KISAH KEKALAHAN VOC BELANDA DI PULAU TIMOR PADA AWAL ABAD 17 Bagian 1
KISAH KEKALAHAN VOC BELANDA
DI PULAU TIMOR PADA AWAL ABAD 17
Bagian 1
Tulisan ini untuk lebih melengkapi buku “Konflik Politik Di Timor Tahun 1600-1800an- Perjalanan Amanuban Menentang Hegemoni Bangsa Eropa Atas Timor Tahun 1600-1800an”.
Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
Pada tahun 599 Sebelum Masehi, Koresy
yang agung (Cyrus) berhasil mengalahkan kakeknya Astyges dan menggabungkan dua
kerajaan menjadi sebuah kekaisaran besar yang kemudian disebut Media-Persia. Setelah
menaklukan kerajaan besar Babelonia, Koresy lalu meluaskan kekuasaanya menjadi
hampir 3 kali lipat dari kekaisaran Babel. Dialah yang kemudian mengeluarkan
dekrit untuk mengembalikan orang-orang Yahudi yang terserak di seluruh bumi
untuk kembali ke Yerusalem terutama orang Yahudi yang diangkut oleh Nebukadnesar,
raja Babelonia ketika menaklukan Yerusalem pada 16 maret 697 SM. Peristiwa ini juga
dicatat dalam kitab Ezra pasal 1 dari perjanjian lama dan ternyata Dekrit
Koresy ini diprasastikan dalam sebuah silinder. Kini salinan silinder itu
dibuat duplikatnya pada pintu gerbang kantor PBB.
Kemanapun Koresy
pergi berperang, ia selalu menang namun kemudian hanya sembilan tahun setelah
ia memulangkan orang-orang Yahudi ke Yerusalem ia mati terbunuh dalam sebuah
pertempuran di Asia Tengah. Konon kepalanya di letakan ke dalam sebuah kantong
anggur penuh darah untuk memuasi kehausannya yang rakus akan tanah-tanah milik
bangsa-bangsa lainnya[1].
Walaupun demikian Kekaisaran Media Persia tetap merupakan kerajaan yang kuat
dan berkuasa selama lebih dari 250 tahun berikutnya hingga Darius III (raja
Media Persia kala itu) dikalahkan oleh sang legenda raja Yunani, Aleksander
yang Agung. Selanjutnya Yunani menjadi kekaisaran yang baru menggantikan
Media-Persia.
Hampir
mirip dengan raja Media-Persia, VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) merupakan sebuah kongsi dagang dari Negeri Belanda yang sangat
terkenal pada awal tahun 1600-an dan pengaruhnya makin meluas terutama di
Nusantara yang kemudian disebut Hindia Belanda, negeri yang kaya rempah-rempah.
VOC dalam usaha meluaskan pengaruh dagangnya sering menggunakan cara-cara
kekerasan untuk dapat menaklukan sumber-sumber perdagangan dan menjalankan
monopoli serta mengendalikan pemerintahan lokal. Itulah sebabnya usaha VOC
disebut sebagai kolonialisme.
Kemanapun
ekspedisi militer VOC dikirim pasti berhasil mengalahkan pesaingnya yakni Portugis
dan juga menaklukan orang-orang pribumi yang menolak usaha VOC. Namun ternyata
hanya di pulau Timor saja usaha Belanda mengalami kegagalan yang memalukan dari
tahun 1655-1657. Di pulau Timor, seolah-olah senjata-senjata Belanda menjadi
tumpul dan keperkasaan para serdadunya ditelanjangi. Pengaruh VOC di Timor
hanya sejauh Kupang hingga Babau sampai tahun 1889. Wilayah ini disebut zez pallen gabied, wilayah selebihnya
merupakan wilayah yang bebas merdeka dan tidak dibawah kontrol Belanda.
Walaupun
demikian, VOC tetap bertahan dan memonopoli perdagangan rempah-rempah hingga
diambil alih oleh pemerintahan Kerajaan Belanda pada tahun 1800. Dengan segala
upaya barulah Belanda berhasil menaklukan Amarasi pada tahun 1880, Sonbai pada
tahun 1906, Wewiku Wehali 1908 dan Amanuban 1910. Berikut ini saya sampaikan
kisah ekspedisi militer Belanda yang mengalami kegagalan pada tahun 1655-1657.
