SEJARAH TIMOR : BENARKAH ORANG TIMOR DIJAJAH 350 TAHUN?

 

SEJARAH TIMOR : BENARKAH ORANG TIMOR DIJAJAH 350 TAHUN?

Sebuah Tinjauan Paradoksal Historis

Oleh : Pina Ope Nope

 


 

 

MINGGU LALU SAYA menulis tentang fakta bahwa tidak semua orang Timor buta huruf. Hari ini, saya kembali menulis tentang sebuah pertanyaan yang sangat umum kita dengar: “Benarkah Timor dijajah selama 350 tahun?”.

       Pertanyaan ini sangat penting, terutama bagi kita yang tinggal di Pulau Timor, karena dampaknya masih terasa hingga hari ini. Banyak orang percaya bahwa ketertinggalan kita saat ini adalah akibat dari penjajahan masa lalu yang begitu lama—350 tahun.

       Pemahaman ini menjadi sangat penting, terutama karena berkaitan dengan eksistensi para raja pribumi yang acap kali disebut sebagai penjahat, kaki tangan penjajah, tokoh lalim, dan pengkhianat Indonesia. Sebaliknya, orang-orang yang dianggap sebagai pahlawan suci adalah Ir. Soekarno sebagai proklamator kemerdekaan yang diagungkan layaknya dewa, dan Mohammad Yamin sebagai nabinya—dengan kisah-kisah ajaib tentang penaklukan Majapahit dan Gajah Mada yang gagah perkasa menaklukkan Nusantara yang indah permai.

       Ajaran dalam kurikulum pendidikan Indonesia telah berhasil menyebarkan narasi tentang "350 tahun penjajahan" dan menyisipkan kebencian yang berat sebelah. Doktrin ini berhasil memupuk kemarahan generasi muda, membentuk logika yang keliru, dan memberikan alasan pembenar bahwa kemunduran peradaban kita disebabkan oleh raja-raja pengkhianat Indonesia. Pemahaman ini menjadi semacam raison d'être—alasan pembenar bahwa kita adalah bangsa inferior, bangsa yang lemah, dan tidak berdaya.

       Itulah sebabnya, pertanyaan ini menjadi sangat penting: Benarkah Timor dijajah selama 350 tahun?.

       Namun sebelum menjawabnya, saya ingin mengajak kita merenungkan sebuah kutipan yang seringkali diulang oleh Dr. Mohammad Hatta, yang mengutip kata-kata bersayap dari pujangga Jerman, Johann Christoph Friedrich von Schiller, yang berbunyi  “Eine grosse Epoche hat das Jahrhundert geboren, Aber der grosse Moment findet ein kleines Geschlecht” yang artinya kira-kira sebagai berikut “Abad yang agung telah melahirkan zaman besar, namun momen sebesar itu hanya mendapatkan (atau menemukan) manusia-manusia kerdil”.

       Kini kita menyadari bahwa perubahan zaman terus terjadi dan telah melahirkan abad yang besar dengan segala kemajuan teknologi. Namun, konsep berpikir manusia—termasuk manusia Timor—semakin mengecil, termasuk dalam hal pemahaman terhadap sejarah kita sendiri.

       Doktrin “350 tahun penjajahan” telah mengurung manusia Timor dalam penjara kebodohan dan kebencian, sehingga enggan untuk menelisik fakta sejarah yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dalam tulisan singkat ini saya berusaha menyajikan “gizi sejarah”, agar manusia Timor tidak terus-menerus dikerdilkan oleh doktrin yang menyesatkan ini.

 

Peta politik era Kolonial

Di bulan September 2023 lalu, saya bersama tokoh-tokoh Masyarakat yang berasal dari 26 Desa yang berasal dari seluruh Amanuban datang bertemu dengan pejabat kantor BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) Propinsi NTT di Kupang. Pertemuan ini dilakukan untuk meminta penjelasan tentang penetapan tanah permukimanan penduduk dan kebun-kebun rakyat yang diklaim secara sepihak sebagai kawasan hutan Laob Tumbesi, tanah milik Republik Indonesia.

Jawaban yang kami peroleh adalah sebagai berikut : karena Amanuban dijajah 350 oleh Belanda dan selama penjajahan ini, ada 15 RTK (Register Tanah Kehutanan) milik Pemerintah Belanda sebagai titik awal kawasan Hutan Laob Tumbesi. Sejak Ir. Soekarno memerdekakan orang Indonesia tahun 1945, maka semua harta milik Belanda berupa tanah jajahan selama 350 tahun menjajah terutama 15 RTK ini secara otomatis menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia. Lalu benarkah Amanuban dijajah 350 tahun?. Mari kita bahas.

Dr. I Gde Parimartha adalah seorang akademisi asal Bali yang mengajar di Universitas Udayana. Ia menempuh pendidikan S1 di Universitas Gadjah Mada, S2 di Universitas Indonesia, dan meraih gelar S3 di Vrije Universiteit, Amsterdam.

