de Vlaming menggambarkan situasi perkampung orang Atoni pada saat itu. Ia
melanjutkan bahwa rumah-rumah itu tampak sepi dan ketika rombongan Kompeni tiba
tidak ditemukan satu orangpun disana. Ia agak meragukan informasi bahwa para
orang-orang Portugis atau para Larantuqueiros bersedia tinggal di tempat-tempat
seperti itu, namun penunjuk jalan (guide) mereka meyakinkan kepada de Vlaming
bahwa memang seperti itulah keadaannya.
Dengan laporan de Vlaming tentang
kekosongan rumah-rumah ini, maka dapat disimpulkan bahwa para penghuni telah
meninggalkan gubuk-gubuk kecil mereka ini dan telah pergi berkumpul di perkampungan
utama atau biasanya di sebut Sonaf.
Jalannya
pertempuran
Ekspedisi ini berjalan melalui
Babau. De Vlaming dan sekutunya agak pesismis sebab ekspedisi ini menempuh
perjalanan yang melelahkan dan menelan biaya yang tidak sedikit terutama
informasi tentang Balthazar Gonçalves. Ketika mereka tiba di suatu
tempat, mereka melihat perkampungan diatas sebuah bukit batu dan nampak lebih
ramai dari tempat lainnya sehingga tahulah ia bahwa mereka telah tiba di
perkampungan utama. Tiba-tiba terlihat sekelompok orang turun dan
berteriak-teriak seperti sekelompok hantu, demikian de Vlaming menggambarkan.
Ia lalu memerintahkan enam Kompi pasukan untuk maju dan keenam kompi ini adalah
setengah dari kekuatan regulernya. Mereka maju dalam formasi tiga kolom. Salah
satu kolom berjalan melalui sebuah jalan sempit. Setelah beberapa saat mereka menemukan benteng
sederhana yang terbuat dari batu, bambu yang terhalang oleh belukar. Benteng itu ditempatkan dengan sangat baik sehingga orang hanya bisa mencapainya dengan seorang demi seorang.
Ternyata rombongan pasukan
Kompeni ini telah ditunggu oleh pihak musuh mereka sehingga dengan senapan mereka ditembaki secara efektif oleh beberapa orang Portugis atau para
Larantuqueiros dari dalam benteng dengan efek yang mematikan. Ternyata upaya ini membuat banyak korban dari pihak
Belanda sehingga mereka harus mundur, setelah kehilangan 54 orang yang tewas atau terluka dalam pertemuan pertama itu. De Vlaming sangat berduka
kegagalan ini, tetapi ia tidak bisa
menyalahkan para bawahan Belandanya sebab pertahanan ini
memang sangat sulit ditembus, dan alih-alih untuk itu
justru ia menganggap bahwa peristiwa ini adalah kehendak dari Tuhan. Dengan
pilihan mundur ini, maka pertemuan pertempuran pertama telah selesai.
Vlaming di hadang
Akhirnya Ekspedisi
ini mundur dengan menapaki jalan kembali ke
Kupang dan membawa para prajurit yang terluka di atas tikar dan tandu sementara
itu mereka dikejar oleh prajurit musuh dari belakang. Dengan medan yang sulit ini,
rombongan ekspedisi hanya bisa berbaris dalam satu kolom dan pasukan Kompeni
berhasil menjaga kedisplinan mereka selama beberapa waktu walaupun mereka harus
mundur dalam keadaan yang mengecewakan.
Namun,
ketika mereka berjalan melalui sebuah hutan yang lebat, pihak musuh Amarasi ini
tiba-tiba muncul dari semua sisi. Dengan penyerbuan yang tidak disangka-sangka
ini, pihak Kompeni Belanda kesulitan menyiapkan senapan mereka dengan benar.
Satu hal lagi yang mengejutkan adalah bahwa orang-orang Atoni ini menyerang
tanpa rasa takut sedikitpun. Dengan serangan musuh yang tiba-tiba ini, disiplin
para pasukan tadi menjadi buyar dan para prajurit ini menjadi panik serta menginjak-injak
teman dan perwira mereka sendiri. Musuh berdiri begitu dekat dan menyerang
mereka dengan tombak, pedang dan senapan. Bahkan para peyerbu berhasil merebut
senapan dari tangan pasukan Kompeni. Beruntung bagi Kompeni, para penyerang ini
tidak mengejar mereka ketika mereka berhasil meloloskan diri. Dengan segala
upaya yang sulit, De Vlaming dan Ter Horst berhasil mencapai tempat aman,
diketahui bahwa lebih dari 80 orang dari orang-orang mereka tewas atau terluka. Ini adalah
pertemuan pertempuran kedua yang sangat melukai hati de Vlaming. “Peristiwa
ini menyerang hati kita', tulis De
Vlaming, ‘bahwa kita sangat diberkati oleh
Tuhan di Amboina, tetapi dipermalukan secara memalukan oleh orang kulit hitam
di sini, di pos Timor, di mana kita tidak melihat keuntungan apa-apa bagi
Kompeni. " Ratap de Vlaming. Terutama ia mengesalkan bahwa mereka
tidak mendapat bantuan yang cukup dari pihak Sonbai.
