SUDUT PANDANG ADAT DALAM KASUS TANAH DI AMANUBAN (BAGIAN I)
SUDUT PANDANG ADAT
DALAM KASUS TANAH DI AMANUBAN
Mencermati sengketa tanah Suku
di ketemukungan Oenutnanan Oeana’ SoE
dan penetapan Kawasan Hutan Laob Tumbesi
Oleh : Pina Ope Nope
RASANYA
SULIT UNTUK PERCAYA, bahwa Hukum Modern Indonesia telah gagal memberikan
kepastian hukum terutama dalam kasus-kasus hukum yang hampir terjadi seluruh
pelosok Indonesia.
Dengan ditemukannya uang tunai sebesar Rp 5,7
miliar, 74 juta dolar Singapura, 1,9 juta dolar AS, 483 ribu dolar Hong Kong,
dan 71.200 euro yang keseluruhannya bila dikonversi ke rupiah senilai 920
Millyar. Ditemukan juga 51 kg emas di rumah mewah mantan Hakim Mahkamah Agung
RI – Zarof Ricar. Hal ini mengindikasikan adanya praktik mafia hukum dalam
lembaga peradilan tertinggi di Republik ini. Diperkirakan ia terlibat dalam berbagai rekayasa putusan
MA bahkan setelah ia pensiun. Sebuah predikat Makelar Kasus (Markus) yang umum kita dengar untuk pelaku mafia
hukum seperti ini cocok disematkan kepada oknum ini.
Terungkapnya kasus
ini hanyalah sebuah fenomena gunung es yang merisaukan banyak pihak yang
melihat dengan resah upaya penegakan hukum yang murni dan konsekwen. Selain
itu, ratusan kasus mulai dari penyidikan hingga penuntutan di lembaga peradilan
seolah telah mengepung hukum dan berusaha melumpuhkan rasa keadilan masyarakat Negara
Bangsa kita. Suatu ironi bahwa hukum diciptakan manusia berhati luhur yang
seharusnya berguna untuk mengepung kejahatan dan mafia, sebaliknya terkepung
oleh mafia itu sendiri.
Pertanyaan
mendasar pun muncul : apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Negara Bangsa” dan
apa penyebab kegagalan itu? Pertanyaan ini pertama ini penting untuk membuka
ruang refleksi kritis terhadap konsep negara
dan hukum dari perspektif yang lebih luas, dalam dan berimbang.
Sebagai
pendahuluan, saya menyentil sebuah artikel kebangsaan berjudul “Politik Kebangsaan dan Keadilan Sosial”
yang ditulis oleh Romo Posenti Sindhunata yang biasanya mengambil nama pena -
Sindhunata. Ia memberikan pandangannya tentang Negara Bangsa serta memberi
contoh yaitu suatu Bangsa bisa saja meliputi beberapa Negara misal : Jerman dan
Italia sampai pertengahan abad-19. Sebaliknya
suatu Negara bisa juga mencangkup beberapa bangsa, seperti Prusia di Jerman dan
Cekoslowakia di abad ke-20 hingga keterpecahannya baru-baru ini.
Merujuk pada pemikiran Sindhunata, maka Negara
Bangsa Indonesia dalam kerangka Republik Kesatuan (NKRI) yang terbentuk tahun
1950, itu sesungguhnya merupakan hasil peleburan berbagai bangsa melalui
pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS 1949) oleh Ir. Soekarno, maka ia dan
Muhammad Yamin telah mereduksi keberagaman ini menjadi satu identitas yaitu
bangsa Indonesia. Suatu penyederhanaan yang oleh sebagian orang dianggap
anakronistik.
Senada dengan itu, Sindhnata mengutip buah pikiran
Samuel P. Huntington, seorang Profesor pada Harvard University sekaligus
penulis buku terkenal “The Clash of
Civilizations and Remaking of the World Order”. Ia menyampaikan bahwa
sesungguhnya, bangsa-bangsa dan negara-negara itu berbeda secara mendasar.
Bangsa-bangsa adalah masyarakat etnis atau budaya, sumber jati diri untuk
masyarakat, sedangkan Negara adalah institusi Politik, sumber kekuasaan.
Menyatukan keduanya menjadi satu identitas tunggal, merupakan tantangan
terbesar yang seringkali [apabila dikelola secara keliru] gagal tercapai dalam
sejarah umat manusia.