Belanda dan
Portugis dalam perebutan perdagangan
Bertahun-tahun lamanya
terjadi persaingan perdagangan antara Portugis dan Belanda dalam perdagangan rempah-rempah
dan lainnya di Nusantara. Sesungguhnya hingga tahun 1800an, cengkeh, pala dan
lada hanya dapat ditemukan di kepulauan Maluku. Disamping itu juga perdagangan cendana
dari Timor sangat menguntungkan bahkan hingga 400% dari modal. Rempah-rempah ini
(disamping Cendana untuk membuat parfum dan dupa) memiliki banyak kegunaan :
sebagai obat, untuk bumbu makanan dan minuman. Namun, volume perdagangan
rempah-rempah tetap kecil karena hanya beberapa kalangan saja yang mampu
membeli barang mewah seperti itu. Karena potensi pasar yang terbatas ini maka
satu-satunya kemungkinan bagi pedagang untuk mendapatkan banyak uang adalah dengan
mengendalikan jalur perdagangan barang-barang ini ke Eropa[2].
Sejak tahun 1500, para pedagang Portugis berhasil melakukannya bahkan menurut
literatur yang terkenal, disebutkan bahwa orang-orang Portugis telah mengenal
pesisir pantai pulau Timor sejak tahun 1515. Portugis kemudian membangun
pangkalan dagangnya di Solor, sebuah pulau yang berada di utara pulau Timor. Namun
kemudian di sekitar tahun 1600-an monopoli itu jatuh ke tangan VOC.
Dengan monopoli
Belanda, maka cengkeh menjadi terbatas bahkan disebutkan Inggris mengeluh bahwa
tidak mungkin untuk memindahkan satu buah cengkehpun tanpa izin Belanda. Untuk mencapai
tujuan itu, sangat sering Gubernur Jenderal Jan Pietersz Coen (1587-1629) dan Gubernur
lainnya menggunakan kekerasan untuk mengamankan monopoli dan menyingkirkan
kompetisi dengan Portugis dan Inggris.
Salah satunya
adalah perdagangan cendana di perairan pulau Timor. Pada tanggal 20 April 1613,
setelah melakukan gempuran yang hebat dan berbulan-bulan lamanya, Portugis
dikalahkan dan benteng Hendrikus (Lahayong) Solor direbut oleh Apolonius Schot.
Akhirnya orang-orang Portugis dan para Portugis campuran (Topas) yang mendiami
benteng ini selama hampir 100 tahun ini menyingkir ke Larantuka dan bertahan
disana. Itulah sebabnya kemudian mereka disebut Larantuqueiros.
Selanutnya pada
tanggal 4 Juni 1613 Apollonius Schot mencapai kerajaan Mena dan Asson di utara pulau
Timor. Namun kemudian, Raja Kupang (Helong) tertarik pada keberadaan Belanda
sehingga mengundang mereka untuk
membangun permukiman di Kupang karena ia kuatir atas dominasi orang-orang
Portugis dan kerajaan-kerajaan Atoni, sekutu Portugis di pedalaman Pulau Timor.
Pada tahun 1653 secara resmi Belanda memperbaiki dan memperbesar benteng yang
ditinggalkan Portugis di Kota Kupang yang kemudian disebut Fort Concordia (Sekarang menjadi Markas TNI).
Supremasi
Belanda
Sejak
tahun 1605, Maluku telah jatuh ke tangan Belanda yang direbut dari tangan
Portugis. Nampaknya Belanda menang dimana-mana dalam persaingan ini. Dari
Malaka, pulau Jawa hingga Maluku seolah memberi pertanda bahwa dominasi
Portugis akan segera berakhir di kawasan Nusantara digantikan oleh supremasi
Belanda. Walaupun kenyataan bahwa Belanda berhasil mengambil alih banyak sumber
perdagangan di Nusantara, namun Belanda kemudian menemui jalan buntu dan
mengalami kekalahan yang memalukan hanya di pulau Timor.
Namun mengenai
supremasi Belanda ini, ada beberapa alasan mengapa Portugis kalah bersaing
dengan Belanda dalam pelayaran dan perdagangan di Nusantara. C.R.Boxer
mengemukakan beberapa argumennya : pertama, Belanda memiliki sumber daya ekonomi
yang kuat, sebagai gambaran menurut Boxer, sebuah propinsi, di negeri Belanda memiliki
kekayaan yang lebih besar dari Kerajaan Portugal.
