PRODUKTIVITAS ORANG NUSANTARA DALAM KACAMATA SEJARAH
PRODUKTIVITAS ORANG NUSANTARA DALAM KACAMATA SEJARAH
DI MASA DULU DAN KINI
Oleh: Pina Ope Nope
Pada awal tahun 1900-an, masih dalam
masa Kolonial Belanda, datanglah dua bersaudara yaitu Emil Helfferich dan
Theodor Helfferich yang berkebangsaan Jerman ke Indonesia. Lalu mereka
berkunjung di daerah Cikopo, Bogor (Jawa Barat) dan membeli tanah disana seluas
900 hektar dan membuat perkebunan teh. Mereka kagum dengan kesuburan tanah
Indonesia dan lahan tidur yang luas namun yang membuat mereka merasa aneh
adalah masyarakat menjual tanahnya lalu menjadi buruh pemetik teh dengan gaji hanya
sebesar 2,5 sen per hari. Fenomena ini akhirnya mendorong mereka untuk membuat
pernyatan mereka yang terkenal “Eine
nation von kuli und kuli unter den nationen” yang kurang lebih artinya
demikian “Indonesia adalah bangsa kuli, dan kuli di bawah bangsa-bangsa lain[1].
Walaupun pernyataan Helfferich bersaudara
ini sudah menggema jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia namun kesadaran
pembangunan manusia Indonesia masih berjalan di tempat. Tidak dapat disangkal
bahwa di era pembangunan pasca
kemerdekaan Indonesia yang berbelit-belit ini, semua lapisan elit politik
seolah-olah berpikir keras untuk membangun bangsa negara Indonesia. Banyak
upaya yang dibuat untuk menggenjot pembangunan, sarana dan infrastruktur
dibangun dengan berbagai upaya dengan harapan bahwa ada perubahan peradaban
dari era terjajah ke era bebas dari jajahan. Namun akan nampak
kemudian bahwa pembangunan negara ini dan terutama daerah kita di Nusa Tenggara
Timur dengan mengejar ketertinggalan lebih fokus kepada fisik dibandingkan
manusianya.
Fenomena Lipus
Ada sebuah Joke yang saya kisahkan untuk memulai tulisan ini. Alkisah, ada
seorang ahli ekonomi kenamaan dari Amerika Serikat, namanya Prof. Samuel
Huntingberg yang setelah sibuk dengan berbagai urusan bisnisnya di negeri Paman
Sam, ia memutuskan untuk berlibur. Karena fasih berbahasa Indonesia maka ia memilih
berlibur di Indonesia dan pilihannya jatuh di pantai Kolbano suatu pantai yang
indah Amanuban di selatan kabupaten TTS.
Ketika ia berlibur disana, ia bertemu
dengan seorang nelayan yang rajin dan gesit bernama Lipus Atoinmese. Mr. Samuel
kagum dengan kerajinan dan kegesitan si nelayan Lipus, tapi sayang kehidupan
Lipus sangat miskin dibawah sebuah pondok kecil beratapkan daun lontar dan
peliharaanya yaitu babi dan kambing yang mengintari rumahnya. Hal yang
mengejutkan sang profesor adalah kualitas ikan di laut Kolbano sangat bagus dan
potensi cadangan ikan tidak terbatas sebab berada diperairan samudera Hindia.
Akhirnya, Prof. Samuel memutuskan untuk mengikuti dan mencermati kegiatan Lipus
sehari-hari.
Prof. Samuel mendapati Lipus turun
melaut pada subuh pagi pukul 3.30 lalu kembali sekitar pukul 7 pagi dengan
hasil tangkapan yang banyak. Lipus menjual sebagian hasil tangkapan kepada
pengepul ikan yang sudah menanti di pantai, sebagian lagi dibawa pulang ke
rumah untuk dimasak oleh istrinya. Hasil tangkapan lainnya dibagikan kepada
keluarga dan tetangga terdekatnya. Ia menyisakan sekitar 20 ekor ikan untuk
dijadikan sabat (tolakan) bersama teman-temannya
sambil minum laru (tuak). Mereka
minum laru dan sabat ikan hasil tangkapan
Lipus sambil bersenda gurau dan menyanyi dan menari-nari diiringi Juk yaitu gitar tradisional Timor
sejenis okulele.
Mr. Samuel berdiskusi dengan Lipus
setelah ia siuman dari pengaruh laru.
“Lipus, setelah saya mengikuti keseharianmu saya berkesimpulan kamu bisa kaya”.