Lebih jauh lagi,
Huntington di dalam artikelnya berjudul: “Benturan
Peradaban” menyebutkan bahwa bangsa merupakan sumber-sumber identitas yang
membentuk peradaban dan kemudian merefleksikan peradaban itu melalui
unsur-unsur seperti : bahasa, sejarah, agama, kebiasaan [hukum adat], institusi
[kelembagaan/ kerajaan], maupun melalui identifikasi diri yang subjektif.
Bangsa Atoni,
termasuk di dalamnya Amanuban, sebenanrya telah sejak lama memiliki semua unsur
tersebut—bahkan jauh sebelum terjadinya kolonialisme. Pdt. Francisco de Kristo
A. Jacob dalam risetnya yang mendalam, menyebutkan bahwa “Sebelum kehadiran VOC,
pulau Timor itu sendiri telah terbagi oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak hampir
serupa dengan sistim monarki konstitusional yang terdiri dari Raja (Usif) dan wakilnya (Uis Bala/ Uis Pala)”.
Oleh sebab itu,
eksistensi kebiasaan [hukum adat], institusi [kelembagaan/ kerajaan] telah
memiliki legitimasi hukum yang kuat. Oleh karenanya, sangat disayangkan sekali
bahwa dalam proyek besar negara bangsa Indonesia, identitas budaya, kebiasaan
dan institusi bangsa Atoni justru terpinggirkan.
Dalam artikel
kebangsaan lainnya yang berjudul “Kondisi
Sosial yang dibayangi Disintegrasi Tanpa Ujung”, Irwan Abdulah menulis
bahwa “Disintegrasi Sosial” akan berperan penting dalam proses hilangnya rasa
memiliki terhadap sebuah Negara Bangsa. Begitu juga akan berkontribusi terhadap
hilangnya ikatan atau solidaritas komunal (dalam konsep Negara Bangsa) yang
akan mengikis ketaatan pada sistem sosial dan norma yang berlaku. Kita dapat
melihat, bahkan sedang terjadi bahwa proses “Disintegrasi Sosial” berbarengan
dengan “Disintegrasi Moral, Etika dan Hukum” di dalam pola tata negara dan
bangsa kita.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa institusi politik
sebagai pemegang otoritas negara kini tampak rapuh, dan semakin dilumpuhkan
oleh aksi mafia hukum dan korupsi. Sindhunata dengan lantang mengatakan, “Jika bangsa-bangsa mencari jati dirinya,
sementara negara yang menghimpun mereka tidak mampu menjawabnya, maka negara
kebangsaan akan segera kolaps.” Huntington bahkan menyebut bahwa institusi
negara bangsa saat ini tengah berada dalam kondisi sekarat.
Hukum Kolonial dan
Hukum Adat
Dalam kaca
mata historis, bahwa sebelum
bangsa-bangsa di Nusantara direduksi menjadi satu identitas “Bangsa Indonesia”,
masyarakat Adat seperti Amanuban sendiri telah memiliki sistem hukum adat yang
mapan. Sayangnya, hukum modern Indonesia gagal mengakomodasinya secara nyata.
Bahkan, hukum positif lebih cenderung dijadikan sebagai alat pemulus kejahatan
oleh oknum-oknum tertentu daripada sebagai pelindung keadilan.
Soekarno
sendiri sadar, bahwa bangsa-bangsa di Indonesia memiliki hukum adatnya
masing-masing. Karena itu, dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun
1960 Pasal 5, hukum adat diakui secara normatif. Namun pengakuan ini hanya
bersifat deklaratif dan tidak pernah diwujudkan secara konkrit.
Bahkan,
meskipun Pasal 18B UUD 1945 yang merupakan hasil dari amandemen pada tahun 2000
tentang adanya pengakuan Negara terhadap Masyarakat Adat, namun sebenarnya
hingga kini belum ada satu pun undang-undang turunan yang ditetapkan dan
diterapkan secara efektif di dunia pemerintahan dan peradilan. Ini akan nyata
dalam putusan-putusan yang mengabaikan bagian ini.
Berbanding
terbalik dengan pemerintahan Indonesia yang penuh retorika, pemerintah kolonial
Hindia Belanda justru lebih serius mendalami eksistensi hukum adat. Meski
awalnya dipenuhi perdebatan sengit, namun akhirnya mereka sepakat, bahwa untuk
mengatur masyarakat harus sejalan dengan upaya menghargai sistem hukum lokal
dan unsur-unsur subjektif yang melekat di dalamnya.