Kedua, mereka memiliki
sumber daya manusia yang besar. Meskipun penduduk Belanda tidak sebesar Inggris
atau Perancis, namun orang Belanda secara ekstensif menarik warga negara
tetangganya, seperti Jerman dan negara-negara Skandinavia sebagai tenaga
manusia masuk dalam ketentaraan dan awak bagi armada niaga dan armada
perangnya.
Yang ketiga, mereka
memiliki kekuatan laut (sea power) yang kuat. Menurut catatan Antonio Vieira,
armada dagang dan perang Belanda terdiri atas 14.000 kapal yang dapat dipakai untuk
melayari perairan di Afrika dan Asia, tidak demikian dengan Portugis. Armada laut
Belanda diawaki oleh hampir 250.000 pelaut dan tentara yang ada di kapal-kapal,
sementara Portugis hanya memiliki 6.260 orang pelaut dan tentara untuk seluruh negara
didunia. Kelebihan Belanda ini memperkuat supremasi Belanda sebaliknya kelemahan
Portugis inilah yang nantinya makin membuat pelayaran dan perdagangan Portugis
di seberang lautan makin merosot pada abad ke18[3].
Karena
supremasi Belanda ini, maka mereka berhasil merebut Maluku dari pengaruh
Portugis. Tidak diragukan lagi bahwa penaklukan Maluku menjadi keuntungan besar
buat VOC dan mereka mengotrol perdagangan rempah-rempah disana.
Dari
Maluku Belanda berpaling ke Timor
Namun pada
periode antara 1651 dan 1656, di Maluku terjadi pemberontakan besar-besaran dan
gubernur Maluku saat itu, Arnold de Vlamingh van Oudshoorn berhasil menghancurkan
pemberontakan ini. Ia juga menempatkan kora-kora (perahu perang dari Buton)
sebagai pembantunya. Sesungguhnya sebelum penaklukan Benteng Solor, Kesultanan
Buton telah mengikatkan diri dalam kontrak dengan Belanda dan menjadi sekutu
setia Belanda[4].
Akan
kita ketahui kemudian bahwa Arnold de Vlamingh van Oudshoorn adalah seorang
yang banyak disebutkan dalam text-text Sejarah Indonesia berkaitan dengan Achmad Sangadji Kawasa atau lebih terkenal
sebagai Kapitan Jonker. Kapiten Jonker adalah bangsawan Tumahelo, Manipa, Seram
yang kemudian bekerja bagi Kompeni (VOC). Dari nama Jonker inilah sebutan Penjonkeran di Jakarta itu muncul. Kemanapun
ekspedisi militer Belanda dikirim mereka selalu berhasil. Bahkan Jonkerlah yang
menangkap Trunojoyo di Jawa Timur dan juga berhasil memadaman pemberontakan di
tanah minang. Jonker juga merupakan teman Arung Palakka, sultan Bone. Jonker
juga membantu Arung Palakka mengalahkan Sultan Hasanudin pada tahun 1667.
Namun sangat
disayangkan bahwa dalam salah satu situs berjudul Hikayat Kapiten Jonker (Tirto.id)[5] disana
disebutkan bahwa ia bersama Arnold de Vlamingh van Oudshoorn berhasil
menaklukan Timor. Tulisan Sejarah ini mengandung kekeliruan dan kesalahan fatal
karena pada kenyataannya Arnold de Vlamingh van Oudshoorn dan pasukannya di hancurkan
secara memalukan di Timor pada tahun 1656. Semoga tulisan tersebut segera
diralat untuk meluruskan fakta sejarah terutama bila penulisnya telah selesai
membaca ringkasan ini. Jalannya kekalahan Arnold de Vlamingh van Oudshoorn akan
kita ketahui dalam tulisan ini (Bagian kedua). Namun sebelum kisah dapat
berlanjut hingga kekalahan de Vlaming, sebaiknya kita merunut peristiwa-peristiwa
sebelumnya.
