SEJARAH TIMOR : KISAH HILANGNYA PENGARUH MAJAPAHIT DI PULAU TIMOR
KISAH HILANGNYA PENGARUH MAJAPAHIT DI PULAU TIMOR
Sebuah paradoks
sejarah di Pulau Timor
oleh : Pina Ope Nope
Lukisan tentang Raja Hayam Wuruk
|
Sebuah kerajinan tangan tentang Gajah
Mada
|
Untuk membaca tema-tema lainnya pada BLOG ini silahkan Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
Nama Pontius Pilatus
tidak asing lagi di telinga kita, namun sejauh ini nama Pilatus hanya
disebutkan dalam naskah Injil dan tulisan Yosephus Flavius (tahun 98 Masehi) serta
Tacitus (116 Masehi) selain material-material ini, nama Pilatus tidak muncul
dalam rujukan lainnya. Namun penyebutan jabatan Pilatus yang berbeda-beda mengakibatkan
injil tidak dipercaya keakuratannya bahkan dikritik habis-habisan. Dalam
laporan Tacitus “Annals of Imperial Rome” (Laporan-Laporan Tahunan Kekaisaran Romawi) pada tahun 116 Masehi, disana
disebutkan bahwa Pilatus adalah Prokurator
Roma yang ditugaskan di Yudea (Yerusalem). Senada dengan itu Yosephus menyebut Pilatus adalah gubernur dengan istilah umum
dalam bahasa Yunani ηγεμων atau
gubernur. Yosephus Flavius sendiri adalah seorang imam Yahudi dan pemberontak Yahudi dan kemudian menjadi
Patron Kaisar Flavius Vespasianus yang terkenal sebagai tokoh penting dalam penghancuran Yerusalem tahun 70
Masehi. Ia menyelesaikan bukunya berjudul Jewish
War, Antiquitates
Judaicae serta beberapa karya lainnya kurang lebih tahun 98-100
Masehi.
Berlawanan
dengan kedua sumber itu, sang penulis injil yakni Lukas justru menyebut
Pilatus sebagai Prefek–(wali
negeri-Terjemahan LAI) di Yudea. Dengan penyebutan jabatan Pilatus oleh Lukas
secara berbeda dari laporan Tacitus dan Yosephus ini maka laporan Lukas menjadi
bahan kritikan bahkan banyak yang berkeyakinan bahwa penulis Injil Lukas tidak
tahu menahu tentang Pilatus dan mungkin saja kitab ini ditulis beratus-ratus
tahun sesudah Yesus (+1-33 Masehi) dan Pilatus.
Namun kemudian pada bulan Juni tahun 1961
sekelompok tim arkeolog Italia dibawah pimpinan Dr. Antonio Frova melakukan
penggalian di area teater kuno yang dibangun Herodes Agung. Tanpa sengaja mereka
menemukan sebuah batu prasasti pada sebuah blok bangunan pada satu set tangga
yang didirikan di belakang rumah panggung teater Herodian dan prasasti itu
masih melekat pada tangga kuno itu. Nampaknya batu prasasti ini dahulu
merupakan puing-puing dari kuil yang di bangun dan dedikasikan oleh Pilatus
kepada Tiberius. Puing-puing ini kemudian digunakan kembali dalam pembangunan
sebuah rumah di abad ke-4. Walaupun sebagian huruf telah terhapus, namun disana
tertulis dengan jelas “[DIS AUGUSTI]S TIBERIÉUM, [...PONTI]US PILATUS,[...PRAEF]ECTUS
IUDA[EA]E, [...FECIT D]E[DICAVIT]. Terjemahan dari bahasa
Latin dari prasasti ini berbunyi :[Bagi Ilahi Augustu]s Tiberieum [ini],
[...Ponti]us Pilatus, [...pref]ek Yudea, [...telah men]de[dikasikan] [ini]. Hasil temuan ini menunjukan bahwa pada masa
Pontius Pilatus, jabatan Gubernur disebut Prefek
persis seperti yang dilaporkan oleh Lukas. Akhirnya sekop para arkeolog
menyumpal mulut para kritikus, bahkan temuan ini membuktikan bahwa penulisan
injil Lukas sangat dekat sekali waktunya dengan Yesus. Selanjutnya diakui bahwa
penggantian nama jabatan dari Prefektur ke Gubernur sekitar tahun 60 masehi
sehingga akhirnya diyakini bahwa Injil Lukas ditulis tidak lama sesudah Yesus dan
Pilatus. Selain itu, temuan-temuan berupa koin yang menjelaskan kedudukan
Kirenius dalam laporan Lukas juga fragmen-fragmen lainnya membuktikan
keakuratan laporan Injil Lukas.
