"KONFLIK POLITIK di TIMOR pada Tahun 1600-1800an" ditulis oleh Pina Ope Nope

SEJARAH PULAU TIMOR
"KONFLIK POLITIK di TIMOR pada Tahun 1600-1800an"
Perjalanan Amanuban dan Kerajaan Atoni Lainnya menentang Hegemoni bangsa Eropa atas Timor Tahun 1600-1800an
ditulis oleh Pina Ope Nope 



Bagian ini merupakan resume dari buku berjudul "KONFLIK POLITIK di TIMOR pada Tahun 1600-1800an". Diterbitkan oleh Prima Jaya Publishing. 
Resume ini sebagai pengantar guna memahami buku yang akan kami tawarkan ini. Kata pengantar oleh Profesor Hans Hägerdal, beliau adalah Professor Sejarah dari Department of Cultural Sciences Linnaeus University, Växjö-Swedia. Gelar akademis beliau untuk penelitiannya tentang sejarah di Nusa Tenggara Timur.

a. Situasi Perdagangan dan Politik di Timor pada periode 1600-1800
Pada awal tahun 1600an bukan hanya cengkeh dari Maluku dan pala dari Banda tapi juga Cendana dari Timor menarik minat pihak VOC Belanda untuk meluaskan perdagangan di Nusantara. Bahkan pasokan cendana di dunia hampir seluruhnya berasal dari Timor dan jangan lupa perdagangan cendana adalah perdagangan yang paling menguntungkan bahkan hingga 300-400%. Ekspansi dagang VOC di kawasan Timor bermula dari penaklukan Apolonius Schotte atas pusat perdagangan Cendana orang Portugis di Solor pada 20 April 1613. Lalu pada bulan Juni mereka menginjakan kakinya di utara pulau Timor. Schot lalu bernegosiasi dengan raja Mena dan Asson di utara pulau bahkan dua agennya William Jocobis dan Melis Andriez berhasil mencapai Amanuban di selatan pulau. Selanjutnya pada tahun 1616 perwakilan VOC yakni Crijn van Raemburch mengadakan kontrak dengan Amanuban namun kemudian perjanjian ini mengalami kendala karena raja kesulitan untuk melaksanakan kewajibannya. Pada kunjungan VOC Belanda di tahun 1619, opperkoopman Meindert Pietersz dibunuh bersama serdadu-serdadu yang mengikutinya. Ternyata Amanuban saat itu telah terpengaruh oleh orang Portugis Hitam (Topas Larantuka) yang disebut Larantuqueiros dan peristiwa ini membuat Amanuban dan VOC saling bermusuhan.
Nampaknya perdagangan Cendana juga menarik minat pedagang Makasar sehingga pada tahun 1641, orang-orang Timor harus menghadapi invasi pasukan dari Makassar di bawah pimpinan Sultan Mudaffar yang memimpin 6000-7000 pasukan. Namun dengan persatuan orang-orang Timor yang dipimpin oleh seorang Larantuqueiros bernama Francisco Fernandez berhasil mengalahkan invasi Makassar ini. Setelah perang ini berakhir, permusuhan antara Belanda dan Amanuban ini masih berlanjut hingga puncaknya pada tahun 1655 raja Amabi bersitegang  dengan Amanuban. Amabi lalu membentuk aliansi VOC dan Liurai Sonbai untuk memerangi raja-raja yang pro Portugis seperti Amanuban, Amarasi dan Amanatun. Akhirnya pecah perang yang puncaknya adalah perang Gunung Mollo di tahun 1657 atau dalam tradisi dikenang sebagai “Makenat na’ Jabi”. Sejak pecah perang ini, Belanda dan aliansinya mengalami kekalahan di tahun 1655 dengan kematian kepala benteng Solor bernama Jacob Verheyden yang ditugaskan untuk membantu Amabi. Satu tahun berikutnya (1656) pahlawan penaklukan Ambon Arnoldus de Vlaming van Oudshoorn bersama Ter Horst di kalahkan secara memalukan di Amarasi. Pada tahun 1657, aliansi Amabi dan Belanda dibawah komando Sersan Lambrecht Heyman sebanyak 42 kompi di hancurkan di puncak Gunung Mollo yang mengakibatkan pengungsian penduduk Amabi sebanyak 20.000 orang ke Kupang satu tahun berikutnya (1658).