Aliansi
yang dibangun Belanda
Pada
periode tahun 1600an pihak Belanda belum memiliki pijakan yang kuat di Pulau
Timor selain sekutunya Raja Helong di Kupang. Sebelumnya, beberapa saat setelah
menginjakan kaki ke Pulau Timor tahun 1613, perwakilan Belanda diterima dengan
tangan terbuka oleh Raja Mena dan Asson di utara pulau dan Raja Amanuban di
selatan pulau. Namun kemudian perseteruan Belanda dengan Amanuban timbul semenjak
tahun 1619 karena kematian Opperkoman Mendert Pieters dan serdadunya yang
berkunjung ke Amanuban. Beberapa tahun berikutnya (1622/1623 dan 1626) telah terjadi
kontak senjata melawan Amanuban namun kedudukan Belanda tidak semakin
menguntungkan bagi mereka.
Karena sulitnya
menanamkan pengaruh di Timor, maka Solor tetap merupakan pangkalan dagang VOC untuk
komoditi Cendana walaupun kemudian pada Desember 1615 Heren Seventeen[6]
berpendapat bahwa Maluku lebih
penting daripada Solor. Akhirnya benteng ini dihancurkan pada awal 1616 lalu
mereka meninggalkan Solor dan bertolak ke Ambon. Selanjutnya usaha perdagangan
kayu cendana Timor dilanjutkan dari Maluku.
Namun akhir tahun 1616 benteng ini
kembali diperbaiki dan ditempati oleh pihak Portugis tapi dikosongkan kembali oleh
Portugis karena mereka lebih memilih untuk menjadikan Larantuka sebagai
pangkalan dagang mereka. Seiring dengan meningkatnya harga dan permintaan
cendana dunia maka pada akhir tahun 1618 Belanda menempati kembali benteng di Solor
dan perdagangan cendana dilanjutkan dari sana sekaligus memperbaiki hubungan
persekutuannya dengan para bangsawan Solor yang sempat kecewa karena Belanda
meninggalkan Benteng Hendricus di tahun 1615 itu. Akhirnya disepakati bahwa orang-orang
Solor diperbolehkan berdagang kayu cendana dari Timor asalkan hanya dijual ke
benteng. Pada tahun 1648 benteng ini dihantam gempa Bumi berulang kali sehingga
Belanda memindahkan pusat perdagangan ke Kupang pada tahun 1657[7].
Kekacauan
Politik, katalisator bagi VOC ke Timor
Sebaliknya
keadaan politik di Timor mengalami perubahan dengan terjadinya pembunuhan
orang-orang Portugis dan para Portugis campuran (Larantuqueiros). Memburuknya
hubungan kerajaan-kerajaan Atoni dengan Portugis mulai terlihat pada tahun
1653. Walaupun disebutkan bahwa beberapa tahun sebelumnya yakni tahun 1641 atas
bantuan Portugis para raja-raja di Timor berhasil menghalau invasi kerajaan
Gowa-Makasar ke pulau Timor yang didukung Belanda. Peristiwa ini dikenang dalam
tradisi lisan dengan istilah “Ti Toey
Tinu, Lub-lubum Makasal, taku ma Tkesnai”. Bagaimanapun kerajaan-kerajaan
di pedalaman Timor memiliki hubungan yang baik dengan Portugis.
Namun pada tahun
1650an baik raja Sonbai dan raja Amabi enggan berpartisipasi dalam ekspedisi militer
Portugis dan sekutu Atoni-nya untuk menentang kedudukan Belanda di Kupang,
terutama musuh ini (Belanda) menurut Amabi dan Sonbai- memiliki senjata api
yang lebih banyak. Akhirnya, pada tahun 1655, ada perselisihan besar di antara
Portugis dan beberapa sekutunya di Timor. Latar belakangnya tidak jelas baik
dari sumber-sumber Portugis atau Belanda, tetapi mengalami puncak dari akumulasi
kekacauan karena para Larantuqueiros
hanya bisa bertahan hidup dengan mengimpor perbekalan dan para prajurit yang
tinggal di Timor rupanya menuntut pemeliharaan kebutuhan hidup mereka kepada
kerajaan-kerajaan sekutunya.