Pandangan
de Vlaming
Ekspedisi ini
memukul moril Arnold de Vlamingh van Oudshoorn. Ketika ia kembali ke Solor
setelah ekspedisi gagal ini, De Vlaming membuat laporan dan menyarankan kepada
Batavia dalam suratnya bahwa Kompeni akan memiliki iklim perdagangan yang lebih
baik tanpa rasa kuatir dan lebih beruntung bila membuat post kecil di Pulau
Rote yakni pulau yang telah disiapkan secara baik oleh Kompeni dan telah
menjadi sekutu Belanda sejak lama. Pulau Timor tentu saja bisa ditundukkan,
demikian ia sedikit beralasan, tetapi untuk mencapai itu maka dibutuhkan
pengorbanan biaya dan korban jiwa tentu harus diperhitungkan. Kurangnya keuntungan
berdagang dengan orang Timor membuatnya tidak yakin apakah itu sepadan dengan
usaha (atau, seperti yang ia katakan dengan ekspresi Belanda yang menyindir, "jika jusnya sepadan dengan kol"). Ia membuat laporan terakhir usul untuk
menyimpulkan gencatan senjata dengan para Larantuqueiros, menawarkan mereka
kesempatan untuk menjual semua kayu cendana mereka, kulit kura-kura dan
sebagainya kepada Kompeni. Yang terakhir menurutnya, bagaimanapun upaya ini
sebagai usaha mempertahankan kebijakan perdagangan bebas, paling tidak dengan
mempertahankan hubungan vital antara Makassar yang masih independen dan Solor
serta Timor. Saran ini tentu saja,
bertentangan dengan tujuan monopolistik Kompeni dan tentu saja saran ini tidak
bisa diterima.
Oleh
karena perang yang berkecamuk ini di pulau Timor semenjak 1655 terutama
perselisihan antara kerajaan-kerajaan Atoni sehingga Belanda beranggapan bahwa
saat ini adalah peluang terbaik bagi Belanda untuk dapat menguasai Timor. Pada
bagian ketiga dari rangkaian tulisan saya ini, anda akan saya ajak untuk
mengetahui bagaimana perang ini akan berakhir di Gunung Mollo (sebuah gunung yang berada di kabupaten Timor Tengah Selatan dalam peta masa kini), merupakan klimaks dari kedua perang terdahulu yang didukung oleh Sersan
Lembrach Heycman pada tahun 1658 dan merupakan aib yang sangat memalukan bagi
Kompeni yang akhirnya membuat pengungsian besar-besaran pertama ke Kupang dalam
sejarah pulau Timor. Peritiwa pengungsian ini merupakan pengungsian monumental
yang lebih serius dari pengungsian ketika Timor Timur mengalami referendum pada
tahun 1999 atau 350 tahun sesudahnya dan merupakan peristiwa yang sangat
dikenang dalam tradisi lisan di Amanuban maupun orang Atoni lainnya.
Jangan lupa kunjugi topik-topik lainnya yang menarik di Blok ini dan kalau anda berminat untuk membeli buku KONFLIK POLITIK di TIMOR TAHUN 1600-1800an, anda dapat memesan di Nomor 085239121425, atau kalau anda di area Kupang dapat menghubungi RIKEN DA SILVA 081339151800, IBETH XIMENES 081547836113, GUS NOMLENI 081316761091.
Untuk area SoE dapat mambelinya di Toko ANDA (Pertanahan SoE), Toko SINAR PUTAIN (Depan Toko Mubatar) dan toko buku SOBAT DARI GALILEA di Pasar Inpres SoE.
Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
[1] Silsilah Keluarga De Outshorn
[3] Terra
incognita atau terra ignota (Latin "tanah tak
dikenal"; incognita ditekankan
pada suku kata kedua
dalam bahasa Latin, namun dengan variasi dalam pengucapan dalam bahasa Inggris)
adalah istilah yang digunakan dalam kartografi untuk
daerah yang belum dipetakan atau didokumentasikan. Istilah ini dipercayai
dijumpai pertama kali dalam Geografi Ptolemaeus sekitar
tahun 150 Masehi. Istilah ini diperkenalkan kembali pada abad ke-15 dari penemuan
kembali karya Ptolemaeus semasa Zaman Penjelajahan.
Lord of
the Land, Lords of the Sea
[4] Yang dimaksud de Vlaming
tentang “Noopehuys” itu belum begitu jelas atau tidak diketahui maksudnya.
Namun menurut Prof. Hans Hagerdall istilah ini mungkin merujuk pada gubuk Poepen yaitu pekerja petani Jerman
miskin yang bekerja di lahan pertanian di negeri Belanda
Komentar
Posting Komentar