"KONFLIK POLITIK di TIMOR pada Tahun 1600-1800an" ditulis oleh Pina Ope Nope
SEJARAH PULAU TIMOR
"KONFLIK POLITIK di TIMOR pada Tahun 1600-1800an"
Perjalanan Amanuban dan Kerajaan Atoni Lainnya menentang Hegemoni bangsa Eropa atas Timor Tahun 1600-1800an
"KONFLIK POLITIK di TIMOR pada Tahun 1600-1800an"
Perjalanan Amanuban dan Kerajaan Atoni Lainnya menentang Hegemoni bangsa Eropa atas Timor Tahun 1600-1800an
ditulis oleh Pina Ope Nope
Bagian ini merupakan resume dari buku berjudul "KONFLIK POLITIK di TIMOR pada Tahun 1600-1800an". Diterbitkan oleh Prima Jaya Publishing.
Resume ini sebagai pengantar guna memahami buku yang akan kami tawarkan ini. Kata pengantar oleh Profesor Hans Hägerdal, beliau adalah Professor Sejarah dari Department of Cultural Sciences Linnaeus University, Växjö-Swedia. Gelar akademis beliau untuk penelitiannya tentang sejarah di Nusa Tenggara Timur.
a. Situasi Perdagangan dan Politik di Timor
pada periode 1600-1800
Pada awal tahun 1600an bukan hanya cengkeh dari Maluku
dan pala dari Banda tapi juga Cendana dari Timor menarik minat pihak VOC
Belanda untuk meluaskan perdagangan di Nusantara. Bahkan pasokan cendana di
dunia hampir seluruhnya berasal dari Timor dan jangan lupa perdagangan cendana
adalah perdagangan yang paling menguntungkan bahkan hingga 300-400%. Ekspansi
dagang VOC di kawasan Timor bermula dari penaklukan Apolonius Schotte atas
pusat perdagangan Cendana orang Portugis di Solor pada 20 April 1613. Lalu pada
bulan Juni mereka menginjakan kakinya di utara pulau Timor. Schot lalu
bernegosiasi dengan raja Mena dan Asson di utara pulau bahkan dua agennya
William Jocobis dan Melis Andriez berhasil mencapai Amanuban di selatan pulau.
Selanjutnya pada tahun 1616 perwakilan VOC yakni Crijn van Raemburch mengadakan
kontrak dengan Amanuban namun kemudian perjanjian ini mengalami kendala karena
raja kesulitan untuk melaksanakan kewajibannya. Pada kunjungan VOC Belanda di
tahun 1619, opperkoopman Meindert Pietersz dibunuh bersama serdadu-serdadu yang
mengikutinya. Ternyata Amanuban saat itu telah terpengaruh oleh orang Portugis
Hitam (Topas Larantuka) yang disebut Larantuqueiros dan peristiwa ini membuat
Amanuban dan VOC saling bermusuhan.
Nampaknya perdagangan Cendana juga menarik minat
pedagang Makasar sehingga pada tahun 1641, orang-orang Timor harus menghadapi
invasi pasukan dari Makassar di bawah pimpinan Sultan Mudaffar yang memimpin
6000-7000 pasukan. Namun dengan persatuan orang-orang Timor yang dipimpin oleh seorang
Larantuqueiros bernama Francisco Fernandez berhasil mengalahkan invasi Makassar
ini. Setelah perang ini berakhir, permusuhan antara Belanda dan Amanuban ini
masih berlanjut hingga puncaknya pada tahun 1655 raja Amabi bersitegang
dengan Amanuban. Amabi lalu membentuk aliansi VOC dan Liurai Sonbai untuk
memerangi raja-raja yang pro Portugis seperti Amanuban, Amarasi dan Amanatun.