Pada April 1655,
para penguasa di beberapa bagian pulau mulai membunuh orang-orang Portugis,
menjarah barang-barang mereka dan membakar gereja-gereja mereka dan juga rumah-rumah
mereka. Lebih dari seratus orang keturuanan Portugis (Topas) ini tewas, di
antaranya sepuluh atau dua belas orang kulit putih. Gerakan anti-Portugis
terjadi di wilayah kerajaan Sonbai, Amanatun, Pienrey (mungkin Pitai?),
Ade-Manatuto dan Takaip[8].
Menurut tradisi lisan yang diteruskan oleh Bpk. Yulius Banamtuan, tindakan ini
karena pihak Kaes metan (sebutan
untuk para Portugis hitam yang merupakan Portugis campuran) atau biasa disebut
Topas menggantung daun pertanda larangan dari utara pulau hingga selatan pulau
sebagai pertanda bahwa tanah itu milik mereka. Cara ini merupakan cara
tradisional yang disebut Na’soka’
ketika seseorang hendak menegaskan bahwa tanah tersebut miliknya. Tindakan para
Kaesmetan ini membuat raja Amabi berang dan memerintahkan para bawahannya untuk
memerangi orang-orang Topas ini termasuk raja-raja tersebut diatas.
Sedangkan menurut
tradisi lisan lainnya oleh Bpk. Sakan dari Enokiu menyebutkan bahwa tindakan
Amabi mencari bantuan ke Belanda sebab ia mengesalkan tindakan para Moen Ha’ di Tunbes, ibukota Amanuban untuk pertama
kalinya (sekarang masuk wilayah kecamatan Ki’E) yang telah mengukuhkan Olak
Malik/ Ol Mai menjadi tuan mereka. Tentu saja keberatan raja Amabi sebab dahulu
Moen Ha’ merupakan bawahan raja Amabi. Hal ini juga didukung dalam akun Salomon
Müller dari tahun 1828-29 (diterbitkan Reizen
en onderzoekingen, 1857) yang menyebutkan bahwa Amanuban kuno merupakan bagian
wilayah dari Amabi dan kemudian hari mengembangkan eksistensinya sebagai
wilayah independen dari Amabi[9].
Aliansi “Tiun Menu”
Selanjutnya raja
Amabi dan Sonbai bergabung dan bersama-sama mereka memutuskan untuk menolak orang-orang
Portugis untuk selama-lamanya. Sebuah kedutaan dikirim untuk berunding dengan
Belanda di Kupang. Utusan kedua raja ini untuk menyatakan bahwa mereka
menginginkan perlindungan Kompeni dan tunduk pada otoritasnya sebagai sekutu
dan subyek yang jujur. Pada saat ini, Hendrick ter Horst sebagai opperhoofd
dari benteng Henricus (Lahayong) di gantikan oleh Jacob Verheyden yang agak
kasar dan kaku. Dalam benak Verheyden, ini adalah peluang emas untuk memperluas
kepentingan VOC di Timor dan menghabisi saingan mereka, Portugis yang dirasa
masih kuat di Timor.
Pada akhir Juni,
penguasa Sonbai dan Amabi dan beberapa 'raja' bawahannya berkemah bersama
rombongan besar di pantai Amabi (Amabi Bay) atau Teluk Kupang di peta modern
sekarang ini. Untuk menunjukkan niat baik mereka, para penguasa ini datang
untuk bertemu Verheyden. Ketika kapal-kapal Belanda tiba, Verheyden mencoba
untuk membuat teman - teman barunya ini terkesan dengan memberi hormat dengan
meriam dan senapan, tetapi orang-orang Timor ini tampaknya lebih ingin tahu
tentang granat tangan Belanda yang ternyata barang itu masih sangat langka
bahkan di Eropa itu sendiri. Baik meriam dan senapan telah sering dilihat
bersama sekutu Portugis mereka. Akhirnya kontrak dibuat pada 2 Juli 1655. Kedua
raja ini dan opperhoofd mencampurkan darah mereka ke dalam cangkir dan
meminumnya untuk memastikan pentingnya dokumen ini. Cara ini adalah cara
tradisional orang Timor ketika membangun aliansi, terutama ketika bersiap untuk
menyatakan perang melawan musuh bersama.