Lipus menimpali “Oya?. Caranya?”. Lalu Mr. Samuel melanjutkan “setelah kamu
melaut harusnya hasil tangkapanmu kau jual semua dan sisakan sedikit saja untuk
istri dan anak-anakmu. Setelah itu menabunglah dan beli kapal dan alat tangkap
ikan yang lebih besar dan lebih baik sehingga hasil tangkapanmu tentu akan
semakin banyak”. Lalu Lipus menjawab “tapi kalau ikan semakin banyak lalu siapa
yang akan membeli?”. Lalu Mr. Samuel berkata “jangan kuatir, kalau hasil
tangkapanmu yang tidak laku terjual, dapat kau buat dalam bentuk olahan lainnya
seperti ikan kering, ikan pindang atau yang lainnya yang bisa awet
berbulan-bulan dan bisa dipasarkan ke supermarket-supermarket atau dijual secara
on line. Tentu penghasilanmu akan
semakin bertambah dan kamu bisa membeli kapal penangkap ikan yang bertonase
besar”.
Mr. Samuel berhenti sejenak untuk
memberi waktu beberapa menit bagi Lipus untuk mencernanya, lalu ia melanjutkan
“berikutnya hasil tangkapan ikan yang semakin banyak itu kamu bisa membangun
pabrik pengolahan tepung ikan sebab permintaan tepung ikan di pasar dunia
sangat tinggi tetapi pasokannya sangat terbatas. Tentu kami akan membantu
permodalan dan konsultasi bisnis secara gratis. Setelah pabrik tepung ikan kamu
berhasil tentu kamu semakin kaya dan bisa menjual sahammu secara terbuka di
pasar saham dan modalmu akan berkali-kali lipat dan mungkin bisa sampai ratusan
Milyard dan kamu akan kaya”.
Lipus merenung cukup lama lalu mengangguk-angguk
dan berkata “lalu kalau setelah saya kaya, saya kerja apa?”. Lalu Mr. Samuel
berkata menghibur “tentu kamu bisa hidup santai dan bisa minum laru dan makan sabat bersama
teman-temanmu, kamu bisa menyanyi dan menari lagi bersama mereka sambil bermain
juk”. Lipus menjawab spontan “tapi
pak Profesor, saya tidak perlu harus serepot itu. Penjelasan profesor memang
jelas tapi cukup rumit kalau hanya akhirnya untuk bisa minum laru dan makan sabat sambil bermain juk
dengan teman-teman. Tokh sekarangpun
saya sudah begitu.... lagian kalau saya sudah kaya, maka kemungkinan besar nama
saya pasti dicoret dari daftar penerima bantuan perumahan sosial, juga PKH dan
BLT...”. Mr. Samuel heran dan bingung lalu bertanya “Lipus... apa itu PKH dan BLT?”.
Walaupun ini adalah sebuah Joke namun ini cukup menyentil
perspektif masyarakat kita tentang kekayaan dan kesejahteraan. Kita (saya dan Lipus-Lipus
lainnya) adalah kumpulan besar masyarakat kecil yang masih memiliki pola pikir
yang jalan di tempat yang memandang kehidupan pembangunan berbangsa dan
bernegara dengan perspektif yang sederhana. Jangankan Lipus, salah satu anggota
DPR RI baru-baru ini saja viral di media sosial karena mengusir salah satu
Direktur BUMN dari ruang rapat hanya gara-gara gagal paham tentang pasar modal.
Jelas kemudian bahwa, fenomena Lipus ini
kita tidak bisa semata-mata menyalahkan para para pejabat Negara kita dan juga
politisi-politisi kita yang berlomba-lomba untuk membuat masyarakatnya menjadi kaya
raya sebisanya dengan berbagai program pembangunan fisik, menelurkan
undang-undang yang rumit hingga mengucurkan bantuan-bantuan sosial. Pada
kenyataannya jalan pintas Politik dengan segala bantuan-bantuan langsung ini
akhirnya secara psikologis berhasil menekan produktivitas di alam bawah sadar.
Pembangunan fisik dimana-mana tidak sejalan dengan pemikiran bahwa perspektif
masyarakatlah yang harus dibangun mulai dari Lipus dengan sampannya hingga
Pejabat Politik dengan kursi empuk di senayan. Kegagalan negara memperbaiki SDM
masyarakat adalah begitu nyata sehingga pameo dari Helfferich bersaudara bahwa “Eine nation von kuli und kuli unter den
nationen” menjadi mencolok dan tidak bisa dielakkan lagi dalam kehidupan
keseharian masyarakat Indonesia dari sabang sampai Merauke.