Dengan kekalahan ini, maka secara praktis VOC Belanda hanya berkutat di kantung kecil Kupang dengan dibayang-bayangi oleh pasukan Amarasi dan Amanuban yang sering melakukan teror kepada Belanda di Kupang. Selama 150 tahun berikutnya Belanda “mati kutu” di Kupang dan tidak memiliki pengaruh nyata atas situasi perdagangan di pedalaman Timor. Dengan demikian maka Amanuban menempatkan dirinya sebagai sekutu terkuat Portugis, bahkan Francisco Viera de Figueiredo di tahun 1664 dalam salah satu laporannya berkaitan dengan Pertempuran Gunung Mollo ini menyebut “Amanuban” sebagai “the powerful on Timor and they have always been our friend and joined us in the war”-(yang terkuat di pulau Timor dan mereka telah menjadi teman kita dan akan selalu bersama kita dalam peperangan). Viera de Figueiredo sendiri adalah seorang sahabat dan pedagang kesayangan Sultan Hasanudin, raja Gowa Sulawesi Selatan yang kini kita kenal sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia dari Sulawesi Selatan.
Namun kemudian hubungan Amanuban dengan Portugis Putih menjadi rusak pada tahun 1703 berhubungan dengan peristiwa pemberontakan Portugis Hitam terhadap Capitao Moor di Lifau yang mengakibatkan salah satu keponakan raja Amanuban mati dalam pertempuran. Kejadian ini akhirnya menyeret Amanuban turut serta dalam pemberontakan Portugis hitam terhadap Kolonial Portugis Putih di Timor dan ini berlanjut dengan menyeret kerajaan-kerajaan lainnya. Satu tahun berikutnya (1704) Ekspedisi militer Portugis dengan mengerahkan 4.000 orang dan dilakukan untuk membalas Amanuban namun ternyata ekspedisi melawan Amanuban ini gagal bahkan membuat pasukan Portugis sebanyak 1.500 orang membelot dan menjadi desersi. Pada tahun 1711 hingga 1713 Sonbai juga memberontak terhadap Portugis.
Guna memerangi kedua kekuatan kolonial Belanda dan Portugis ini, maka pada tahun 1719, adik pemimpin Topas saat itu, Francisco de Hornay mengumpulkan seluruh raja-raja di Timor dan menggagas pertemuan para raja Timor di Suai Kamenassa. Mereka membuat perjanjian darah dengan mencampurkan darah anjing bernama "Lebo" dengan darah para raja dan bersumpah seorang dengan lainnya untuk saling membantu hingga mengusir Belanda dan Portugis putih dari tanah Timor ini. Efek dari perjanjian ini mulai terasa dimana selama 50 tahun berikutnya pulau Timor menjadi daerah perang terbuka atas raja-raja Timor menentang Portugis putih di Lifau dan Belanda di Kupang.
Sayangnya tindakan Portugis hitam yang kejam dan sadis terhadap sekutu-sekutunya mengecewakan sekutunya sehingga ketika menjelang perang Penfui pecah di tahun 1749 Liurai Sonbai (Nai Baob Sonbai), raja Amanuban (Seo Bill Nope) dan raja Amfoan menyeberang ke pihak Belanda di Kupang yang dengan senang hati menerima raja-raja ini dengan jumlah pasukan yang banyak, dan ini akhirnya menentukan arah perang Penfui di tahun itu. Akhirnya raja Amanuban, Sonbai dan Amfuang yang tadinya pro Portugis berbalik dan berperang di pihak Belanda dan ini kemudian dikonfirmasi oleh kekalahan yang mengerikan pihak Topas di Penfui. Setelah perang ini, Topas yang dahulu sangat ditakuti menjadi domain yang lemah dan tidak berdaya. Pengaruh politik berpindah ke tangan Belanda di Kupang.
Pada tahun-tahun berikutnya komisioner Johannes Andreas Paravicini menggagas sebuah kontrak yang di kemudian hari dikenal sebagai Kontrak Paravicini. Kontrak ini (ditandatangani tahun 1756) sesungguhnya merupakan kontrak persahabatan dimana para bangsawan diwajibkan untuk menjual hasil bumi hanya kepada VOC,uniknya ketentuan tentang cendana tidak tercantum dalam kontrak ini dan hanya lilin dengan harga sebesar 28 Rijkdalder setiap pikulnya. Walaupun setahun berikutnya dibuat perjanjian tentang harga cendana, namun ternyata kontrak ini tidak dapat mengekang para raja untuk tunduk.