Dalam tradisi
kuno orang “Atoni” ketika dua atau tiga orang melakukan perjanjian saling
membantu, maka mereka akan mencampurkan darah mereka dalam satu gelas alkohol
yang biasa disebut “Tuak”. Perjanjian
seperti ini untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang saling berhianat dan
menusuk dari belakang. Dalam bahasa Atoni ritual ini disebut “Tiun Menu” yang artinya kurang lebih
“meminum empedu”. Sebuah ritual kafir yang digunakan untuk mengukuhkan
persekutuan dan Ver Heyden sebagai seorang Kristen Protestan mengabaikan
nilai-nilai kekeristenan untuk tujuan politik ini.
Namun dalam
pandangan Kompeni, ini adalah perjanjian yang agak sederhana, menyatakan bahwa
raja selanjutnya agar menjaga perdamaian dan tetap setia kepada “Yang Mulia
Kompeni”. Musuh Kompeni selanjutnya adalah musuh para raja juga. Tidak ada
emas, perak, tembaga, lilin lebah, cangkang kura-kura atau budak dijual kepada
musuh. Para pegawai Kompeni harus diperlakukan dengan baik dan dilayani saat
berada di tanah raja-raja. Nama-nama raja yang melakukan kontrak adalah Ama
Nasse dari Sonbai dan Saroro Neno dari Amabi, bersama-sama dengan para kepala
distrik yang tidak diketahui namun disebut sebagai Sigy dan Roury. Ama Nasse
tidak dikenal dengan silsilah kemudian, tetapi sebagian kariernya dikaitkan dan
paralel dengan Nai Tuklua Sonbai dari tradisi lisan. Saroro Neno berhubungan
dengan salah satu nama pertama dalam silsilah kerajaan Amabi yaitu Salolo
putera Neno (Jabi).
Jacob
Ver Heyden dan sekutu ke Amakono
Verheyden segera
tahu bahwa dia telah memasuki medan yang penuh dengan suasana petualangan. Raja
Sonbai, yang belum lama ini tampaknya semakin ambisius menjadi Kaisar Timor dan telah mengatur strategi
politik untuk mendominasi pulau namun pada kenyataan sebenarnya ia berhadapan
dengan banyak musuh. Beberapa domain Atoni tetap pada persekutuan mereka dengan
Portugis yakni : Amarasi, Amanuban, Ambeno, Amakono, Takaip dan Pitai, juga
Ammatasie yang tak dikenal termasuk Ammasene dan Ammatabo. Secara keseluruhan,
tempat-tempat ini dianggap lebih kuat daripada Sonbai dan Amabi. Daftar ini
tampaknya menggambarkan sifat yang sulit dipahami dari kekuatan politik di
Timor. Amakono, Takaip dan Pitai dimasukkan sebagai komponen dari wilayah kekuasaan
Sonbai dalam teks-teks kemudian, tetapi lebih disukai di sini untuk tetap di
luar pada masa itu.
Verheyden merasa
bahwa sekarang sudah terlambat untuk mundur, dan ia berjanji pada kedua raja
ini bahwa dia akan membantu mereka dengan segala kekuatan yang mampu
dikumpulkannya. Ia berhasil mengumpulkan pasukan 700-800 orang, termasuk diantaranya
orang-orang Solor, Helong, Rote dan 62 orang Eropa dalam ekspedisinya di Timor
ini. Pada waktu itu, ia mengumpulkan para lelaki berbadan sehat dan mampu
berperang dari beberapa pangeran diperhitungkan berjumlah ratusan, ini adalah
kekuatan yang cukup besar. Sedangan penguasa Sonbai diduga dapat mengumpulkan
10.000 hingga 12.000 tentara sebagai pendukung. Verheyden lalu berbaris ke
tanah Sonbai pada September 1655, percaya bahwa Belanda hanya perlu menunjukkan
kehadiran mereka dan mungkin menemani tuan Sonbai ke dalam tindakan jika ada
kesempatan.
Setibanya di wilayah
Sonbai, Jacob Verheyden melanjutkan untuk menyerang benteng Uis Kono, penguasa
Amakono di pegunungan timur dari wilayah Atoni. Benteng itu diambil dengan
serbuan yang kilat dan sebagian permukiman dibakar dengan api. Uis Kono lalu menyerahkan
pedangnya kepada Verheyden melalui Ama Fo, bupati eksekutif Kupang (Feitor) dalam hirarkis Sonbai, meminta
diampuni oleh Kaisar Sonbai - ini adalah pertama kalinya gelar tinggi ini
digunakan untuk penguasa Sonbai.
