SEJARAH TIMOR : SELALU ADA KISAH CINTA PRIA EROPA DAN WANITA TIMOR
SEJARAH TIMOR : SELALU ADA KISAH CINTA PRIA EROPA
DAN WANITA TIMOR
Oleh : Pina Ope Nope
Tulisan yang saya sampaikan ke hadapan saudara pembaca ini berkaitan dengan Novel yang sementara saya ikutkan dalam Sayembara Novel tingkat Nasional berjudul “Kupang, diantara Deru Perang dan Cinta”. Novel ini hampir saja naik cetak, ketika pengumuman sayembara Novel di Jakarta dan saya memutuskan untuk di ikutkan dalam sayembara ini. Menurut jadwal, hasil penilaian juri akan diumumkan paling lambat November 2025. Lolos atau tidaknya Novel ini, tentu saja Desember 2025, saya akan menerbitkannya sehingga para penyuka sejarah dan pembaca novel bisa membacanya di akhir tahun ini.
Secara
garis besar, novel ini mengisahkan tentang sejarah Kota Kupang dan kisah cinta antara tokoh wanita Timor bernama Funan
yang menikah dengan seorang pria kebangsaan Belanda bernama Sersan Alfred
Whitcome di tengah-tengah konflik Perang Napoleon (Prancis vs Inggris) dan
perang yang dicetuskan Raja Amanuban Louis Nope di Kupang. Latar belakang
peristiwa adalah tahun 1811-1812.
Yang
menarik dan tentu saja akan menjadi bagian romansa dari Novel ini adalah kisah
cinta Funan dan Alfred Whitcome. Kecantikan Funan menjadi daya tarik bagi
Whitcome dan kisah cinta mereka yang awalnya begitu indah, penuh makna harus
terpisah karena kematian Whitcome suami Funan. Whitcome dinyatakan gugur di
Batavia. Jalan berliku penuh pertentangan batin dan konflik dalam diri Funan serta
upayanya untuk mempertahankan bara cintanya terhadap Whitcome menjadi bagian
yang menarik dalam novel ini. Pada titik klimaks, semuanya berubah saat Funan yang
hampir saja menikah dengan ksatria raja Amanuban bernama Seke Banamtuan dan terungkapnya
sebuah rahasia yang paling besar dalam diri Funan itu sendiri.
Namun,
benarkah seorang wanita pribumi Timor bisa menikah dengan pria Eropa?. Apakah
ini hanya imajinasi liar saya sebagai penulis Novel ini ataukah bisa dibuktikan
dengan data-data sejarah bahwa memang wanita Kupang dapat menikah dengan pria
Eropa?. Apakah imajinasi saya telah menyimpang dari fakta sejarah ketika
menyusun Novel ini?.
Untuk menilainya saya persilahkan anda untuk
membaca bagian berikut ini;
Interaksi sosial
Sebenarnya
interaksi sosial antara penduduk pribumi dan bangsa Belanda cukup berimbang. Dalam
beberapa hal, para penduduk lokal memberikan putrinya untuk menikah dengan orang
Belanda bukan dengan paksaan namun sebagai bagian dari interaksi sosial
kemasyarakatan pada umumnya. Dalam artikel Prof. Hans Hägerdal berjudul “White and Dark Stranger Kings: Kupang in the Early Colonial
Era” menyebutkan demikian : para karyawan
Belanda, yang belum menikah saat mereka tiba di Kupang, biasanya dapat
mengambil istri dan atau selir dari warga setempat dan pernikahan semacam itu
memerlukan persetujuan dari otoritas Kompeni.
Setelah masa kerja mereka berakhir, orang
Belanda diperbolehkan menetap sebagai orang bebas di Kupang, meskipun ini juga sebenarnya
memerlukan persetujuan resmi dari otoritas kompeni atau bangsawan setempat.
Namun, catatan menunjukkan preferensi lebih banyak mereka menikah dengan wanita
dari Rote, yang secara tradisional memang lebih banyak dipilih karena kulit
wanita Rote lebih cerah dibandingkan dengan suku lainnya di Kupang.