Harus diakui,
bahwa perhatian orang Eropa terhadap hukum adat sangat banyak, misalnya oleh
Mr. H.G Baron Nahuijs van Burgst yang di tahun 1825 menulis “Breiven over Bencoolen, Padang, het rijk van
Menangkabau, Rhious, Singapura en Poelo Pinang” (Sketsa singkat tentang
Bengkulu, Padang, kerajaan Minangkabau, Riau, Singapura dan Pulau Pinang).
Disana ia
menerangkan bahwa orang Minang mewariskan harta kepada kemenakan dan beberapa
kelompok pribumi menyebut nama marganya sendiri. Di Padang, peradilan Hakimnya
memutuskan berdasarkan Al-Qur’an.
Selain Burgst
ada juga J.W Winter yang menerjemahkan “Undang-Undang Raja” pada tahun 1818.
Selain itu ada juga C.F Winter yang sangat mahir bahasa Jawa dan kebudayaan
Jawa. Ia menulis “Instellingen, Gewoonten
en Gebruiken” (Kelembagaan, kebiasaan dan pemakaian) yang kemudian
digunakan dalam peradilan kerajaan Surakarta.
Selain Winter
ada juga dr. D.L Mounier, Van Schimd (menerbitkan karangan tentang adat
istiadat Ambon dan Seram). T.J Willer - seorang pegawai pemerintah Belanda di
Batak, Ternate, Maluku, Ambon, Kalimantan Barat dan Riau juga menerbitkan
“Verzameling de Battahsce Wetten en instellingen in Mandheling en Pertibe” dan
ia menulis lebih banyak lagi dokumen-dokumen serupa.
Bahkan
J.F.K.S van den Bossche pada tahun 1852-1854 membukukan sebuah kitab hukum adat
yang disebut “Oendang-oendang Simboer Tjahaya”. Selain mereka, masih banyak
lagi penulis-penulis asing yang melakukan pembukuan hukum-hukum adat pribumi.
Guna
tercapainya kepastian hukum bagi semua orang, maka pada tahun 1847 raja Belanda
menunjuk panitia yang diketuai oleh Mr. C.J Scholten van Oud Haarlem untuk
membuat rencana peraturan perundangan yaitu : Ketentuan-ketentuan umum tentang
perundangan Nederland Indie (AB), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW/ KUH
Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wvk/ KUHD) dan Peraturan Susunan
Pengadilan dan Kebijaksanaan Justite (RO). Perubahan RO dilakukan setahun
kemudian yang memuat aturan tentang Hukum Perdata hanya berlaku bagi golongan
Eropa.
Sedangkan
hukum pidana, pada awalnya itu berbeda-beda antara golongan Eropa dan golongan
pribumi dan timur asing yang berlaku sejak tahun 1866. Pada tahun 1915
dibuatkan kodifikasi hukum pidana yang bersifat unifikasi, yaitu hukum pidana yang berlaku bagi semua golongan
rakyat di Indonesia. Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUH Pidana yang sampai
sekarang masih berlaku, tidak lain merupakan tiruan dari KUH Pidana Belanda
tahun 1881.
Sebaliknya
mengenai hukum perdata, masih dibedakan antara golongan rakyat karena RO tahun
1848 tidak termasuk hukum adat. Semenjak kodifikasi ini memang telah timbul
perbedaan karena Mr. Wichers menginginkan agar sebagian hukum perdata berlaku
juga bagi untuk golongan yang bukan Eropa. Namun sebaliknya Gubernur Jenderal
Rochussen menghendaki agar rakyat yang bukan golongan Eropa harus berlaku hukum
adat sepenuhnya.
Di masa itu,
istilah hukum adat (Adatrecht) belum dikenal sehingga istilah yang digunakan
adalah “Undang-undang keagamaan, lembaga rakyat dan kebiasaan”. Antara tahun
1870an sampai 1900 muncul berbagai usulan agar golongan pribumi dilakukan
kodifikasi hukum adat sehingga pada tahun 1900, Menteri Jajahan Belanda Cremer
menugaskan Mr. Carpentier Alting untuk kemungkinan melakukan kodifikasi hukum
adat Minahasa yang bersifat lokal dapat digunakan secara merata di seluruh
daerah Hindia Belanda.