Namun tulisan berikut ini bukan mengenai sejarah di timur tengah atau kehidupan
Pilatus namun tulisan dan kajian ini berangkat dari rasa ingin tahu saya
tentang kebenaran yang selama ini diyakini dalam kurikulum pendidikan “benarkah
Majapahit pernah mencapai dan menguasai pulau Timor?”. Sebab kisah kerajaan
Majapahit begitu terkenal sehingga seorang siswa/ mahasiswa di Timor mampu mengingat
dengan jelas tentang Majapahit dibandingkan dengan Perang Gunung Mollo (1657) atau perang Penfui (1749). Bahkan di
kota SoE sendiri kita akan menemui nama Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada
dibandingkan nama jalan pahlawan lokal Timor yang hampir tidak ada sama sekali.
Oleh karena itu melalui contoh kasus tentang Pontius Pilatus itu, maka anggapan
tentang sesuatu yang dianggap benar selama beratus-ratus tahun lamanya belum
tentu demikian dan atau sebaliknya. Oleh karena itu, saya seorang pemerhati
budaya dan adat serta sejarah di Timor mencoba untuk menguliti bagian kasar
dalam kajian tentang Majapahit benarkah anggapan bahwa kerajaan ini pernah
mencapai dan menguasai pulau Timor ataukah tidak?. Tentu saja kajian yang lebih
mendalam dan komperehensif hanya dapat dilakukan oleh para akademisi dan yang ahli
di bidangnya yang akan membuktikannya. Sedangkan tulisan yang sederhana ini
merupakan sebuah pendapat yang belum tentu benar 100%.
Mencoba menggali
dari kesimpang siuran
Sejauh
ini bukti-bukti tentang hubungan antara Majapahit dan Timor masih simpang siur,
toh penelitian Arkeologi di pulau Timor mengenai ini belum pernah dilakukan.
Kesimpulan-kesimpulan tentang Majapahit hanya berupa asumsi dan menurut beberapa
buku text pelajaran bahwa nama pulau Timor (tiwu dll) disebut dalam buku Nagarakertagama. Kitab ini merupakan kitab puisi (atau lagu-lagu) Jawa Kuno yang ditulis
pada masa keemasan Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit.
Uniknya keakuratan semua naskah berbahasa Jawa
tersebut masih dipertentangkan hingga kini dan memang tidak disangkal oleh para
ahli bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Sedangkan
menurut C.C. Berg yang menganggap bahwa semua naskah tersebut bukan catatan
masa lalu, tetapi hanya kitab ramalan.
Menyinggung
tentang penguasaan Majapahit atas Nusantara, maka seorang peneliti bernama
Hasan Djafar seorang arkeolog dan ahli epigrafi menyebutkan bahwa sebenarnya Majapahit
tidak pernah menguasai Nusantara (Portal
news, Liputan 6.com). Bahkan mengenai topik ini, ia membuatnya dalam bentuk
skripsi. Hasan Djafar menyebutkan bahwa kesalahpahaman perihal Majapahit menguasai seluruh
Nusantara, disebabkan para founding fathers Indonesia terutama Muh.
Yamin berusaha mencari formula yang tepat untuk menciptakan pemahaman tentang satu
kesatuan Indonesia (nation building). Saat itu Indonesia masih terkotak-kotak
dalam semangat kesukuan. Untuk itu Muhammad Yamin menciptakan kisah tetang
persatuan Nusantara sejak kerajaan Majapahit (1293 - 1478 Masehi). Hasan Djafar
melanjutkan bahwa landasan yang dipakai oleh Yamin adalah sumpah Patih Gajah
Mada yang terkenal itu. Padahal, kata Hasan, asal-usul adanya sumpah itu adalah
kitab Pararaton yang di dalamnya juga banyak kisah dongeng, seperti
Ken Arok bisa terbang dan lain sebagainya sehingga masih diragukan sebagai
fakta historis. "Membacanya harus hati-hati karena Pararaton sangat
istanasentris dan mencampurkan fakta dengan mitos," kata Hasan.