Verheyden selanjutnya
menjawab bahwa seorang pemberontak yang bertindak melawan kaisarnya akan
kehilangan lehernya, tetapi dia memaafkannya atas nama kaisar. Namun, kemudian
terjadi keributan. Orang-orang Helong, dibantu oleh beberapa orang Sonbai, memanjat
benteng batu tempat Uis Kono menetap. Mereka membunuhnya dan semua orang dalam
kelompoknya, bahkan tidak menyayangkan dan membunuh bayi serta anak-anak kecil.
Rupanya pihak Belanda-pun berupaya untuk menghentikan pembantaian ini.
Peristiwa ini menelan korban sekitar 500 jiwa.
Kematian
sang Koboy Jacob Verheyden
Ketika mendengar
tentang Ekspedisi Verheyden ini, reaksi pertama orang Portugis yang walaupun
masih memiliki sekutu dari pulau itu adalah “ketakutan”. Maka disarankan agar
semua orang baik Portugis campuran (Larantuqueiros/ Topas) maupun kulit putih
harus pindah ke Larantuka dari pada menghadapi kekuatan besar dan berlebihan ini.
Namun kaum Dominikan sebagai pemimpin komunitas memenangkan mereka. Biarawan
Francisco da Conceição membujuk para prajurit untuk tinggal.
Setelah mereka
melakukan pertemuan lebih lanjut, disepakati agar mengirim dua kapten bersama
60 ksatria untuk menangkap raja Sonbai dan menghentikan pasukannya agar tidak
bergabung dengan Belanda. Namun nampaknya usaha ini gagal. Para kapten ini adalah
pahlawan dari 1653, seorang Topas
(turunan Potugis campuran) Matheus da Costa, dan juga António Hornay, anak dari
Jan de Hornay seorang desersi dari Kompeni namun membelot ke Larantuka dan
menikahi seorang wanita asli Timor. Dari wanita Timor inilah lahir António
Hornay bagi Jan de Hornay. Dua orang inilah yang akan berperan besar dalam
sejarah pulau Timor pada beberapa dekade yang akan datang.
Tampak bahwa
pasukan lokal Portugis kecil dan beberapa sekutunya bertahan melawan Ekspedisi
VOC untuk beberapa hari lamanya. Mereka bertahan sambil menunggu saat yang
tepat untuk melakukan serangan balasan atas ekspedisi yang cukup besar kala
itu. Lalu, pertemuan terjadi antara pasukan VOC dan ekspedisi Da Costa dan
Hornay yang memungkinkan mereka untuk melakukan serangan balasan.
Pada pagi-pagi
di tanggal 17 September 1655 Da Costa dan Hornay serta sekutu mereka Amanuban
membuat serangan yang mengejutkan terhadap perkemahan Belanda, yang awalnya
tidak menyadari bahwa mereka adalah musuh. Pasukan VOC mundur ke arah bukit
sambil menyeret meriam-meriam ringan mereka, tetapi mereka akhirnya tidak dapat
bertahan terhadap serangan.
Verheyden sendiri
lalu berdiri dengan pistol di tangannya ditengah-tengah medan pertempuran
sambil berteriak, “Bersamaku, prajurit
yang setia, dan jangan tinggalkan aku!”. Namun, kata-katanya tertelan oleh
desingan peluru. Ternyata pula beberapa orang Eropa menjatuhkan senapan mereka lalu
melarikan diri dari serangan yang bertubi-tubi ini. Alih-alih berharap pada
pasukan kulit putih yang mulai ketakutan, Verheyden menaruh kepercayaan pada
pasukan Solor, tetapi kemudian para pemimpin dari Solor ini yakni sengaji dari
Terong, Lamahala dan Lamakera semuanya terbunuh, bersama dengan banyak pengikut
dari mereka. Menurut ke laporan resmi VOC, Jacob Verheyden sendiri lalu
berhadapan dengan seorang pejuang dan bertarung sampai ia mati dalam keadaan
masih memegang pistolnya. Seorang prajurit Topass - dalam satu versi, disebut António
Hornay sendiri - menebasnya dengan tebasan pedang dari leher hingga ke bahu. Menurut
versi yang lain Ver Heyden dibunuh oleh Gonsalvo Hornay, baik Antonio maupun
Gonsalvo masih ada beberapa pendapat apakah dia adalah orang sama atau berbeda.