Perpektif
Kolonialisme dari sudut berbeda
Pendapat dari Helfferich
bersaudara tentu berkaitan dengan keterbelakangan masyarakat kita di masa
lampau, namun bila kita menelusuri catatan-catatan kolonial maka kita akan
temukan tentang keadaan sosial masyarakat Hindia Belanda yang menggambarkan
bahwa pola pikir serta produktivitas kita tidak memiliki perubahan kurang lebih
200an tahun berjalan. Hal ini kemudian menjadi katalisator sehingga mempengaruhi lamanya
Belanda bercokol di Nusantara sebagai pemerintahan Kolonial.
Walaupun kolonialisme mungkin
membawa suatu perubahan peradaban bagi suatu komunitas tertentu, namun semua orang
setuju bahwa penjajahan adalah pencapaian terburuk dalam peradaban manusia.
Tentu saja bagian terburuknya adalah “orang
asing menjadi pengatur di negeri orang lain”, itulah sebabnya muncul
istilah umum “biar makan batu yang penting kita diatur oleh bangsa sendiri”.
Walaupun belum pernah kita mendengar orang makan batu, namun banyak dari kita
dan Lipus-Lipus kita yang masih tersandung batu peradaban dan bahkan kita masih
tergilas oleh batu kemajuan peradaban di tengah dunia yang semakin beradab.
Apabila kita merunut pada sejarahnya,
pada awal hadirnya pemerintahan Kolonial di Nusantara berjalan tentu bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan perdagangan terutama kolonialisme ini justru
dijalankan oleh perusahaan perdagangan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Perusahaan Belanda Hindia
Timur). Namun bukankah keberlangsungan kehidupan suatu negara
tergantung pada kemampuan berdagangnya?. VOC, sebagai supir Kolonialisme
di Indonesia hadir ketika alam kesadaran peradaban dan perubahan masyarakat
kita masih sangat lemah.
Ketika bangsa Eropa, bangkit dari
keterbelakangan mereka, menyatukan pola pikir mereka dan menyingkirkan
perbedaan dan bersatu dibawah suatu sistim pemerintahan yang lebih unggul lalu melangkah
masuk ke daerah-daerah Nusantara yang masih terisi oleh entitas-entitas lokal
dan suku-suku yang terpecah-pecah dan saling menghancurkan. Mereka hadir sebagai
entitas Politik yang teratur dan terstruktur dan sangat konkrit serta esensial
dimana mereka mampu mempertahankan suatu sistem yang seimbang yang menutup
kekurangan-kekurangan pada entitas-entitas lokal kita yang masih terkukung oleh
ego diri sendiri dan keterbelakangan.
Sebagai contoh pemimpin wilayah di utara
Sulawesi yang menghadapi konflik pada akhir abad ke tujuh belas, kemudian
melihat keunggulan entitas asing ini dan meminta campur tangan orang-orang
Belanda sebagai sarana untuk mengendalikan konflik internal dan mencapai
adjukasi yang adil[2].
Pada contoh kasus ini, sebenarnya otoritas Belanda pada mulanya tidak menggunakan
kekuatan yang besar, pasukan VOC yang dikerahkan ke Sulawesi utara sangat
terbatas. Maka jelas bahwa dari sudut pandang itu dapat disimpulkan bahwa
pemerintahan Kolonial di Nusantara bukanlah upaya kolonial sepihak.
Begitu juga bagian dimana ketika
Pangeran Bugis, La Tenritatta to Unru’ (1634-1696) atau Arung Palakka
menggandeng Kolonial Belanda untuk menumbangkan dominasi kesultanan Gowa yang menjajah
Bone hingga menimbulkan perasaan benci selama bertahun-tahun di hati masyarakat
Bone[3].
Akhirnya Arung Palakka menggandeng VOC Belanda dan berhasil mengalahkan kesultanan
Gowa yaitu Sultan Hasanudin (kini Pahlawan Nasional) serta membebaskan bangsa
Bone dari penjajahan Gowa. Namun naas bagi Arung Palaka, kini justru ia dianggap
sebagai pengkhianat sedangkan Hasanudin sebagai Pahlawan, namun bagi orang Bone
– Arung Palaka.