Pendapat Hasan Djafar tentu bukan
untuk menciptakan pendapat dalam kesimpang siuran namun merupakan kajian yang
menyeluruh mengingat beliau adalah seorang sarjana jebolan Universitas
Indonesia yang kenamaan. Namun bukan hanya Djafar, sejak tahun 2005 saya telah
membaca sebuah artikel yang di tulis oleh Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ atau Romo Sindhunata seorang kolumnis tabliod BASIS mengupas tentang penguasaan
Majapahit atas seluruh Nusantara adalah pendapat yang tidak mendasar dan belum
terbukti kebenarannya. Selanjutnya Romo Sindhunata meminjam istilah Eric
Hosbawn bahwa Muhammad Yamin telah menciptakan sebuah Anakronisme Sejarah
Indonesia. Namun nampaknya pendapat-pendapat ini masih tenggelam dalam
kesimpang siuran terutama tentang kebenaran penaklukan Majapahit atas tanah
Timor itu sendiri.
Kesimpang siuran
ini muncul dan ada dalam masyarakat Timor dimasa kini. Walaupun kata Majapahit
tidak pernah muncul dalam tradisi lisan manapun di Timor, namun masa kini
pendapat tentang Majapahit sangat ramai. Sekedar kembali pada tahun 2016 lalu,
saya turut menghadiri acara pengukuhan ketua lembaga adat (raja) Mollo yang
merupakan salah satu kerajaan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dalam acara
ini seorang tokoh sesepuh membacakan sejarah singkat Timor secara umum dan
Mollo secara khusus. Dalam pemaparannya disebutkan bahwa salah satu bukti penguasaan
Majapahit atas Timor adalah penggunaan kain
batik sebagai penutup kepala (destar/ pilu)
seperti pada saat ini orang Timor memakai pakaian adat. Demikian pendapat itu nampaknya
diamini oleh seluruh undangan yang hadir yang pada saat itu memang hampir semua
berpakaian adat dengan destar batik di kepala mereka dan tidak terkecuali di kepala
saya sendiri.
Sedikit
berbeda dengan pendapat diatas namun memiliki tujuan yang sama yaitu Majapahit
pernah meguasai Timor berdasarkan pendapat salah satu sarjana dalam skripsinya yang
menyebutkan bahwa penyebutan kata “Usif” yang
merujuk pada kata bangsawan merupakan serapan dari bahasa jawa yakni “Gusti”. Pendapat ini juga nampaknya
untuk menghubungkan tentang peradaban Timor memiliki keterkaitan dengan Jawa di
masa lampau yang tentunya berhubungan dengan kerajaan Majapahit. Sedangkan
hubungan Majapahit lainnya yang muncul dalam kesimpang siuran dalam berbagai
akun facebook adalah bahwa kerajaan Amabi merupakan pasukan Majapahit yang setelah
menaklukan Timor lalu memperkenalkan dirinya menyebut “kulo wong Jawi” namun karena ketidak mampuan orang Timor
mengatakan Jawi maka pelafalan berubah menjadi “Jabi” sehingga disebutkan bahwa
suku Amabi di Timor adalah keturunan pasukan Majapahit. Bagaimanapun kemudian
kesimpang siuran penaklukan Majapahit berlanjut juga pada salah satu artikel
yang ditulis oleh seorang guru pada Kompasiana.com (27 april 2017-menelisik kerajaan Kupang, salah satu dari empat kerajaan
besar di pulau Timor).
Yang lebih unik
lagi adalah penjelasan yang pernah disampaikan oleh seorang pejabat daerah
kepada saya bahwa dahulu tradisi lisan yang menyebut tentang peristiwa perang Boluk di Niki-Niki adalah serbuan pasukan
Hayam Wuruk dari Majapahit. Namun karena orang Timor tidak mampu melafalkan
kata yang berisi huruf “w” dan “r” maka penyebutan Wuruk secara dialek berubah menjadi Boluk.