Namun
kemudian hasil kerja Alting —Regeling van het Privaatrecht voor de
Inlandsche Bevolking in de Minahasa Districten der Residentie Menado
(Peraturan hukum perdata pribumi Minahasa di keresidenan Menado) terbit pada
1902 menuai kritik yang tajam dari tokoh-tokoh seperti Mr. I.A Nederburgh dan
Mr. F.C Hekmeyer. Bahkan topik ini menjadi perdebatan penting di parlemen
Belanda.
Idenburg
sebagai pengganti Cremer, bermaksud agar seluruh sistem hukum Eropa diterapkan
di seluruh koloni Hindia Belanda, namun pendapat ini ditentang oleh Prof. Van
Vollenhoven - guru besar Universitas Leiden. Van Vollenhoven justru menekankan
bahwa sangat penting untuk mempertahankan hukum adat sebagai bagian dari
identitas masyarakat pribumi. Ia bahkan menulis banyak karya untuk menolak
unifikasi hukum berbasis Eropa dan akhirnya mendapat dukungan dari Menteri
Fock, penerus Idenburg.
Pada Oktober
1906, parlemen Belanda menolak konsep unifikasi hukum Eropa dan menerima
amandemen yang mendukung keberadaan hukum adat. Tulisan-tulisan Van Vollenhoven
sendiri memberikan kesan tersendiri di kalangan orang Eropa. Ter Haar adalah
murid Van Vollenhoven dan ia menulis “Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht”
yang kemudian diterjemahkan oleh K. Ng Soebakti Peoponoto dengan judul
“Asas-asas dan Hukum Adat”. Pemikiran-pemikiran Ter Haar diakui secara luas,
bahkan Profesor Soepomo (1950) dan Profesor Logemann mengatakan “Pandangan yang mahir daripada Ter Haar
tentang asas dan susunan hukum adat sampai sekarang masih tetap menjadi
ukuran”.
Pemerintah
Hindia Belanda kemudian secara bertahap melakukan pengembangan hingga tahun
1925, Belanda mulai mengembangkan istilah Indiesche Staatsregeling (IS)
untuk menjadikan hukum adat sebagai hukum tertulis yang sah bagi pribumi. Pada
tahun 1930, upaya ini diperluas dengan peningkatan riset demi menjajaki kemungkinan
kodifikasi hukum adat secara menyeluruh. Kodifikasi adalah proses menghimpun
dan menyusun secara sistematis berbagai hukum adat ke dalam bentuk tertulis
yang diakui oleh komunitas adat masing-masing.
Namun, upaya
ini terhenti ketika pada tahun 1940 saat Perang Dunia II pecah. Ketika masa
kekosongan kekuasaan terjadi pasca berakhirnya Perang Dunia Kedua, Ir. Soekarno
secara sepihak mendeklarasikan berdirinya Republik Indonesia pada Agustus 1945
sekaligus mendapuk dirinya mengatasnamakan
bangsa Indonesia tanpa sebuah konsesus yang luas dari kalangan rakyat
Indonesia.
Konsesus yang
luas justru terjadi secara de jure oleh
identitas-identitas adat melalui sistem pemerintahan Republik Indonesia Serikat
(RIS) pada 27 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) serta diakui
oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dituangkan dalam akta
internasional. Namun RIS justru kemudian dibubarkan secara sepihak oleh Ir.
Soekarno 9 bulan setelahnya melalui Keputusan Presiuden. Suatu tindakan yang
illegal menurut hukum Internasional tapi diterima secara baik oleh komunitas
Adat di Hindia Belanda sebagai bentuk rasa persaudaraan bekas jajahan Belanda.
Alasan
mengapa saya harus menjelaskan runutan sejarah ini adalah agar ingatan kita
disegarkan kembali tentang proses lahirnya peraturan-peraturan perundangan yang
sekarang ini bertujuan untuk menjamin rasa keadilan justru terkepung oleh
mafia-mafia. Perubahan modernisasi dalam Negara Bangsa kita Indonesia secara
cepat justru telah sangat jauh melenceng dari asas dasar yang sebenarnya.