Begitu juga dengan hadirnya orang Eropa
di kalangan suku dayak membawa dampak dimana mereka memandang orang Eropa
sebagai pembebas. Seorang naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace mencatatkan
ketika tahun 1800an berkunjung ke pedalaman Kalimantan menemukan fakta bahwa
justru orang-orang Dayak mengagumi bahkan mengagung-agungkan Sir James Brooke
sebab ia berhasil membebaskan bangsa Dayak dari perampokan dan perbudakan. Disebutkan
oleh Wallace bahwa sebelumnya orang-orang Dayak ini ditekan, digilas oleh
tirani yang kejam. Mereka ditipu dan ditindas oleh pedagang Malaya, lalu
istri-istri dan anak-anak sering ditangkap dan dijual sebagai budak dan
suku-suku yang bermusuhan membeli ijin dari penguasa kejam untuk menjarah,
memperbudak dan membunuh mereka.
Namun Sir James Brooke menghentikan itu
semua dan bahkan tidak meminta imbalan apa-apa dari penduduk setempat. Ia lalu
diangkat menjadi raja Serawak oleh Sultan Brunei sebagai penghormatan. Mengenai
ini, bahkan Wallace merasa lucu ketika ia ditanyai oleh penduduk Dayak di
pedalaman dengan pertanyaan aneh “apakah orang asing ini (Sir James) setua
gunung-gunung?. Bisakah ia menghidupkan orang mati?. Mereka sangat yakin bahwa
Sir James bisa memberi mereka panen yang bagus dan melimpah. Bahkan mereka
percaya bahwa orang asing ini turun dari langit untuk memberi berkah bagi orang
menderita”[4].
Lalu bagaimana dengan pulau Jawa?. Keadaan
politik di Pulau Jawa pada abad awal-awal kolonialisme yang terpecah-pecah
karena sentimen agama. Bencana peradaban itu dimulai ketika kerajaan-kerajaan
baru bercorak suatu agama mulai berdiri dan mendapatkan banyak pengikut, lalu menyerbu
dan menghancurkan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang sudah lama ada di pulau
itu. Pada saat genting itulah bangsa Eropa muncul di pulau utama itu. Entitas
Eropa ini lalu dimanfaatkan oleh satu kelompok untuk melawan kelompok lain,
saling menghancurkan dan meruntuhkan peradaban masing-masing yang kemudian
secara perlahan entitas Eropa ini mengambil alih dominasi pulau itu. Inilah
yang kemudian muncul ide-ide dari para perumus pendidikan kita untuk menelurkan
istilah de vide et impera sebagai
kambing hitam untuk menutupi ketidak mampuan kita untuk mengakui kelemahan kita
sendiri.
Begitu juga hadirnya entitas Belanda di
Solor adalah peran para bangsawan Solor dan jangan lupa itu adalah bantuan dari
raja Buton dengan kora-koranya untuk mengusir keberadaan orang-orang Topas (orang
Solor dan Timor campuran keturunan Portugis yang menjadikan Solor sebagai
pangkalan dagang) disana. Sedangkan di Timor sendiri disebutkan dalam tradisi
lisan yang sempat dicatatkan oleh Middelkoop bahwa peristiwa pengenalan orang Kupang
kepada orang Belanda yang datang di kawasan Timor karena seorang nelayan bernama
Maudasi dari Solor yang terdampar di Kupang. Maudasi menceritakan tentang
keberadaan orang asing (Kaes Muti’) di Solor, Lamakera, Trong, Lamahala dan
Adonara yang mengakui mereka sebagai teman mereka dan menganggap mereka sebagai
tuan mereka karena mereka sangat baik dan tidak ada yang hilang disana[5].
Itulah awal ketika raja Helong kemudian
menyuruh utusan untuk menjemput orang Belanda ini untuk mengakui mereka sebagai
Aina-Ama Kompania (orang tua Kompeni)
dan mengakui sebagai tuan. Raja Helong membutuhkan Aina-Ama Kompania untuk mencegah dominasi orang-orang Topas di
Pulau Timor yang menggandeng kerajaan-kerajaan sekutu mereka (Amanuban, Mena,
Asson, Amarasi, Wehali dan Amakono) di padalaman Timor. Lalu Belanda berhasil
menggadeng kerajaan Amabi dan Sonbai untuk bersatu bersama Helong untuk tujuan
itu (untuk selengkapnya para pembaca
dapat membaca kisah yang berhubungan dengan tema ini di Blog ini berjudul “Kisah Kekalahan
Voc Belanda Di Pulau Timor Pada Awal Abad 17 Bagian 1).