Mengintip
bukti-bukti yang simpang siur
Dari
pendapat-pendapat diatas, nampaknya Hayam Wuruk dan Majapahitnya telah terkunci
rapat di dalam sebuah ruangan sehingga dapat disimpulkan bahwa memang kisah Majapahit
pernah menaklukan Timor tidak dapat dibantah lagi dan mereka telah berada di
ruangan yang tepat dan nyaman sehingga tidak ada yang tergoda untuk membawa
mereka keluar dari ruangan ini. Dengan semua keterbatasan, saya terdorong untuk
mengintip Hayam Wuruk dan Majapahitnya di balik lubang kunci pintu sambil
menghitung dan menganalisa bukti-bukti yang berhasil menguncinya dalam ruangan
yang sejuk dan aman ini.
Pertama
tentang pilu atau destar batik yang digunakan secara luas oleh orang Timor
sebagai bagian dari pakaian adat orang Timor benarkah merupakan warisan
Majapahit?. Seperti yang kita ketahui bahwa kerajaan Majapahit bangkit sebagai
sebuah kerajaan tahun 1293 dan berakhir pada tahun 1478 masehi atau ada juga yang memperkirakan
tahun 1518. Anggaplah Majapahit berhasil menaklukan pulau Timor menjelang
keruntuhannya tahun 1500 sehingga bila dikaitkan dengan destar atau pilu batik
maka dapat diasumsikan bahwa semenjak tahun 1500 destar batik telah dipakai
oleh orang Timor. Namun sayangnya tidak ada bukti catatan yang menunjukan bahwa
memang orang Timor telah menggunakan pilu/ destar batik sejak tahun tersebut.
Menyimak pendapat
ini, maka saya tergugah pada salah satu laporan Komisaris Johannes Andreas Paravicini
yang melaporkan bahwa pada
tanggal 20 Mei 1756 (Prof.
Hans Hägerdal, Archival Notes on Timor in the VOC period, National
archief, Den Haag) menyebutkan
bahwa orang-orang Amanuban menemui komisaris Paravicini di Kupang setelah
orang-orang Amanuban memenangkan pertempuran melawan Portugis di Noemuti.
Disebutkan bahwa kedatangan 300 prajurit (Meo) ini menari-nari di antara dua
kepala yang terpenggal dan seluruh orang-orang Amanuban itu berpakaian perang
yang indah dengan ikat kepala dari linen putih dihiasi bulu burung. Di
pergelangan kaki mereka terpasang gelang perak dengan gerigi-gerigi kecil sehingga
ketika mereka menggerakkan kaki mereka memperdengarkan suara yang menakutkan (Konflik Politik di Timor Tahun 1600-1800an
halaman 53). Nampaknya hingga tahun 1756 (atau 238 tahun sejak keruntuhan
Majapahit) orang Timor masih belum memakai destar atau pilu dari batik tetapi
dari kani linen putih.
Lalu
sejak kapan orang Timor memakai destar batik di kepalanya?. Mengenai ini juga
kita tidak begitu mengetahuinya sebab kita belum menemukan rujukan mengenai itu.
Namun kita dapat menelusuri perdagangan batik itu sendiri di kawasan Nusantara
atau terutama di Timor. Menurut laporan Tom Pires dalam Suma Oriental (1468-1540) yang pernah mengunjungi Nusantara termasuk
Timor tahun 1500-an menyebutkan bahwa “pulau-pulau
di sebelah timur Jawa ini banyak menghasilkan bahan makanan, kain, kuda dan
budak (laki-laki dan perempuan). Selanjutnya barang-barang dan budak-budak ini
dijual ke Jawa (Dr. I Gde Parimartha, Perdagangan & Politik di Nusa
Tenggara 1815-1915, hal. 134-135). Menurut penjelasan Dr. Parimartha bahwa
Timor merupakan salah satu penghasil kain tenun selain lilin dan cendana. Namun
kemudian kain-kain tradisional ini nampaknya semakin terdesak oleh perdagangan
kain yakni bahan pakaian dari luar seperti : Jawa, Makasar dan Eropa. Akhirnya kain
tenun bertahan hanya untuk
pemenuhan kebutuhan yang bersifat pribadi saja terutama semenjak tahun 1880 orang-orang
cina peranakan di jawa telah berhasil membuat batik cap, maka kain batik
menjadi lebih murah dan semakin mudah diperoleh. Menurut hemat saya, semenjak
tahun 1880 itulah orang Timor mulai memakai batik sebagai destar di kepalanya. Bandingkan
dengan sekarang 1 lembar tenun Timor terbaik bisa seharga Rp 1.000.000 - Rp. 1.500.000,-
sedangkan batik cap yang cukup bagus coraknya hanya seharga Rp. 27.500.-
Pendapat
selanjutnya tentang kata Usif/ Usi yang
dianggap merupakan kata serapan dari kata Gusti
adalah tidak mendasar. Usi/ Usif merupakan bahasa Atoni yang dapat
diartikan sebagai “raja atau bangsawan”. Namun perlu kita menelusuri beberapa
hal yang perlu kita teliti secara cermat. Sesungguhnya kata “raja” yang paling
sering digunakan oleh orang Atoni beberapa abad yang lalu adalah “Nai” dan ini dapat dibuktikan oleh beberapa
hal yang saya coba paparkan berikut. Dalam tradisi lisan dapat ita ketahui
bahwa penyebutan para peguasa asli disebut Nai
Mna’ Pah Balla’ dan penyematan kata ini masih dapat kita temui di beberapa
tempat sekarang walaupun umumnya sudah bergeser ke kata Usif, namun masih kita
temui dalam kata Naimnuke’.