Namun pergolakan politik raja-raja di Timor sangat sulit ditebak. Juga ternyata Portugis Hitam masih berusaha untuk membangun kembali pengaruhnya. Hal-hal diatas inilah yang kemudian membuat Belanda dan Portugis putih berusaha bersama-sama dalam upaya mereka untuk mengontrol situasi Politik di Timor. Untuk mencapai upaya itu, maka pada tahun 1761 Opperhoofd VOC/ Belanda di Kupang, Hans Albert von Pluskow menuju Lifau untuk mencoba menegosiasikan pemulihan Gubernur Portugis putih sekaligus mengambil langkah-langkah mengatasi kekacauan di Timor, namun ternyata von Pluskow sendiri malah di serang dan di bunuh oleh Francisco de Hornay dan Antonio da Costa saat von Pluskow di Lifau. Akhirnya dengan penyerangan dan pengepungan bertahun-tahun oleh Topas dan kerajaan-kerajaan Timor berhasil mendesak Portugis untuk memindahkan pusat perdagangannya. Pada malam tanggal 11 Agustus 1769 Gubernur Portugis putih yaitu José Antonio Telles de Menezes secara resmi meninggalkan Lifau dan berlayar ke timur untuk membangun sebuah pemukiman baru di Dili. Pada Bulan Oktober tahun itu mereka membangun kota Dilli dan inilah awal mula berdirinya kota Dili.
Pada periode berikutnya di tahun 1770 raja Amanuban Tubani Nope mengkudeta saudaranya Kobis Nope yang akhirnya membuat pihak Belanda di Kupang tidak memiliki kontrol apapun lagi terhadap Amanuban. Pada periode yang hampir bersamaan yakni tahun 1782, Liurai Sonbai, Kau Sonbai (Alphonsus Adrianus) memberontak terhadap Belanda dan memerangi sekutu-sekutu Belanda. Kaisar Sonbai ini akhirnya berhasil mengadu domba kedua Entitas Kolonial Portugis dan Belanda sehingga timbul ketegangan diantara kedua Entitas Kolonial Eropa ini. Pada tahun 1786, Kau Sonbai memimpin langsung serangan ke daerah jantung yang berada di bawah kendali langsung VOC dan perang ini menghabiskan biaya hidup sang raja Kupang, Kolang Tepak. Kapten William Bligh, yang tiba di Kupang pada 1789, berkomentar bahwa kerusakan dari perang-perang ini membawa situasi di mana terjadi kelangkaan bahan makanan dan barang lainnya dan efeknya masih bisa jelas di lihat pada saat dia menginap.
Pada tahun 1797 Inggris berusaha menduduki Kupang namun digagalkan oleh wakil Opperhodf Greeving yang memprovokasi sejumlah Madijkers dan penduduk di Amabi sehingga turun dan membantai serta memenggal serdadu Inggris. Peristiwa ini membuat para serdadu Inggris ketakutan lalu meninggalkan Kupang setelah membombardir pertokoan pedagang China di pesisir pantai. Pada tahun 1809, seorang keturunan campuran Belanda berkulit coklat bernama Jacobus Arnoldus Hazaart menduduki posisi sebagai Resident di Kupang dan dia adalah seorang yang jenius dan juga adalah musuh bebuyutan raja Amanuban saat itu Don Louis Nope II yang disebutnya “sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda di Timor”.
Pada tahun 1811, Inggris mencoba menduduki benteng Kupang untuk kedua kalinya namun gagal. Hazaart yang dibantu oleh para penembak jitu dari distrik Amabi mengepung dan menembaki musuh ke dalam benteng sehingga Inggris meninggalkan Kupang 17 jam kemudian. Namun akhir tahun itu juga Gubernur Hindia Belanda di Batavia menyerah kalah dan menyerahkan seluruh kepulauan Nusantara kepada Inggris. Akhirnya Inggris menduduki Kupang pada tahun 1812 dan Knibe ditunjuk sebagai wakil Inggris. Ternyata Knibe juga melaporkan tentang kegiatan Amanuban yang sangat menentang dan sering menyerang Kupang sebagai pusat pemerintahan Eropa di Timor. Knibbe selanjutnya menyebutkan bahwa permintaan raja-raja Kupang ini untuk melawan raja yang luar biasa memberontak yaitu raja Amanuban yang menurutnya untuk menghadapinya pemerintah Inggris haruslah selalu berhati-hati, namun ia tetap pada kesimpulannya bahwa pemerintah harus mengambil tindakan untuk melawan pangeran pemberontak ini.