Lalu bagaimana dengan Pulau Rote?. Tentu
saja peristiwa yang hampir mirip di pulau Rote. Berdasarkan suatu dokumen di
tahun 1685, disebutkan bahwa Fooa Teyamma temukung dari Raccouw datang kepada
orang Batuisi dan berkata “datang bersama
kami. Kita akan bersama-sama dengan orang-orang Amarasi melawan raja Kompeni”.
Namun orang-orang Batuisi menjawab “mengapa
kami harus melawan ayah dan ibu (Aina Ama) kami?”. Lalu terjadilah perang
saudara antara Raccouw, Bilba dan Korbaffo melawan Batuisi yang kemudian Batuisi
mendapat bantuan Ama Aina Kompeni dan berhasil mengusir orang-orang Amarasi ini
kembali ke Pulau Timor. Akhirnya entitas asing ini mendominasi pulau mungil itu
selama hampir 300 tahun berikutnya[6].
Pada kenyataanya Kolonialisme di
Nusantara tentu saja dikarenakan adanya celah keegoisan kita dan terlebih lagi
karena kebodohan dan keterbelakangan masyarakat pada masa itu. Alih-alih untuk
itu maka istilah de vide et impera sebagai
penyebab semua itu menjadi jargon yang paling umum sebagai kambing hitam yang
gemuk dan menggiurkan untuk ditawarkan kepada murid-murid sekolah.
Produktivitas
manusia nusantara pada masa lampau
Naturalis Inggris yang kenamaan Alfred Rusell Wallace mengunjungi pulau Jawa
pada tahun 1861. Ia menyimpulkan bahwa pulau Jawa adalah pulau yang sangat
subur dan semua tanaman produksi Tropis yang bagus dapat ditanam disana. Bahkan ia
berkata bahwa Jawa dari segala sudut dan secara adil bisa diklaim sebagai pulau
tropis terbaik di dunia dengan pemandangan yang cantik bagi turis dan dengan
keanekaragaman kecantikan alam tropis. Mengenai peradaban ia menilai sedikit
satire bahwa peradaban pra Islam yaitu peradaban Hindu yang digeser oleh agama
baru yang berkembang secara pesat disana – justru memiliki keunikan dan daya
tarik yang kompleks dan maju dimana peradaban ini belum bisa disamai oleh
peradaban agama pendatang berikutnya. Bahkan ia mengagumi karya-karya
candi-candi dari batu-batu yang keras dan indah, gapura-gapura dari bata yang
presisi yang belum pernah dilihatnya, patung-patung pahatan dan
bangunan-bangunan kuno lainnya yang sangat indah yang saat itu masih sangat
banyak dan berserakan dimana-mana itu sebagai karya agung yang sangat eksotis.
Namun ia menilai bahwa terjadi
kemunduran dengan berkata “lima ratus tahun yang lalu, karya-karya agung ini
telah dibuat, penduduknya justru sekarang membangun rumah-rumah kasar dari
bambu dan jerami dan melihat relik-relik agung yang dibuat oleh nenek moyang
mereka, membuat ketakjuban dan ketidak percayaan seolah-olah karya-karya besar
itu buatan raksasa atau setan”. Suatu gambaran yang adil.
Namun mengenai produktivitas disana,
di pulau Jawa ia menggambarkan demikian “penduduk asli wilayah iklim tropis
memiliki sedikit keinginan dan ketika keinginan mereka telah terpenuhi, mereka
cenderung bekerja tanpa dorongan atau motivasi yang kuat. Memperkenalkan sistem
pertanian baru atau sistematis pada orang-orang ini hampir tidak mungkin bisa
dilakukan kecuali dengan perintah lalim para ketua desa yang biasa mereka
patuhi”. Demikian ia menilai bahwa produktivitas masyarakat di pulau itu masih
minim dan terikat oleh minuman keras, opium dan lintah darat yang sudah membeli
hasil tanaman itu sebelum dipanen bahkan sebelum ditanam[7].
Lalu bagaimana di Timor?. Tentu dari
sudut pandang sejarah perlu kita ketahui bahwa sejak berakhirnya pertempuran gunung Mollo tahun 1657
dimana kemudian membuat eksodus penduduk dari pedalaman Timor ke Kupang yakni penduduk
dari kerajaan Amabi dan Sonbai, maka secara otomatis sekutu Belanda di Kupang
hanya raja Kupang, Amabi dan Sonbai (Sonbai Kecil) berikutnya datang pula
gelombang sebagai sekutu di Kupang yaitu Amfoan (1683) dan Taebenu (1688) yang
kemudian dalam dokumen-dokumen disebut sebagai Lima Raja Sekutu sebab pengaruh Belanda hanya berkisar di Kupang
dengan Kelima Sekutu ini hingga pecah perang Penfui tahun 1749.