Begitu pula,
menjadi jelas bagi kita bahwa hukum adat justru lebih dihormati dan diakui oleh
pemerintah kolonial dibanding oleh negara modern Indonesia yang sebenarnya
lahir dari perjuangan masyarakat adat itu sendiri. Sudah saatnya negara
berhenti meminggirkan identitas hukum lokal, menghentikan semua praktik mafia
hukum dan mulai membangun sistem hukum yang inklusif, adil, serta selaras
dengan realitas sosial budaya masyarakatnya.
Relasi hukum adat
dalam kuasi Hukum Positif
Pendampingan
Dalam upaya memberikan perlindungan
tentang eksistensi Masyarakat Hukum Adat dari upaya peminggiran, manipulasi
hukum dan penindasan tersistem oleh oknum terhadap eksistensi masyarakat Adat
Amanuban, maka saya berusaha mendampingi masyarakat Adat dalam berbagai
persoalan sosial sebagai bentuk tanggung jawab moral di dalam bangsa Amanuban.
Saya sendiri
telah melihat dan merasakan bagaimana hukum postitif telah sedikit demi sedikit
menghancurkan tatanan sosial masyarakat adat yang diterapkan secara sembrono
oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Pada tahun 2011 misalnya, saya
mendampingi masyarakat adat Amanuban di Desa Balu Kecamatan Polen terkait kasus
pencurian dua ekor sapi.
Pelaku
pencurian terungkap dan sesuai dengan keputusan tua adat, pelaku di berikan
sanksi adat berupa Nakahakeb Nafani Bia (sebagai
ganti rugi) dan Kiu Muke (sebagai
denda adat) dan pelaku pencurian sapi menyanggupinya. Naasnya pelaku sempat di
tampar oleh keponakannya sendiri, seorang aparat desa yang merasa malu karena
perbuatan pamannya itu. Akhirnya, aksi penamparan ini dilaporkan ke Polsek
setempat sebagai tindak pidana berikut, aparat Desa dan pemilik sapi diperiksa
sebagai pelaku pidana dengan junto pasal 55 KUH Pidana karena pemilik sapi
dianggap ikut serta memotivasi pelaku
penamparan.
Kini kasus
pencurian sapi ini tidak diselesaikan sebaliknya penganiayaan yang di urus,
sehingga menguras mental para Terlapor. Ketika peristiwa ini kami sampaikan
kepada Kapolres melalui sepucuk surat yang menceritakan kronologisnya, kasus
ini akhirnya diperintahkan untuk di hentikan pada tahap pemberkasan. Sayang
sekali bahwa akhirnya pencurian sapi akhirnya lolos dari jeratan hukum. Sungguh
suatu ironi yang membingungkan.
Bukan hanya
itu, pada tahun 2019, saya mendampingi keluarga Abi di Desa Hane-Amanuban
Barat, yang merupakan korban pengerusakan hasil kebun oleh sapi milik seorang.
Sesuai dengan keputusan hasil musyawarah Adat setempat, maka sapi itu dipotong
dan dibagi sebagai bentuk ganti rugi sekaligus denda (Nahakeb nafani mle’u dan Kiu
muke).
Namun
sayangnya, karena pemilik sapi memiliki koneksi yang kuat dengan oknum-oknum
penegak hukum, maka pemilik kebun justru di tangkap di bawah todongan senapan
dan digelandang ke pos polisi sebagai pelaku pembunuhan sapi secara ilegal.
Kini ia harus mengganti kembali sapi yang telah dibunuh itu. Walaupun peristiwa
ini telah terlanjur terjadi tanpa penyelesaian yang tepat, saya sempat berdebat
dengan Pimpinan Kepolisian di ruangannya dan meminta hukum adat dan kebiasaan orang Amanuban harus dihormati sekecil apapun itu.
Yang paling
krusial adalah ulah pejabat-pejabat Pemerintahan Provinsi NTT yang berusaha
untuk menguasai secara paksa atas tanah di Hutan Adat Pubabu (sejak tahun 1983
diganti namanya menjadi Besipae) seluas 3.780 Ha. Mengenai persoalan ini,
Pemerintah secara terang-terangan mengacaukan tatanan sosial dan Adat, mengadu
domba masyarakat Adat lalu di blow-up peristiwa pengusiran secara paksa
menggunakan aparat militer dan kepolisian secara besar-besaran melalui
media-media milik pemerintah.
Bahkan
menyatakan secara terbuka bahwa masyarakat Adat Amanuban yang mempertahankan
Hutan Pubabu sebagai “Oknum Okupan”.