b. Kepahlawanan Don Louis Nope II - raja Amanuban
Pada awal tahun 1800an, Amanuban diperintah oleh Raja yang sangat dikenal dengan nama Don Louis Nope II (nama Timornya adalah Kusa Nope). Ia adalah seorang terpelajar di Kupang dan menjadi anggota gereja Protestan. Perlawanan Kusa Nope juga masuk dalam pengamatan Freycinent, seorang pelancong Prancis yang mengunjungi Kupang saat itu. Selain Freycinent juga ada Jaques Arago yang melaporkan tentang kegiatan Raja ini. Pada tahun 1814, raja Amanuban Don Louis memimpin pasukan menyerbu sekutu Eropa di Kupang yakni Amabi dan untuk itu pemerintah di Kupang mempersiapkan pasukan dan senjata menghadapi Amanuban namun hasil ekspedisi dalam membela Amabi ini sangat mengecewakan bagi Inggris. Namun Inggris diuntungkan oleh karena musim penghujan yang telah tiba sehingga pasukan Amanuban ditarik kembali ke tanah airnya.
Namun pihak Eropa harus menghadapi Amanuban pada tahun berikutnya. Di tahun 1815 dan 1816 Don Louis menyerbu Kupang dengan diperkuat 6.000 pasukan dengan 2000 diantaranya adalah pasukan Kaveleri (pasukan berkuda bersenjata yang terlatih) dan untuk menghadapinya Hazaart menyiapkan 10.000 orang. Namun naas bagi pasukan Eropa penyerbuan ini mengakibatkan 60 pasukan Hazaart tewas sedangkan pihak Amanuban hanya 6 orang. Perang ini berlangsung hingga tahun 1816,  Inggris menyerahkan kembali Kupang kepada Belanda.
Pada tahun 1818, Hazaart menduduki Atapupu dan guna memotong jalur perdagangan senjata atas Amanuban dan kerajaan Atoni lainnya. Pada tahun 1820 Hazaart memulai penyerbuan ke pedalaman Amanuban. Walaupun ia mengerahkan 11.000  pasukan dan menggunakan arteleri berat dengan maksud memusnahkan Amanuban namun ternyata kemudian penyerbuan Hazaart ini gagal total dan kegagalan ini membuat Hazaart kecewa. Pada dua tahun berikutnya ia memimpin lagi pasukan menyerbu Amanuban sekali lagi dan ia mendapat bantuan dari raja Bilba-Rote Saba Theon namun Hazaart di kalahkan dan mundur sedangkan Saba Theon ditawan oleh pasukan Amanuban. Selanjutnya Hazaart meminta bantuan ke Batavia berupa persenjataan yang lebih lengkap dan artileri berat guna memerangi Amanuban namun Gubernur Jenderal di Batavia menolak, menilik pada pengalaman Eropa di Kupang sejak tahun 1600-1800 belum pernah sekalipun mengalahkan kerajaan ini dalam berbagai pertempuran, maka pembiayaan untuk memerangi Amanuban tidak dianggap efisien. Dengan demikian Hazaart tidak memiliki upaya nyata lagi untuk memerangi Amanuban. Pada periode bersamaan domain-domain Atoni lainnya juga masih menunjukan penolakan pada Belanda seperti Sonbai, Amfuang, Amarasi dan Wewiku Wehali.
Pada tahun 1828, Sonbai berkonfrontasi lagi dengan Belanda dan untuk itu dikirim utusan untuk bernegosiasi dengan Sonbai namun kekuatan Sonbai yaitu Fatuleu, Mollo (Oenam) dan Miomafo (Amakono) menolak untuk bekerja sama dengan Belanda. Pada Tahun 1847 keraaan-kerajaan ini (Amanuban. Sonbai dan Amfuang) bersekutu menyerang sekutu Belanda di Kupang. Sesungguhnya hingga tahun 1880-an kerajaan-kerajaan Atoni dan Belu masih merupakan domain-domain yang bebas dan merdeka yaitu, Wewiku-Wehali, Insana, Beboki, Jenilu, Lidak, Fialaran juga Ambeno dan Sonbai Besar walaupun laporan ke Batavia sebagai terhitung berada di bawah pengaruh Belanda, tetapi sebenarnya tindakan mereka sepenuhnya independen. Sedangkan Amanuban menjadi kerajaan yang benar-benar Independen dan bebas dari pengaruh Belanda. Uniknya kerajaan-kerajaan ini dahulu merupakan domain yang turut dalam kontrak Paravicini di tahun 1756. Mengenai ini seorang seorang kapten Skotlandia Alexander Hamilton yang di tahun 1727 mengunjungi Timor memberikan gambaran tentang situasi saat itu dengan deskripsi demikian :
“ini [para orang Timor] mengijinkan koloni Portugis Macao, untuk membangun Benteng di sana, yang mereka sebut Leiffew (Lifau), dan Kompeni Belanda yang disebut Coupang (Kupang), tetapi mereka tidak akan pernah menerima bila pemerintahan negara (kerajaan) mereka sendiri diganggu. Akhirnya mereka (orang Portugis dan Belanda) menemukan bahwa orang Timoreans tidak akan kehilangan kemerdekaannya hanya karena tidak takut bila (mereka) kehilangan darah untuk itu (halaman 42)”