Selanjutnya,
menurut laporan-laporan VOC bahwa penyebutan terhadap raja pada tahun 1600-1700
adalah Nai dan setelah peristiwa perang Penfui (tahun 1749), Liurai Sonbai yang
memimpin kerajaan Sonbai pada waktu itu disebut Nai Baob Sonbai. Juga raja Wewiku pada waktu itu disebut Nai Liu dan juga raja-raja yang lainnya.
Namun pada tahun 1800-an ucapan Nai dari kalangan Atoni bergeser ke kata Usif
karena beberapa sebab. Kata Usi sebenarnya hanya dilekatkan pada pribadi
Supernatural yakni Usi Neno/ Uis Neno
(Tuhan/ Dewa Langit) sebagai penguasa tertinggi. Pada tahun 1850an keadaan politik kerajaan-kerajaan Atoni
mengalami guncangan dari dalam kerajaannya itu sendiri karena pemberontakan dan
pembelotan bawahannya baik itu ke pihak Belanda atau Portugis dan para raja
memerlukan legitimasi yang lebih tegas tentang kedudukan raja. Untuk itu
dipinjamlah istilah dari langit ini dan menjadi Usi/ Usi Pah sebagai legitimasi bahwa jabatan raja merupakan
perpanjangan tangan dari Tuhan/ Usi Neno sehingga diasumsikan bahwa siapa yang
melawan raja sama seperti melawan Uis Neno.
Walaupun ini sedikit efektif namun tidak banyak merubah keadaan sebab
kemudian faksi-faksi pemberontak juga menggunakan kata yang sama untuk dirinya
sendiri.
Asumsi
berikutnya yang sedang ramai-ramainya di dunia maya bahwa Amabi atau Jabi
berasal dari kata “kulo wong Jawi” dan menurut saya ini masih perlu penelitian
yang lebih teliti. Namun ini tergantung dari anggapan masing-masing terutama
dari keturunan orang-orang Amabi apakah asumsi ini benar atau tidak. Namun satu
hal, bahwa saya pribadi tidak pernah mendengar asumsi ini dalam satu tradisi
lisan manapun sebaliknya saya mendengar dari seorang penutur bernama Daniel Babys
bahwa Jabi berasal dari tanah Persia/ Babel namun ada juga yang berpendapat
bahwa Jabi berasal dari daerah India yakni Punjabi. Namun perlu di ingat bahwa
ini hanya tradisi lisan dan juga asumsi sehingga kebenaran dari asumsi ini
tergantung daya terima kita masing-masing. Nampaknya pendapat dari kata “Kulo
wong Jawi” maupun kata “Punjabi” memiliki kesamaan dalam hal benar maupun tidak
benarnya.