Akhirnya pecah perang yang puncaknya adalah perang Gunung Mollo di tahun 1657
atau dalam tradisi dikenang sebagai “Makenat
na’ Jabi”. Sejak pecah perang ini, Belanda dan aliansinya mengalami
kekalahan di tahun 1655 dengan kematian kepala benteng Solor bernama Jacob
Verheyden yang ditugaskan untuk membantu Amabi. Satu tahun berikutnya (1656)
pahlawan penaklukan Ambon Arnoldus de Vlaming van Oudshoorn bersama Ter Horst
di kalahkan secara memalukan di Amarasi. Pada tahun 1657, aliansi Amabi dan
Belanda dibawah komando Sersan Lambrecht Heyman sebanyak 42 kompi di hancurkan
di puncak Gunung Mollo yang mengakibatkan pengungsian penduduk Amabi sebanyak
20.000 orang ke Kupang satu tahun berikutnya (1658).
Dengan kekalahan ini, maka secara praktis VOC Belanda
hanya berkutat di kantung kecil Kupang dengan dibayang-bayangi oleh pasukan
Amarasi dan Amanuban yang sering melakukan teror kepada Belanda di Kupang.
Selama 150 tahun berikutnya Belanda “mati kutu” di Kupang dan tidak memiliki
pengaruh nyata atas situasi perdagangan di pedalaman Timor. Dengan demikian
maka Amanuban menempatkan dirinya sebagai sekutu terkuat Portugis, bahkan
Francisco Viera de Figueiredo di tahun 1664 dalam salah satu laporannya
berkaitan dengan Pertempuran Gunung Mollo ini menyebut “Amanuban” sebagai “the powerful on Timor and they have always
been our friend and joined us in the war”-(yang terkuat di pulau Timor dan
mereka telah menjadi teman kita dan akan selalu bersama kita dalam peperangan).
Viera de Figueiredo sendiri adalah seorang sahabat dan pedagang kesayangan
Sultan Hasanudin, raja Gowa Sulawesi Selatan yang kini kita kenal sebagai salah
satu pahlawan nasional Indonesia dari Sulawesi Selatan.
Namun kemudian hubungan Amanuban dengan Portugis Putih
menjadi rusak pada tahun 1703 berhubungan dengan peristiwa pemberontakan
Portugis Hitam terhadap Capitao Moor di Lifau yang mengakibatkan salah satu
keponakan raja Amanuban mati dalam pertempuran. Kejadian ini akhirnya menyeret
Amanuban turut serta dalam pemberontakan Portugis hitam terhadap Kolonial
Portugis Putih di Timor dan ini berlanjut dengan menyeret kerajaan-kerajaan
lainnya. Satu tahun berikutnya (1704) Ekspedisi militer Portugis dengan
mengerahkan 4.000 orang dan dilakukan untuk membalas Amanuban namun ternyata
ekspedisi melawan Amanuban ini gagal bahkan membuat pasukan Portugis sebanyak 1.500
orang membelot dan menjadi desersi. Pada tahun 1711 hingga 1713 Sonbai juga
memberontak terhadap Portugis.
Guna memerangi kedua kekuatan kolonial Belanda dan
Portugis ini, maka pada tahun 1719, adik pemimpin Topas saat itu, Francisco de
Hornay mengumpulkan seluruh raja-raja di Timor dan menggagas pertemuan para
raja Timor di Suai Kamenassa. Mereka membuat perjanjian darah dengan
mencampurkan darah anjing bernama "Lebo" dengan darah para raja dan
bersumpah seorang dengan lainnya untuk saling membantu hingga mengusir Belanda
dan Portugis putih dari tanah Timor ini. Efek dari perjanjian ini mulai terasa
dimana selama 50 tahun berikutnya pulau Timor menjadi daerah perang terbuka
atas raja-raja Timor menentang Portugis putih di Lifau dan Belanda di Kupang.
Sayangnya tindakan Portugis hitam yang kejam dan sadis
terhadap sekutu-sekutunya mengecewakan sekutunya sehingga ketika menjelang
perang Penfui pecah di tahun 1749 Liurai Sonbai (Nai Baob Sonbai), raja
Amanuban (Seo Bill Nope) dan raja Amfoan menyeberang ke pihak Belanda di Kupang
yang dengan senang hati menerima raja-raja ini dengan jumlah pasukan yang banyak,
dan ini akhirnya menentukan arah perang Penfui di tahun itu. Akhirnya raja
Amanuban, Sonbai dan Amfuang yang tadinya pro Portugis berbalik dan berperang
di pihak Belanda dan ini kemudian dikonfirmasi oleh kekalahan yang mengerikan
pihak Topas di Penfui. Setelah perang ini, Topas yang dahulu sangat ditakuti menjadi
domain yang lemah dan tidak berdaya. Pengaruh politik berpindah ke tangan
Belanda di Kupang.