b. Pemisahan pulau Timor (Barat dan Timur)
            Walaupun kedua entitas Eropa ini (Portugis dan Belanda) tidak memiliki pengaruh yang nyata atas pulau Timor, baik itu perdagangan, politik bahkan masyarakat atau tanah, namun perlu menurut pandangan Belanda dan Portugis untuk mengatasi kebuntuan  politik ini. Akhirnya pihak Belanda dan Portugis membuat perjanjian jual beli atas wilayah yang diakui oleh masing-masing pihak. Karena situasi in, maka Portugis menyepakati perundingan dengan Belanda di tahun 1851 dengan nilai pertukaran yang disepakati sebesar 200.000 Florin. Uniknya Timor bagian barat yang turut dijual Portugis adalah wilayah yang benar-benar merdeka kecuali daerah yang benar-benar dibawah kontrol Belanda dan Portugis. Namun ini dilakukan oleh pihak Portugis dengan harapan Belanda menghentikan ekspansinya ke Timor bagian timur sekaligus untuk mengambil alih wilayah itu dimana Portugis masih beranggapan bahwa wilayah-wilayah tersebut masih belum dapat di taklukannya. Menurut Pradjoko (Dosen/ Staff Pengajar pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya pada Universitas Indonesia) dalam makalahnya menyebutkan bahwa adalah suatu ironi telah terjadi pada waktu itu, sebagai  negara Portugis telah menjual daerah seberang lautan yang nyata-nyata tidak dikuasainya kepada negara Eropa lainnya [Belanda].
Pada kenyataannya Portugis tidak pernah mempunyai kekuatan untuk mendirikan basis militer, politik dan ekonominya di wilayah Timor bagian barat kecuali Timor bagian timur dan daerah enclave Oekussi. Sedangkan Prof. James Fox menggambarkan situasi dan kejadian-kejadian ironis yang muncul selama proses negosiasi Belanda-Portugis yang di tengahi oleh diplomasi pemerintah Perancis itu. Sementara mereka sedang melangsungkan perundingan atas wilayah-wilayah yang di akui oleh masing-masing pihak, pada interval musim kemarau di setiap tahunnya Belanda mengerahkan ekspedisi militernya untuk berperang di pedalaman Timor terutama untuk menghadapi domain Amanuban yang ekspansif dan kuat di pedalaman Timor. Lucunya, bahkan sementara proses negosiasi berlangsung, Gubernur Dili, Affonso de Castro, menggambarkan situasi dengan keterusterangan yang luar biasa. Ia berkata dengan sinis : “Kerajaan kami [pemerintahan Portugis] di pulau ini hanyalah sebuah ilusi (fiksi)”. Namun pemerintahan fiksi ini akhirnya berhasil menjual separuh pulau Timor kepada Belanda sebesar 200.000 florin.
Pada tahun 1880an terjadi banyak perpecahan dalam tubuh kerajaaan-kerajaan Atoni. Sonbai yang selama ini merupakan kerajaan yang paling luas dan berpengaruh akhirnya harus tercabik-cabik oleh pemberontakan bawahannya yakni Kono dan Oematan sehingga melemahkan kerajaan ini hingga pasifikasi yang lengkap oleh Belanda atas Sonbai pada tahun 1906. Sedangkan Amanuban pada tahun 1850an telah mengalami fragmentasi panjang dari kerabat-kerabat raja di Selatan seperti keluarga Banamtuan di Babuin, Fatukopa juga Meo-meo lainnya yang turut dalam pemberontakan ini. Akhirnya raja Amanuban harus lebih sibuk dari yang sudah-sudah yaitu harus menghadapi Belanda di Kupang, Portugis di Timur dan pemberontakan di dalam kerajaan itu sendiri hingga pasifikasi Belanda yang lengkap atas Amanuban pada tahun 1910 sedangkan Sonbai ditundukan pada tahun 1906 dan Kaisar Sobe Sonbai di tangkap dan dibuang. Sedangkan justru Amarasi ditundukan bukan dengan ekspedisi militer namun dengan kontrak-kontrak dan akte-akte. Ulasan-ulasan yang lebih lengkap yang menggambarkan situasi poltik di Timor dapat dibaca setelah buku ini ada di tangan anda.