Berikut
lagi adalah tentang perang Boluk yang merupakan serbuan serbuan pasukan Hayam
Wuruk merupakan kekeliruan yang tidak dapat diterima akal sehat. Perang Boluk
adalah peritiwa penyerbuan Belanda untuk pertama kalinya ke pusat pemerintahan
Amanuban di Niki-Niki pada tahun 1820 dibawah komando Resident Jacobus Arnoldus
Hazaart. Tujuan Hazart adalah untuk memusnahkan kerajaan Amanuban yang sangat
dibencinya itu namun usahanya mengalami kegagalan. Serbuan Hazaart berikutnya
adalah tahun 1822 namun hasil dari serbuan Hazaart ini tidak lebih baik lagi
dari tahun 1820. Saat itu jumlah pasukan yang dikerahkan oleh Hazaart adalah
11.000 orang dan untuk menghadapinya raja Amanuban mempersiapkan 6.000 pasukan
dengan 2.000 diantaranya adalah pasukan kavaleri (pasukan berkuda dengan
senjata yang terlatih) yang sangat kenamaan dan mematikan. Untuk kemampauan orang-orang
Amanuban yang dengan lihai menghadapi pasukan Belanda itu, maka Prof. Hans
Hägerdal mempadankan meo-meo Amanuban ini hanya dengan pengikut Pindaris dari
India. Dengan banyaknya pasukan Hazaart yang belasan ribu itu, maka mereka disebut
Boluk sebab berasal dari kata Belanda yakni “Bulk” yang artinya “Massal”. Nampaknya peristiwa perang Boluk ini tidak diikuti oleh
Hayam Wuruk sebab sang raja Hayam Wuruk telah mangkat 400 tahun sebelum
peristiwa perang Boluk ini terjadi. Sangat disayangkan bila asumsi-asumsi ini
bukan saja keliru namun juga sangat merusak fakta-fakta sejarah.
Nasib Sejarah Lokal
Sejarah lokal kita di Timor sangat miris dan terancam
oleh asumsi-asumsi yang keliru. Hampir beberapa bagian kisah dipelajari dengan
konsep-konsep yang ambigu dan paradoks bahkan asumsi-asumsi dari tradisi lisan era baru yang sering
digunakan tanpa memikirkan akibat ke depan. Mengapa saya menggunakan kata “tradisi
lisan era baru?” sebab kemudian jelas bahwa asumsi-asumsi dari era baru dalam
sejarah tradisi lisan mengalami interpolasi (penyusupan-penyusupan) kisah yang
sebenarnya tidak pernah ada menjadi seolah-olah ada. Selebihnya adalah
kesedihan hati saya bahwa begitu terkenalnya kisah Majapahit mampu mengubur
kisah-kisah epik dari Timor itu sendiri yang kemudian yang terjadi di kota SoE yaitu
penamaan jalan raya seperti jalan Gajah Mada dan jalan Hayam Wuruk adalah
jalan-jalan utama dari kota SoE sedangkan pahlawan-pahlawan lokal kita sama
sekali tidak disebutkan dalam nama-nama jalan di kota SoE bahkan untuk
gang-gang tikusnya. Namun apalah arti sebuah nama sebab artikel singkat dan
tidak penting ini sebenarnya bukan tentang tentang “hilangnya kisah Majapahit di Timor” tetapi sebenarnya adalah “Kisah dan sejarah Timor yang terhilang di
Pulau Timor itu sendiri”. Demikian dan salam damai sejahtera....
Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
Bisa diterima... Kereeennn
BalasHapusKisah yg dipaparkan ini memang baik dan menarik. Dan saya ucapkan banyak terimakasih Krn melalui apa yg dipaparkan ini dptlah kita lebih giat lagi melakukan penelusuran ttg Gajahmada dan PILU' yg ada di Timor ini. Selain itu kata usi, usif dan naiyuf. Dan kata Nai bagi org Dawan ada buktinya. Mudah mudahan apa yg disampaikan oleh sahabat di atas menjadi rujukan utk mengenal yg sebenarnya. Mksh dan mohon maaf sobat.