Namun tidak selalu wanita Rote, banyak juga
yang memilih menikah dengan putri bangsawan di Kupang. Selama periode setengah
abad atau kurang lebih lima dekade pertama dari kehadiran Belanda di Kupang,
para anggota elit raja Timor di Kupang menikahkan anak perempuan mereka dengan
tentara dan orang Belanda. Salah satu contoh adalah orang Belanda bernama Floris
Jansz yang disebutkan, sangat terlibat dengan kaum bangsawan setempat, karena
istrinya bernama Pieternella merupakan bibi atau tante dari seorang raja
Kupang.
Selain itu, bangsawan dari kalangan
kerajaan Sonba’i (Sonbai Kecil) yaitu Ama Tomnanu - (1685) yang menikahkan
putrinya dengan orang Belanda, seorang dokter bedah Benteng Kupang, bukan saja
putrinya tapi juga salah seorang cucu Ama Tomnanu menikah dengan seorang
tentara Belanda sekitar tahun 1695. Yang terakhir ini malah menerima izin
khusus untuk tetap tinggal di Kupang setelah masa tugasnya berakhir, yang
memang atas saran putra-putra Ama Tomnanu yang dalam tradisi Timor dihormati
sebagai Atoin Amaf. Mantan tentara
itu kemudian menjadi penghubung yang baik antara antara kaum bangsawan Sonba’i
dan Kompeni di benteng.
Interaksi sosial semacam ini walaupun
mungkin dianggap baik oleh sebagian warga Eropa namun seringkali juga menjadi
bahan keluhan oleh pejabat VOC terkait kedisplinan mereka. Seorang inspektur VOC menyusun laporan yang sangat kritis tentang pos
Kupang pada 1705. Ia mengeluh tentang kurangnya disiplin yang ketat di antara
para prajuritnya. Ia mengutip contoh seorang kopral Belanda yang tinggal
bersama keluarga [istri pribuminya] di Oeba, yang dengan sengaja lalai mengutus
seorang budak untuk memberi tahu atasannya di Concordia bahwa ia tidak dapat
bertugas selama beberapa hari saat ia merasa tidak sehat atau kurang enak badan.
Akhirnya dalam beberapa alasan perkawinan para
putri pangeran ini kurang menonjol dalam sumber-sumber setelah awal abad
kedelapan belas (tahun 1700an). Namun perlu kita pahami bahwa perkawinan
seperti ini dapat ditilik dari sudut pandang orang Timor dianggap penting, dan memang
tidak dapat diragukan lagi ada tujuan strategis ketika perkawinan seperti ini diatur
(karena memang perkawinan itu pasti diatur).
Dalam sistem adat Atoni atau Atoin Meto’ –
orang Timor, pemberi istri ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi [sebagai peut uf bon uf atau Atoin Amaf – padanan dalam budaya Rote sebagai Too Huk] dibandingkan oleh pihak penerima istri.
Para bangsawan pribumi berharap agar para menantu atau suami dari putri mereka,
dengan otoritas ataupun jabatan apa pun yang melekat dalam diri mereka dapat
mendukung mertua dalam situasi politik saat itu di Kota Kupang.
Dengan memperkuat ikatan dengan orang asing
kulit putih, oleh para aristokrat Timor mengganggap sangat penting pada
hari-hari awal pos Kupang mulai berdiri sebagai entitas kota di ujung barat
Pulau Timor, pulau yang hampir seluruhnya dikuasai Portugis — terutama setelah
kekalahan Belanda di tahun 1655, 1656 dan 1657.
Kekalahan-kekalahan Belanda ini di ikuti dengan
eksodusnya puluhan ribu warga dari pedalaman Sonbai dan Amabi ke kota Kupang.