c. Out of the Box
            Buku ini memaparkan fakta-fakta historis yang memang pada kenyataanya keluar dari kotak pandora kita yang telah terkukung oleh pola pemikiran sejarah dari belahan barat Indonesia. Pada kenyataannya bagian-bagian Timor tidak mengalami penjajahan Belanda selama 350 tahun seperti yang selama ini kita pelajari dalam dunia pendidikan. Misalnya Amarasi barulah mengalami penjajahan pada akhir tahun 1800an, Sonbai tahun 1906, Wewiku Wehali tahun 1908 dan Amanuban tahun 1910 sehingga lamanya penjajahan 350 tahun adalah pendapat yang absurd. Begitu juga tentang posisi Kupang yang selama ini terabaikan dalam pelajaran sejarah Nasional justru ternyata sebenarnya merupakan pelabuhan dagang yang memiliki arti penting bagi perdagangan guna menyokong eksistensi Batavia. Ternyata bukan hanya cengkeh dan pala saja namun Cendana juga memiliki peran penting dan benar-benar mempengaruhi perdagangan yang memiliki efek pada situasi Politik di kawasan Nusantara.
Bahkan beberapa hal yakni tentang “Mitos” senjata andalan melawan penjajah adalah “Bambu Runcing” merupakan blunder sejarah yang mengecilkan kita. Pada kenyataannya bambu runcing dan bahkan perisai sama sekali tidak dikenal oleh masyarakat Timor dalam usaha menentang hegemoni bangsa Eropa dan mengenai hal ini, para sejarahwan Eropa mengupasnya secara tajam dan menarik. Dr. Salomon Muller di tahun 1800an melaporkan dalam laporannya demikian
“Perdagangan senapan flintlock adalah perdagangan yang paling menguntungkan yang dapat dilakukan di Timor ... Senapan (flinflock) adalah kepemilikan penting di atas semua, adalah bagian paling penting dari warisan, dengan nilai paling mahal yang dapat lulus dari ayah ke anak: orang Timor memang akan merasa lebih mudah hidup dan lebih berbahagia tanpa rumah dan ternak, bahkan tanpa istri dan anak, daripada hidup tanpa senjata (1857, 2:234) "
Dr. I Gde Parimartha juga menulis demikian “Timor sebagai daerah yang bergolak dan banyak terjadi perang, maka kepemilikan senapan juga penting. Sesungguhnya jenis senjata api (vuurwapenen) telah lama diperkenalkan oleh orang-orang Kompeni Belanda”.
Juga dalam buku ini juga akan diketahui bahwa bagaimana upaya pemeliharaan dan pelestarian cendana yang membuat komoditi ini tetap bertahan dan lestari beratus-ratus tahun lamanya sebelum punah oleh regulasi pemerintah yang keliru. Dengan uniknya Politik di Timor berimbas juga pada proses pendudukan Inggris yang ternyata merupakan satu-satunya pos di seluruh Nusantara yang berhasil menggagalkan pendudukan Inggris.
            Dan jangan lupa ternyata hanya di Timor saja yang akan anda dapati bahwa satu-satunya di Nusantara ini yang memiliki pasukan Kavaleri (pasukan berkuda bersenjata yang terlatih) yang diperhitungkan oleh Belanda, bahkan orang-orang Timor disebut oleh orang Belanda sebagai “een stoutmoedig volk (orang-orang yang berani)”. Anda akan banyak belajar sedikit sejarah dari buku yang beralur cepat dan ringkas ini.
Buku ini dicetak dengan sistim print menggunakan mesin Digital Printing sehingga hasil cetakannya yang bagus.
Pemesanan buku ini dapat dilakukan melalui SMS atau Telepon ke Nomor HP 085239121425. Nomor WA 082123484459.
Atau langsung ke alamat
PINA OPE NOPE
Jl. Raya Niki-Niki (samping R.M Antika Raya)
Kelurahan Niki-Niki, Kab. TTS
Alamat email   pina.cvprimajaya@gmail.com