Pada tahun-tahun berikutnya komisioner Johannes
Andreas Paravicini menggagas sebuah kontrak yang di kemudian hari dikenal
sebagai Kontrak Paravicini. Kontrak ini (ditandatangani tahun 1756)
sesungguhnya merupakan kontrak persahabatan dimana para bangsawan diwajibkan
untuk menjual hasil bumi hanya kepada VOC,uniknya ketentuan tentang cendana
tidak tercantum dalam kontrak ini dan hanya lilin dengan harga sebesar 28
Rijkdalder setiap pikulnya. Walaupun setahun berikutnya dibuat perjanjian
tentang harga cendana, namun ternyata kontrak ini tidak dapat mengekang para
raja untuk tunduk.
Namun pergolakan politik raja-raja di
Timor sangat sulit ditebak. Juga ternyata Portugis Hitam masih berusaha untuk membangun kembali
pengaruhnya. Hal-hal diatas inilah yang kemudian membuat Belanda dan Portugis putih
berusaha bersama-sama dalam upaya mereka untuk mengontrol situasi Politik di Timor.
Untuk mencapai upaya itu, maka pada tahun 1761 Opperhoofd VOC/ Belanda di
Kupang, Hans Albert von Pluskow menuju Lifau untuk mencoba menegosiasikan
pemulihan Gubernur Portugis putih sekaligus mengambil langkah-langkah mengatasi
kekacauan di Timor, namun ternyata von Pluskow sendiri malah di serang dan di bunuh
oleh Francisco de Hornay dan Antonio da Costa saat von Pluskow di Lifau. Akhirnya dengan penyerangan dan
pengepungan bertahun-tahun oleh Topas dan kerajaan-kerajaan Timor berhasil
mendesak Portugis untuk memindahkan pusat perdagangannya. Pada malam tanggal 11
Agustus 1769 Gubernur Portugis putih yaitu José Antonio Telles de Menezes
secara resmi meninggalkan Lifau dan berlayar ke timur untuk membangun sebuah
pemukiman baru di Dili. Pada Bulan Oktober tahun itu mereka membangun kota Dilli
dan inilah awal mula berdirinya kota Dili.
Pada periode berikutnya di tahun 1770 raja Amanuban
Tubani Nope mengkudeta saudaranya Kobis Nope yang akhirnya membuat pihak
Belanda di Kupang tidak memiliki kontrol apapun lagi terhadap Amanuban. Pada
periode yang hampir bersamaan yakni tahun 1782, Liurai Sonbai, Kau Sonbai (Alphonsus
Adrianus) memberontak terhadap Belanda dan memerangi sekutu-sekutu Belanda. Kaisar
Sonbai ini akhirnya berhasil mengadu domba kedua Entitas Kolonial Portugis dan Belanda
sehingga timbul ketegangan diantara kedua Entitas Kolonial Eropa ini. Pada
tahun 1786, Kau Sonbai memimpin langsung serangan ke daerah jantung yang berada
di bawah kendali langsung VOC dan perang ini menghabiskan biaya hidup sang raja
Kupang, Kolang Tepak. Kapten William Bligh, yang tiba di Kupang pada 1789,
berkomentar bahwa kerusakan dari perang-perang ini membawa situasi di mana
terjadi kelangkaan bahan makanan dan barang lainnya dan efeknya masih bisa
jelas di lihat pada saat dia menginap.