Dalam bukunya yang berjudul "Perdagangan dan Politik Nusa Tenggara 1815–1915", Dr. Parimartha banyak menjelaskan tentang dinamika politik di kawasan Nusa Tenggara, baik bagian barat maupun timur, dengan pemetaan politik yang disusun sebagai berikut :

Kekuatan Politik di Nusa Tenggara (periode 1830-1880) :

I.   Kelompok [wilayah] yang berada langsung di bawah pengaruh Pemerintah Belanda :

Nusa Tenggara Timur : Kupang dan Atapupu

 

II.Kelompok [wilayah] yang mengaku tunduk kepada Pemerintah Belanda :

Nusa Tenggara Barat : Sumbawa, Bima, Dompu dan Sangar

Nusa Tenggara Timur : Sonbai Kecil, Taebenu, [Amabi, Helong], Semau Rote Sabu, Sumba, Solor, Alor dan Ende [Flores]

 

III.          Kelompok [wilayah] Kerajaan Merdeka :

Nusa Tenggara Barat : Mataram (Lombok)

Nusa Tenggara Timur : Amarasi, Amanuban, Amanatun, Sonbai, Amfuang dan Wewiku-Wehali



                                                                                  Gambar peta dari buku Dr. I Gde Parimartha



Dari sini jelas bahwa di Pulau Timor sendiri, bila terhitung sejak tahun 1880, yaitu ketika Amarasi pertama kali menyatakan tunduk kepada Belanda melalui kontrak, dan dikurangi tahun 1945—ketika Kerajaan Amarasi menjadi bagian dari NIT (Negara Indonesia Timur)—maka jumlahnya hanya 65 tahun, dan bukan 350 tahun.

Lalu, bagaimana dengan yang lainnya? Dr. Parimartha di halaman 360 menjelaskan hal berikut: Apabila Amarasi dapat ditundukkan hanya dengan kontrak-kontrak, maka Liurai Sonbai, yang berpusat di Kauniki, tetap tidak mau menyerah untuk tunduk dan membayar pajak kepada pemerintah Belanda. Namun, konflik internal dalam kerajaan melemahkan posisi mereka. Pada tahun 1905, Sonbai berkonflik dengan salah satu kepala sukunya, yakni Beantanu. Karena kecewa, Beantanu membakar hutan di daerah Takaeb (wilayah Sonbai), yang kemudian membuat Sonbai marah dan menyerang Beantanu. Konflik ini menyebabkan Beantanu merasa terancam dan akhirnya meminta bantuan kepada Belanda.

Selain itu, dalam catatan Stefen Farram, disebutkan bahwa Liurai Sobe Sonbai menganggap Pemerintah Belanda telah menyerobot wilayah kekuasaannya dengan menempatkan para imigran di Bipolo dan Nunkurus. Akibatnya, Kaisar Sobe Sonbai menyerang wilayah ini. Pada 19 Agustus 1905, ia menyerbu Bipolo, membunuh 32 imigran, dan membawa 62 orang sebagai tawanan.

Menurut Prof. Hans Hägerdal, Pemerintah Resident Belanda di Kupang, yang dipimpin oleh De Rooy, merespons dengan membentuk tim pasukan yang dipimpin oleh Letnan de Vrijs untuk mengejar dan menaklukkan Sobe Sonbai III. Tahun itu juga, banyak pasukan Sonbai yang menyerah, dan akhirnya pusat Kerajaan Oenam Sonbai di Fatu pup-Molo, Hau pup-Molo Bi Kauniki, berhasil ditaklukkan.

Seperti yang diketahui, Sobe Sonbai kemudian ditangkap dan dibuang ke pulau Sumba. Dr. Parimartha selanjutnya mencatat bahwa kerajaan ini semakin melemah dan akhirnya ditaklukkan secara total pada tahun 1908. Yuridiksi kerajaan Sonbai sejak 1906 dipecah oleh Pemerintah Hindia Belanda menjadi tiga kerajaan, yaitu:

-          Kerajaan Mollo (sekarang di Kabupaten Timor Tengah Selatan) dengan rajanya Oematan,

-          Kerajaan Fatuleu (sekarang di Kabupaten Kupang),

-          Kerajaan Miomafo (sekarang di Kabupaten Timor Tengah Utara).

 

Sedangkan, jauh dari wilayah Sonbai, ada wilayah Belu, yang menurut Dr. Parimartha, masih melakukan penentangan dan menolak membayar pajak kepada Belanda. Oleh karena itu, tindakan tegas dari Pemerintah Hindia Belanda diperlukan. Pada 12 Desember 1906, pasukan Belanda berhasil mengalahkan Raja Wewiku di Besikama, bersama dengan Meo dan 32 pengikutnya yang tewas dalam perang. Hal ini memaksa Keizer Wehali (Maromak Oan) untuk tunduk setelah penyerangan ini.

Setahun berikutnya, pada 1907, Pemerintah Belanda mengeluarkan maklumat kepada raja-raja yang belum tunduk untuk melakukan pendaftaran penduduk, menyerahkan senjata api, dan memenuhi syarat lainnya. Akibatnya, Perang Kolbano meletus di wilayah Amanuban pada 28 Oktober 1907. Namun, pada masa itu, Amanuban telah terpecah-pecah dan tidak saling membantu, sehingga Belanda akhirnya berhasil menaklukkannya.

Masih menurut Dr. Parimartha, karena kecewa dan putus asa, perlawanan di Amanuban berlanjut di Niki-Niki pada Oktober 1910, yang mengakibatkan kematian Raja Amanuban, yang membakar dirinya sebagai bentuk penolakan untuk menyerah.