Mengenai kematian Verheyden ini, catatan Dominika memuji sikap Verheyden yang
tak kenal takut ketika menghadapi serangan Portugis dan sekutu lokalnya ini.
Akan diketahui
nantinya bahwa ini bukan terakhir kalinya seorang opperhoofd Belanda kehilangan
nyawanya dalam konflik dengan penduduk setempat. Bersama dengan Verheyden juga
tewas 22 kulit putih dan 400 tentara pribumi, termasuk banyak pemimpin
terkemuka dari Sonbai dan Solor. Ketika pihak berwenang di Batavia menyelidiki
masalah ini, mereka menganggap tanggung jawab atas kegagalan itu terletak pada
Verheyden itu sendiri. Kompeni berargumen bahwa seharusnya ia mengintai daerah
itu dengan hati-hati sebelum terlibat dalam ekspedisi yang kacau seperti itu.
Juga, dia seharusnya lebih akrab dengan gaya bertarung sekutu lokalnya, yang
tidak cocok dengan perang konvensional (Coolhaas 1968: 253-4). Atau minimal ia
mengetahui cara bertarung para musuh-musuhnya.
Satu penghiburan
bagi kompeni adalah bahwa Sonbai dan Amabi masih tetap menyatakan setia pada
Kompeni meskipun khawatir atas kekalahan itu, menyatakan bahwa mereka tidak
akan beristirahat bahu membahu sampai Portugis diusir dari pulau Timor[10].
Sang
bintang, Vlamingh van Oudshoorn dipanggil
Tidak
ada yang meragukan kegigihan orang Belanda. Kegagalan satu kali bukan akhir
dari segalanya. Menilik pada pengalaman mereka, bila gagal pada ekspedisi
pertama, maka pasti berhasil pada ekspedisi berikutnya. Pada saat ini, Perusahaan masih berharap untuk membersihkan Timor dari
musuh. Belanda selanjutnya akan memanfaatkan aset terbesar mereka yakni Arnold
de Vlaming van Oudshoorn. Komandan ini, yang memiliki jabatan pengawas memimpin
Pasukan menuju kemenangan dalam Perang Ambon Raya tahun 1651-1656.
Bersambung
.............................Bagian 2
Jangan lupa kunjugi topik-topik lainnya yang menarik di Blok ini dan kalau anda berminat untuk membeli buku KONFLIK POLITIK di TIMOR TAHUN 1600-1800an, anda dapat memesan di Nomor 085239121425, atau kalau anda di area Kupang dapat menghubungi RIKEN DA SILVA 081339151800, IBETH XIMENES 081547836113, GUS NOMLENI 081316761091.
Untuk area SoE dapat mambelinya di Toko ANDA (Pertanahan SoE), Toko SINAR PUTAIN (Depan Toko Mubatar) dan toko buku SOBAT DARI GALILEA di Pasar Inpres SoE.
Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
[3] Didik Pradjoko, Perebutan Pulau dan Laut, Portugis, Belanda Dan Kekuatan
Pribumi di Laut Sawu Abad XVII-XIX
[6] Heeren XVII atau Gentlemen
Seventeen adalah nama untuk direksi Serikat East India Company (VOC) Belanda, yang didirikan pada tahun
1602. Pengurus VOC semula 60 orang, tetapi dianggap terlalu banyak sehingga diadakan
pemilihan pengurus dan hanya tinggal 17 orang yang diambil dari beberapa kota di Belanda. Mereka yang terpilih
menjadi pengurus disebut Dewan 17 (De Heeren Seventien atau Tuan-Tuan 17) dan
ketika VOC banyak urusannya maka Dewan 17 mengangkat Gubernur Jenderal (Raad
van Indie) Pieter Both pada tahun 1610. Ia adalah Gubernur Jenderal VOC
[10] Prof. Hans Hägerdal, Lords of The Land, Lords of The Sea(Conflict and adaptation in early colonial
Timor, 1600-1800)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusMohon tidak memposting iklan judi atau sejenisnya
BalasHapus