Dari dokumen-dokumen VOC dapat
diketahui mengenai situasi sosial politik saat itu. Orang-orang Belanda
mengamati bahwa orang Timor, ketika mereka tidak dapat meluruskan urusan mereka
sendiri, mereka sering beralih kepada Kompeni dan meminta Kompeni untuk
menengahi urusan mereka yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Kadang-kadang
masalah-masalah itu yaitu pencurian juga pergolakan dari satu kepala suku melawan
kepala suku lainnya, pencurian ternak, pengerusakan tanaman di ladang,
vandalisme hingga perkawinan dan belis-belis yang berakhir dengan bentrok
fisik. Oleh keadaan ini, maka Belanda memandang perlu untuk menjaga keutuhan kelima
raja Sekutu ini tetap solid, maka sering diadakan pertemuan-pertemuan di aula
di dalam Benteng (Fort Concordia) untuk dapat menengahi persoalan-persoalan yang timbul
diantara mereka. Dari laporan-laporan ini memberikan wawasan yang baik tentang
cara kerja hubungan Belanda-Timor, mereka mengupayakan musyawarah untuk
mencapai konsesus diantara lima sekutu ini, tetapi bentrokan budaya seringkali
menimbulkan kebencian di kedua sisi[8].
Tentu di kemudian hari, perkelahian-perkelahian
yang tidak perlu ini menjadi katalisator bagi Belanda untuk kemudian mengambil
alih dominasi pulau ini ketika di akhir tahun 1800an dua kerajaan yang paling
berpengaruh secara Politik di Timor yaitu Sonbai dan Amanuban semakin menurun
perannya. Apakah generasi kita akan terus mengulang-ulangnya?. Hal ini bisa
saja terjadi sepanjang setiap orang Atoni masih mempertahankan egonya sebagai
yang pihak yang paling benar dan menikam saudaranya tanpa merasa bersalah untuk
alasan-alasan politis sesaat.
Lalu bagaimana dengan produktivitas
orang Atoni pada masa itu?. Ketika Belanda terlibat dalam politik di Timor di
tahun 1650-an yang membawa kekalahan di pihak mereka serta kelima sekutunya, akhirnya
Belanda menyadari bahwa mereka telah terjebak di wilayah Kupang dengan akses
kayu Cendana yang sangat terbatas sebab akses cendana di pedalaman masih
dikuasai oleh Topas dan kerajaan-kerajaan sekutunya. Oleh karena mereka harus
menanggung beban untuk pembayaran Pos di Kupang yang tidak menguntungkan ini sebab
semua pengeluaran mereka yang tidak seimbang dengan pemasukan mereka.
Alih-alih karena tidak mendapat keuntungan
dari bisnis Cendana yang sulit, Belanda berusaha untuk mengembangkan tanaman
komersil seperti kacang-kacangan, nila, lada, kopi, bahkan pengembangan Sutera
dan lainnya. Namun dari catatan-catatan orang Belanda kita akan menemukan fakta
tentang produktivitas orang Timor pada masa itu yang menunjukan keputus asaan
orang Belanda dengan program demikian yang untuk sementara waktu menyebabkan
beberapa pernyataan frustrasi dari Gubernur Jenderal Dirk Durven (1731) bahwa
ide-idenya ini sangat sia-sia. Ia melaporkan :
“di
tanah ini dimana [Kompeni] melayani dengan penjelasan lebih mendekati
berpendapat bahwa hal seperti itu [mengembangkan tanaman komersil] tidak akan
banyak berpengaruh. Pertama karena tanahnya penuh batu dan karena penduduk asli
yang miskin dan sederhana dengan rumah yang terbuat dari kayu, ditutupi jerami
dan dilindungi oleh bambu. Mereka memiliki tempat tidur di lantai atas dan
menempatkan ternak mereka di bawah. Dan kedua karena penduduknya sangat malas
secara alami sehingga sepanjang tahun mereka tidak menghasilkan apa-apa selain
jagung (di Belanda dikenal dengan nama tepung Turki) sebagai subsiten mereka.