Kekhawatiran selalu muncul tentang kemungkinan penarikan pasukan Belanda dari
pulau Timor. Apabila terjadi, maka konsekuensi yang menghancurkan bagi eksistensi
mereka bisa datang kapan saja, sehingga lembaga perkawinan diatur sedemikian
rupa dengan anggapan dapat mempertahankan keberadaan orang-orang Belanda di
Kupang, walaupun sebenarnya itu juga bukan alasan yang kuat.
Ketika pemukiman Belanda mulai stabil, maka
peran perkawinan semacam itu mungkin menjadi kurang penting lagi. Di sisi lain,
pemahaman orang Belanda dan orang Timor tentang ikatan perkawinan juga tidak
sepadan atau tidak sama. Orang Timor berpikir bahwa dengan memberikan putrinya
ia akan memperoleh penghormatan, sebaliknya orang Belanda tidak menganggap
tradisi Atoin Amaf atau Too Huk ini begitu penting. Bahkan posisi
ini membuat mereka menjadi arogan terhadap para bangsawan.
Contohnya, dalam sebuah laporan dari tahun
1717 mencatat bahwa orang Belanda yang menjadi Burger bebas akan mengambil
kesempatan pertama untuk menikahi putri seorang raja atau bangsawan. Dari sini,
mereka biasanya menjadi sombong dan sok penting. Orang-orang seperti itu akan
menimbulkan masalah bagi Kompeni karena perselisihan mereka dengan bangsawan
setempat dan di antara mereka sendiri [dapat berdampak pada kepentingan Kompeni]
(Coolhaas 1979: 267). Mengingat hal ini, seperti yang akan terlihat di bawah,
sikap resmi Belanda terhadap perkawinan campuran segera diatur dan dibatasi
sebisa mungkin.
Kontrak Paravicini
Pasca perang Penfui (1749) berakhir, dengan
berkurangnya pengaruh Topas di Timor, maka kedudukan Belanda di Kupang yang
tadinya begitu rentan mulai membaik. Walaupun dengan semua keterbatasan, pihak
Belanda berusaha untuk meluaskan pengaruh yang tadinya hanya di kantung kecil
Kupang. Kini berusaha merangkul masuk bekas sekutu Topas seperti Sonbai Besar,
Amanuban, Amarasi, Wewiku Wehale dstnya.
Berhubungan dengan kondisi ini, Komisaris
Belanda Johannes Andreas Paravicini yang kemudian hari (1756) menyusun kontrak
Paravicini juga tidak melewatkan percintaan putri bangsawan dan para Burger
yang oleh Paravicini menyebut mereka (para Burger) hampir setara dengan pemeras
dan penipu yang menurutnya sangat merugikan para bangsawan Timor maupun kedudukan
Kompeni itu sendiri di pulau Timor.
Sebelumnya telah diketahui secara luas
tentang keadaan keuangan raja Sonbai Kecil di Kupang. Pada tahun 1743 (6 tahun
sebelum Perang Penfui), Opperhoofd
mengeluh bahwa raja sekutu Sonba’i telah menggadaikan sebagian pusaka mereka
untuk mendapatkan uang guna membeli tekstil dan aksesori bagi “kaisar” Sonbai.
Para bupati ditegur dalam sebuah Vergadering
(rapat rutin antara para raja dan pimpinan Kompeni - mengenai Vergadering ini
akan saya jelaskan dalam tulisan lainnya).
Sebagai pemimpin Belanda di Kota Kupang,
sang Opperhofd berusaha menasehati para raja ini untuk mengawasi dompet mereka
dan menghindari para raja terjerumus dalam utang yang tidak dapat dilunasi. Tentu
saja para Burger dicurigai oleh Pejabat VOC bahwa mereka juga terlibat dalam
urusan dagang yang curang ini, terutama mereka yang memiliki hubungan
perkawinan.
Akhirnya Komisaris Paravicini melakukan
penyelidikan besar-besaran terkait ulah korup para Burger ini. Dalam laporannya
yang bertele-tele, ia menyajikan gambaran suram tentang penindasan ekonomi di
wilayah-wilayah kekuasaan Timor, di mana para kepala suku dipaksa membeli
barang-barang dari para burger dengan harga yang sangat tinggi (Van der Chijs
1872). Selama masa tinggalnya, Paravicini membuat kontrak yang bertele-tele
dengan semua pangeran klien di wilayah Solor-Timor, pada tanggal 9 Juni 1756.