Setelah itu, Pemerintah Belanda melaksanakan operasi pengamanan untuk wilayah-wilayah yang memiliki hubungan dengan Sonbai, seperti Miomafo, Insana, dan Beboki (bagian dari Kerajaan Belu), yang sebelumnya masih merupakan wilayah merdeka. Semua wilayah ini akhirnya tunduk pada tahun 1915.

Oleh karena itu, untuk menghitung benarkah penjajahan terjadi selama 350 tahun, saya mengajak pembaca budiman untuk membuka kalkulator masing-masing dan melakukan perhitungan sendiri.

 

Apa yang terjadi pada periode 1600-1900

Pada akhirnya, pembaca yang budiman mungkin akan bertanya: apa yang sebenarnya dilakukan oleh kolonial Belanda antara tahun 1600 hingga 1900, sehingga pasifikasi baru terjadi di awal abad ke-20? Padahal, di banyak wilayah lain—terutama di Pulau Jawa—penjajahan telah berlangsung jauh lebih awal dalam periode tersebut.

Pertanyaan ini wajar dan relevan dalam perspektif sejarah nasional. Oleh karena itu, kita perlu menilik kembali rentang waktu sekitar 300 tahun ke belakang untuk memahami konteks di Timor.

Kehadiran Belanda di Timor sendiri baru dimulai pada Juni tahun 1613, setelah Raja Kupang (dari suku Helong) mengusir beberapa biarawan Portugis dari pos mereka di wilayahnya. Ia kemudian menyerahkan pos tersebut kepada Belanda. Namun, saat itu jumlah garnisun Belanda di Kupang sangat kecil. Pusat kekuatan Belanda sebenarnya masih berada di Solor, yang direbut dari tangan Portugis pada bulan April 1613. Pada masa itu, Pulau Timor belum dianggap sebagai wilayah yang aman untuk perluasan kekuasaan Belanda.

Pada tahun 1655, terjadi kerusuhan di pedalaman Timor. Para raja pribumi mengusir orang-orang Portugis, dan dua kekuatan besar saat itu, yaitu Raja Amabi dan Liurai Sonbai, kemudian memutuskan untuk menjalin aliansi dengan Belanda. Mereka mengirimkan permintaan resmi ke Solor.

Belanda merespons dengan mengirim Jacob Ver Heyden, yang tiba di Kupang pada akhir Juni 1655. Pada tanggal 2 Juli 1655, dibuatlah perjanjian antara Belanda dengan Raja Amabi dan Liurai Sonbai, dengan tujuan utama yaitu mengusir Portugis serta menaklukkan sekutu-sekutu mereka, seperti kerajaan Amarasi dan kerajaan Amanuban. Namun, ekspedisi ini gagal yang mengakibatkan Ver Heyden beserta banyak pasukannya gugur dalam pertempuran di pedalaman Timor pada tahun yang sama.

Sebagai tanggapan atas kekalahan ini, Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Gubernur Maluku, Arnoldus Vlaming van Outshorn, untuk memimpin ekspedisi ke Timor. Outshorn sendiri baru saja memenangkan Perang Hoamoal di Maluku. Untuk mencapai kemenangan yang cepat, ia menyusun sebuah rencana militer yang ambisius : menaklukkan Amarasi terlebih dahulu, kemudian bergerak ke Amanuban, dan akhirnya merebut Lifau, pusat kekuasaan Portugis.

Belanda mengerahkan sekitar 600 serdadu kulit putih, jumlah terbesar yang pernah dikerahkan di Timor sebelum Perang Dunia II, ditambah ribuan prajurit dari Solor dan kerajaan-kerajaan sekutu.

Namun, dalam konfrontasi awal di Amarasi, Belanda mengalami kekalahan telak. Sang Jenderal Outshorn hampir saja tewas dan ia kehilangan 80 serdadu. Ketika kembali ke Maluku ia harus menanggung malu. Dalam laporannya, ia menulis:

"Kita sangat diberkati di Amboina oleh Tuhan, tetapi dipermalukan secara memalukan oleh pihak yang lemah kulit hitam di pos Timor."

Outshorn menilai perang ini tidak ada guna dan kerugiannya melebihi keuntungan yang diperoleh - kuah lebih mahal dari pada sup, demikian ia mengutip pepatah kuno Belanda. Ia kemudian menyarankan agar benteng Belanda di Kupang dan Solor dipindahkan saja ke Pulau Rote, yang sudah berada di bawah kekuasaan Belanda. Ia juga menyarankan agar Batavia berdamai dengan Portugis.

Usulan pemindahan benteng ke pulau Rote disetujui oleh Batavia, terutama setelah gempa bumi mengguncang Solor pada tahun yang sama. Namun, usulan berdamai dengan Portugis ditolak. Alih-alih memindahkan kekuatan ke pulau Rote, sebaliknya Belanda memperkuat posisi mereka di Kupang, dan proses pemindahan garnisun selesai pada pertengahan Agustus 1657.

Meski demikian, upaya militer Belanda tetap mengalami kegagalan. Pada September tahun 1657, Sersan Lembrecth Heyman kalah dan melarikan diri dari pertempuran hebat di puncak Gunung Mollo. Akibatnya, posisi Belanda semakin terdesak dan terbatas di kota kecil Kupang, dengan garnisun yang rentan terhadap malaria.