Label “okupan” ini sering dipakai untuk melegitimasi pengusiran paksa, kriminalisasi, atau pembenaran
perampasan tanah adat.
Lain dengan
itu, di Kota Soe beberapa minggu yang lalu, pada 29 April 2025, saya di minta
oleh suku Tauho - keluarga Meo (Keluarga Ksatria/ panglima perang) Amanuban
untuk hadir di wilayah ketemukungan Oenutnanan – Soe (istilah ketemukungan ini ada dalam amar-amar putusan MA).
Kehadiran
saya ini adalah untuk memberikan legasi historis atas tanah warisan leluhur
mereka yang telah dirampas secara sistematis melalui praktik mafia hukum yang
berlangsung sudah lebih dari tiga dekade lamanya melalui proses hukum perdata
yang berbelit-belit, penuh manipulasi, terindikasi adanya praktik mafia tanah dan
gugat menggugat antara para pihak yang saling mengklaim dengan bukti-bukti yang
tumpang tindih.
Sejarah
penguasaan tanah keluarga Meo ini tentu saja tidak terlepas dari peradaban
Amanuban yang terdefinisi secara terukur melalui unsur-unsur objektif
berdasarkan kebiasaan [hukum adat] maupun institusi [kelembagaan/ kerajaan]
yang telah teridentifikasi secara subjektif. Disana hadir juga tokoh-tokoh adat
lainnya yang melegitimasi pengakuan yang sama secara historis di lokasi
sengketa yang telah berlangsung hampir lebih dari 40 tahun perkara perdata ini
berjalan dengan pengakuan hukum lembaga peradilan yang berbeda-beda.
Setelah mempelajari
dokumen-dokumen perkara yang mempersengketakan tanah warisan keluarga Tauho
dapat diketahui bahwa praktik mafia, manipulasi bukti, manipulasi keputusan
hingga ketidak tegasan lembaga peradilan Mahkamah Agung memberikan gambaran
menyeluruh tentang praktik-praktik kotor yang terselubung.
Keputusan
majelis MA yang saling menganulir keputusan oleh lembaga Mahkamah yang sama,
membuat tidak ada lagi kepastian hukum atas tanah ini. Suatu hal yang tidak
mungkin pernah terjadi dalam proses hukum peradilan Adat Amanuban yang cepat
dan terukur (suatu lembaga peradilan Adat kerajaan Amanuban yang telah
dibatalkan oleh Soekarno dengan menghapusnya tahun 1959).
Beberapa tahun
lalu, dalam sebuah sengketa perdata di tingkat Desa, seorang warga Desa Oelet
Amanuban Timur datang kepada ayah saya Smarthenryk W. Nope, SH (alm) dengan
meminta secara adat (dengan media oko mama) agar bersedia turun memutus masalah
yang dihadapinya di kantor Desa sebab ia percaya bahwa keputusan dari Sonaf
Amanuban sangat adil dan dapat diterima semua pihak.
Ayah saya tidak
serta merta menolak, namun berkeberatan sebab hak memutus perkara dari Sonaf
(Peradilan Adat) sudah di cabut pemerintah Republik sejak tahun 1959, sedangkan
tidak ada satupun aturan yang mewajibkan para pihak untuk taat pada putusan
semacam ini terutama di hadapan pejabat Desa.
Akhirnya ayah
saya hanya menulis usulan pada secarik kertas terdiri dari dua paragraf kalimat
dan menyerahkan dengan pesan “Berikan ini kepada Kepala Desa untuk dibacakan
kepada semua pihak, baik kamu maupun lawanmu. Apabila usulan saya diterima maka
kamu patut bersyukur, tapi apabila usulan saya tidak diterima maka kamu harus
mengupayakannya lagi”.
Uniknya satu
minggu kemudian ia kembali dengan sukacita dan menyampaikan secara adat (dengan
oko mama) bahwa usulan dari Sonaf diterima dengan baik oleh semua pihak dan
diputus secara adil. Ia tidak dirugikan. Saya terkesima oleh peristiwa ini dan
sangat membekas di hati saya. Begitu juga dengan kasus pencurian sapi di Desa
Balu seperti yang sudah saya jelaskan diatas.