Dalam satu paragraf, komisaris menemukan alasan untuk menekankan bahwa para
raja, sekutu Kompeni tidak boleh diganggu atau diintimidasi untuk menyerahkan
barang-barang mereka kepada pegawai Kompeni. Jika demikian, pelaku pemerasan
ini harus ditangkap dan diserahkan kepada Opperhoofd untuk dihukum berat
(Corpus VI 1955: 99).
Dengan kata lain, orang Timor perlu
dilindungi dari kerakusan para pegawai Kompeni, dan harus dijaga dalam keadaan
relatif terisolasi dari para pegawai tersebut. Paravicini menekankan bahwa para
bangsawan sekutu ini tidak boleh merendahkan status kepangeranan mereka dengan
menjadi mertua dari tokoh-tokoh yang meragukan tersebut [para Burger korup,
red].
Apabila para Raja ini berdagang, maka
mereka hanya diperbolehkan menyerahkan emas, lilin lebah, budak, lada, dan nila
ke jalur resmi VOC dengan harga yang wajar, sementara barang-barang dari luar
hanya boleh dibeli raja dari gudang di Kupang “dengan harga yang wajar”.
Intinya kontrak ini melarang para bangsawan berurusan dengan dengan para Burger
koruptor ini dan bahkan membatasi perkawinan yang merendahkan martabat raja dan
kedudukan luhurnya.
Kontrak ini juga secara tegas mengatur agar
Orang Eropa atau orang kulit berwarna yang memasuki pemukiman tanpa dokumen
resmi dan mencoba memeras raja dan bupati atas nama Kompeni harus ditahan dan
dibawa ke Kupang untuk dihukum atau diperlakukan sesuai dengan perbuatannya
(Corpus VI 1955: 104).
Pembauran bangsa Portugis
Berbeda dengan
orang Belanda yang baru menginjakan kaki mereka di Timor pada tahun 1613 dan
membangun Benteng di Kupang pada 1657, bangsa Portugis telah memiliki pengaruh
bahkan seratus tahun sebelum VOC Belanda mencapai Solor, Flores dan Timor.
Namun aktivitas pembauran Portugis lebih luas dan menciptakan satu komunitas
yang kemudian hari memegang peranan
penting di pulau Timor yang telah saya sebutkan tadi diatas dengan sebutan
Topas.
Menurut Didik Pradjoko, Staf Pengajar pada Departemen
Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya - Universitas Indonesia dalam makalahnya berjudul “Perebutan
Pulau Dan Laut: Portugis, Belanda Dan Kekuatan Pribumi Di Laut Sawu Abad
XVII-XIX”
ia menyebutkan bahwa walaupun pusat komoditi dagang orang Portugis ada di pulau
Timor, namun para raja Timor melarang orang Portugis membangun pangkalan di
Timor sehingga mereka membangun pangkalan di Solor dan di Larantuka. Pada tahun
1613, Solor direbut Belanda sehingga secara otomatis Larantuka merupakan
satu-satunya kota andalan Portugis selain Makau, terutama setelah jatuhnya Kota
Malaka ke tangan Belanda pada tahun 1641.
Para imigran
Portugis juga membangun dua pemukiman baru, pertama, mereka membangun tempat
pemukiman di Pulau Adonara, yaitu di Wureh, kedua, pembukaan pemukiman baru
dilakukan di Konga, sekitar 20 kilometer arah selatan Larantuka. Mereka
kemudian membangun komunitas masyarakat baru dan menikah dengan wanita-wanita setempat selain wanita dari Timor. Mereka ini
kemudian dikenal dengan orang Topas atau
orang Belanda menyebutnya Zwarte Portugeesen atau Portugis hitam
[setengah portugs, red], yang memang bisa dikenali dari kulit mereka yang
berwarna gelap. Namun orang-orang yang tinggal di Larantuka, Konga dan Wureh
menyebut diri mereka dengan sebutan Larantuqueiros atau orang dari
Larantuka.