Akibat dari puncak perang ini adalah : kerajaan Sonbai kemudian terpecah menjadi dua : faksi utama kembali menjadi sekutu Portugis, sementara faksi lainnya tetap bersama Belanda dan kemudian dikenal sebagai Sonbai Kecil di Kupang. Sementara itu, Raja Amabi tetap setia sebagai sekutu Belanda.

Pertempuran di Gunung Mollo sangat penting dan dikenang luas. Bahkan Francisco Vieira de Figueiredo, seorang pedagang dan pejabat Portugis, menyebut dalam laporannya di tahun 1664 demikian :

“Amanuban adalah yang terkuat di Pulau Timor dan telah menjadi teman kami, yang akan bersama kami dalam semua peperangan.”

Sebagai catatan, Vieira de Figueiredo juga dikenal sebagai sahabat dekat Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa (kini pahlawan nasional Indonesia dari Sulawesi Selatan).

Konflik ini berlanjut yang menyebabkan migrasi kelompok-kelompok penduduk ke Kupang. Pada 1683, sebagian orang dari Amfuang datang ke Kupang dan mendirikan Kerajaan Amfuang Maniki, terpisah dari Amfuang Timau. Pada tahun 1688, sekelompok Taebenu juga datang ke Kupang dari pedalaman dan membentuk kerajaan baru di Kupang.

Kerajaan-kerajaan ini, bersama Sonbai Kecil, Amabi, dan Helong, yang kemudian dikenal sebagai “Lima Raja Sekutu”, sebagai inti kekuatan politik di kota Kupang.

Namun, situasi tetap tidak stabil. Kupang terus-menerus diserbu oleh pasukan Portugis dan sekutu-sekutu mereka dari pedalaman Timor. Seperti yang dicatat oleh Prof. Hans Hägerdal:

“Wilayah kekuasaan Atoni tertentu, seperti Amarasi dan Amanuban, bertindak sebagai benteng pertahanan terhadap posisi Belanda di bagian barat pulau; bahkan Amarasi melancarkan perang skala kecil yang hampir konstan terhadap kerajaan-kerajaan yang bersekutu dengan VOC pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18.”

 

Peran Topas

Walaupun sebagian besar pulau merupakan sekutu Portugis, namun pemerintah Portugis tidak memiliki kontrol penuh atas raja-raja pedalaman ini. Ada beberapa alasan namun yang paling dominan saya sebutkan saja bahwa kekuatan Portugis dibayangi oleh kekuatan Potugis Hitam yang biasanya di sebut Topas. Lalu siapakah itu Topas?.

Profesor Leonard Y. Andaya dari Universitas Hawai menyebutkan munculnya komunitas Portugis kulit hitam yang dikenal di Timor dan kepulauan Solor [dan Larantuka] sebagai Topasses, identitas tunggal mereka didasarkan pada perpaduan darah pribumi dan Portugis serta bentuk-bentuk budaya. Kemampuan mereka untuk mengakses sumber-sumber otoritas spiritual di wilayah Katolik dan Timor menjamin supremasi mereka.

Topas inilah yang memegang peranan penting bahkan sekaligus menjadi mentor bagi orang Timor untuk menolak dominasi Belanda dan Portugis di Timor. Kelompok Topas ini dipimpin oleh keluarga Da Costa atau De Hornay berkedudukan di Animata (Aenmat) yang berjarak hanya beberapa kilometer dari Lifau. Portugis putih menyebut mereka sebagai Partido de preto – orang Partai Hitam, sedangkan Belanda menyebut Zwarte Portugezen orang-orang Portugis berkulit hitam.

Di kemudian hari, pemimpin Topas yang paling terkenal karena keberaniannya dalam melawan Belanda dan Portugis adalah Antonio da Hornay (memimpin tahun 1664-1669, 1673-1693 ia menggantikan Matheus da Costa). Bahkan Topas-lah yang menentukan harga cendana dan mengontrol seluruh raja-raja di pedalaman dalam bisnis cendana dan lilin lebah. Dalam artikelnya, dosen sejarah UI, Dr. Pradjoko menyebut Antonio d’ Hornay sebagai raja Timor tanpa mahkota.

Bahkan pada tahun 1719, pemimpin Topas Domingos Da Costa dan Francisco De Hornay (adik Antonio De Hornay) berhasil mengumpulkan seluruh raja-raja di Timor di Suai Kamanasa, melakukan sumpah darah untuk saling setia dalam upaya mengusir Belanda di Kupang dan Portugis putih di Lifau. Sejak itu, pulau Timor seperti di dalam bara api yang panas bagi kedua kekuatan kolonial ini. Para raja di bawah besutan Topas sering mengepung kedua benteng bangsa Eropa ini dengan maksud untuk mengusir mereka keluar dari pulau Timor.

Tentu para pembaca yang budiman tidak lupa pada surat Ratu Nonje Sonbai (kerajaan Sonbai Kecil) yang ditulisnya pada April 1713 kepada Gubernur Jenderal di Batavia yang saya kutip dalam tulisan terdahulu untuk mengadukan ulah Opperhofd Leers, bagian yang berhubungan dengan artikel ini tentang penyerbuan ke Kupang saya bold  untuk langsung dipahami.