Secara
keseluruhan, hal-hal ini menggambarkan bahwa refleksi peradaban terutama
kebiasaan [hukum adat] dan institusi [kelembagaan] Amanuban, masih
teridentifikasi secara nyata dalam masyarakat Adat Amanuban hingga kini sebagai
jalan alternatif oleh sebuah identitas bangsa yang terpisah dari sistem hukum
Negara Bangsa yang semakin merosot dan korup seperti sekarang ini.
Relasi
Hukum Adat
Mencermati
dokumen perkara di Oenutnanan Kelurahan Cendana Kecamatan Kota SoE, terutama
dari Keputusan Mahkamah Agung nomor 13/Pdt.G/2017/PN SoE, ada beberapa relasi
Hukum Adat yang bisa dilihat dari sudut pandang hukum positif yang tentu saja
lolos dari pengamatan. Secara nyata bahwa pihak Penggungat itu sendiri
(Wilhelmus Pingakh-alias WP dkk) yang sekarang menjadi pihak yang menguasai
lahan sengeketa, di dalam gugatan mereka halaman 8 menyebutkan bahwa tanah
sengketa yang merupakan milik dari Taela Tauho “dahulu terletak di ketemukungan
Oenutnanan, Oe’ana…dstnya”.
Telah jelas
bahwa kata “Ketemukungan” ini merupakan suatu relasi yang tidak dapat
dipisahkan dari hukum adat Amanuban sebagai bagian dari sumber-sumber identitas
yang memenuhi unsur kebiasaan [atau hukum adat] serta kelembagaan [kerajaan].
Kata “ketemukungan” ini seyogyanya memiliki akar yang kuat secara historis dan tidak
bisa dipisahkan dari sejarah penguasaan tanah di Oenutnanan-Oe Ana’ (demikian
disebut oleh para pihak) dan Penggugat sendiri telah mengakuinya di dalam
gugatannya itu.
Bahwa kemudian
diakui sendiri oleh Pengugat bahwa tanah sengketa merupakan tanah warisan Taela
Tauho. Kemudian yang mengejutkan bagi saya, bahwa di dalam hukum adat kebiasaan
bangsa Atoni Amanuban yang menganut hukum Patrialkal (warisan di kuasai oleh
anak laki-laki) justru, kini tanah warisan Taela Tauho ini [obyek sengketa]
malah telah dikuasai oleh pihak yang tidak memiliki relasi historis, seorang
pendatang dari pulau Rote. Berbeda dengan adat matrialkal di Belu misalnya, hak
waris barang bergerak dan tidak bergerak di wariskan kepada perempuan.
Lucunya, keluasan
penguasaan tanah milik Taela Tauho melalui putusan hukum Majelis Hakim Mahkamah
Agung tidak memiliki relasi hukum Adat dengan pemilik terdahulu kecuali oleh
selembar surat yang telah terbukti “keasliannya meragukan”. Apakah hal ini
sangat berkaitan erat dengan praktik manipulatif, markus (makelar kasus) dan
ketiadaan rujukan hukum Adat yang jelas bagi majelis hakim di tingkat Mahkamah
Agung? Hanya Tuhan saja yang tahu.
Bahwa kemudian
juga dalam jawab menjawab sesuai salinan putusan, diketahui bahwa pernah
terjadi gugat menggugat di tahun 1979 dengan nomor perkara :
35/PN.SoE/Pdt/Gtn/1979 yang kemudian terindikasi terjadi penerbitan Annmaning
palsu atau B.A Penetapan eksekusi palsu oleh Pergugat II Yesaya Danuata (YD)
yang saat itu merupakan Panitera Pengganti (dia kemudian mendapat bagian
tanah). Penerbitan dokumen ini hanya diberikan kepada WP (Penggugat I) tanpa
melibatkan pihak yang bersengketa lainnya (anak-anak Taela Tauho), benar
tidaknya indikasi pemalsuan ini perlu ditelusuri lebih jauh lagi sebab terbitnya
dokumen telah mengakibatkan pelencengan yang memiliki implikasi hukum.
Selanjutnya
dalam putusan PK Mahkamah Agung terkait hal ini di tahun 2010, Majelis merujuk
pada surat perdamaian dan penyerahan tanah dari Thomas Tauho kepada WP tanggal
6 oktober 1998 untuk menguasai seluruh tanah sengketa. Hal ini memang sudah
melenceng jauh dari adat kebiasaan orang Amanuban. Merupakan suatu keharusan
dalam Hukum Adat Amanuban yang bersifat Patrialkal
agar seorang pria Amanuban akan mewariskan hartanya (bergerak dan tidak
bergerak) hanya kepada anak laki-lakinya.