Pada tahun 1797 Inggris berusaha menduduki Kupang
namun digagalkan oleh wakil Opperhodf Greeving yang memprovokasi sejumlah
Madijkers dan penduduk di Amabi sehingga turun dan membantai serta memenggal
serdadu Inggris. Peristiwa ini membuat para serdadu Inggris ketakutan lalu
meninggalkan Kupang setelah membombardir pertokoan pedagang China di pesisir
pantai. Pada tahun 1809, seorang keturunan campuran Belanda berkulit coklat
bernama Jacobus Arnoldus Hazaart menduduki posisi sebagai Resident di Kupang
dan dia adalah seorang yang jenius dan juga adalah musuh bebuyutan raja
Amanuban saat itu Don Louis Nope II yang disebutnya “sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda di Timor”.
Pada
tahun 1811, Inggris mencoba menduduki benteng Kupang untuk kedua kalinya namun
gagal. Hazaart yang dibantu oleh para penembak jitu dari distrik Amabi
mengepung dan menembaki musuh ke dalam benteng sehingga Inggris meninggalkan
Kupang 17 jam kemudian. Namun akhir tahun itu juga Gubernur Hindia Belanda di
Batavia menyerah kalah dan menyerahkan seluruh kepulauan Nusantara kepada
Inggris. Akhirnya Inggris menduduki Kupang pada tahun 1812 dan Knibe ditunjuk
sebagai wakil Inggris. Ternyata Knibe juga melaporkan tentang kegiatan Amanuban
yang sangat menentang dan sering menyerang Kupang sebagai pusat pemerintahan
Eropa di Timor. Knibbe
selanjutnya menyebutkan bahwa permintaan raja-raja Kupang ini untuk melawan
raja yang luar biasa memberontak yaitu raja Amanuban
yang menurutnya untuk menghadapinya pemerintah Inggris haruslah
selalu berhati-hati, namun ia tetap pada kesimpulannya bahwa pemerintah harus
mengambil tindakan untuk melawan pangeran pemberontak ini.
b. Kepahlawanan Don Louis Nope II - raja Amanuban
Pada awal tahun 1800an, Amanuban diperintah oleh Raja
yang sangat dikenal dengan nama Don Louis Nope II (nama Timornya adalah Kusa
Nope). Ia adalah seorang terpelajar di Kupang dan menjadi anggota gereja
Protestan. Perlawanan Kusa Nope juga masuk dalam pengamatan Freycinent, seorang
pelancong Prancis yang mengunjungi Kupang saat itu. Selain Freycinent juga ada
Jaques Arago yang melaporkan tentang kegiatan Raja ini. Pada tahun 1814, raja Amanuban
Don Louis memimpin pasukan menyerbu sekutu Eropa di Kupang yakni Amabi dan
untuk itu pemerintah di Kupang mempersiapkan pasukan dan senjata menghadapi
Amanuban namun hasil ekspedisi dalam membela Amabi ini sangat mengecewakan bagi
Inggris. Namun Inggris diuntungkan oleh karena musim penghujan yang telah tiba
sehingga pasukan Amanuban ditarik kembali ke tanah airnya.
Namun pihak Eropa harus menghadapi Amanuban pada tahun
berikutnya. Di tahun 1815 dan 1816 Don Louis menyerbu Kupang dengan diperkuat
6.000 pasukan dengan 2000 diantaranya adalah pasukan Kaveleri (pasukan berkuda bersenjata
yang terlatih) dan untuk menghadapinya Hazaart menyiapkan 10.000 orang. Namun
naas bagi pasukan Eropa penyerbuan ini mengakibatkan 60 pasukan Hazaart tewas
sedangkan pihak Amanuban hanya 6 orang. Perang ini berlangsung hingga tahun
1816, Inggris menyerahkan kembali Kupang kepada Belanda.