 “Penguasa bangsa Sonba’i Nonje Sonba’i, dengan bupati sekundernya Nai Sau dan Nai Domingo, serta bupati Taebenu, sekutu setia Yang Mulia, merasa terpaksa menyerahkan beberapa paragraf ini kepada Yang Mulia karena keadaan yang sangat sulit. …. Dstnya …

Namun, ini bukan satu-satunya alasan [ketidakpuasan], tetapi juga kata-kata tajam yang dilontarkan Opperhoofd tersebut terhadap kami tujuh bulan lalu: setiap kali kami sekali lagi terlibat pertempuran dengan musuh-musuh kami, dan [jika kami] memaksa kami harus mundur di bawah benteng Kompeni, maka ia [Leers, red] akan menembaki kami dan tidak mengampuni kami [yang adalah] orang-orang sekutu Kompeni...

 

Keresahan pejabat Kompeni

Kadangkala penyerbuan pihak Topas dan sekutunya menimbulkan keresahan tersendiri dan kekhawatiran yang melanda para pejabat Kompeni. Profesor Hans Hägerdal menjelaskan bahwa terkadang perasaan pribadi para pegawai Kompeni kerap digambarkan dengan ekspresi resah. Salah satu contoh ditemukan dalam sebuah Dagregister yang berasal dari tahun 1735. Pasukan besar Topass dan Amakono yang menyerbu serta mengancam wilayah kekuasaan VOC dan rumor yang tidak menyenangkan dengan cepat menyebar di kota Kupang bahwa beberapa raja sekutu sendiri yang sebenarnya mengundang para penyerbu.

Ketika mendengar kabar berita seperti ini, pihak pejabat Belanda dengan gugup menyarankan para sekutu untuk membawa anak-anak mereka ke dalam benteng demi keamanan, namun justru saat itu usulan ini dipahami oleh para penguasa pribumi bahwa mereka (anak-anak) merupakan sandera.

Akhirnya para raja ini menjawab bahwa mereka akan dengan senang hati melakukannya, dan jika terbukti siapa diantara mereka berkhianat atau tidak setia, maka keturunannya yang sementara ada di dalam Benteng dapat dengan mudah dijual sebagai budak oleh Kompeni. "Begitulah", tulis opperhoofd Gerardus Visscher dengan nada penuh kekesalan, "Bahwa dalam pikiran banyak orang ada kesedihan, ketakutan dan kekhawatiran, sehingga saya sendiripun mulai merasa gelisah. Namun saya berserah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, setelah semua beres saya memutuskan untuk pasrah kepada takdir, sehingga saya pun dapat pergi tidur dengan tenang”.


Topas pecah kongsi

Namun akhirnya pertemanan Topas dengan para raja pribumi harus mengalami perubahan pada tahun 1749 ketika Tenente Jenderal Don Gaspar Da Costa (putra Domingos Da Costa) menjadi pemimpin Topas. Ia bahkan memperbaiki hubungan Topas (Portugis Hitam) dengan mahkota Portugis yang memang selama ini berseteru.

Namun pecahnya kongsi Topas ini bukan semata-mata disebabkan oleh keputusan pemimpin Topas Gaspar Da Costa yang berusaha memperbaiki hubungannya dengan Mahkota Portugis tapi karena ia adalah seorang pemimpin yang berbeda dengan pemimpin Topas sebelumnya. Ia adalah seorang pemimpin Topas yang kasar, rakus dan sombong.

Pemberontakan terhadap Topas dimulai oleh raja Amfuang (Timau), di ikuti oleh raja Amanuban dan di dukung secara sembunyi-sembunyi oleh Liurai Sonbai yang kesemuanya menyatakan perang kepada Topas. Bahkan raja Amanuban dengan berani menyerbu kota kediaman Gaspar Da Costa di Animata (Aenmat – Oekusi sekarang Timor Leste) pada tahun 1749. Tindakan para raja sekutu ini membuat Gaspar Da Costa geram dan marah sehingga ia memutuskan menyerbu ketiga raja ini dan membalas sakit hatinya.

Akibatnya adalah bencana bagi Topas itu sendiri sebab ketiga raja ini akhirnya memutuskan bergabung dengan Belanda di Kupang. Kebencian para raja nampak pada surat-surat mereka yang mereka kirimkan kepada Opperhofd Daniel Van Den Burg di Kupang dan berharap agar mereka secara bersama-sama dapat memusnahkan Topas. Perang besar akhirnya pecah pada 9 November 1749 dengan kematian Don Gaspar Da Costa.

 

Pasca Perang Penfui

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa akhir dari perang ini adalah kehancuran dan kekalahan Topas. Dengan kehancuran ini, maka Belanda melihatnya sebagai peluang untuk menguasai pulau Timor.

Kini wilayah Portugis di Timor Barat yang tersisa hanya Lifau, Ambeno, Insana, Biboki, Sakunaba, Tunbaba, Bikomi, Ambabo, dan Naaiolie. Sementara itu Belu belum menentukan sikap, sedangkan ada sekelompok orang di Noemuti yang diklaim telah menempati sebagian tanah milik Sonbai justru dengan tegas menolak tunduk kepada Belanda. Sedangkan kerajaan selebihnya memilih bersekutu dengan Belanda.