Karena itu orang mungkin tidak perlu berpikir bahwa mereka harus merubah tempat
tinggal mereka atau membangun rumah untuk tujuan [menangani produksi sutera]...
(van Goor 1988:264-265).
Sementara itu, keengganan dan kemalasan
orang Timor yang dirasakan memicu banyak komentar yang menjengkelkan dalam
laporan-laporan. Tentu karena posisi Belanda yang memang benar-benar lemah di
pulau Timor, maka keadaan ini tidak memungkinkan mereka untuk memaksa rakyat
Kelima Raja Sekutu ini untuk melakukan kerja kasar atau seperti yang dialami di
Koloni Jawa dan pulau lainnya dengan program tanam paksa atau sejenisnya. Demi
mempertahankan sekutu mereka dan posisi yang lemah ini maka mereka harus
berhati-hati. Dalam sebuah memerondum dari tahun 1758 seorang Opperhofd memberi
tahu penggantinya dengan saran-saran tentang “Corvee (pekerjaan yang membosankan) dan tugas-tugas atau
pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan oleh lima Penguasa utama (sekutu)
untuk kepentingan bersama, haruslah (menyarankan) dengan cara sedemikian rupa
sehingga mereka tidak boleh dipaksa tetapi dimintai tolong dan didorong [oleh
kemauan mereka sendiri][9]”. Saya
kira bukan hanya Mr. Samuel yang frustrasi ketika menghadapi om Lipus namun
sang Opperhofd juga mengalami hal yang sama.
Paradigma jalan
di tempat
Harus diakui bahwa paradigma
manusialah yang mempengaruhi kemajuan suatu peradaban. Ketika suatu peradaban
bangkit tentu datang melalui pemikiran-pemikiran yang keluar dari kotak yang
mengukungi kita. Alih-alih menyalahkan situasi dan kondisi, namun justru kitalah
yang harus memiliki kesadaran yang benar-benar utuh dan menyeluruh untuk keluar
dari penjara paradigma yang keliru. Dari sejarah kita belajar bahwa ada hal-hal
yang yang ternyata belum berubah dalam kultur sosial kita yang perlu kita rubah
sekarang.
Hari ini saya melihat di media sosial
bagaimana para Pejabat dari tingkat Presiden hingga Bupati dari Menteri sampai
DPRD hanya sibuk mempertengkarkan tentang BLT atau BST. Tentu kita tidak bisa
menyalahkan mereka sebab mereka mencoba menyelamatkan apa yang mereka rumuskan
dan programkan namun kemudian ternyata sulit untuk mereka jalankan dengan
pengawasan yang seimbang. Sampai hari ini kita belum pernah mendapat satu data
pun tentang efek positif dari segala jenis bantuan sosial ini bagi indeks
pertumbuhan Ekonomi. Jelas juga bahwa para Politisi-Politisi memang memerlukan hal
yang demikian untuk tetap melanggengkan kedudukan mereka di kancah perpolitikan
sedangkan banyak masyarakat yang memang merasa nyaman dengan keadaan ini justru
menikmatinya sembari menanti matinya produktivitas mereka secara perlahan-lahan.
Jelas dari catatan sejarah diatas
bahwa produktivitas kita memang masih belum banyak berubah sejak ratusan tahun
lalu. Bahkan apabila dipandang secara menyeluruh dari seluruh aspek termasuk
pemerintahan dan keadaan sosial politik kita cukup mengecewakan dan bahkan
hampir mirip dengan keadaan Nusantara ketika menjelang masa-masa Kolonial VOC
mendominasi Nusantara ini. Kini kita terkotak-kotak oleh pemikiran yang lucu. Para
pejabat Politik (legislatif) memandang pejabat Eksekutif sebagai penipu dan
koruptor, pejabat Eksekutif memandang pejabat Legislatif sebagai pemeras dan
pembohong yang memanipulasi kemiskinan rakyat untuk menjadi kaya, sedangkan
rakyat memandang para pejabat sebagai pendusta dan koruptor, pengusaha
memandang pejabat gagal paham sebab memungut pajak dari orang rajin (pengusaha)
untuk membiayai masyarakat yang malas dan tidak produktif dengan BLT dll,
sedangkan para pejabat Legislatif menilai rakyat sebagai pembohong karena
menerima segala macam bantuan mereka namun tidak mencoblos mereka ketika pemilu.