Pada tahun 1818, Hazaart menduduki Atapupu dan guna memotong
jalur perdagangan senjata atas Amanuban dan kerajaan Atoni lainnya. Pada tahun
1820 Hazaart memulai penyerbuan ke pedalaman Amanuban. Walaupun ia mengerahkan
11.000 pasukan dan menggunakan arteleri berat dengan maksud memusnahkan
Amanuban namun ternyata kemudian penyerbuan Hazaart ini gagal total dan
kegagalan ini membuat Hazaart kecewa. Pada dua tahun berikutnya ia memimpin
lagi pasukan menyerbu Amanuban sekali lagi dan ia mendapat bantuan dari raja
Bilba-Rote Saba Theon namun Hazaart di kalahkan dan mundur sedangkan Saba Theon
ditawan oleh pasukan Amanuban. Selanjutnya Hazaart meminta bantuan ke Batavia
berupa persenjataan yang lebih lengkap dan artileri berat guna memerangi
Amanuban namun Gubernur Jenderal di Batavia menolak, menilik pada pengalaman
Eropa di Kupang sejak tahun 1600-1800 belum pernah sekalipun mengalahkan
kerajaan ini dalam berbagai pertempuran, maka pembiayaan untuk memerangi
Amanuban tidak dianggap efisien. Dengan demikian Hazaart tidak memiliki upaya
nyata lagi untuk memerangi Amanuban. Pada periode bersamaan domain-domain Atoni
lainnya juga masih menunjukan penolakan pada Belanda seperti Sonbai, Amfuang,
Amarasi dan Wewiku Wehali.
Pada tahun 1828, Sonbai berkonfrontasi lagi dengan
Belanda dan untuk itu dikirim utusan untuk bernegosiasi dengan Sonbai namun
kekuatan Sonbai yaitu Fatuleu, Mollo (Oenam) dan Miomafo (Amakono) menolak
untuk bekerja sama dengan Belanda. Pada Tahun 1847 keraaan-kerajaan ini
(Amanuban. Sonbai dan Amfuang) bersekutu menyerang sekutu Belanda di Kupang.
Sesungguhnya hingga tahun 1880-an kerajaan-kerajaan Atoni dan Belu masih merupakan
domain-domain yang bebas dan merdeka yaitu, Wewiku-Wehali, Insana, Beboki,
Jenilu, Lidak, Fialaran juga Ambeno dan Sonbai Besar walaupun laporan ke
Batavia sebagai terhitung berada di bawah pengaruh Belanda, tetapi sebenarnya
tindakan mereka sepenuhnya independen. Sedangkan Amanuban menjadi kerajaan yang
benar-benar Independen dan bebas dari pengaruh Belanda. Uniknya
kerajaan-kerajaan ini dahulu merupakan domain yang turut dalam kontrak
Paravicini di tahun 1756. Mengenai ini seorang seorang kapten Skotlandia
Alexander Hamilton yang di tahun 1727 mengunjungi Timor memberikan gambaran
tentang situasi saat itu dengan deskripsi demikian :
“ini [para orang Timor] mengijinkan
koloni Portugis Macao, untuk membangun Benteng di sana, yang mereka sebut
Leiffew (Lifau), dan Kompeni Belanda yang disebut Coupang (Kupang), tetapi
mereka tidak akan pernah menerima bila pemerintahan negara (kerajaan) mereka
sendiri diganggu. Akhirnya mereka (orang Portugis dan Belanda) menemukan bahwa
orang Timoreans tidak akan kehilangan kemerdekaannya hanya karena tidak takut
bila (mereka) kehilangan darah untuk itu (halaman 42)”
b. Pemisahan pulau Timor (Barat dan Timur)
Walaupun kedua entitas Eropa ini (Portugis
dan Belanda) tidak memiliki pengaruh yang nyata atas pulau Timor, baik itu
perdagangan, politik bahkan masyarakat atau tanah, namun perlu menurut
pandangan Belanda dan Portugis untuk mengatasi kebuntuan politik ini.
Akhirnya pihak Belanda dan Portugis membuat perjanjian jual beli atas wilayah
yang diakui oleh masing-masing pihak. Karena situasi in, maka Portugis
menyepakati perundingan dengan Belanda di tahun 1851 dengan nilai pertukaran
yang disepakati sebesar 200.000 Florin. Uniknya Timor bagian barat yang turut
dijual Portugis adalah wilayah yang benar-benar merdeka kecuali daerah yang
benar-benar dibawah kontrol Belanda dan Portugis. Namun ini dilakukan oleh
pihak Portugis dengan harapan Belanda menghentikan ekspansinya ke Timor bagian
timur sekaligus untuk mengambil alih wilayah itu dimana Portugis masih
beranggapan bahwa wilayah-wilayah tersebut masih belum dapat di taklukannya.