Namun di luar tembok benteng, Belanda mendengar bahwa Liurai Sonbai -  secara diam-diam menjalin komunikasi dengan Portugis dan bahkan mengajak raja Amarasi untuk kembali ke pihak Portugis. Ketika Belanda mengetahui hal ini, maka sikap tegas harus dilakukan. Baob Sonbai (Dom Alonso Salema) ditangkap dan dibuang ke Batavia serta melakukan upaya diplomasi ke Amarasi namun ditanggapi dengan tindakan militer oleh pihak Amarasi sehingga konfrontasi ini mengakibatkan kematian raja Amarasi. Namun ini tidak mengurangi niat mereka untuk tetap menjadi sekutu Portugis.

Untuk menegaskan kekuasaan Belanda, dibuatlah kontrak dagang yang disebut Kontrak Paravicini pada tahun 1756 dan merangkul masuk raja-raja ini. Bahkan para raja memiliki hubungan baik dengan para pemimpin Belanda. Contoh ketika putra raja Amanuban bernama Kobis (mengadopsi nama kristen Jacobus Albertus) saat dibaptis menjadi kristen oleh pendeta Siljsma, maka Bapa Rohani (Bapa Saksi) adalah Opperhofd (Gubernur) William Adrian Van Este.

Namun perdamaian dengan Kompeni dan Amanuban tidak berlangsung lama sebab terjadi perubahan yang cepat. Tubani Nope, putra raja terdahulu yang terlibat perang melawan Topas yaitu Seo Bill Nope yang kini menolak penobatan adik sepupunya - Kobis Nope yang diakui secara sepihak oleh VOC sebagai raja Amanuban. Perang saudara akhirnya tidak dapat dihindarkan yang berakibat pada perpecahan Amanuban di tahun 1770, yaitu Kobis atau Jacobus Albertus yang di dukung oleh VOC Belanda dan Tubani Nope yang merdeka.

Akhir dari perang tidak menguntungkan bagi pihak Kompeni. Raja Kobis yang didukung VOC Belanda dikalahkan oleh faksi Tubani sehingga akhirnya rakyat Amanuban mengakuinya sebagai penguasa Amanuban yang anti Belanda dan tentu saja sejak saat itu Amanuban menolak semua bentuk kehadiran Belanda di tanah Amanuban. Surat Resident Kupang bertanggal 19 maret 1802 kepada Gubenur Jenderal di Batavia menyebutkan tentang konflik ini “Dan kerajaan ini akhirnya di perintah oleh sepupunya Tobanio” demikian akhir laporan Resident kepada atasannya.

Bahkan legasi ini berlanjut hingga putra Tubani yang bernama Louis Kusa Nope (1802-1824) yang lebih gigih melawan Belanda. Dalam catatan-catatan bangsa Eropa sendiri, ia secara intens menyerbu Kupang bahkan tahun 1811 membakar rumah kediaman Gubernur (Resident Belanda) di Kupang.

Kapten Phillips King dari Inggris ketika tiba di Kupang tahun 1818 melaporkan bahwa Resident Kupang, Jacobus Arnoldus Hazaart menyebut Louis Nope Amanuban sebagai seseorang dengan reputasi seperti Bonaparte.

Ekspedisi dikirim dari waktu ke waktu untuk melawan Amanuban namun gagal, terutama ketika masa Interegnum Inggris di Hindia Belanda termasuk Kupang di tahun 1812-1816.

Dalam laporan Belanda oleh Emanuel Francis, pada tahun 1832, (H548, KITLV) demikian :

Amanuban adalah kerajaan yang wilayahnya luas, mengobarkan perang melawan Kupang (Belanda) sejak lama. Orang-orang di sana dianggap paling berani di seluruh Timor. Mereka bahkan memiliki reputasi yang tak terkalahkan.

 

Bukan saja Belanda yang mengeluh tentang situasi politik di Timor tapi Portugis juga memiliki keluhan yang lebih buruk lagi. Untuk menanggulangi situasi ini, bukan hanya Belanda, dari pihak Portugis juga sebenarnya telah mengerahkan tidak kurang dari 60 ekspedisi bersenjata antara tahun 1847 hingga 1913 untuk menaklukkan Timor dengan hasil yang mengecewakan.

 

Pembagian pulau Timor

Keadaan rumit ini memaksa Kolonial Belanda menawarkan perdamaian dengan Portugis. Menanggapi tawaran ini, maka Gubernur Jose Lopes de Lima langsung menyetujuinya. Sejak tahun 1854 hingga 1859 mereka berunding dan menyepakati batas-batas utama yang dituangkan dalam Traktat da Lisboa. Belanda wajib membayar 200.000 Florin kepada Portugis untuk wilayah yang diakuisisi. Sekalipun sementara mereka sedang melangsungkan perundingan, Belanda harus mengerahkan ekspedisi militernya untuk menghadapi “domain Amanuban yang ekspansif dan kuat di pedalaman pulau Timor” demikian Profesor James Fox menyampaikan dalam tulisannya.