HapusBagaimana dengan wisnu dan uisneno
BalasHapusMemang secara fonetik kedengarannya hampir sama tapi bila kita menelusuri lebih dalam ada perbedaan yang mencolok. Wisnu adalah sesembahan agama hindu dan rupa wisnu dapat dirupakan dalam rupa pahatan patung. Sedangkan Uisneno tidak bisa. Uisnen dipandang sebagai "Apakaet" = pencipta tidak bisa dirupakan dalam bentuk apapun. Sedangkan Uis Oe = Dewa air adalah buaya. Penyembahan terhadap pohon-pohon atau batu bukan ditujukan kepada Uis Neno tapi kepada roh-roh nenek moyang yang dalam keyakinan orang Atoni kuno mereka tetap hidup tapi di alam yang berbeda. Ini tergambar jelas bila seorang bersumpah atas nama nenek moyang akan berkata "maut he hit nai am be' es lupit aom bian nokan nen artinya "biar kakek dan nenek kita yang berada di dinding sebelah ikut mendengar". Menurut mereka kita hidup dalam rumah yang sama tapi dipisahkan oleh dinding. Lagipula bila Uis Neno adalah Wisnu makan setidaknya ada corak Hindu dalam penyembahan orang Atoni kuno termasuk artefak-artefak Hindu. Pada kenyataannya Uis Neno tidak boleh diserupakan dalam benda apapun di dunia karena memang tidak ada yang pernah tau bagaimana rupa Uis Neno itu sendiri. Demikian penjelasan saya dan terima kasih
HapusUlasan yg luar biasa..mantap naimnuke Pina Nope
HapusUlasan yang masuk akal dapat diterima usi Pina Ope Nope 🙏
HapusMantap dan luar biasa Ulasannya Usi Nope, menjadi pelajaran penting bagi generasi generasi yg akan dtg, sehingga sejarah Di Timor harus ditegakan.
BalasHapusMakasih Sodara
HapusLuar bisa pina nope..
BalasHapusMakasih ....
HapusOrang2 majapahit ke timor hanya dalam hal perdagangan cendana,lilin dll dan tdk menguasai timor karna tdk terbukti"setiap singgahan majapahit seharusnya ada candi maupun arca" lagipula org timor tdk pernah memberikan UPETI kepada MAJAPAHIT" org timor memiliki NAI/USIF sendiri disetiap kerajaan timor. Sejarah majapahit yg masuk dlm pendidikan sekolah d indonesia hanya untuk mengikat NKRI yg katanya harga mati bukan mati harga.
HapusSetuju kalau hubungan orang jawa dan timor hanya sebatas hubungan dagang tidak
HapusPerfect ulasannya nai Nope...
BalasHapusMakasih nai
HapusMakasih nai
HapusMakasih...
BalasHapusPenjelasan2 dan semua ulasan logis Kaka Nope..
BalasHapusKalau utk nama jalan di kota So E, Jl. Bill Nope sudah ada to Kaka ☺.
Dan Jl. Kusa Nope juga ada di Kab.TTS ☺
Memang Nope tapi belakangan su dirubah. Jl Kusa Nope kayaknya su perlahan-lahan jagi Jl. Bougenvil ko apa ko, sedangkan beta jua liat ada yang bilang Jl. GOR Nekmese karena ruasnya pendek dan persis di bangunan GOR Nekmese. Sedangkan Jl. Bill Nope memang ada ma itu di gang kampung sabu mungkin panjangnya 300 meter sa dan nampaknya ju sonde terlalu populer, paling banyak bilang Jl. Kampung Sabu.
BalasHapusTapi dari itu semua masih ada pahlawan-pahlwan dari Amanuban ada Don Louis Nope, Tubani Nope dll dari Sonbai ada Sobe Sonbai, ada Baob Sonbai ada Kau Sonbai. Dari Meo Amanuban ju ada Kohe Tauho sebagai Meo yang mengakui sebagai bagian dari perjuangan Usi DOn Louis.
Ruas Jalan Hayam Wuruk itu sekitar 600 meter dari sri solo sampai pasar Inpres ke bawah itu jalur arteri paling ramai. Jl. Gajah Mada itu yang paling panjang dari Kodim 1621 sampai cabang rumah sakit sekitar 1,5 km dan itu di jalur arteri Kupang-Atambua tapi posisinya di tengah kota. Tapi ya semoga kita pung pejabat dong segera berubah pikiran dan dicerahkan oleh Roh Kudus. GOR tu awalnya mau kasi nama GOR Kusa Nope beta tau karena perencanaan kami yang usaha tapi kemudian berubah jadi GOR Nekmese.
Mantap Nope. Uis Neno Nokan Kit
BalasHapusMakasih.....
HapusInspirasi
BalasHapusPencerahan yg luar biasa.
BalasHapusTerima kasih am usi Nope!
Tuhan Berkati!
Tulisan.yang menarik.
BalasHapusSukses pak.pina
Tentang penamaan pahlawan lokal tidak terbatas pada penamaan jalan. Contohnya nama Sobe Sonbay sekarang dijadikan nama latin untuk satu spesies serangga yang ditemukan oleh ahli fauna di pulau Timor.
BalasHapus