Menurut Pradjoko (Dosen/ Staff Pengajar pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya pada Universitas Indonesia) dalam makalahnya menyebutkan
bahwa adalah suatu ironi telah terjadi pada waktu itu, sebagai negara
Portugis telah menjual daerah seberang lautan yang nyata-nyata tidak
dikuasainya kepada negara Eropa lainnya [Belanda].
Pada kenyataannya Portugis tidak pernah mempunyai
kekuatan untuk mendirikan basis militer, politik dan ekonominya di wilayah
Timor bagian barat kecuali Timor bagian timur dan daerah enclave Oekussi.
Sedangkan Prof. James Fox menggambarkan situasi dan kejadian-kejadian ironis
yang muncul selama proses negosiasi Belanda-Portugis yang di tengahi oleh
diplomasi pemerintah Perancis itu. Sementara mereka sedang melangsungkan
perundingan atas wilayah-wilayah yang di akui oleh masing-masing pihak, pada
interval musim kemarau di setiap tahunnya Belanda mengerahkan ekspedisi
militernya untuk berperang di pedalaman Timor terutama untuk menghadapi domain
Amanuban yang ekspansif dan kuat di pedalaman Timor. Lucunya, bahkan sementara
proses negosiasi berlangsung, Gubernur Dili, Affonso de Castro, menggambarkan
situasi dengan keterusterangan yang luar biasa. Ia berkata dengan sinis : “Kerajaan kami [pemerintahan Portugis] di
pulau ini hanyalah sebuah ilusi (fiksi)”. Namun pemerintahan fiksi ini
akhirnya berhasil menjual separuh pulau Timor kepada Belanda sebesar 200.000
florin.
Pada tahun 1880an terjadi banyak perpecahan dalam
tubuh kerajaaan-kerajaan Atoni. Sonbai yang selama ini merupakan kerajaan yang
paling luas dan berpengaruh akhirnya harus tercabik-cabik oleh pemberontakan
bawahannya yakni Kono dan Oematan sehingga melemahkan kerajaan ini hingga
pasifikasi yang lengkap oleh Belanda atas Sonbai pada tahun 1906. Sedangkan
Amanuban pada tahun 1850an telah mengalami fragmentasi panjang dari kerabat-kerabat
raja di Selatan seperti keluarga Banamtuan di Babuin, Fatukopa juga Meo-meo
lainnya yang turut dalam pemberontakan ini. Akhirnya raja Amanuban harus lebih
sibuk dari yang sudah-sudah yaitu harus menghadapi Belanda di Kupang, Portugis
di Timur dan pemberontakan di dalam kerajaan itu sendiri hingga pasifikasi
Belanda yang lengkap atas Amanuban pada tahun 1910 sedangkan Sonbai ditundukan
pada tahun 1906 dan Kaisar Sobe Sonbai di tangkap dan dibuang. Sedangkan justru
Amarasi ditundukan bukan dengan ekspedisi militer namun dengan kontrak-kontrak
dan akte-akte. Ulasan-ulasan yang lebih lengkap yang menggambarkan situasi
poltik di Timor dapat dibaca setelah buku ini ada di tangan anda.
c. Out of the Box
Buku ini memaparkan fakta-fakta historis yang
memang pada kenyataanya keluar dari kotak pandora kita yang telah terkukung
oleh pola pemikiran sejarah dari belahan barat Indonesia. Pada kenyataannya
bagian-bagian Timor tidak mengalami penjajahan Belanda selama 350 tahun seperti
yang selama ini kita pelajari dalam dunia pendidikan. Misalnya Amarasi barulah
mengalami penjajahan pada akhir tahun 1800an, Sonbai tahun 1906, Wewiku Wehali
tahun 1908 dan Amanuban tahun 1910 sehingga lamanya penjajahan 350 tahun adalah
pendapat yang absurd. Begitu juga tentang posisi Kupang yang selama ini
terabaikan dalam pelajaran sejarah Nasional justru ternyata sebenarnya
merupakan pelabuhan dagang yang memiliki arti penting bagi perdagangan guna
menyokong eksistensi Batavia. Ternyata bukan hanya cengkeh dan pala saja namun
Cendana juga memiliki peran penting dan benar-benar mempengaruhi perdagangan
yang memiliki efek pada situasi Politik di kawasan Nusantara.