Pada tahun 1860, bahkan saat itu sedang bernegosiasi dengan Belanda untuk pengambil alihan atas 'wilayah Portugis di Timor', Gubernur Dili, Affonso de Castro, menggambarkan situasi dengan keterusterangan yang luar biasa. Ia berkata dengan sinis : Kerajaan kami [pemerintahan Portugis] di pulau ini hanyalah sebuah ilusi (fiksi)”

      Gambaran dari pihak Belanda tidak lebih baik lagi. Misionaris Kristen W.M Donselaar dalam laporannya tahun 1850 menyebut demikian : 

“Amanuban adalah negara kesatuan dengan pusat Niki-Niki, kerajaan ini memusuhi Belanda sejak lama dan ekspedisi militer dikirim dari waktu ke waktu, yang terakhir dibawah Resident Hazaart [1822 atau 28 tahun sebelumnya, red] namun tidak berhasil. Terlepas dari penggunaan artileri dan senjata berat, Belanda tidak bisa menaklukan Niki-Niki, sementara itu, raja di Niki-niki masih tetap memusuhi Belanda…”

 

Sekutu Belanda ditindas?

Dalam pelajaran sejarah, gambaran program Cultuurstelsel atau tanam paksa digambarkan secara gamblang sebagai bentuk kekejaman kolonial Belanda. Tentu para pembaca yang budiman akan bertanya, bagaimana nasib kerajaan-kerajaan (terutama kelima raja sekutu di kota Kupang) yang mengaku tunduk pada pemerintah Belanda. Apakah mereka disiksa, di palak, diperas, dimintai uang pajak, di kerahkan sebagai budak rodi, di paksa tanam paksa (Cultuurstelsel) oleh Belanda?.

Perspektif ini penting terutama untuk meluruskan Sejarah Timor sekaligus untuk memahami hubungan kedua belah pihak. Dalam berbagai memorandum pemimpin Kompeni yang terarsip sejak akhir tahun 1600, oleh opperhoofden yang bertugas, dijelaskan dengan lugas bahwa kelima raja sekutu biasanya mengurus bisnis mereka sendiri.

Sekali setahun, sekitar bulan September, mereka akan mengirimkan hasil bumi ke Benteng Concordia, yang biasanya terdiri dari lilin lebah dan kayu cendana, yang kemudian dikirim ke Batavia dengan segera melalui kapal Belanda sebagai hadiah (schenckagie). Hadiah ini disertai dengan surat penghormatan oleh 5 raja Sekutu dalam bahasa Melayu.

Sebagai balasannya, Batavia mengirimkan komoditas dagang kepada para raja setimpal dengan jumlah hasil bumi yang dikirimkan ke Batavia berupa : senjata api, amunisi, tekstil, kancing dan lain-lain. Laporan Opperhoofden menjelaskan dengan jelas bahwa pertukaran ini menjadi perhatian utama para bangsawan setempat, yang dengan senang hati akan menantikan pengiriman barang dan komoditas tersebut dapat sampai ke tangan mereka.

Selain pengiriman ini, tidak ada pajak rutin yang dikenakan oleh pihak Belanda, meskipun kerja rodi dikenakan dari waktu ke waktu. Para raja sekutu di harapkan menjual tiga puluh ekor babi untuk setiap raja per bulan kepada garnisun di Benteng, dan mengirimkan batu kapur dan kayu untuk pekerjaan konstruksi bila diperlukan. Tentu saja para raja sekutu juga diminta oleh kompeni untuk berpartisipasi dalam ekspedisi militer apabila ada penyerbuan Portugis dan sekutunya.

Dalam laporan-laporan ini banyak cemoohan ditujukan pada kemalasan yang dirasakan penduduk asli. Keluhan Belanda dalam laporannya ditulis sebagai ekspresi jelas dari rasa frustrasi karena mengatur rakyat ke-5 raja sekutu.

Salah satu contoh sebagai berikut : selama abad kedelapan belas, otoritas pusat VOC mulai mempertimbangkan cara untuk membuat Kupang – sebagai pos yang tidak pernah menguntungkan ini dapat menutupi biaya yang telah dikeluarkan untuk mempertahankannya.

Menyadari bahwa akses mereka untuk memperoleh kayu cendana sangat terbatas, maka pihak Belanda mengusahakan berbagai produk lain untuk di budidayakan sebagai tanaman komersial yang diperkirakan dapat menjadi pengganti dari cendana yaitu budidaya tanaman kacang-kacangan, nila, lada dan lainnya. Bahkan budidaya sutra disebutkan untuk sementara waktu, yang mana program-program ini menyebabkan beberapa pernyataan frustrasi yang luar biasa oleh Gubernur Jenderal Dirk Durven (1731). Ia sadar bahwa ide ini agaknya sia-sia bahkan membawa beban tersendiri bagi para Opperhofd:

 […] di negeri yang setelah dijelaskan lebih lanjut oleh para pegawai [Perusahaan] sendiri berpendapat bahwa hal tersebut tidak akan ada pengaruhnya. Pertama, karena negeri itu penuh dengan semut dan tempat tinggal penduduk asli yang sederhana dan kumuh, terbuat dari kayu, ditutupi jerami, dan dilindungi bambu. Mereka memiliki tempat tidur di lantai atas dan ternak mereka di lantai bawah. Kedua, karena penduduknya sangat malas sehingga sepanjang tahun mereka hanya menanam jagung (di Belanda dikenal dengan nama tepung Turki) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu, orang tidak mungkin berpikir bahwa mereka akan pindah tempat tinggal atau membangun rumah untuk tujuan [menangani produksi sutra] […]. (Van Goor 1988: 264-265.)