Apabila ia tidak
memiliki keturunan, maka harta akan dikuasai oleh anak laki-laki dari dari
saudara laki-lakinya (umumnya anak sulung dari kakak atau adik laki-laki) yang
bertujuan agar marga itu tidak terputus dari komunitas Amanuban. Dalam kasus
ini misalnya, agar marga “Tauho” tidak boleh terhapus di lingkungan Oenutnanan
sebab ada ikatan kekayaan yang telah mengikat keturunan ini secara batiniah dan
historis. Begitulah cara pandang hak pewarisan di dalam Hukum Adat Amanuban.
Dengan cara
demikian, suatu marga seseorang tidak pernah terhapus sekalipun kemudian ia
sama sekali tidak memiliki anak kandung, namun kemudian anak laki-laki dari
sauadara laki-lakinya yang akan melestarikan namanya di dalam komunitas
“ketemukungan” tersebut.
Namun, rupanya keponakan
Thomas Tauho yang merasa tidak pernah tahu menahu tentang surat ini melaporkan
kepada pihak yang berwenang. Sesuai putusan pengadilan, memang hasil
pemeriksaan dari tim Labfor bahwa tanda tangan dalam surat yang dijadikan novum
itu tidak identik dengan tanda tangan asli, namun karena tenggat waktu
pelaporan dengan sejak diketahuinya pidana ini yaitu lebih dari 12 tahun
sehingga dianggap daluarsa, telah
melewati tenggat waktu yang ditentukan undang-undang.
Sangat
disayangkan bahwa Majelis Hakim tidak mempertimbangakan bahwa tindakan
pemalsuan surat ini juga merupakan alat kejahatan yang dapat digunakan secara
terus menerus dan merugikan banyak pihak. Sangat disayangkan.
Sesungguhnya hak
atas tanah dalam komunitas Amanuban merupakan hal yang sakral yang mengikat
suatu klan atau keluarga secara kuat. Itulah sebabnya dalam perkara-perkara
tanah orang Timor sering melalukan sumpah-sumpah yang dianggap sakral. Tanah
kelompok keluarga selalu bukan semata-mata milik pribadi perseorangan apabila
dilihat dari marga-marga yang berkepentingan.
Itulah sebabnya Ketemukungan
dibentuk sebagai payung sosial dalam lembaga kerajaan untuk melindungi
kepentingan komunal yang bersifat Geneologis.
Bahwa hal ini
sebenarnya bukan hal yang baru dalam dunia Hukum Formil sebagai Hak Purba. Hak Purba inilah yang
kemudian disebut Hak Pertuanan (Supomo) atau kemudian di dalam UUPA
disebut Hak Ulayat.
Dalam buku
“Hukum Adat – Sketa Asas (1981, penerbit Liberty Yogyakarta)”, menjelaskan
secara rinci tentang Hak Purba dimaksud yang ternyata ini masih banyak terjadi diluar pulau Jawa dengan ciri-ciri pokok
yang terlihat dengan jelas ialah :
1. Hanya persekutuan Hukum (adat) itu
sendiri beserta warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan
tanah-tanah liar di wilayah kekuasaanya;
2. Orang luar hanya boleh mempergunakan
tanah itu dengan izin penguasa persekutuan tersebut, tanpa izin itu
dianggap melakukan pelanggaran;
3. Warga persekutuan hukum boleh
mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan restriksi : hanya untuk
keperluan somah/brayat/ keluarganya sendiri; jika dimanafaatkan untuk
kepentingan orang lain, maka harus mendapat izin lebih dahulu;
4. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas
segala hal yang terjadi dalam wilayahnya terutama yang berupa tindakan melawan
hukum, yang merupakan delik;
5. Hak Purba tidak bisa dilepaskan,
dipindah tangankan, diasingkan untuk selamanya;
6. Hak Purba meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak perorang;
Definisi-definisi
yang termaktub tersebut diatas, walaupun tidak secara spesifik merujuk pada
masyarakat Adat Atoni Amanuban, namun bangsa Atoni Amanuban memiliki kandungan
yang sama dengan jabaran definisi tersebut diatas.
Komentar
Posting Komentar