Sedangkan pejabat Yudikatif memandang para pejabat sebagai calon Koruptor dan
masyakat kecil sebagai calon kriminil dan semua elemen Eksekutif, politisi dan
masyakat memandang pejabat Yudikatif sebagai pemeras dan menyalahgunakan hukum
untuk kekayaan diri sendiri. Ini adalah paradigma lingkaran setan yang menunggu
Kolonial-Kolonial baru masuk untuk merusak semuanya.
Ketika acara bedah buku berjudul “Konflik
Politik di Timor – Perjalanan Amanuban dan kerajaan Atoni lainnya menentang
Hegemoni bangsa Eropa di Timor tahun 1600-1800an” . Acara yang difasilitasi oleh Universitas Deo Muri (Unasdem)
Kupang ini diselenggarakan di Kupang pada 3 Mei 2019. Dalam acara ini, salah
satu pembicara yakni Dr. Nobertus
Djelagus, PhD (Doktor Filsafat Politik Dosen di Universitas Khatolik UNIKA
Kupang) menyebutkan bahwa tonggak kemajuan bangsa Eropa adalah mereka
mau untuk belajar dari Sejarah dan berusaha untuk memperbaikinya. Namun ini
berbanding terbalik dengan pernyataan salah satu Pejabat Daerah di TTS ketika
didaulat untuk membuka acara bedah buku di Aula Mutis 22 Mei 2019. Ia justru
menyalahkan ketertinggalan masyarakat TTS karena dijajah oleh Belanda selama
350 tahun. Suatu pernyataan absurd dan tidak berdasarkan bukti yang patut sebab
kenyataanya kerajaan Mollo baru takluk kepada Belanda tahun 1906 dan Amanuban
baru takluk kepada Belanda pada tahun 1910.
Jelas bahwa ada dua paradigma yang
berbeda yang saling bersinggungan. Pertama menilai bahwa “perlu ada perbaikan
dengan belajar dari sejarah” sedangkan pemikiran kedua adalah “yah beginilah nasib
kita setelah dijajah 350 tahun”. Hingga hari ini kita tidak melihat adanya
upaya nyata pemerintah untuk mengubah Mindset
kita dan Lipus-Lipus lainnya kecuali jargon “Revolusi Mental”-nya sang Presiden
yang nampaknya juga jargon ini telah tenggelam di tengah mafia-mafia kekuasaan
di Batavia sana.
Tulisan sederhana ini hanya mencoba
untuk mengorek bagian diri kita sendiri dan tidak untuk menyalahkan
siapa-siapa. Para Pejabat tidak salah, Lipus juga tidak salah, Mr. Samuel juga
tidak salah. Yang salah adalah saya dan ikan-ikan. Mengapa ikan-ikan hadir di
negara yang kaya ini dengan orang-orang yang sulit mengolahnya dan salah saya
yang memang bingung dengan ikan-ikan itu mengapa hadir dalam kehidupan saya
dimana saya juga kerepotan untuk mengurusnya di tengah keterbatasan saya.
Sekian
dan terima kasih.
[1] Robohnya
NKRI kami, Aris Wahyudi, Halaman Moeka Publishing, 2012. Hal. 76
[2]
Prof. Hans Hägerdal, dalam
makalah berjudul “White and Dark Stranger Kings: Kupang in
the Early Colonial Era” - Unpublished
sources - Koninklijk
Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands, 2008
[3] A
History of Modern Indonesia (Sejarah Indonesia Modern), M.C Ricklefs – Monash
University, Gadjah Mada University Press, 2007, hal.
[4]
The Malay Archipelago, Alfred Russel Wallace, dialihbahasakan oleh Ahmad
Asbawi, S.Pd, dkk,- Indoliterasi, 2015, Hal. 156-157
[5]
Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “White and
Dark Stranger Kings: Kupang in the Early Colonial Era” - Unpublished sources - Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands, 2008
[6] Prof.
Hans Hägerdal, Archival
Notes on Timor in the VOC period, National archief, Den Haag, VOC 1414,
years 1685
[7] The
Malay Archipelago, Alfred Russel Wallace, dialihbahasakan oleh Ahmad Asbawi,
S.Pd, dkk,- Indoliterasi, 2015, Hal. 156-173
[8]
Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “White and
Dark Stranger Kings: Kupang in the Early Colonial Era” - Unpublished sources - Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands, 2008
[9] Prof. Hans Hägerdal, dalam makalah berjudul “White and
Dark Stranger Kings: Kupang in the Early Colonial Era” - Unpublished sources - Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands, 2008
INSERTFOTO DIRK DRUVEN
Komentar
Posting Komentar