NB 
Buku ini telah dibedah dengan disponsori oleh UNIVERSITAS ARYA SATYA DEO MURI Kupang
Bedah buku telah dua kali yakni 

1. Pada tanggal 3 Mei 2019 di Neo Hotel by Aston oleh Dr. Nobertus Djelagus, PhD (Doktor Filsafat Politik lulusan Jerman yang sekarang menjadi Dosen di Universitas Khatolik UNIKA Kupang) dan juga oleh Dr. Zainul Wulla, M.Pd (Rektor Universitas Muhammadyah Kupang).

2. Pada tanggal 22 Mei 2019 di Aula Mutis Kantor Bupati TTS oleh Dr. Drs. Andreas Ande, M.Si (Dosen dan Doktor Sejarah pada Universitas Nusa Cendana Kupang) dan Drs. Seperius E. Sipa, M.Si (Kepala DInas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Selatan).



         Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.

Komentar

  1. Luar biasa Kk terkasih..Maju terus dalam segala hal..IMANUEL

    BalasHapus
  2. Waow...
    Apakah Bukunya masih ada????

    BalasHapus
  3. Suatu labgkah maju..namun masih banyak kekurangan buku..sebagian besar telah ditulis oleh habs hagerdal.. penulis hanya mebgumpulkan bhn dari buku buku yg telah ada..mustinya harus meneliti secara mendalam.judulnya menarik isinya kontradikrif.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Kusa. Bta juga harap Kusa ju tulis buku yg isinya sepadan

      Hapus
  4. Terima kasih untuk masukannya... Sumber saya bukan hanya Prof. Hans hagerdall tapi dari Dr. i gde parimartha,dr. Stefen Farram, piter spillet, bahkan sebenarnya kerangkanya dari prof. James Fox. Juga laporan misionaris W.M Doonselaar, Krayer Van Allasst dll. Maaf kalau kritik mohon sdh baca bukunya baru kritik jangan dari resume saja. Terima kasih

    BalasHapus
  5. Sangat Berkesan Sekali. Terimakasih

    BalasHapus
  6. Luar biasa!
    Trima kasih ats catatan sejarah pulau timor yang telah anda sampaikan.
    Tuhan Yesus membrkatimu

    BalasHapus
  7. Beta mau tanya Arti Nama kepulauan Timor..??Nama Timor sendiri itu berasal dari kata atau bahasa mana?? Dan apa artinya nama tersebut??Makasaih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada bnyak pendapat tentang itu... Dari salah satu tokoh dari mollo mengatakan bahwa dari kata "Pah bi timo" ada juga yg berpendapat dari kata asing "time or" dan masih bnyak pendapat lainnya. Sampai sekarang belum ada konsensus ttg itu dan juga belum ada penilitian yg komprehensif ttg itu

      Hapus
  8. Makasih,,
    Buat kami generasi muda perlu mengetahuinya,,

    BalasHapus
  9. Terima kasih. Buku ini sangat bagus.apakah bisa dpt buku aslinya dan bagaimana caranya?

    BalasHapus
  10. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  11. Buku masih ada ya? Saya orang SUAI KAMANASSA..TIMOR LESTE .dan ingin tau sejarah para raja dari dari Suai kamenassa yang menentang para kolonial

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH TIMOR : KISAH HILANGNYA PENGARUH MAJAPAHIT DI PULAU TIMOR

Seri Sejarah Timor : GUBERNUR PALING JENIUS DALAM SEJARAH KUPANG (Bagian I)

ANAK KANDUNG ATOIN METO' DALAM DUNIA POLITIK NASIONAL