 

Meskipun kemalasan orang Timor dianggap wajar sehingga memancing banyak komentar yang menjengkelkan dalam laporan-laporan tersebut, juga dirasakan bahwa posisi Belanda di Timor hampir tidak memungkinkan bagi mereka, guna memaksa sekutu-sekutu mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan rutin dengan cara-cara yang kasar. Apabila mereka salah berbicara, maka kesetiaan sekutu dikhawatirkan berubah dan berpindah ke pihak Portugis.

Dalam sebuah memorandum dari tahun 1758, seorang Opperhoofd memberi tahu kepada calon Opperhoofd yang akan menggantikannya dengan sebuah catatan yang menggambarkan demikian : "Kerja rodi dan tugas-tugas yang sejak lama harus dilakukan oleh lima bupati utama, namun [untuk melakukannya] harus disampaikan dengan cara sedemikian rupa sehingga mereka tidak boleh dipaksa, tetapi [mereka harus] diminta dengan halus dan didorong."

Apabila di Kupang, kelima raja sekutu sendiri tidak bisa dengan seenaknya di kontrol oleh Kompeni, maka bagaimana dengan kerajaan-kerajaan yang jauh dari Kupang yang berada di luar kendali Kompeni seperti Amanuban misalnya. Mungkinkah saat itu pihak Kompeni dapat secara leluasa menjajah, menindas dan mengangkat orang untuk menjadi raja di suatu tempat yang jauh dari yuridiksi kekuasaan Belanda di Kupang agar raja boneka Belanda ini menjadi kaki tangan Belanda yang menindas atas nama Belanda?. Jadi jelas Cultuurstelsel atau tanam paksa tidak pernah di jalankan di Timor.

Karena keterbatasan waktu dan text, maka saya sudahi tulisan ini untuk tulisan-tulisan lainnya yang akan datang. Semoga pembaca budiman tidak bosan-bosan membaca tulisan saya yang sederhana ini. Setidaknya para pembaca yang budiman bisa memahami dan tahu apa itu penjajajahan 350 tahun yang telah dilakukan oleh Belanda dan Portugis secara brutal dan diluar batas kemanusiaan ini yang akhirnya berhasil di akhiri oleh tangan dingin Ir. Soekarno dengan membacakan selembar teks proklamasi.

Jasa-jasa Ir. Soekarno atas kemerdekaan rakyat Timor sangat layak dihormati sehingga patut diapresiasi dengan memberikan legasi bagi Pemerintahan Republik Indonesia untuk bisa mengklaim tanah-tanah masyarakat Amanuban menjadi milik Kawasan Hutan Laob Tumbesi yang saat ini sangat merisaukan masyarakat Amanuban.

Apabila Rocky Gerung berkata “The Philosphy is mother of sience” maka saya Pina Ope Nope berani berkata “The Philosphy is there but the History is mother of Philosophy”. Tanpa sejarah, kita tidak bisa memahami apa dan pikiran-pikiran seperti apa yang terbersit dalam benak para pendahulu kita.

Namun sepenting apakah Sejarah itu bagi kemajuan sebuahbangsa? Sun Tzu seorang ahli perang dari China (500 SM) mengatakan demikian : “Untuk mengalahkan suatu bangsa yang besar tidak perlu dengan mengirim pasukan perang, tapi dengan cara menghapus pengetahuan mereka atas kehebatan para leluhurnya. Maka mereka akan hancur dengan sendirinya”.


Komentar

  1. Makasi banyak. Ini menolong untuk melihat penjajahan dari konteks sejarah yg lebih utuh di Timor.

    BalasHapus
  2. Syalom adikku makasih atas gambarannya bahwa publikasi sejarah pulau Timor ini sangat diperlukan sebab generasi kita sekarang mereka lupa sejarah pulau Timor untuk itu maduan saya kalau bisa kita masukan dalam kurikulum lokal sehingga jangan kita pelajari sejarah pulau Jawa dan daerah daerah lain tetapi Timor jg harus dipelajari karena sangatlah penting mks syalom

    BalasHapus
  3. SALAM HORMAT NAI BOT, URAIAN DALAM TULISANNYA NAI BOT SANGAT TERSTRUKTUR DENGAN BAIK, WALAUPUN HANYA TERBATAS PADA BELANDA NYA DAN SEDIKIT PORTUGIS DENGAN PARA RAJA DI TIMOR BARAT, PORTUGIS HANYA AMBENO, KIRANYA PADA TULISAN LAINNYA NANTI BISA DI TAMBAHKAN RAJA DI PULAU MANUA TIMOR BAGIAN TIMUR SEKARANG TIMOR LESTE, SEBAGAI SEJARAH PULAU MANUA TIMOR SECARA UTUH UNTUK GENERASI KITA, BRAVO AND PROFICIAT HISTORY MAKING FOR FUTURES

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH TIMOR : BENARKAH ORANG TIMOR BUTA HURUF?

Seri Sejarah Timor : GUBERNUR PALING JENIUS DALAM SEJARAH KUPANG (Bagian I)

TUA ADAT NAILEU (DESA TETANGGA BOTI) Kepada Kepala BPN - Laob Tumbesi pelanggaran HAM