Bahkan beberapa hal yakni tentang “Mitos” senjata
andalan melawan penjajah adalah “Bambu Runcing” merupakan blunder sejarah yang
mengecilkan kita. Pada kenyataannya bambu runcing dan bahkan perisai sama
sekali tidak dikenal oleh masyarakat Timor dalam usaha menentang hegemoni
bangsa Eropa dan mengenai hal ini, para sejarahwan Eropa mengupasnya secara
tajam dan menarik. Dr. Salomon Muller di tahun 1800an melaporkan dalam
laporannya demikian
“Perdagangan senapan flintlock adalah perdagangan yang paling menguntungkan
yang dapat dilakukan di Timor ... Senapan (flinflock) adalah kepemilikan
penting di atas semua, adalah bagian paling penting dari warisan, dengan nilai
paling mahal yang dapat lulus dari ayah ke anak: orang Timor memang akan merasa
lebih mudah hidup dan lebih berbahagia tanpa rumah dan ternak, bahkan tanpa
istri dan anak, daripada hidup tanpa senjata (1857, 2:234) "
Dr. I Gde Parimartha juga menulis demikian “Timor sebagai daerah yang bergolak dan
banyak terjadi perang, maka kepemilikan senapan juga penting. Sesungguhnya
jenis senjata api (vuurwapenen) telah lama diperkenalkan oleh orang-orang
Kompeni Belanda”.
Juga dalam buku ini juga akan diketahui bahwa
bagaimana upaya pemeliharaan dan pelestarian cendana yang membuat komoditi ini
tetap bertahan dan lestari beratus-ratus tahun lamanya sebelum punah oleh
regulasi pemerintah yang keliru. Dengan uniknya Politik di Timor berimbas juga
pada proses pendudukan Inggris yang ternyata merupakan satu-satunya pos di
seluruh Nusantara yang berhasil menggagalkan pendudukan Inggris.
Dan jangan lupa ternyata hanya di Timor saja
yang akan anda dapati bahwa satu-satunya di Nusantara ini yang memiliki pasukan
Kavaleri (pasukan berkuda bersenjata yang terlatih) yang diperhitungkan oleh
Belanda, bahkan orang-orang Timor disebut oleh orang Belanda sebagai “een
stoutmoedig volk (orang-orang yang berani)”. Anda akan banyak belajar sedikit
sejarah dari buku yang beralur cepat dan ringkas ini.Buku ini dicetak dengan sistim print menggunakan mesin Digital Printing sehingga hasil cetakannya yang bagus.
Pemesanan buku ini dapat dilakukan melalui SMS atau Telepon ke Nomor HP 085239121425. Nomor WA 082123484459.
Atau langsung ke alamat
PINA OPE NOPE
Jl. Raya Niki-Niki (samping R.M Antika Raya)
Kelurahan Niki-Niki, Kab. TTS
Alamat email pina.cvprimajaya@gmail.com
NB
Buku ini telah dibedah dengan disponsori oleh UNIVERSITAS ARYA SATYA DEO MURI Kupang
Bedah buku telah dua kali yakni
1. Pada tanggal 3 Mei 2019 di Neo Hotel by Aston oleh Dr. Nobertus Djelagus, PhD (Doktor Filsafat Politik lulusan Jerman yang sekarang menjadi Dosen di Universitas Khatolik UNIKA Kupang) dan juga oleh Dr. Zainul Wulla, M.Pd (Rektor Universitas Muhammadyah Kupang).