Orang Topas ini
merupakan campuran antara penduduk setempat dengan para pendatang yang
menggunakan bahasa Portugis, seperti para serdadu, budak dari India dan Afrika
yang sudah dimerdekakan, bekas pegawai VOC yang melarikan diri dan bergabung
dengan Topas, dan perlu para pembaca tahu bahwa para pemimpin Topas adalah
keluarga Da Costa yang terkenal itu.
Namun ada kejadian yang unik terjadi
kemudian. Pada tahun 1625, salah satu perwira Belanda bernama Jaan de Hornay
(Kapten Kapal VOC - Elye Rippon) yang sebenarnya dipersiapkan untuk menjadi kepala
Benteng VOC Solor justru melarikan diri dan bergabung dengan orang Topas di
Larantuka. Jaan De Hornay sendiri diperkirakan adalah orang Skandinavia yang
bekerja untuk armada VOC. Ketika ia bergabung dengan orang Topas, ia menjadi
Katholik dan mengdopsi nama Joao de Hornay. Ia menikah dengan seorang wanita
Timor yang kemudian melahirkan seorang salah satu pria yang kuat dan ambisius
bernama Antonio de Hornay, orang yang kemudian menjadi saingan bagi Matheus Da
Costa dalam kepempimpinan Topas (Antonio memimpin Topas tahun
1664-1669, 1673-1693 ia menggantikan Matheus da Costa).
Antonio di didik dan berlatih menggunakan senjata api dan
bertempur di Timor sejak ia masih remaja. Posisinya yang merupakan campuran
Timor memberikan akses yang luas dalam upaya Portugis menguasai pulau Timor. Pradjoko
bahkan menyebut Antonio sebagai “Raja tanpa Mahkota dari Timor” karena
dia mempunyai kekuasaan untuk mengatur lalu-lintas perdagangan kayu cendana,
untuk menaikkan harga dan bahkan melarang penjualan kayu cendana kepada para
pedagang asing di seluruh Timor. Perluasan kekuatan Larantuka di Timor diperoleh
dari perkawinan Antonio de Hornay dengan anak perempuan Raja Ambeno (sebagian
dokumen menyebut dengan putri raja Amanuban) di Timor.
Hingga tahun 1730an kedua keluarga
ini (Da Costa dan De Hornay) bertarung untuk memperebutkan kekuasaannya di
Flores dan sekitarnya. Mereka saling menyerang, merampok dan membunuh untuk
mendapatkan kekuasaannya, sampai beberapa tahun kemudian mereka bersepakat untuk
menjalankan sistem kekuasaan dan kepemimpinan Topas secara bergilir.
Bukan
hanya Jan de Hornay, ada juga Daniel De Cock yang merupakan pegawai VOC yang
melarikan diri dan bergabung dengan Topas pada tahun 1695. Salah satu putrinya
kemudian menikah dengan De Hornay yang kemudian melahirkan Joao De Hornay, ayah
dari Francisco De Hornay III, raja Animata (sekarang Aenmat) pada tahun 1759
sampai tahun 1777.
Francisco de Hornay atau cucu Daniel de
Cock inilah yang mengepung dan memerangi Potugis Putih di Lifau sehingga
memaksa Jendral Jose Telles de
Menezes dan pasukannya terpaksa meninggalkan Lifau dan mencari tempat yang baru
pada bulan Agustus tahun 1769. Dengan dua buah kapal besar, Vicente dan Santa
Rosa, de Menezes dan
pasukannya tiba di Dili pada September-Oktober tahun itu dan membangun basis
Portugis yang memang aman dari serbuan Topas dan kerajaan-kerajaan lokal.
Hari ini, kota Dili merupakan ibu kota
Republik Demokratik Timor Leste.
Komentar
Posting Komentar