2. Pada tanggal 22 Mei 2019 di Aula Mutis Kantor Bupati TTS oleh Dr. Drs. Andreas Ande, M.Si (Dosen dan Doktor Sejarah pada Universitas Nusa Cendana Kupang) dan Drs. Seperius E. Sipa, M.Si (Kepala DInas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Selatan).
NB
Buku ini telah dibedah dengan disponsori oleh UNIVERSITAS ARYA SATYA DEO MURI Kupang
Bedah buku telah dua kali yakni
1. Pada tanggal 3 Mei 2019 di Neo Hotel by Aston oleh Dr. Nobertus Djelagus, PhD (Doktor Filsafat Politik lulusan Jerman yang sekarang menjadi Dosen di Universitas Khatolik UNIKA Kupang) dan juga oleh Dr. Zainul Wulla, M.Pd (Rektor Universitas Muhammadyah Kupang).
2. Pada tanggal 22 Mei 2019 di Aula Mutis Kantor Bupati TTS oleh Dr. Drs. Andreas Ande, M.Si (Dosen dan Doktor Sejarah pada Universitas Nusa Cendana Kupang) dan Drs. Seperius E. Sipa, M.Si (Kepala DInas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Selatan).
Klik tombol tulisan SEJARAH TIMOR DAN DUNIA diatas tulisan ini lalu pilih postingan/ topik seru yang menarik lainnya.
Luar biasa Kk terkasih..Maju terus dalam segala hal..IMANUEL
BalasHapusWaow...
BalasHapusApakah Bukunya masih ada????
Bukunya masih banyak
BalasHapusHubungi nomor 085239121425
BalasHapusBerapa harga Bukunya,
HapusSuatu labgkah maju..namun masih banyak kekurangan buku..sebagian besar telah ditulis oleh habs hagerdal.. penulis hanya mebgumpulkan bhn dari buku buku yg telah ada..mustinya harus meneliti secara mendalam.judulnya menarik isinya kontradikrif.
BalasHapusTerima kasih Kusa. Bta juga harap Kusa ju tulis buku yg isinya sepadan
HapusTerima kasih untuk masukannya... Sumber saya bukan hanya Prof. Hans hagerdall tapi dari Dr. i gde parimartha,dr. Stefen Farram, piter spillet, bahkan sebenarnya kerangkanya dari prof. James Fox. Juga laporan misionaris W.M Doonselaar, Krayer Van Allasst dll. Maaf kalau kritik mohon sdh baca bukunya baru kritik jangan dari resume saja. Terima kasih
BalasHapusLuar biasa
BalasHapusSangat Berkesan Sekali. Terimakasih
BalasHapusLuar biasa!
BalasHapusTrima kasih ats catatan sejarah pulau timor yang telah anda sampaikan.
Tuhan Yesus membrkatimu
Wow. ..luar biasa
BalasHapusMinta merdeka saja.
BalasHapusDi mana kita bisa membeli buku ini?
BalasHapusBisa hubungi nomor 085239121425
HapusBeta mau tanya Arti Nama kepulauan Timor..??Nama Timor sendiri itu berasal dari kata atau bahasa mana?? Dan apa artinya nama tersebut??Makasaih
BalasHapusAda bnyak pendapat tentang itu... Dari salah satu tokoh dari mollo mengatakan bahwa dari kata "Pah bi timo" ada juga yg berpendapat dari kata asing "time or" dan masih bnyak pendapat lainnya. Sampai sekarang belum ada konsensus ttg itu dan juga belum ada penilitian yg komprehensif ttg itu
HapusMakasih,,
BalasHapusBuat kami generasi muda perlu mengetahuinya,,
Terima kasih. Buku ini sangat bagus.apakah bisa dpt buku aslinya dan bagaimana caranya?
BalasHapusHubungi no. 085239121425
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusTerimakasih kakak
BalasHapusBuku masih ada ya? Saya orang SUAI KAMANASSA..TIMOR LESTE .dan ingin tau sejarah para raja dari dari Suai kamenassa yang menentang para kolonial
BalasHapusSangat menarik sukses bapa
BalasHapusMenarik
BalasHapus